1. Abstraksi:
Penulis memaparkan korespondensi surat menyurat antara dr. José Rizal dan Pastor Pablo Pastells, SJ yang menjadi sumber referensi penting di Filipina. Korespondensi yang terjadi sepanjang pertengahan tahun 1892 hingga pertengahan tahun 1893 menarik untuk disimak. Munculnya diskusi, debat, saling mengeritik, hingga pertengkaran antara pastor dengan umat – domba dengan gembalanya ini – tidak jarang menyangkut perkara-perkara yang lebih mendalam: cara menghayati iman, prinsip hidup, pergolakan pemikiran yang sangat personal yang menjangkau diskusi filsafat dan teologi. Perkara yang terakhir inilah yang hendak penulis sampaikan.
2. Berbeda Namun Tetap Bersahabat
Sepanjang pertengahan tahun 1892 hingga pertengahan tahun 1893, dr. José Rizal dan Pastor Pablo Pastells, SJ menjalin sebuah ruang dialog yang berisi perdebatan sengit yang panjang dan mendalam tetapi dijiwai dengan semangat persahabatan, antara dua orang teman sekaligus bekas guru dan murid. Pada waktu itu Rizal baru berumur 31 tahun, seorang penulis humanis yang sudah dikenal luas, salah satu novelnya adalah Noli Me Tangere, dengan minat dan bakat yang begitu multidimensi. Ia menulis surat-suratnya dari tempat pembuangannya di Dapitan, Mindanao, sebuah pulau di bagian selatan Filipina. Sementara Pastells, 45 tahun, superior Serikat Yesus di Filipina, menulis dan membalas surat-suratnya dari Manila.
Penulis memaparkan korespondensi surat menyurat antara dr. José Rizal dan Pastor Pablo Pastells, SJ yang menjadi sumber referensi penting di Filipina. Korespondensi yang terjadi sepanjang pertengahan tahun 1892 hingga pertengahan tahun 1893 menarik untuk disimak. Munculnya diskusi, debat, saling mengeritik, hingga pertengkaran antara pastor dengan umat – domba dengan gembalanya ini – tidak jarang menyangkut perkara-perkara yang lebih mendalam: cara menghayati iman, prinsip hidup, pergolakan pemikiran yang sangat personal yang menjangkau diskusi filsafat dan teologi. Perkara yang terakhir inilah yang hendak penulis sampaikan.
2. Berbeda Namun Tetap Bersahabat
Sepanjang pertengahan tahun 1892 hingga pertengahan tahun 1893, dr. José Rizal dan Pastor Pablo Pastells, SJ menjalin sebuah ruang dialog yang berisi perdebatan sengit yang panjang dan mendalam tetapi dijiwai dengan semangat persahabatan, antara dua orang teman sekaligus bekas guru dan murid. Pada waktu itu Rizal baru berumur 31 tahun, seorang penulis humanis yang sudah dikenal luas, salah satu novelnya adalah Noli Me Tangere, dengan minat dan bakat yang begitu multidimensi. Ia menulis surat-suratnya dari tempat pembuangannya di Dapitan, Mindanao, sebuah pulau di bagian selatan Filipina. Sementara Pastells, 45 tahun, superior Serikat Yesus di Filipina, menulis dan membalas surat-suratnya dari Manila.
Tidak pelak lagi korespondensi yang sengit antara Rizal dan Pastells adalah sebuah debat yang mengarungi dunia filsafat dan teologi, mencakup pasal-pasal yang sangat krusial di abad 19 seperti peranan pertimbangan pribadi, problem mengenai Allah, dan problematika di sekitar Wahyu.
Rizal baru berumur empat belas tahun, murid di Ateneo, sekolah yang dikelola oleh para Yesuit, ketika Pablo Pastells, SJ, seorang pastor muda dari Spanyol, mendarat di Filipina dan mulai bekerja di sekolah di mana Rizal studi. Itulah perkenalan mereka untuk pertama kalinya, yang kemudian berlanjut bertahun-tahun kemudian membangun sebuah persahabatan yang mendalam.
