El Crimen del Padre Amaro (The Crime of Father
Amaro) judulnya.
Sebuah film yang sukses meraih box-office sekaligus film yang paling
kontroversial pada tahun itu. Banyak pengamat sinema bahkan berani mengatakan
bahwa El Crimen del Padre Amaro (The Crime of Father
Amaro) merupakan
film yang paling sukses dalam sejarah Meksiko. Sebuah film yang menceritakan potret suram-buram Gereja
Katolik, terlebih dengan fokusnya pada pergulat-geliatan sekaligus
‘perselingkuhan’ seorang pastor muda idealis bernama Amaro (Gael
Garcia Bernal).
Film yang disutradarai oleh Carlos Carrera ini didasarkan
pada sebuah novel dengan judul yang sama (1875) oleh penulis Portugis abad
ke-19, José Maria de Eca de Queiroz. Ketika pertama kali dirilis, El Crimen del
Padre Amaro sangat controversial. Bahkan, banyak umat Katolik di Meksiko
mencoba menghentikan publikasi film tersebut. Mereka gagal dan film ini menjadi
box office terbesar di Mexico, mengalahkan pemegang rekor sebelumnya, “Sexo,
lágrimas y pudor” (1999). Film ini begitu kontroversial di Meksiko, terutama
karena dirilis segera setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II.
Film ini dibintangi Sancho Gracia, Ana Claudia Talancon dan
Gael Garcia Bernal dan ditayangkan pada tanggal 16 Agustus 2002 di Mexico
menampilkan wajah Gereja yang yang suram, kalau tidak ingin dibilang hitam,
gelap dan pekat: Ada imam yang terlibat dengan para pengedar narkoba, mafioso,
dan gerilyawan, konflik kepentingan dan intrik yang penuh taktik, serta yang
paling ditonjokan adanya affair seorang pastor muda dengan gadis belia berusia
16-tahunan itu.
Bicara soal figur
Amaro: Pada awalnya, Bapak Uskup (Ernesto Gomez Cruz),
menaruh harapan besar pada Amaro demi masa depan Gereja yang lebih cerah. Ia ditugaskan
di sebuah paroki terpencil di pedesaan kecil Los Reyes. Di sanalah, Amaro
menjadi pastor rekan bersama pastor senior, bernama Pastor Benito (Sancho
Gracia). Amaro terkejut mengetahui bahwa Benito tidak setia dengan sumpah
selibatnya dan berselingkuh dengan Sanjuanera (Angelica Aragon), seorang wanita
pemilik rumah makan di paroki itu. Benito juga bekerja sama dengan seorang
pengedar narkoba, dimana keuntungannya digunakan untuk sumbangan gereja. Benito
merasa benar karena dana tersebut digunakan untuk membangun rumah sakit dan
panti asuhan bagi masyarakat miskin. Sebagai seorang pastor muda yang idealis,
Amaro sangat tidak suka dengan tindakan Benito.
Dalam tahap awal karya
barunya ini, Amaro sendiri berjumpa dengan seorang gadis muda yang cantik dan
menarik, seorang katolik yang taat dan hangat. Gadis ini bernama Amelia (Ana
Claudia Talancon), puteri Sanjuanera.
Ia bekerja di restoran yang dikelola oleh ibundanya. Amelia sendiri sungguh
mencintai Tuhan, dan ia “melampiaskan” cinta itu pada Pastor muda Amaro. Dan
cinta itu pun bersambut. Akibatnya? Amelia memutuskan
hubungan cintanya dengan Ruben (Andres Montiel), seorang reporter dan aktivis.
Ruben membalas sakit hatinya dengan menulis sebuah berita yang mengungkapkan
rincian transaksi Benito dengan seorang bandar narkoba. Benito sendiri berusaha
mengalihkan kesalahan pada pastor Natalio (Damian Alcazar), yang bekerja dengan
petani setempat. Ia menuduh mereka sebagai pendukung bersenjata faksi
revolusioner. He..he…he….para pastor tak selamanya mistik dan profetik. Di balik
jubah sucinya, mereka ternyata penuh intrik, taktik dan politik. Menggelitik
bukan? Bisa jadi, hal itu masih terjadi saat ini bukan? Mungkin bungkusnya
berbeda, tapi isinya tentu bisa jadi sama.
