Elisabeth Gruyters
PROLOG
Siapa tak kenal Rumah Sakit
dan Akademi Keperawatan Sint Carolus di tengah megah-riahnya kota
Jakarta, Rumah Sakit Panti Rapih-Panti Rini-Panti Nugroho di kota gudeg Yogyakarta
atau Rumah Sakit Borromeus di “Paris Van Java” Bandung?
Bukankah banyak orang Jakarta juga kerap-akrab mendengar nama besar “Yayasan
Tarakanita (Playgroup, TK, SD, SMP, SMA,
dan SMK) dan “Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita”
yang exist di seantero Jakarta? Ada juga nama sekolah
unggulan, Stella Duce dan asrama Syantikara di Yogyakarta.
Yah, Kongregasi para suster Cinta Kasih Santo Carolus Borromeus
(biasa dikenal dengan Kongregasi CB) adalah aktor di balik nama besar pelbagai lembaga
publik yang sudah “admiranda et amanda”: dikagumi
dan dicintai masyarakat itu. Kongregasi CB sendiri dirintis-kembangkan oleh seorang perempuan Belanda, Elisabeth Gruyters pada 29 April 1837 di
Maastricht, Belanda. Oleh Gereja, kongregasi ini ditempatkan di bawah
naungan Santo Carolus Borromeus. Selain di Indonesia, mereka juga melayani di Amerika, Afrika, Belanda, Belgia, Denmark, Brasil, Norwegia, Filipina, Vietnam, Timor Leste, dan masih banyak lagi: “Dimuliakanlah
Nama Tuhan selama-lamanya!” (EG 156).
SKETSA PROFIL
Dengan pertolongan Tuhan, aku
akan berhasil. (EG
13)
Maria Elisabeth Gruyters.
Itulah nama lengkap seorang anak yang terlahir di desa Leut, dipinggir sungai
Maas, Limburg, Belgia, 1 November 1789. Ibunya
bernama Maria Borde. Ayahnya yang bernama Nicolas Gruyters merupakan seorang
bendahara puri di Leut. Pada tahun 1821,
Elisabeth berangkat ke Maastricht. Jarak antara Leut
dan Maastricht sekitar 19 KM. Disinilah, ia bertahun-tahun bekerja sebagai pengurus
rumah tangga pada keluarga Nijpels yang kaya raya. Ia bukan hanya bekerja
sebagai pengurus rumah tangga melulu, tapi ia juga memperhatikan dan memelihara
kebutuhan mental maupun spiritual setiap anggota keluarga Nijpels itu.
Satu hal yang dicandranya, bahwa dampak dari Revolusi Prancis mewarnai suasana
duka banyak keluarga di Maastricht, termasuk keluarga Nijpels:
Nyonya Nijpels mengalami sakit
lumpuh dan selama 40 tahun lamanya telah meninggalkan iman kristianinya;
anak-anaknya suka berfoya-foya dan menempuh jalan hidup yang sesat; suaminya,
Tuan Nijpels memboroskan waktu dan memuaskan dirinya dengan pelbagai
kesenangan duniawi yang tidak sehat. Melalui perjumpaannya dengan keluarga
Nijpels inilah, iman dan kerinduan hatinya untuk mengutamakan keselamatan jiwa sesamanya
(salus animarum) semakin terpupuk subur. Dalam catatan pribadi yang ditinggalkannya, Elisabeth menulis-kenangkan
kerinduan imannya untuk menjadi
seorang biarawati: Harapanku
ada pada Tuhan, dan tidak seorangpun dapat
menggoncangkannya (EG
55). Baginya, masuk biara adalah wujud nyata dari
usaha “mencari Kerajaan Allah” dan “menyelamatkan jiwa-jiwa”.
Yah, memang pada waktu itu, kota Maastricht sedang
berduka-nestapa akibat Revolusi Perancis: Pelbagai biara ditutup
dan semua gereja
dilarang mengadakan aneka reksa pastoral. Kaum religius diusir, bahkan banyak gereja
dan biara dialih fungsikan sebagai gudang persediaan bagi
keperluan para tentara dan tak jarang juga untuk kandang kuda. Intinya: kota
Maastricht sedang amburadul akibat penindasan dan pelbagai bentuk
kriminalitas yang berkepanjangan.
