in
dubiis libertas,
in
omnibus caritas:
Dalam kegentingan - bersatu,
dalam keraguan - merdeka,
dalam segala hal – cinta.”
Johann Baptist Metz, seorang pencetus
konsep teologi politik, memberi-jelaskan sebuah definisi tersingkat tentang
agama. Menurutnya, agama adalah interupsi (Unterbrechung).
Apa itu Interupsi? Pada dasarnya agama
berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia yang disalah-urus oleh manusia.
Agama hadir sebagai interupsi, semacam
campur tangan di tengah dunia yang terpusat hanya
pada dirinya. Bukankah setiap agama mengkhianati panggilannya bila mereka
berhenti membuat interupsi? Bukankah
ketika berhenti ber-interupsi, agama-agama
tidak lagi menjadi “anjing yang
menyalak” dan “duri yang menusuk”, tetapi
sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat mujarab?
Nomen est Omen. Nama adalah
tanda! 7 Juni 2012, nama sebuah judul film diluncurkan kompak-serempak di pelbagai
bioskop tanah air. Soegija namanya. Mgr Albertus
Soegijapranata, nama lengkapnya. Soegija yang kerap
dijuluki “Bung Karno-nya Gereja Indonesia” adalah
seorang imam Jesuit, yang hidup dalam
masa revolusi kemerdekaan. Beliau diangkat
sebagai Uskup Agung Pribumi yang pertama, secara
khusus untuk wilayah Semarang di tahun 1940. Situasi negara yang sedang bergolak-gelak di masa perang menuntutnya untuk tidak melulu asyik melakukan kegiatan “altar”,
tetapi juga berani melakukan interupsi di “pasar” dengan segala carut-marutnya.
Mengapa kita perlu ber-interupsi? Mengacu pada Surat Gembala 12 Februari 1952, Soegija mengatakan dua prima causa, semacam
alasan dasarnya.
Pertama, interupsi
itu berasal dari keadaan hidup kita: “Berkat
kemurahan Tuhan, kita merasa senang dan tenang, merasa selamat bahagia,
sedjahtera dan sentosa dalam iman kita...maka dengan sendirinja kita merasa
terdorong tuk berdoa, berkorban dan berusaha supaja sesama kita pun ambil
bagian dalam kesedjahteraan dan kebahagiaan jang kita alami dalam djiwa kita
dari anugerah Tuhan jang berupa iman dan kepertjayaan itu.”
Kedua, interupsi itu berasal dari sifat sosial kita: “Sebagai makluk sosial kita ta’ mampu hidup tiada dengan sesama kita.
Sepandjang hidup kita harus pergaulan dengan orang lain. Banjaklah keuntungan
jang kita terima dari masjarakat jang kita duduki, banjak pulalah djasa jang
harus kita lakukan kepada chalajak ramai sekitar kita...”
Mencandra penggalan interupsi Soegija di atas,
wajarlah Romo Mangun memandang Soegija sebagai seorang Gerejawan besar dalam Gereja dan Bangsa Indonesia: “Saya
tidak dapat menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia
seandainya dulu Mgr. Soegijapranata tidak ada.” (“Yesuit-Yesuit
yang Saya Kenal”, Kanisius. 1999. Hal. 201).
Bagaimana
kita ber-interupsi? John
Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai
Allah di kedua belahan bumi: Di Utara, orang bertanya, “Apakah
Allah ada” - Di Selatan, orang bertanya, “Dimana
Allah”. Dalam
tulisan, “Alit Nanging Mentes”, Soegija menekankan bahwa orang beriman
semestinya berpadu dalam kesatuan yang tertata dan berdisiplin, mempunyai jiwa
merdeka dan bertanggung jawab, mempunyai tata susila dan sopan santun, rendah
hati, tapi mempunyai semangat rela berkorban untuk kesejahteraan umum.
Disinilah, dalam konteks Indonesia, setiap orang beriman diajak melakukan
interupsi: menghadirkan Allah, terlebih bagi setiap “korban – rakyat tersalib” Lebih lanjut, dalam
sebuah wawancara, “Si
Burung Manyar” Romo Mangun pernah menyebut-ungkapkan
dalam wawancara dengan Tuti Indra Malaon dan
Drigo L. Tobing dari MATRA bahwa Soegija adalah gurunya: “Kalau harus menyebut guru-guru !saya yang berpengaruh, nama
pertama yang saya sebut adalah Soegijapranata. Saya jadi begini, antara lain
juga oleh hikmah-hikmah pelajaran yang saya terima dari beliau.” (“Saya Tak Mau Jadi Godfather”, Kanisius. 1999. Hal. 27).
Akhirnya
Hannah Arendt, seorang filsuf wanita berdarah Yahudi, (1906-1975), mengatakan
bahwa massa itu cepat lupa (Arendt, Besuch in
Deutschland). Sebenarnya sejak
Yunani kuno, terutama lewat Plato, ingatan (anamnese) adalah cara untuk
mendapatkan pengetahuan sejati (episteme). Kemudian, teori ingatan yang dikembangkan Mazhab
Frankfurt lewat Walter Benjamin juga menggarisbawahi pentingnya memoriae. Maka, di sinilah film Soegija hadir sebagai sebuah interupsi: semacam ingatan sosial dalam
bahasa Maurice Hallbwachs. Bukankah kerap bangsa kita mudah “lupa ingatan”? Karena pelbagai “dehumanisasi”: kekerasan
atas nama agama, premanisme, intimidasi, korupsi dan
teror kerap terulang serta dibiarkan datang dan pergi begitu saja, bukankah interupsi sebuah ingatan sosial menjadi sangat
aktual di Indonesia? Yah, lewat film Soegija ini,
kita diajak memiliki ingatan sosial
sekaligus menghidupi iman dan kehidupan sebagai sebuah interupsi.
Salam interupsi
0 komentar:
Posting Komentar