Dimana Pastorku?
Suatu hari di terminal…..,
matahari lurus-terik menjulurkan lidahnya, hiruk-pikuk berbaur-campur dengan
kemacetan yang padat merayap serta kebanjiran yg melumat- laknat. Aneka
fragmentasi sosial terus menggerus serta menggeliat jelas-lugas: Seorang ibu
berbedak debu jalanan tergopoh-payah menarik anaknya mengejar sebuah angkot.
Seorang renta duduk dalam siang terpanggang-seperti penari kecak, menengadah
menjemput rejeki pada mobil yang lewat. Disini nyata adanya korban (Ignatio
Ellacuria: the crucified people): anak jalanan, waria, pemulung,
asongan-kaki lima juga para penganggur dan bromocorah.
“Dimana pastorku?”
Menyitir
pernyataan para uskup se-Asia (FABC), yang dikutip oleh Sidang Agung Gereja
Katolik Indonesia: “Gereja tak dapat menunaikan misinya tanpa bersifat
lokal. Gereja hanya menjadi Gereja jika mendarah daging, di tempat yang khusus
dan waktu yang khusus pula.“ (Gereja yang Mendengarkan), maka tepatlah
pepatah latin: “gaudere cum gaudentibus, et fiere cum fientibus”
(bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan yang menangis).
Tapi kini ketika banyak orang menangis, apakah para pastor juga ikut
bersolider.
“Dimana
pastorku?”
Berdasarkan
data Yayasan Gembala Utama, diperkirakan bahwa di masa depan akan mudah terjadi
potensi konflik khususnya di grassroot level, karena begitu cepatnya
perubahan: Suatu waktu kita mendadak menjadi amat peduli pada goyang sepasang
pinggul empunya Inul. Suatu lain-ketika banjir, penggusuran dan kampanye
melanda, tiba-tiba begitu hiruk-pikuk. Saat lain-ketika ada tragedi, kita
begitu lengang. Saat lain lagi, kita menjadi begitu biadab ketika banyak bom
meledak di mall dan gereja. Disinilah seorang pastor dapat berkontribusi dalam
penyelesaian konflik bila ia merupakan tokoh yang diterima oleh pelbagai
kelompok dalam masyarakat akar rumput.
“Dimana
pastorku?”
Pertanyaan
kritisnya: Seringkah seorang pastor mau pro-aktif ikutserta dalam pelbagai
peristiwa sosial: kendurian, kematian, agustusan, halal-bihalal, tahun baruan
sampai aksi-aksi sosial-dan tidak melulu asyik-masyuk termanjakan dalam kemapanan
dinding pastoran? Bukankah lewat perjumpaan dalam ruang publik ini, dialog dan
partisipasi dalam membangun masyarakat dapat lebih dibina? Mengacu pada Karl
Rahner, Bukankah Gereja akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus
menerus - a church in permanent genesis? Bukankah merupakan sebuah kewajaran
jika seorang pastor kini kerap menghayati kepastorannya lewat pelbagai
benturan, entah kognitif maupun afektif:
benturan realitas real versus ideal, benturan dengan konkupisensi,
dengan klaim-klaim kebenaran agama lain, dengan vested interests dsbnya?
Bukankah benturan kerap merupakan cara efektif memperluas wawasan, karena lewat
benturan, mereka juga bisa terlatih menjadi figur in-between ala
Mangunwijaya, serta lebih peka membaca lagi tanggap-jeli terhadap tanda-tanda
jaman kan?
Di
tengah maraknya budaya instant (throw-away society) ini bisa jadi
menjadi pastor adalah “a troubled commitmen”,
sebuah komitmen yang menggelisahkan. Ketika orang sibuk bicara tentang
pentingnya panutan, orang semua tahu bahwa panutan terbaik adalah dirinya
sendiri-panutan lain penting sejauh bisa dimanfaatkan. Ini adalah zaman dimana
segala nilai telah di-demistifikasi-kan. Tak ada nilai dan otoritas yang
sungguh dianggap sakral. Modernitas
dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat
sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas
segala pola kultural, tapi karena ia tampil lihai justru sebagai ideal yang
memikat, centil menggoda dan elegan-piawai menjanjikan ekstase kenikmatan di
tengah riuh kebebasan arus kontemporer. Dan, lucunya ketika seorang pastor
masih kebingungan menyusun tata nilai dan pontang-panting dalam tata hidupnya
kerap ia sudah digelayuti begitu banyak umat yang sama bingungnya dan bertanya:
“Dimana pastorku?“
Melihat Konteks
Memang benar bahwa ajaran telah dinyatakan, jalan sudah juga dibentangkan,
tujuan telah dicanangkan, harapan sudah ditaburkan. Tapi kini ajaran kerap
kehilangan daya, jalan yang terbentang terasa lengang, tujuan menjadi tidak
karuan, harapan yang bertunas bernas, berangsur-angsur layu-lanas. De facto (tanpa melupakan para pastor yang sungguh menghayati
imamatnya), hari pesta seorang pastor (HUT pribadi, HUT Tahbisan) bisa
merupakan hari dimana ia menjadi ‘OKB-Orang Kaya Baru’. Ada banyak tawaran
indah yang menggiurkan: romo butuh apa? hand-phone/komputer/video yang
sedang booming? pakaian-farfume yang trendy? jamuan makan di resto-lounge yang
mewah berteman dengan kelas menengah dan elite? Seperti kata Cicero, tak
ada benteng yang demikian kuat, di mana uang tak dapat memasukinya. Belum
lagi ramainya previllege lainnya yang meninabobokan profetisme seorang pastor.
Kerap pastor lebih tampak sebagai figur domicus-tuan, dan bukan
socius-sahabat, apalagi amicus-hamba).
Seorang
teolog pembebasan, Jon Sobrino menegaskan bahwa tanpa memperhitungkan kenyataan
dasar dunia para korban ini…, iman berada dalam bahaya menjadi tidak nyata,
jatuh pada docetisme realitas. Maka, gambaran Allah sebagai “Pembebas”
(Luk 4:18-19) yang berbela rasa terhadap orang tersingkir seharusnya menjadi religious
imagination dalam keseharian seorang pastor hic et nunc. Seperti
seruan Mgr. Oscar Romero kepada orang-orang miskin di El Salvador:”...Engkaulah
gambaran Sang Penyelamat yang ditusuk tombak oleh serdadu romawi…”
Bagi
para pastor, jelaslah terdapat tantangan untuk suatu pengendalian diri. Karena
kerap kebenaran jati diri hanya didapat lewat pengendalian diri: Hanya dengan
kemampuan menolak sesuatu, kita dapat menerima sesuatu yang lainnya (only by
‘standing against’ somethings, can one ‘stand for’ anything). Jika seorang
pastor berani berkata tidak kepada pelbagai tawaran masyarakat, sang pastor
akan lebih bebas-lugas untuk mengkritik masyarakat yang buta-tuli-bisu terhadap
ratap kaum miskin-a voice of voiceless. Dia mampu menjadi seperti Nathan
yang berani menegur raja Daud atau Amos, yang tak gentar mengecam ‘lembu-lembu
Bassan’. Sehingga tak lagi orang banyak berkeluh-tanya:
“Dimana
pastorku?”
Epilog:
Sebuah Panggilan
0 komentar:
Posting Komentar