Di tengah konteks nyata itulah, Elisabeth tersentuh hatinya melihat gulat
geliat dan duka-derita yang dialami oleh keluarga
Nijpels dan sesamanya yang lain. Ia menjadi seorang pribadi yang mudah peka dan berbelarasa pada
penderitaan sesamanya. Hatinya terbakar oleh cinta kasih Allah dalam diri Yesus
yang tersalib. Segenap hidupnya tersentuh cinta Allah yang tak bersyarat dan
yang berbela-rasa (compassion), yang memunculkan sebuah doanya di depan
salib: “hanya yang mengalaminya sendiri, dapat melukiskan betapa
sengsaranya jiwa dalam keadaan yang demikian” (EG 42). Satu pesan bijak-bestari
Tuhan yang terus bergema-mesra di relung hatinya dalam pengalaman doa-doanya: “Hendaklah kamu mencintai Tuhan
Allahmu, dengan seutuh hati, dengan seutuh jiwa, dan dengan seluruh tenaga,
serta cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri, demi Tuhan”. Inilah
perintah Tuhan yang juga ditulisnya pada kemudian hari
sebagai prolog
dari Konstitusi Suster-suster Cintakasih Santo Carolus Borromeus, yang
di-sahkan oleh Tahta Suci Vatikan pada 14 Desember 1856).
Di tengah berjalannya sang
waktu, sebuah keyakinan iman yang kerap dibagikannya, “berkat
doa yang berkanjang dan dengan kepercayaan kepada Allah, segala-galanya dapat
diatasi, (EG 69) menjadi terwujud-nyatakan terlebih saat kisah perjumpaannya dengan
pastor van
Baer, pastor deken di gereja St. Servas. Yah,
ternyata pastor van Baer
juga memiliki kerinduan dan harapan iman yang sama. Sang pastor melihat dalam diri
Elisabeth-lah, ia menemukan orang yang pas, yang ‘fit and proper’, “...
yang membuat beliau berani untuk bersama aku memulai karya besar ini,” tukas Elisabeth.
Perlahan tapi pasti, berangkat dari perjumpaan
iman dengan pastor van
Baer, kerinduan Elisabeth untuk diterima dalam biara malahan berkembang-mekar menjadi
sejumput harapan:“Sekiranya berkenan kepada Tuhan, aku mohon agar di kota
Maastricht ini, didirikan sebuah biara, dimana Tuhan akan diabdi secara tulus
ikhlas” (EG 5). Sebuah kerinduan yang sangat bisa
dimengerti, bukan?
Pada tanggal 29 April 1837, Elisabeth memulai
karya kasihnya: Ia mendirikan sebuah komunitas (yang sekarang dikenal dengan
sebutan, “Kongregasi Suster-suster Cintakasih St.Carolus Borromeus”) di sebuah
rumah sewaan yang miskin. Karya
awal Elisabeth waktu itu adalah mengumpulkan anak-anak kecil, lemah,
miskin dan tersingkir, dengan maksud membangun dasar rohani yang jost dan kokoh. Mereka diajar berdoa dan bertata-krama, serta dibimbing agar lebih memiliki
semangat hidup yang suci: Allah yang Mahabaik memberkati karya
kami (EG
52), begitu keyakinan iman Elisabeth.
Pada permulaan karyanya
di Maastricht, Elisabeth juga pernah menulis-kenang dalam bukunya: “Semuanya
serba kurang, bahkan pada hari-hari pertama kursi untuk duduk kami belum
punya.” Dalam bulan-bulan April dan Mei 1837, ternyata cuaca masih
sangat dingin: “Lapisan salju di jalan biasanya setinggi orang. Sampai
waktu itu orang yang tua-tuapun belum pernah mengalami keadaan semacam ini.” Dalam buku kisah panggilan pribadi lainnya, ia menulis: “kami
hidup seadanya hingga bulan Mei. Waktu itu, mereka mulai menerima anak-anak
miskin, dengan maksud membangun dasar yang baik dalam batin mereka, memberikan
pelajaran agama Kristen, menjahit, berdoa serta memberikan dorongan ke arah
semangat hidup yang suci.” (EG 51). Demikianlah, dalam keadaan
yang serba terbatas, anak-anak miskin ditampung dan diperhatikan. Disinilah
karya pendidikan kongregasi mulai dirintis. Mendampingi dan mendidik dengan
hati demi perkembangan pribadi secara utuh menjadi semangat
dasar Elisabeth dan menjadi inspirasi yang terus dihidupi dalam karya
pendidikan oleh para penerusnya.