Satu hal yang pasti saya lihat secara menyeluruh, pelbagai
potret kisah dalam film ini memang sensitif dan terkesan sensasional, terlebih
ketika potret buram affair Pastor
Amaro dan Amelia, seorang gadis belia jelita berusia 16 tahun yang saling jatuh
cinta ini mengembangkan rasa cintanya terlalu jauh. Dimulai dengan saling
melirik dan tertarik, hubungan mereka meningkat setelah Amaro mencium Amelia di
dalam gereja. Keduanya bahkan mulai berani berhubungan badan. Saat Amelia
ketahuan hamil, Amaro panik. Dia tidak ingin berhenti menjadi seorang pastor.
Jalan belakang ditempuh. Amaro meminta bantuan Dionisia untuk menggugurkan
kandungan Amelia. Sebagai
sebuah narasi, film ini terbilang simetris. Akhir kisah di mana Amelia
meninggal karena gagal aborsi hendak memblok pesan secara hitam putih; dan ini
terlampau sederhana untuk pengungkapan polemik
bukan?
Memang butuh kesabaran ekstra untuk menyaksikan El Crimen
del Padre Amaro. Sebelum film memasuki area konflik yang sesungguhnya,
Carlos Carrera ngalor ngidul dengan permasalahan para pastor lain yang sungguh
menjemukan. Film mulai enak diikuti semenjak Amaro dan Amelia menjalin hubungan
gelap. Nah, disinilah menariknya. Pantaskah Amaro disebut sebagai seorang
pastor? Dia mengetahui konsekuensi yang bakal dihadapinya, namun dia tetap
menerjangnya. Nasehat Pastor Benito juga tak diindahkannya. Setelah Amelia
mengatakan padanya bahwa dia hamil, Amaro justru marah.
Sebenarnya, film Mexico ini cocok menjadi bahan refleksi
terutama untuk para imam muda dan calon imam. Oleh karena itulah, film yang
diproduksi pada tahun 2002 ini sendiri pernah saya putar bersama komunitas
“JFK” yang kami dirikan pada tahun 2004 di Yogyakarta. JFK (Jakal Film
Kommunity) sendiri adalah sebuah komunitas para frater di Kentungan dan
sekitarnya yang memutar dan membuat pelbagai bedah film dari pelbagai ranah
kehidupan. Bagi saya sebagai seorang imam muda, aatu hal yang menarik adalah
bahwa orang-orang Mexico yang notabene adalah negara dengan mayoritas
penduduknya beragama Katolik malahan berani “mewartakan” dan “menertawakan”
bagaimana kekatolikan itu digambarkan: Tidak melulu sakral, tapi juga kadang
liar bahkan terkesan vulgar.
Pelbagai “skandal” yang sengaja terpotret dalam film ini
menggambarkan sebuah praktek “korupsi” dalam Gereja Katolik yang “kaya raya”. Wajah Gereja mendua: Di satu pihak, gereja seakan “tutup mata”
terhadap tindakan oknum: Amaro, dengan sedikit rasa bersalah, tetap memimpin
misa pemberkatan jenasah, dan tidak ada proses peradilan sedikitpun. Kejahatan
seksual melulu oknum, dan bukan mencederai gereja itu sendiri. Dan karenanya,
tidak perlulah proses sekular macam peradilan. Tidak perlu juga otoritas resmi
gereja yang turun tangan. Padahal? Dunia butuh keadilan, dan korban butuh
didengarkan!
Sementara, sebaliknya
wajah yang lain adalah pemberian “hukuman” untuk pastor yang sebetulnya sangat
suci. Ia “diekskomunikasi”, dalam bahasa saya: Ia dikambing-hitamkan bahkan
oleh sesama rekan pastornya. Ia dianggap nyeleneh karena penghayatan imamatnya
sungguh total dan tak mengenal batas. Menurut teman saya, Tulus Sudarto,
seorang pastor di Keuskupan Agung Semarang, pengisahan ini nyaris merupakan
reproduksi cerita Kitab Suci antara Yakub dan Esau (Kej 25:19-34). Digambarkan
bahwa akhirnya yang cenderung dipilih oleh gereja adalah Yakub sebagai titik
simpul keselamatan; sementara Esau tereliminasi dari narasi keselamatan Allah.
Yakub adalah figur saleh, orang rumahan, dan bersih tubuhnya. Sementara Esau
berkulit merah, habitatnya di padang, dan cenderung kasar. Sebuah pertentangan
simbol gereja priyayi dan gereja proletar, dimana Gereja secara tidak sadar
meninabobokan para imamnya menjadi “anak
manis“ dan “steril” dari gulat geliat keseharian hidup masyarakatnya,
bukan?
