Prolog
Sebuah Sketsa Profil
Herman. Itulah nama orang
yang dulu kerap menemani saya pergi ke stasi-stasi di Tangerang: Poris,
Kotabumi, Teluk Naga dan Tanjung Kait. Bagi saya, “Herman” bisa berarti Hendaklah
Engkau Rajin Beriman. Di sinilah kita akan belajar rajin beriman dari seorang imam
sekaligus uskup diosesan di negeri Tirai Bambu. Kardinal Kung namanya. Dialah seorang
kardinal yang pernah menjalani hukuman puluhan tahun dalam sel isolasi
di Cina. Kisah tentang Kardinal Kung sendiri adalah kisah tentang seorang gembala
yang setia dan rajin beriman. Kardinal Kung menolak untuk menyangkal Tuhan
dan Gereja Katolik meskipun sebagai konsekuensinya, ia dihukum penjara selama
puluhan tahun oleh pemerintahan komunis Cina.
Fluctuat nec mergitur
Terombang-ambing tapi tak
tenggelam.
(Moto ibukota Prancis,
Paris).
Kardinal Kung adalah
Uskup Shanghai, dan Administrator Apostolik di
Souchou dan Nanking sejak
tahun 1950, yaitu jabatan yang dipegangnya
sampai wafatnya. Dia
ditahbiskan sebagai imam pada tanggal 28 Mei 1930.
Dialah Uskup Shanghai
pertama dari etnis lokal - pada hari perayaan Santa
Maria dari Rosario
tanggal 7 Oktober 1949, setelah pasukan komunis
menguasai daratan Cina.
Dia adalah orang yang
memelihara eksistensi Gereja Katolik di negara
komunis selama puluhan
tahun. Dia adalah orang yang menjadi simbol
bagi para pemimpin rakyat
di seluruh dunia yang berjuang bagi kebebasan
beragama. Ia secara
jelas-jelasan menentang Asosiasi Katolik Patriotik Cina,
sempalan Gereja Katolik
yang didirikan oleh pemerintahan komunis.
Pada tanggal 8 September
1955, media massa di seluruh dunia melaporkan
berita yang mengejutkan
tentang penangkapan Uskup Kung bersama lebih
dari 200 imam dan para
pemimpin Gereja lainnya di Shanghai. Berbulanbulan
setelah penangkapannya,
dia dibawa ke hadapan orang banyak dalam
acara pertemuan yang
disponsori oleh pemerintah, di dalam stadion pacuan
anjing di Shanghai.
Beribu-ribu orang diperintahkan untuk menghadiri dan
mendengar pengakuan Uskup
Kung atas “kejahatan-kejahatannya”. Dengan
kedua tangannya terikat
di belakang dan mengenakan piyama khas Cina,
bapa uskup yang tingginya
hanya 150 cm didorong ke depan, ke hadapan
corong mikrofon untuk
mengaku “dosa-dosanya.” Para polisi khusus yang
menjaganya
tercengang-cengang ketika mereka mendengar sang uskup
malahan berteriak dengan
keras: “Terpujilah Kristus Raja, Terpujilah Sri
Paus.”
Uskup Kung segera diseret
masuk ke sebuah mobil polisi dan
menghilang dari pandangan
dunia sampai ia diadili pada tahun 1960.
Uskup Kung dihukum
penjara seumur hidup. Uskup Kung menghilang di
balik penjara selama tiga
puluh tahun. Selama tiga puluh tahun tersebut, dia
menghabiskan banyak
waktu-waktu panjang dalam sel isolasi. Permintaan
yang bertubi-tubi dari
kelompok hak asasi dan religius internasional dan
pemimpin-pemimpin negara
untuk mengunjungi Uskup Kung selalu ditolak
oleh pemerintah komunis.
Dia tidak pernah diperbolehkan untuk menerima
pengunjung, bahkan
termasuk para anggota keluarganya. Dominus Flevit.
Tuhan ikut menangis.