Di lain matra, komunitas karya yang dirintis
Elisabeth ini
tentu tak lepas dari perbincangan orang lain.
Yah, meskipun banyak orang membicarakan bahwa mereka miskin, tapi semangat
Elisabeth tetap kaya dan menyala-nyala. Selain itu, pengawasan polisi setempat juga mereka alami, sehingga mereka tak bisa begitu saja bebas-lepas bergerak, tapi satu prinsip iman terus dikumandangkannya: Tuhan menolong siapa saja yang selalu setia
mengabdi kepada-Nya (EG 97). Perjuangannya
ditandai dengan banyak pengalaman yang menantangnya untuk lebih bertekun dalam
doa. Justru melalui pelbagai tantangan pada waktu itu, Tuhan memberinya
keberanian dan kekuatan untuk mengawali pelbagai karya kasihnya. Yah,
bermodalkan kesetiaan dan pengabdiannya bagi Tuhan, komunitas karya yang
dirintis Elisabeth pun
mulai bertumbuh-kembang. Pada tahun 1840, rumah di jalan Lenculen
terasa terlalu kecil dan mereka berpindah ke rumah yang lebih besar, dekat lapangan Vrijthof.
Selain karya pendidikan, Elisabeth dan para
pengikutnya juga mulai terlibat dalam karya kerasulan kesehatan di rumah
sakit ‘Calvarieberg, yang bertujuan untuk
memuliakan Tuhan demi keselamatan sesama yang menderita. Ia menulis: “Pada 1
Agustus 1843, aku mengantar lima suster ke ‘Calvarieberg’ untuk merawat dan memberikan hiburan rohani serta jasmani
kepada para anggota Tubuh Yesus
Kristus yang menderita disana…..Akan tetapi, hanya Tuhanlah yang mengetahui
betapa banyak jerih payah yang harus kami alami, sehingga kebahagiaan ini dapat
dilimpahkan kepada para penderita yang malang ini.” (EG 108-109). Setelah itu, mereka juga
mulai mengembangkan karya kasihnya di Panti Asuhan Katolik pada tanggal 1 Maret
1839, dengan maksud untuk menjaga keselamatan anak yatim piatu, baik jasmani
maupun rohani. Dengan demikian, Elisabeth bersama para pengikutnya secara
sederhana, mempunyai dua bidang pokok dalam pebagai karya kasihnya, yakni:
pendidikan dan kesehatan.
Adalah sebuah pernyataan, “jika Allah berbicara dalam hati,
pasti terdengar bahasa cinta.” Disinilah, dalam waktu singkat, rumah di Vrijthof juga
menjadi terlalu kecil, dan pada tahun 1844, Elisabeth dan teman-temannya mulai
memasuki bangunan yang semula milik gereja St. Servaas. Rumah inilah yang
sampai kini menjadi Biara Induk ‘Onder de Bogen’. Seiring waktu yang berjalan, kongregasi baru ini semakin
melebar-luaskan sayapnya sekaligus mendalam-endapkan akarnya demi kemuliaan
Tuhan dalam pelbagai karya kasih mereka.
Setelah Elisabeth Gruyters
wafat pada 26 Juni 1864, para penggantinya yang
sama seperti dia, tergerak “mengabdi Tuhan dengan tulus ikhlas dan
gembira” tetap
mengikuti jejak iman dan spiritualitasnya. Satu warisan lain yang diajarkannya kepada para pengikutnya,
bahwa para suster dalam pelbagai karyanya harus selalu dilengkapi dengan
senjata-senjata rohani, agar tidak dinodai kejahatan duniawi, dan ia semakin
menegaskan bahwa para susternya harus selalu ingat akan ketiga janji sucinya
(EG 70).