Sebagai kenang-kenangan Rizal melukis pastor muda yang berwajah dan berpenampilan sangat impresif itu. Beberapa saat kemudian Pastells diutus menjadi misionaris ke daerah pelosok selatan di Mindanao selama lebih dari sepuluh tahun. Setelah itu ia pulang ke Manila untuk menjadi superior Serikat Yesus selama lima tahun (1888-1893). Dan dalam kurun waktu itulah ia menjalin diskusi dan debat yang panjang dengan sahabat dan bekas muridnya, José Rizal. Surat menyurat mereka yang panjang itu berjumlah sebanyak sembilan kali, lima dari Rizal dan empat dari Pastells.
3.Diskusi yang Mencerminkan Zamannya
Diskusi antara Rizal dan Pastells tersebut di atas sebenarnya berawal dari hubungan pribadi yang mencakup problem yang sebenarnya spesifik pula. Rizal mencoba menunjukkan kelemahan-kelemahan praktek religius pada zamannya, sementara Pastells berupaya menarik Rizal, muridnya seorang katolik yang saleh ketika masih remaja, yang sudah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran rasionalisme pada zamannya untuk kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tetapi konflik pemikiran yang hanya bersifat pribadi dan hanya lokal saja itu ternyata mencerminkan debat yang jauh lebih luas sebagaimana yang berlangsung di Eropa di abad 19, yaitu antara gagasan Pencerahan melawan Gereja Katolik. Kegagalan Pastells dalam upayanya untuk meyakinkan Rizal, agaknya disebabkan miskinnya pemahaman Pastells atas legitimasi politik yang diperjuangkan Rizal. Tetapi lebih dari itu, di sini ada satu pertanyaan yang menarik untuk didalami, mungkinkah kegagalan Pastells sebenarnya menunjuk pada cacat dan kelemahan teologi Katolik abad 19 dalam menjawab tantangan dan serbuan kultur yang sedang berlangsung di luar Gereja ?
Sudah barang tentu gagasan teologi yang dimiliki seseorang merupakan produk dan pencerminan dalam sebuah konteks kultural dan intelektual tertentu. Maka teologi dari Pastells tiada lain merupakan wajah teologi di akhir abad 19 yang pada waktu itu sedang dikepung oleh liberalisme. Menghadapi serangan-serangan para rasionalis, teologi Katolik menjadi sangat bercorak apologetik, defensif, disertai dengan perasaan curiga secara berlebihan pada setiap unsur yang berbau modern. Dan dogma katolik yang sebelumnya sangat bercorak skolastik, sekarang dipenuhi dengan kepentingan untuk mempertahankan pondasi ajaran Kristen.
Lagi pula teolog-teolog pada umumnya sangat reaktif menghadapi berbagai gerakan sosial-politik baru, seperti kebebasan personal, hak asasi untuk menentukan diri sendiri, kebebasan beragama, kebebasan menyampaikan pendapat, serta separasi antara Gereja dan Negara.
Pastells menyelesaikan formasi teologinya pada tahun 1871, tujuh tahun setelah Pius IX meluncurkan Syllabus of Errors, dua tahun setelah Konsili Vatikan I. Bukan seorang teolog profesional, bukan pula pemikir yang orisinil, maka pandangan-pandangannya sangat bergantung pada catatan teologi yang diterima di bangku seminari. Pandangan-pandangan teologinya mencerminkan arus pemikiran teologi pada masanya. Pengalaman pribadinya yang negatif terhadap para kaum liberalis semakin mendorong karakter teologi dan pandangan politiknya untuk menjadi seorang yang defensif, polemis, dan reaksioner.
4. Bias yang Muncul
Pastells yang mengenal Rizal ketika ia masih remaja, boleh jadi masih menganggap Rizal yang ia kenal tujuh belas tahun sebelumnya. Padahal Rizal pada waktu itu adalah Rizal yang baru saja pulang setelah bertahun-tahun berkelana di Eropa dan menghirup semangat Fajar Budi abad 19. Sementara Pastells adalah seorang pastor yang baru saja kembali dari pedalaman Mindanao, bekerja dengan orang-orang yang terbelakang di sana, selama dua belas tahun. Tidak mustahil bahwa pengetahuan teologinya tidak berkembang, karakternya menjadi sedikit kasar juga.