Usaha-usaha bagi
pelepasan dirinya oleh keluarganya yang dipimpin
oleh keponakannya, Joseph
Kung, juga oleh organisasi-organisasi pembela
hak asasi seperti Amnesti
Internasional, Palang Merah, dan Pemerintah
Amerika Serikat, tidak
pernah berhenti. Pada tahun 1985, akhirnya dia
dibebaskan dari penjara
untuk menjalani 10 tahun tahanan rumah di
bawah pengawasan
uskup-uskup dari Asosiasi Patriotik yang mengkhianati
dia, mengkhianati Sri
Paus dan yang mengambil alih keuskupan yang dulu
dipimpinnya.
Menjelang pembebasannya
dari penjara, Uskup Kung diperbolehkan
untuk mengikuti jamuan
makan yang diadakan oleh pemerintah Shanghai
untuk menyambut Kardinal
Jaime Sin, Uskup Agung Manila, yang sedang
mengadakan kunjungan
persahabatan. Ini adalah untuk pertama kalinya
Uskup Kung bertemu dengan
seorang Uskup dari Gereja Katolik yang
universal, sejak ia
ditahan di penjara. Kardinal Sin dan Uskup Kung diberi
tempat duduk yang jauh
berseberangan dan dipisahkan oleh lebih dari 20
anggota partai komunis.
Tidak ada kesempatan bagi sang uskup untuk
berbicara secara pribadi
dengan Kardinal Sin.
Selama makan malam,
Kardinal Sin mengajak setiap orang untuk
menyanyikan sebuah lagu
untuk memeriahkan acara. Ketika tiba giliran
Uskup Kung untuk
bernyanyi di hadapan para pejabat pemerintah Cina
dan para uskup Asosiasi
Patriotik, dia menatap ke arah Kardinal Sin dan
menyanyikan: “Tu es
Petrus et super hanc petram aedificabo Ecclesiam” (Engkau
adalah Petrus dan di atas
batu karang ini Aku akan mendirikan Gereja-Ku),
suatu nyanyian iman yang
memproklamasikan otoritas tertinggi Sri Paus.
Uskup Kung menyampaikan
kepada Kardinal Sin bahwa selama sepanjang
masa penahanannya, dia
tetap setia kepada Tuhan, kepada Gereja-Nya, dan
kepada Sri Paus.
Kardinal Sin dengan
segera membawa pesan Kardinal Kung kepada
Paus dan mengumumkan
kepada dunia bahwa kecintaan Uskup Kung bagi
Gereja dan bagi umat
Katolik tidak pernah berkurang meskipun mengalami
penderitaan, kesengsaraan
dan isolasi yang tidak terperikan. Kardinal Kung
sendiri diangkat sebagai
Kardinal oleh Sri Paus Yohanes Paulus II secara
“in pectore” (dalam hati Sri
Paus, tanpa pengumuman kepada seorang pun
termasuk Kardinal Kung
sendiri), pada tahun 1979 pada usia 78 tahun ketika
sang kardinal sedang
menjalani hukuman penjara di Cina. Setelah selama
12 tahun berada dalam
benak pikiran Sri Paus, Kardinal Kung akhirnya
diproklamasikan sebagai
seorang kardinal kepada dunia pada tanggal 28 Juni
1991 oleh Sri Paus.
Ketika Paus Yohanes
Paulus II mempersembahkan topi merah, tanda
jabatan kardinal bagi
Kardinal Kung pada tanggal 29 Juni 1991 di Vatikan,
Uskup Kung yang berusia
90 tahun pada waktu itu, berdiri dari kursi rodanya,
meletakkan tongkatnya ke
samping, dan berjalan menaiki anak tangga untuk
berlutut di depan kaki
Sri Paus. Sri Paus yang jelas tersentuh oleh peristiwa
ini, mengangkat Uskup
Kung untuk bangkit berdiri, memberikan topi
Kardinal kepada Uskup
Kung, dan berdiri dengan sabar menanti sampai
Kardinal Kung kembali ke
kursi rodanya, di tengah-tengah gemuruh suara
ribuan undangan yang
berdiri dan bertepuk tangan selama tujuh menit di
dalam Balai Audiensi di
Vatikan.