Seiring waktu, semakin
banyak suster CB yang dikirim ke pelbagai tempat untuk berkarya di bidang
pendidikan dan kesehatan: Pada tahun 1918 ke Indonesia, tahun 1923 ke Norwegia
dan tahun 1959 ke Tanzania serta belahan dunia yang lainnya. Sebagai contoh nyata di Indonesia: Kongregasi CB mengelola
pelbagai Rumah Sakit (St. Carolus di Jakarta -1919, St.Borromeus di
Bandung- 1921, Panti Rapih di Yogyakarta- 1922) dan poliklinik yang
tersebar-pencar di pelbagai pelosok Nusantara. Pada tanggal 6 Januari 1930,
Kongregasi CB juga mulai mengelola Hollands Chinese School (HCS)
di Bengkulu (cikal bakal Yayasan Tarakanita yang didirikan pada tahun 1952, dan
bersemi di Lahat, Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Magelang, Surabaya, Solo Baru
dan meluas sampai ke Indonesia Timur); Ada juga karya-karya sosial lainnya,
seperti asrama sekolahan dan pelbagai panti asuhan. Salah satunya yakni, Panti
Asuhan Santa Maria Ganjuran Yogyakarta yang bersemboyan, “Mekarlah
Kuncup Muda, Menebar Harum Kasih Allah.”
Di balik pelbagai karya kasih mereka, visi dan keberanian iman yang diwariskan
Elisabeth tetap hidup dan menjadi sebuah
kenyataan, seperti tema kapitel Kongregasi CB tahun 2011: Semoga hatiku bernyala-nyala karena cinta,
buatlah aku cakap dalam pengabdian-Mu (EG 39).
REFLEKSI TEOLOGIS
Aku menyerahkan semua
kepada Tuhan,
dan bertakwa kepada
kehendak-Nya yang kudus (EG
12).
1.Sajiman, SAtu JIwa dalam
iMAN
Sajiman adalah nama seorang
pensiunan kolonel yang saya kenal di daerah Pasar Minggu dan pernah mengikuti
saya mengunjungi
penjara di daerah Pondok Bambu Jakarta. Bagi saya, figur bercampur tutur bernama Elisabet ini, membuat
kita juga bisa belajar untuk menjadi “Sajiman”: “Satu
Jiwa dalam Iman.” Ingat
saja, sebuah nukilan pernyataan Elisabeth: “Aku akan tetap setia kepada Tuhan dan akan
tetap bertekun dalam cintakasih-Nya sampai mati” (EG. 20). Jelaslah, Elisabeth adalah seorang beriman yang mempunyai
kerinduan untuk setia bersatu dengan Tuhan dan sesamanya. Bahkan dalam
perkembangan waktu, ia juga menekankan hal ini kepada para pengikutnya, “Alangkah
bahagia suasana biara, bila terdapat kesatuan antara para anggotanya” (EG
9).
Di lain matra, dalam
situasi mencekam kota Maastricht, sesudah perang di abad ke-19,
ia sepenuh hati bersatu jiwa dalam iman bersama dengan
pergulatan dan pergeliatan sesamanya. Ia setia berdoa kepada Allah, agar
di kota Maastricht, banyak orang kembali ke jalan yang benar: “....Dengan
aku atau tanpa aku, asal Tuhan dimuliakan dan sesama diabdi dengan tulus ikhlas
dan sempurna ”. Ia juga setia terus berjuang
mewujud-nyatakan cita-citanya untuk semakin bersatu dengan Tuhan. Baginya,
jalan yang paling mungkin untuk bersatu dengan Tuhan dan membalas kasihNya
adalah dengan mempersembahkan seluruh hidup kepada Yesus. Keterpesonaannya
kepada Yesus yang tersalib menyentuh relung hatinya yang terdalam. Sikap compassion (belaskasihan)
Yesus telah menjadi rima dalam keseharian hidupnya,
untuk terus menyatu-padukan pergulatan sekitarnya dengan pergulatan hidup dan panggilannya: “Tuhan,
aku haus, berilah aku air yang menghidupkan itu” (EG 140).
2.Pola “267”
Rela berkorban. Layani Tuhan. Siapkan jalan iman
“Seluruh harapanku berdasarkan
ayat pertama Kredo:
Aku percaya akan Allah yang
Mahakuasa.” (EG
23)
Apakah anda pecinta sepakbola, soccer-holic?
