Ya, kalau Penginjil Yohanes mengatakan bahwa pada mulanya adalah firman.
Maka, saya mengatakan, pada mulanya adalah citra. Yah, citra sebuah negara
sosialis, Republik Demokrasi Jerman, yang tentu saja tak membiarkan halaman
rumahnya kecipratan produk kapitalis macam Coca Cola pada era 1980-an. Seorang
perempuan memandang spanduk raksasa yang berkibar di gedung tepat di sebelah
apartemennya. Sebuah spanduk Coca Cola, sesuatu yang tak pernah terbayangkan
bagi perempuan itu, karena baginya dunia adalah dunia yang tidak berubah. Dunia
sebuah negara sosialis, tidak lain dan tidak bukan! Tapi, spanduk Coca Cola
itu?
Christianne yang malang itu mengangguk ketika mendapat
penjelasan yang dianggapnya masuk akal: Coca Cola telah diproduksi secara
massal di Jerman Timur. Christianne (Kathrin Sass) mengutuk kapitalisme sejak
kepergian suaminya ke wilayah Barat, menyusul perempuan lain. Sejak itu,
sosialisme menjadi satu-satunya kebenaran tunggal yang mengalir deras dalam
nadinya. Ia tak beringsut, dan memang semuanya
begitu, sampai 7 Oktober 1989. Malam itu ia melihat anak laki-lakinya mengikuti
demonstrasi menuntut penyatuan Jerman. Dunianya gelap. Ia koma tanpa menyadari
pada April 1990, tembok pemisah Jerman runtuh.
Disinilah, lewat film inilah, sutradara
Wolfgang Becker berbicara tentang sesuatu yang sangat privat, tapi amat
menyentuh, di balik peristiwa sejarah (runtuhnya tembok Berlin, reuni Jerman
Barat-Jerman Timur), seperti slogan para feminis, ’yang privat adalah yang politis’. Lihai sekali, Becker membandingkan
kemudian membenturkan dunia nyata yang bergerak dengan dunia maya Christianne yang statis. Ada
pemuda Alex (Daniel Bruhl), putra Christianne yang terus menerus memasok ibunya
dengan pelbagai “realitas“ hasil
rekaannya.
Di luar sana, sex shop bertebaran di
jalan, bahkan putri Christianne sendiri telah bekerja di Burger King. Tapi di
sini, di hadapan Christianne, dunia Republik Demokrasi Jerman, Alex mencari
makanan lama yang tak lagi diproduksi, membayar dua bocah untuk menyanyikan
lagu Jerman Timur di hadapan ibunya, sampai merekam berita-berita lama ke dalam
kaset video untuk memenuhi kebutuhan ibunya melihat berita politik di televisi.
Sampai suatu ketika, Christianne keluar
dari apartemen dan menyaksikan perubahan itu. Mula-mula ia melongo melihat para
pemuda yang datang dari Wuppertal, kota di wilayah Barat. Lantas di taman, ia
melihat helikopter membawa sepotong patung Lenin dan sebuah balon raksasa
membumbung di angkasa. Nyata-nyata ia melihat wajah yang asing bagi sosialis.
Goodbye Lenin menggambarkan kontras,
kejutan demi kejutan, akibat dari perubahan besar. Tapi sutradara, Wolfgang
Becker berhasil menyulap benturan-benturan,
nyata versus maya, sosialis vs kapitalis, masa lalu vs sekarang, sacral
vs sekular, menjadi sesuatu yang menghibur, memukau bahkan ia berhasil menuntun
penonton merasa-kenangkan kecemasan Alex dan kegamangan Arianne (Maria Simon).
Mereka dihantui kekhawatiran yang seakan tak berujung, sampai kapan realitas
semu ciptaan mereka akan bertahan
Berangkat dari analisa dan sintesa yang
kebanyakan saya sadur dari TEMPO terhadap film Goodbye Lenin di atas, kita bisa
agak memahami kenyataan bahwa sebagian besar —
barangkali semua — orang seperti Alex dan Arianne sekarang terendam dalam mainstream budaya massa ala kapitalis tanpa menyadarinya. Apa boleh
buat. Budaya massa seringkali terasa wajar, seperti udara yang kita hirup.