Ignatius Kardinal Kung
Pin Mei ini akhirnya wafat di usia 98 tahun, pada
jam 3.05 dini hari, pada
tanggal 12 Maret 2000 di Stamford, Connecticut,
Amerika Serikat.
Refeksi Teologis
a. Tedi, Tekun Mengabdi
Tedi adalah seorang
sahabat saya, umat Paroki Agustinus Karawaci, yang
cukup aktif dalam
Persekutuan Doa dan Sekolah Evangelisasi. Bagi saya,
“Tedi” berarti tekun
mengabdi. Di sinilah, refleksi teologis yang pertama,
Kardinal Kung mengajak
kita juga berani belajar tekun mengabdi Tuhan
dan Gereja. Kardinal Kung
sendiri adalah yang tertua di antara para
Kardinal pada waktu ia
meninggal.
Mengenang pengangkatannya
sebagai Kardinal, baiklah kalau kita juga mengingat
kembali perkataan Kardinal Kung, “Dalam upacara penyerahan topi
merah, Bapa Suci mengucapkan
kata-kata kuno ini,
`Dengan menerima topi merah ini ... engkau hendaknya
tetap setia, teguh, gigih,
bahkan jika harus menumpahkan darah.’ Bapa Suci
berulang kali menekankan,
`bahkan jika harus menumpahkan darah’. Sejak
saat saya secara resmi
dimaklumkan sebagai Kardinal, saya akan berdaya
upaya semaksimal mungkin
untuk setia pada ajaran Gereja, walau apa pun
pengorbanannya.
Sebelumnya, saya telah dipenjarakan selama tiga puluh tahun
karena iman saya, dan
dapat dikatakan bahwa saya hanya menderita setengah
saja dari kemartiran.
Saya belum sampai menumpahkan darah. Sekarang, saya
mengenakan topi merah ini
dan mendengar apa yang diharapkan Bapa Suci
dari segenap kardinal,
maka walau telah lanjut usia, saya harus lebih giat, lebih
berdaya upaya dalam setia
kepada Kristus, kepada Gereja-Nya, kepada wakil-
Nya di dunia, hingga akhir
hayat saya, bahkan jika harus menumpahkan darah
dan dihukum mati.”
Selama dua belas tahun
terakhir hidupnya, Kardinal Kung dengan
tekun mengabdi Gereja: Ia
mempersembahkan Misa Kudus di banyak
paroki, menjadi pembicara
dalam konferensi-konferensi Katolik dan televisi,
melayani wawancara dan
menyampaikan khotbah di segenap penjuru
Amerika Serikat guna
menarik perhatian dunia akan penganiayaan terhadap
Gereja Katolik Roma di
Cina yang masih terus-menerus berlangsung hingga
sekarang. Kardinal Kung
juga tetap tekun mengabdi dan menjadi inspirasi
iman bagi sekitar 9-10
juta umat Katolik Roma bawah tanah di Cina.
Tentunya, banyak akibat
yang mesti dia terima. Salah satunya, pemerintah
Cina mencekal paspor
Kardinal Kung yang telah berumur 97 tahun itu, dan
secara resmi
menganggapnya sebagai seorang buangan, tanpa pernah boleh
menginjakkan kaki kembali
di Cina. Mengenai Kardinal Kung sendiri,
Uskup Fulton Sheen
menulis, “Barat mempunyai Mindszenty, dan Timur
mempunyai Kung, betapa
Tuhan dipermuliakan dengan para kudusnya.”
b. Handoko, Handalkan Doa
dan Komitmen.
Deo Vindice
Tuhan itu Pelindung kita
(Moto Konfederasi Amerika).
Bapak Handoko. Itulah
nama seorang direktur sebuah televisi swasta di
Indonesia, yang
berlambang “ikan terbang”. “Handoko” sendiri bagi saya
berarti Handalkan Doa
dan Komitmen. Lewat Uskup Kung, saya melihat
bahwa ia juga mengajak
umat untuk belajar handalkan doa dan komitmen.