Nah, kalau FC.Barcelona atau Real
Madrid mempunyai pola permainan, “4-4-3” atau “4-5-2”, maka Elisabet mempunyai
pola “267”. Apa itu? Dalam bahasa not solmisasi, berbunyi, “re” “la”
“si”. Yah, dia memiliki pola relasi yang
berkualitas:
Relasi dengan Tuhan, relasi dengan sesama, relasi dengan alam dan pastinya relasi
dengan diri sendiri. Kalau seorang Bo Sanchez
dari Filipina mengatakan, “discipleship is a relationship”, maka,
bagi saya secara
sederhana, sebuah kata “relasi” yang kaya makna ini sebenarnya mengandung trilogi keutamaan dasar
yang dihayat-resapi oleh Eisabeth, antara lain:
-Rela berkorban:
Bagi Elisabeth, orang miskin bukan saja orang-orang yang
miskin secara lahiriah, tapi juga mereka yang miskin materi dan miskin
pendidikan. Orang-orang yang miskin
adalah orang yang menderita dan yang
sakit, baik secara fisik maupun secara rohani. Inilah visi dasar Elisabeth
bersama Tarekat Suster-suster Cintakasih Carolus Borromeus yang didirikannya:
Mereka diutus ke dunia yang terluka. Mereka dipanggil untuk rela berkorban,
masuk lebih dalam, duc in altum, dan menjadi bagian integral dari
dunia yang tercarut-marut dan menciptakan banyak
korban. Pengalaman kasih Elisabeth dengan Yesus yang tersalib sungguh
menyentuh dan sekaligus menggerakkan hatinya untuk menyelamatkan jiwa, yang
secara konkret dikenali dan ditemukan dalam diri banyak orang kecil, lemah,
miskin, tersingkir, sakit dan sebagainya. Disinilah, Elisabeth berani mengatakan, “keselamatan
sesama sangat kupentingkan “ (EG 40).
-Layani Tuhan:
Perjumpaannya dengan Allah dalam diri Yesus yang tersalib, adalah sumber segala
inspirasi sekaligus aspirasi dalam pelbagai karya pelayanannya: “Kami menerima anak-anak miskin, dengan maksud membangun
dasar baik dalam batin mereka. Kami memberikan pelajaran agama, menjahit,
mengajar mereka berdoa, dan mendidik mereka untuk mencintai Allah.” (EG
51). Disinilah, baik kita melihat sebuah “pancasila” pelayanannya terhadap Tuhan, yang dihorisontalkan
dengan pebagai karya nyata terhadap sesamanya, antara lain:
1 1.
Usaha
penyembuhan. Ia mengantar setiap orang untuk kembali kepada relasi harmonis dengan
Allah, sesama dan diri sendiri,
2. Usaha kepedulian. Ia memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin, entah kesejahteraan rohani maupun jasmaninya.
3. Usaha pengajaran. Ia tidak hanya mengajarkan katekese tetapi juga mengajar hal-hal praktis, seperti jahit menjahit sekaligus hal-hal etis, seperti menanamkan dasar hidup yang baik kepada anak-anak miskin.
4. Usaha penghargaan. Ia memberikan rasa hormat dan pemberdayaan pada orang-orang miskin, kebebasan dan paham kemanusiaan yang utuh pada sesamanya. Hal ini bisa jadi didapatkannya karena ia pernah “live-in” di RS. Calvarieberg dan di tengah keluarga Nijpels.
5. Usaha belas-kasihan. Ia berbelas-kasihan terhadap orang-orang yang sakit: Ia mengurus, melindungi para penderita sakit serta mendampingi mereka yang menghadapi ajalnya, demi keselamatan jiwa para penderita: “Sebenarnya aku sendiri sudah mendengar panggilan itu dalam hatiku, sejak aku masih berada di luar, waktu belum ada seorang pun yang memikirkan hal itu. Jika pada hari Minggu aku mempunyai sedikit waktu terluang, aku pergi pada orang-orang malang itu, berdoa rosario bersama mereka. Dalam perjalanan pulang, dan dalam kesibukan di rumah, aku masih teringat saja akan orang-orang yang malang itu, dan mereka senantiasa terbayang dalam angan-anganku. Sambil mencucurkan airmata aku memanjatkan doaku, agar dapat berkarya di antara para penderita ini di Calvarieberg.” (EG 113)
2. Usaha kepedulian. Ia memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin, entah kesejahteraan rohani maupun jasmaninya.