Seperti balon raksasa, ia cepat membesar dari waktu ke waktu, menggempur sejak
jalan raya sampai kamar paling pribadi. Mungkin bukan menggempur. Bukankah ia,
paling tidak bagi Alex dan Arianne (mungkin juga kita), tak memaksa atau
menindas, melainkan menyihir, menyegarkan, merayakan, menghidupkan? Tak Cuma
Coca Cola atau King Burger melulu, tapi lihat saja channel tv swasta kita yang
penuh dengan telenovela, iklan sabun mandi, musik dangdut, film
Hollywood-Bollywood. Jangan-jangan kalau ada premis sebuah tesis, agama
adalah fenomen budaya, kini premis itu mendapatakan antitesisnya,
sungguhkah fenomen budaya kini malahan yang menjadi agama? Ketika
televisi kini menjadi tabernakel, ketika pariwara-iklan asyik menjadi pengganti
kotbah-kotbah moral, ketika hand-phone-internet-mutimedia dsbnya seakan menjadi
idol-idol baru, ketika Mbah Google menjadi “Sang Omnipotent”. Kini, benarlah
kata Voltaire di waktu lampau, bahwa dalam perkara uang, semua orang mempunyai
agama yang sama….
Budaya
massa seperti yang sekilas pintas ditampilkan dalam film lewat fragmen Coca
Cola, King Burger, sex shop dan lain sebagainya barangkali merupakan contradictio
in terminis. Sebab, budaya sampai sekarang masih dilihat sebagai proses
penciptaan dan pelestarian identitas suatu masyarakat. Padahal massa adalah
gumpalan orang yang (dianggap) anonim, pasif, luas. Massa adalah objek dari kepentingan
ekonomi dan politik yang ganas. Maka budaya massa juga merupakan eufemisme:
sekalipun orang cuma bagian dan mekanisme pasar dan birokrasi, mereka masih
memiliki cita rasa dan selera — agar bisa memilih di tengah derap kemajuan,
agar modernitas bisa dijalankan. Max Weber pernah berkata tentang spesialis
tanpa jiwa” dan “sensualis tanpa hati.
Luasnya budaya massa dalam film tersebut juga menunjukkan
bahwa birokrasi tak efektif lagi, yakni tak mampu menciptakan ‘teleologi”, arah
kemajuan “yang baik dan benar’, tunggal, sesuai dengan aspirasi politiknya.
Dengan kata lain, ia tak mampu membendung limpahan modal, jasa, dan citra
sedunia—kecuali terus menjajakan mitos nasionalisme yang semakin tak ampuh itu.
Kebudayaan pun bukan sesuatu yang secara sadar diciptakan (oleh sebuah pusat,
misalnya), melainkan serangkaian cobacoba yang hasil akhirnya tak teramalkan.
Maka masyarakat konsumen pun bukan sekadar lautan massa yang anonim dan
seragam. Justru mereka adalah carut-marut yang mengandung kegilaan dan
kecerdasan sekaligus, yang menampik kategori tentang yang benar dan yang salah,
yang indah dan yang buruk, yang tinggi dan yang rendah.
Maka, budaya massa tak perlu dikutuk seperti Christianne yang
begitu alergi dan membenci produk-produk luar, seperti Coca Cola, karena semua
orang pada dasarnya adalah konsumen, dan konsumen bukanlah semata pihak yang terhisap
dalam kapitalisme mutakhir. Bukan berarti kapitalisme mutakhir lebih baik,
lebih manusiawi, tetapi karena ia, seperti dikatakan David Harvey, menjalankan
akumulasi yang fleksibel, maka kaum konsumen Iebih mampu memparodikan
keterbatasan (dan keterdesakan) mereka sendiri. Inilah kaum konsumen yang mampu
mengikis lingkungan budaya sendiri seraya menumpuk 1001 kebudayaan lain dalam
dirinya. Kaum konsumen yang, karena pribadinya terus terbelah, tak bisa
dikendalikan jadi “manusia seutuhnya”. Yang pasti, salah satu insight yang bisa dipetik dari Goodbye Lenin (2003),
film yang meraih sembilan penghargaan dalam German Film Award, dan enam
penghargaan untuk kelas asing terbaik dalam European Film Award ini adalah, kebohongan tak bisa dipendam selamanya, karena
jelaslah bahwa fakta lebih kuat dari fiksi. Sssst, Gereja bisa berbuat apa?
0 komentar:
Posting Komentar