Dia secara pribadi
membimbing Legio Maria, suatu kerasulan awam Katolik
yang didedikasikan bagi
Santa Perawan Maria. Dua kekhasan Legio Maria
ini ialah hidup doa dan
komitmennya pada rapat mingguan, buku pegangan
dan tugas-tugas
kerasulan. Seturut definisi Kamus Britannica, komitmen
berarti penyerahan diri
secara total. Komitmen merupakan paduan dari
sebuah janji, dedikasi
dan obligasi (kewajiban). Komitmen bukan berarti
kontrak, janji,
keterlibatan yang bersifat sementara. Ibaratnya, bila kita
makan telur ayam, posisi
ayam adalah terlibat, bukan committed. Tapi bila
kita makan daging sapi,
itu adalah hasil komitmen sapi, yang telah membuat
dirinya siap disantap
alias memberikan diri sepenuhnya. Sebagai hasil dari
sikap handalkan doa dan
komitmen ini, banyak anggota-anggota Legio
Maria yang berani
terancam resiko ditangkap demi nama Tuhan dan demi
Gereja Katolik. Ratusan
anggota-anggota Legio Maria, termasuk banyak
mahasiswa-mahasiswi, yang
ditangkap dan dihukum kerja paksa selama 10,
15, dan 20 tahun.
Di tengah-tengah
penindasan tersebut, Uskup Kung semakin mengajak
umat untuk berani handalkan
doa dan komitmen. Ia mendeklarasikan
tahun 1952 sebagai Tahun
Maria di Shanghai. Selama tahun itu, diadakan
pengucapan doa Rosario
selama 24 jam secara terus-menerus di hadapan
sebuah patung Santa Maria
dari Fatima, yang mana patung tersebut dibawa
berkeliling dari satu
paroki ke paroki lainnya di Shanghai. Patung Maria
yang kudus tersebut
akhirnya tiba di Gereja Katolik Kristus Raja di mana
penangkapan besar-besaran
terhadap para imam baru saja terjadi sebulan
yang lalu. Uskup Kung
mengunjungi gereja tersebut dan memimpin doa
Rosario secara pribadi
sementara ratusan polisi bersenjata lengkap berdiri
menyaksikan.
Pada akhir doa Rosario,
sambil memimpin umat, Uskup
Kung berdoa: “Santa
Maria, kami tidak meminta suatu mukjizat kepadamu.
Kami tidak meminta engkau
supaya menghentikan penindasan. Tetapi kami
memohon engkau untuk
mendukung kami yang sangat lemah ini.” Apabila
rasa sakit menyerang,
akibat usia tua dan sakit kankernya, Kardinal akan
berseru perlahan, “Bunda
Maria, tolonglah aku; Yesus, tolonglah aku; St
Yosef, tolonglah aku.” Terus-menerus,
beribu-ribu kali ia mengulangi litani
pendek ini. Hampir
sepanjang waktu rosario juga senantiasa ada dalam
genggamannya.
Epilog
“… Siapa lupa akan apa
yang indah, dia akan jadi jahat,
Siapa lupa akan apa yang
jelek, dia akan jadi bodoh,
(Erich Kastner, In
Memoriam Memoriae).
Perjuangan iman Kung
menolak Asosiasi Katolik Patriotik China,
termanifestasi dalam
berbagai aktivitas pembinaan keagamaan. Satu hal
yang tak boleh kita lupakan
bahwa ia memikirkan kaderisasi, ia membina
ratusan katekis (guru
agama) untuk meneruskan iman Katolik di keuskupan
bagi generasi di masa
depan. Usaha-usaha yang gagah berani dari para
katekis, kemartiran
mereka dan juga kesaksian iman para umat dan kaum
religius Katolik, membawa
andil yang besar bagi pertumbuhan yang kuat
dari Gereja Katolik bawah
tanah di Cina sekarang ini. Lewat perjuangan dan
teladan hidup Kardinal
Kung, hendaklah kita juga semakin rajin beriman di
tengah gulat geliat hidup
kita sehari-hari.