3. Usaha pengajaran. Ia tidak hanya mengajarkan katekese tetapi juga mengajar hal-hal praktis, seperti jahit menjahit sekaligus hal-hal etis, seperti menanamkan dasar hidup yang baik kepada anak-anak miskin.
4. Usaha penghargaan. Ia memberikan rasa hormat dan pemberdayaan pada orang-orang miskin, kebebasan dan paham kemanusiaan yang utuh pada sesamanya. Hal ini bisa jadi didapatkannya karena ia pernah “live-in” di RS. Calvarieberg dan di tengah keluarga Nijpels.
5. Usaha belas-kasihan. Ia berbelas-kasihan terhadap orang-orang yang sakit: Ia mengurus, melindungi para penderita sakit serta mendampingi mereka yang menghadapi ajalnya, demi keselamatan jiwa para penderita: “Sebenarnya aku sendiri sudah mendengar panggilan itu dalam hatiku, sejak aku masih berada di luar, waktu belum ada seorang pun yang memikirkan hal itu. Jika pada hari Minggu aku mempunyai sedikit waktu terluang, aku pergi pada orang-orang malang itu, berdoa rosario bersama mereka. Dalam perjalanan pulang, dan dalam kesibukan di rumah, aku masih teringat saja akan orang-orang yang malang itu, dan mereka senantiasa terbayang dalam angan-anganku. Sambil mencucurkan airmata aku memanjatkan doaku, agar dapat berkarya di antara para penderita ini di Calvarieberg.” (EG 113)
“Pancasila” teladan Elisabeth yang melayani Tuhan lewat perjumpaan dengan sesama seperti ditampil-kenangkan di atas, juga terbatinkan oleh para
penerusnya. Inilah salah satu bukti nyatanya: Pada tanggal 22 Juni 1918, sepuluh suster CB (Sr Alphonsa,
Sr Lina, Sr Hermana, Sr Crispine, Sr Isabella, Sr Judith, Sr Ambrosine, Sr
Ignatio, Sr Justa, Sr Gratiana), dengan menaiki kapal api “Frisia”, milik
maskapai Hollandse Koninklijke Loyd, lebih dari 3 bulan lamanya pergi menuju
Indonesia.
Tanggal 7 Oktober 1918,
mereka tiba di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, tepat pukul 06.00 pagi, tanggal
7 Oktober 1918. Mereka langsung menuju ke Biara Ursulin Weltevreden, di Jl. Pos, Jakarta.
Setelah masuk biara, tempat pertama yang dikunjungi adalah kapel. Di kapel
biara Ursulin ini, para suster CB langsung berdoa dengan penuh rasa syukur: “Ya
Yesus yang manis, betapa terharu hati kami bila kami berlutut di depan
altar-Mu. Dengan rendah hati dan gembira kami menyerahkan seluruh tenaga,
kesehatan, dan kehidupan kami kepada Dikau, demi kepentingan-Mu dan bagi
keselamatan jiwa-jiwa.” Jelas, spiritualitas“dokar”: “doa dan karya” mereka dibawa bagi pelayanan pada Tuhan
semata. Mereka membawa semuanya dari permulaan sampai pada
kesudahannya dalam nama Tuhan
sebagai pimpinan tertinggi yang mereka layani.
-Siapkan jalan iman:
Elisabeth menulis-hadirkan kisah berdirinya kongregasi, yang sekaligus sebenarnya merupakan kisah
panggilan pribadinya: “Atas nama Tuhan Yesus Kristus, oleh H.W.