Surat-surat yang dikirim oleh Rizal pada Pastells adalah ekspresi dengan nada hormat seorang murid terhadap bekas gurunya, personal tetapi sangat tegas, dengan pilihan kata-kata yang cermat membentuk jalinan tulisan yang memberikan nuansa sastera berkualitas tinggi. Pastells, sebaliknya, menulis dengan gaya tulisan yang konsisten menyelidik. Surat-suratnya dua kali lebih panjang dari tanggapan yang ditulis Rizal yang waktu itu sudah dianggap sebagai penulis dan novelis yang ternama. Walaupun penuh afeksi dan dengan nada pastoral, surat-surat Pastells tidak bisa menyembunyikan nada yang menggurui, disertai dengan banyak refleksi, menggunakan bahasa teologi skolastik disisipi kutipan-kutipan dokumen Vatikan I. Tidak terhindarkan lagi atmosfir yang tampil dalam korespondensi mereka berdua merupakan batu uji bagi teologi katolik abad 19, sebagaimana diekspresikan dalam apologetik dan gagasan Pastells.
Pengaruh dari profesor-profesornya yang liberal selama studi di Universidad Central de Madrid, tulisan-tulisan para filsuf, khususnya Voltaire, serta pemikiran filsafat rasionalis, membawa Rizal untuk mengadopsi gagasan deistik mengenai “wahyu kodrat” dan “agama kodrat”. Hal ini mencapai puncaknya ketika ia berpandangan bahwa Christ Man itu lebih besar dari Christ God. Sebuah wujud penolakan keilahian Kristus. Tetapi di balik semuanya itu, sesuatu yang agaknya tidak dipahami secara sungguh-sungguh oleh Pastells adalah minat utama dari Rizal yang sebenarnya adalah keprihatinan politik dan ideologi. Sebagaimana banyak intelektual Spanyol pada waktu itu mencurahkan perhatian pada ide pencerahan dengan menggali substansi filosofis guna merancang restrukturisasi masyarakat Spanyol, demikian juga Rizal menemukan kerangka intelektual dalam ide-ide para pemikir zamannya untuk mendorong transformasi sosial, politik dan kultural bangsanya sebagaimana yang sedang ia impi-impikan.
Proyek Pencerahan diakui telah memberikan sumbangan yang positif. Dipacunya perkembangan sains dan teknologi, lahirnya konsep negara demokratis, serta bangkitnya dimana-mana kesadaran akan martabat manusia, adalah beberapa hal yang bisa disebutkan di sini. Tetapi proyek ini, secara keseluruhan, jauh untuk bisa dikatakan sukses. Demikian pula konsep agama kodrat sebagaimana yang diidealkan oleh Rizal juga gagal menyatukan umat manusia dan dianggap mengkerdilkan agama-agama tradisional.
Argumen-argumen apologetik dari Pastells, di lain pihak, juga mengandung cacat. Selain itu kelemahan yang lebih prinsipiil dari para Yesuit Filipina, sebagaimana juga para imam dan religius dari Spanyol, adalah model berargumentasi mereka yang mencampuradukkan hancurnya iman Rizal dengan isyu-isyu politik yang tidak pas. Mereka pada umumnya tidak simpati dengan gerakan-gerakan reformasi, sebaliknya mereka bercita-cita untuk kembali pada kekristenan abad 15 yang secara konkret terwujud sebagaimana pemerintahan Spanyol yang beraliansi dengan Gereja. Terlepas dari seorang yang sangat baik hati seperti Pastells, dengan semangat pastoralnya yang sedemikian kuat, tetaplah ia tidak mendukung Rizal, seorang alumnus sekolah Yesuit, yang sedang berjuang meletakkan pondasi dibangunnya nasionalisme baru di Filipina pada akhir abad 19.
5. Kita belajar apa?
Demikianlah José Rizal salah seorang pahlawan nasional terbesar yang dimiliki bangsa Filipina, yang dieksekusi oleh pemerintahan kolonial Spanyol pada tahun 1896, menjalin sebuah tukar pikiran yang sangat menarik dengan gembalanya. Kita yang hidup sekarang ini belajar apa darinya?
0 komentar:
Posting Komentar