NB:
Kardinal Kung memiliki
devosi yang amat mendalam kepada Yesus di
Salib dan kepada
Bunda-Nya Tersuci. Selama 30 tahun, ia dikurung dalam
penjara dalam bilik yang
terisolasi. Apabila ia ditempatkan dalam bilik-bilik
penjara bersama para
tawanan lainnya, pemerintah komunis dengan seksama
memastikan agar ia tidak
berhubungan dengan para tawanan Katolik, para
klerus atau para religius
lainnya. Selama 30 tahun, ia dijauhkan dari bacaanbacaan
Katolik, Kitab Suci,
rosario, salib, Misa atau pun sakramen-sakramen
lain. Ia juga tidak
diperbolehkan menerima atau mengirim surat maupun
kunjungan sama sekali.
Meditasi di bawah ini ditulis di atas sehelai kecil
kertas gabah yang tipis,
disembunyikan dari para pengawal penjara dan
secara ajaib senantiasa
terselamatkan dari pemeriksaan berulangkali dalam
penjara. Naskah ini
kemudian diselundupkan keluar dari Cina; pertama kali
diterbitkan pada
pemakaman Kardinal Kung pada tanggal 12 Maret 2000.
Meditasi Yesus di Salib
(Kardinal Kung,
ditulis dalam penjara di Cina 1955 -1988)
“Tuhan kita Yesus di atas
salib. Sekujur tubuh-Nya memar dan penuh
luka, kedua tangan dan
kaki-Nya dipakukan pada kayu salib; kepala-Nya
bermahkotakan duri;
sementara minuman-Nya cuka dan empedu pahit
belaka. Walau sungguh
dahsyat sengsara-Nya, Ia tahu bahwa banyak orang
akan tetap dingin dan
acuh tak acuh. Sengsara batin-Nya ini bahkan jauh
lebih menyakitkan
daripada sengsara raga-Nya.
Tuhan menderita begitu
hebat untukku. Mengapakah aku tak hendak
melepaskan sedikit
kesenangan duniawi dan menerima sedikit penderitaan
dalam hidup ini? Aku
sadar benar bahwa Yesus menderita demi silih atas
dosa-dosaku, namun
demikian aku masih saja menentang kehendak-Nya
dan berbuat dosa. Bagaimana
mungkin aku dapat menolak rahmat-Nya dan
menambah sengsara-Nya?
Tuhan menanggung
penderitaan yang ditimpakan oleh beragam orang.
Para rasul
mengkhianati-Nya, tua-tua Yahudi mendakwa-Nya, orangorang
kafir menghujat-Nya,
sedangkan para imam besar, para pejabat, para
prajurit dan khalayak
ramai semuanya bersepakat untuk membunuh Dia.
Yesus menderita sengsara
demi menyelamatkan segala orang dari berbagai
kalangan. Oleh sebab itu,
ia menerima segala macam penderitaan yang
ditimpakan oleh beragam
orang, termasuk kita semua. Adakah kita tidak
menambah penderitaan-Nya
dengan kurangnya iman, dengan berbuat dosa
dan dengan tidak
mengasihi Hati-Nya yang Mahakudus?
Di manakah gerangan Bunda
Tersuci saat itu? Ia meratap pilu di kaki
Salib, memandang bisu
kepada Putranya yang menderita. Ini bukanlah
kasih manusiawi biasa
antara bunda dan putra. Ia mempersatukan segenap
kasihnya kepada Yesus dan
segenap kasihnya kepada umat manusia,
mempersembahkannya
sebagai kurban kepada Allah Bapa demi keselamatan
seluruh dunia. Bunda
Maria adalah sungguh Bunda keselamatan kita.
Hendaknyalah
masing-masing dan setiap kita meneladani Santa Perawan
Maria, merenungkan Yesus
di salib. Hendaknyalah kita mempersembahkan
segala penderitaan kita
demi silih atas dosa-dosa kita dan atas dosa-dosa
sesama, mohon belas
kasihan dan pengampunan, serta tidak pernah acuh
dalam menanggapi
rahmat-rahmat yang Yesus perolehkan bagi kita melalui
sengsara-Nya.”
0 komentar:
Posting Komentar