Michels, yang telah beberapa kali memberi retret tahunan di biara kami, aku diharuskan
demi ketaatan suci, agar jangan lalai menceritakan tentang mukjizat Tuhan yang
Mahakuasa dalam riwayat berdirinya Kongregasi ini”, demikian Elisabeth mengawali
tulisannya. Beberapa waktu kemudian, dalam rangka peringatan 150 tahun
berdirinya Kongregasi CB, tanggal 29 April 1987, Dewan Pimpinan Umum
CB saat itu menerbitkan buku, yang diberi judul: “Elisabeth Gruyters,
pendiri sebuah Tarekat.” Pada terbitan tersebut setiap alinea dibubuhi
nomor, demi mudahnya pengutipan (jadi, misalnya : EG 5, berarti alinea 5
dari buku tersebut). Selain itu, sebagai
salah satu cara untuk mewariskan semangat awal pendiri kongregasi yang perlu
dihidupi sebagai inspirasi sekaligus aspirasi, maka disusunlah juga sebuah
buku, Guiding Principles Spiritualitas CB untuk setiap bidang
karya. Nah, bukankah jelas bahwa penulisan
sejarah dan warisan spiritualitas yang terbukukan ini juga sebuah upaya
untuk menyiapkan jalan iman bagi para penerusnya? Satu hal yang pasti bisa diingat adalah, “Tuhan
Gembala yang Baik, selalu menjaga iman dan memperhatikan orang yang cinta
kepadaNya” (EG 65).
3. Mariati
MARIA ada di haTI
Sr.Mariati adalah nama
seorang biarawati CB, pendamping para postulan di Gejayan Yogyakarta. Dulu, saya beberapa kali mengadakan dialog antar agama dan
kunjungan ke pesantren, seminari, pura dan vihara bersama dia dan anak-anak
mahasiswa Sanata Dharma, serta beberapa suster yunior dari kongregasi CB. Sekarang, setiap kali saya mengunjungi makam dua saudara
saya di area pemakaman CB (Almarhum Sr.Ignatia, CB dan Sr.Luisi,
CB), dialah yang biasa menyambut dan membukakan pintu
gerbangnya. Nama “Mariati” sendiri secara sederhana, bisa berarti, “Maria ada di hati.” Disinilah,
saya mencandra bahwa Bunda Maria jelas mendapat tempat
istimewa di hati Elisabeth, terlebih dengan adanya peristiwa iman pada 15
Agustus 1836 (Hari Raya Maria Asumpta).
Yah, setelah berdoa
selama 15-16 tahun. Saat itu, di depan patung Bunda Maria tanggal 15 Agustus
1836, menurut pengakuan Elisabeth, “tiba-tiba terdengar olehku, persetujuan yang
suci dari surga…‘Itu akan terjadi.’ (EG 6). Bunda Maria memainkan peran penting
dalam hidup Elisabeth dan kongregasinya, terlebih perihal
kerendahan hati. Hal ini juga yang pernah ditegaskan Yesus dalam kotbah di
bukit: Beati
pauperes spiritu - Berbahagialah mereka yang rendah hati. Yah, Maria menjadi “model” dan “mother” kerendahan
hati bagi Elisabeth dan para pengikutnya. Teladan iman Maria menjadi pusat
geraknya, bakan pengalaman mistik Elisabeth dan kongregasi yang dirintisnya
ini. Inilah pengalaman iman yang khas dan mendalam, yang “tertancap di
hatinya”.
Bahkan, dalam “Surat
Basis”, Agustus 2010, dipaparkan, “Hari Raya Maria Asumpta (15 Agustus) merupakan kesempatan untuk kembali kepada Bunda Maria,
untuk membimbing komitmen kita sebagai religius perempuan, untuk dapat dipercaya
dan tekun dalam membuat perbedaan sebagai tanda dan instrumen iman, harapan,
damai dan bela rasa kepada saudara-saudara di jaman sekarang.”
Disinilah, sangat indah jika setiap pengikut
Elisabeth juga sungguh menggali pelbagai unsur rohani (“mistik”) dari
Bunda Maria dan menimbanya bagi gerak dan karya pelayanan kasih yang lebih
kontekstual (“profetik”), sehingga tepatlah apa yang pernah dikatakan
Uskup Agung Semarang, Mgr. Pujasumarta dalam kotbah peresmian Yayasan Panti
Rapih di Gunung Kidul, bahwa “CB” bisa berarti, “Cinta dan Belarasa”,
dimana Tuhan akan diabdi dengan tulus iklas (EG 5).
EPILOG
Teruskan karyamu.
Tuhan akan
selalu memberkati dasar-dasar yang telah dibangun.