Aktualnya? Bagi saya,
perbincangan tentang berbagai scandal dalam
tubuh gereja bukanlah semakin sepi tetapi tambah hiruk pikuk, kalau tidak mau
dikatakan murah meriah. Skandal atau yang dianggap skandal itu mudah dijual dan
dikemas sebagai isu pasaran yang menarik oleh beberapa umat bahkan sesama
pastor yang “ceriwis” dan mungkin kurang kerjaan. Nyaris setiap orang tidak
lagi risih ataupun malu-malu mengobrolkannya, karena seolah-olah semua adalah
“narasumber”.
Disinilah, politik
gigantisme hirarki Gereja mendesak untuk ditinjau kembali. Otoritas, sebagai
satu-satunya hal paling dibenci dalam dunia posmodern (karena mengharuskan
keseragaman dan memutlakkan kepatuhan), tidak bisa lagi dipandang sebagai mesin
birokrasi yang efektif –meski dengan alasan luhur sekalipun. Tercandra, karena
terlalu efektif dan tidak “afektif”, ada saja imam bahkan para pembesar yang
main-main dengan otoritas. Padahal,
main-main dengan otoritas sama saja dengan memperdayai orang-orang yang
dipercayakan kepadanya. Dalam film ini, skandal otoritatif ditampilkan oleh
Amaro dengan menyembunyikan si putri dengan mengatasnamakan pembinaan intensif
menjadi biarawati. Secara dramatik, hanya orang sakit (terbaring lemah) yang
tahu gelagat kejahatan jubah-putih tersebut. Wanita ini mewakili suara marginal,
sebuah “nyanyi sunyi bisu”, yang dianggap berlawanan dengan narasi mainstream yang menguasai isu pasar.
Pernahkah melihat bahkan mengalami hal yang hampir sama? Semoga tidak! Walaupun
hal itu sangat mungkin terjadi, ketika sebuh nama dikorbankan dan
dikambinghitamkan!
Memang, secara
objektif, Gereja tidak lagi terus-menerus bisa berkelit dari cacat yang tumbuh
di dalam dirinya, tapi bagaimana Gereja bisa memberi ruang introspektif bagi
umat, juga tentunya bagi para imamnya.
Bagaimanapun juga, gereja adalah entitas sosial yang perlu terus-menerus
dimaknai oleh hal-hal yang kontekstual. Tanpa itu, Gereja dan para imamnya
ibarat suara di padang gurun yang berteriak-teriak belaka. Ribut dan hiruk
pikuk, tapi tidak banyak membawa pengaruh baik bagi dunia. Kesaksian gereja tak
lebih sebagai platitudes, serangkaian
kata-kata kosong (Tina Beattie, “Priest as People”, dalam P&P Juni 2004). Dalam bahasa Joger: Gereja menjadi “pabrik
kata-kata”. Semoga tidak!
8 komentar:
Terima kasih romo ulasannya.
Suatu potret buram Gereja Katolik yang perlu disadari dan dicarikan jalan keluar. Semoga hal ini tidak perlu terjadi di Indonesia. Atau mungkin juga sudah terjadi dalam bentuk lain.
Ada beberapa romo yang seperti larut dengan mengikuti arus kenikmatan dunia modern. Tetapi juga ada yang taat pada kaul kemiskinannya.
Mo soal gigantisme hirarki gereja, para romo sendiri yang akan lebih didengarkan daripada suara umat.
Yang saya rasakan sebagai umat: "Elu siapa sih, mau ikutan mikirin gereja?"
Dipandang sebelah mata.
Terima kasih. Tulisan itu menjadi sarana refleksi kekatolikan kita. Mungkin, kita juga sebenarnya sedang memainkan satu peran seperti dalam film itu.
Wah, mantap ulasannya Mo... Terimakasih
Tidak menutup kemungkinan masih banyak pastor2 seperti amaro di sini yg belum tersentuh...hiks miris...
MAri kita, para Umat harus terus berdoa untuk para Imam kita... agar tetap setia pada kaul imamatnya... semoga Roh Kudus meyertai para Imam
Mari kita harus terus berdoa untuk Para Imam kita...
Sorry mau nanya dulu ini penulisnya romo juga apa awam?? Soalnya kalimat film terasa enak saat pemeran utama dalam hubungan affair,... hehehe. That's life.
perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan calon imam ya mo... salam buat romo gregtuto!
Posting Komentar