(EG 75)
Secara etis-praksis, salah
satu bentuk kemiskinan yang paling dalam yang kerap dialami manusia jaman sekarang adalah
isolasi, semacam keterpisahan,
dalam bahasa Marxis, keterasingan. Kalau kita melihat dari dekat bermacam bentuk kemiskinan,
termasuk bentuk-bentuk material, kita melihat bahwa mereka lahir dari isolasi dan alienasi,
dari pengalaman ditolak dan tidak dicintai atau dari kesulitan untuk
dapat mencintai. Kemiskinan juga sering dihasilkan dari penolakan atas kasih
Tuhan, oleh kecenderungan dasar dan tragis manusia yang menutup diri sendiri atau memikirkan
diri sendiri sebagai “self-sufficient”/ cukup dengan diri
sendiri.
Dalam konteks ini, baiklah kita mengingat-kenang kata sambutan
dari Pastor Fleercher (pada pesta perayaan ulang tahun ke-25 Rumah
Sakit St. Carolus Jakarta): “Pekerjaan anda di sini bukan hal yang
mudah, dan juga tak akan pernah mudah, tetapi itu merupakan kebahagiaan dan
juga ketenteraman. Kita memang tahu bahwa Kerajaan Surga merupakan kekuatan,
dan kita juga tahu bahwa yang tangguh akan memenangkannya. Dengan pertolongan
rahmat Tuhan, anda sekalian akan tetap berusaha untuk mencapai yang hebat itu,
menurut tradisi anda sendiri, yang diwariskan oleh pendiri anda yang sangat
terhormat, yang mengajukan keutamaan indah sebagai dasar dari
tradisi: caritas et humilitas, cintakasih dan kerendahan hati.”
Caritas et humilitas – yang berarti: cintakasih dan
kerendahan hati – adalah dua kata pokok yang dapat merumuskan secara singkat-padat-memikat mengenai
semangat iman yang diwaris-tularkan oleh Elisabeth Gruyters, bunda pendiri
Tarekat Suster-suster Santo Carolus Borromeus di tengah konteks masyarakat yang mengalami pelbagai bentuk
kemiskinan. Dua
dimensi spiritualitas ini juga yang semestinya
terus dihayat-tampakkan dalam reksa pastoral kita semua, entah
di pelayanan pendidikan, kesehatan, sosial, maupun reksa
pastoral di tengah komunitas basis dan keluarga
kita masing-masing.
Jika kita selalu memiliki “cintakasih dan kerendahan hati”, bukankah benar,
seperti kata Elisabet, “setiap hari, kami
diberkati oleh tangan Tuhan yang tak kelihatan.” (EG 63)?
ASPIRASI
Doa Bersama St. Carolus
Borromeus
Di dalam tangan-Mu, Bapa
Yang Suci dan Berbelaskasih, kami meletakkan hidup kami. Tangan-Mu membawa kami
ke salib. Kami menatap Yesus yang tersalib. Kami pun merasa perlu
berbicara untuk mengucapkan terima kasih kepada-Mu, dan untuk memperkenalkan
kepada semua manusia, hal-hal yang mengagumkan dari cinta-Mu. Salib Yesus
merupakan tindakan yang tertinggi, dan kesatuan-Mu dengan kami orang-orang
berdosa. Salib Yesus membuktikan bahwa cinta-Mu lebih kuat dari segalanya.
Anugerah yang penuh rahasia dan subur, yang berasal dari salib, ialah Roh Kudus
yang menyatukan kami. Amin.
Doa Bunda Elisabeth
Oh, Allah Yang Maha Baik,
anugerahilah aku lebih banyak keutamaan, teristimewa sifat lemah-lembut dan
kebijaksanaan.
(EG. 107)
Doa EG
Semoga dimuliakanlah nama
Tuhan, yang tidak pernah mengabaikan umat-Nya yang hina dina. (EG. 38)
Doa, Kasih, dan Pelayanan
Dengan hening aku berdoa,
dengan doa aku mengasihi. Dengan kasih aku melayani, dengan melayani kualami
kedamaian.
Pecinta Hatiku
O... Pecinta hatiku yang
manis, berilah aku bagian dalam dukaMu, semoga hatiku bernyala-nyala karena
cinta, buatlah aku cakap dalam pengabdianMu tetapi tidaklah bermanfaat bagiku
saja, pun juga bagi keselamatan sesama manusia. Amin.
0 komentar:
Posting Komentar