Kita memiliki
trauma dan hidup dengan trauma. Kedirian kita sendiri dibentuk oleh banyak
pengalaman negatif. Dalam arti ini bangsa dan masyarakat kita juga hidup dalam
trauma yang tak kunjung terolah dan terselesaikan. Maka, diskursus tentang trauma
menjadi relevan. Lewat pengalaman korban (Ayub). kita diajak untuk melihat
bahwa korban ternyata memiliki
sumbangan berarti yakni agar sesamanya yang lain dapat tetap menjadi orang yang
baik dan benar. Dalam hal ini, pharmakos telah berubah menjadi pharmakon (racun
telah menjadi obat).
Selain itu, memaafkan dalam diri para korban sendiri adalah bertindak yang menurut Hannah Arendt: “memulai sesuatu yang baru”, “lahir lagi”, yakni merelakan yang lewat. Maaf dan rekonsiliasi selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan yang kerap tidak disadarinya, hidup bisa dilanjutkan. Di sinilah, kita, sebagai sebuah bangsa, diajak untuk belajar memahami masa silam, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah.
A. PrologSelain itu, memaafkan dalam diri para korban sendiri adalah bertindak yang menurut Hannah Arendt: “memulai sesuatu yang baru”, “lahir lagi”, yakni merelakan yang lewat. Maaf dan rekonsiliasi selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan yang kerap tidak disadarinya, hidup bisa dilanjutkan. Di sinilah, kita, sebagai sebuah bangsa, diajak untuk belajar memahami masa silam, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah.
Tidak jauh dari kota Wina, Austria terdapat salah satu bekas kamp konsentrasi Hitler. Pada monumen utama yang didirikan setelah Perang Dunia II tertulis dua kata yang terpahat pada marmer, Niemals vergessen, (tidak pernah akan terlupakan). Apa yang tidak pernah akan terlupakani? Holocaust – pembasmian manusia oleh manusia lain.
Saya lewat tulisan ini, mau mengajak Anda untuk memikirkan makna kata-kata itu. Kata-kata itu memang ditulis dalam situasi normal, yaitu setelah tragedi kemanusiaan yang luar biasa menimpa bangsa Jerman. Namun kata-kata itu bukanlah sebuah deskripsi atas normalitas faktual, melainkan sebuah ekspektasi masa depan.
Dengan kata lain, “Niemals vergessen ” mengacu pada kenyataan bahwa orang harus `hidup bersama dengan ancaman. Normalitas harus ditegakkan dengan terus-menerus menghalau ancaman kembalinya abnormalitas. Memang kita berharap hendaknya malapetaka itu tak terjadi lagi. Tetapi bagaimana sebuah peristiwa negatif dapat terulang? Bukankah peristiwa sebagai peristiwa adalah unik dan singular? Sulit dibayangkan, misalnya, bahwa Peristiwa G30S/PKI dan penahanan tapol/napol meletus lagi dengan cara yang sama seperti di akhir Orde Lama dan awal Orde Baru. Lalu bagaimana memahami peringatan “Niemals vergessen ” itu?
Di sinilah diskursus tentang trauma menjadi relevan. G30S/PKI tidak mungkin hadir kembali, tetapi sejarahnya telah meninggalkan pola tertentu. Pola itu adalah trauma sejarah yang “diingat” lewat pranata-pranata sosio-kultural dari pihak-pihak yang bermusuhan. Trauma itu masih dipersepsi karena tertanam dalam ingatan kolektif. Dan karena menjadi bagian struktural dari ingatan kolektif, trauma itu masih menentukan prilaku aktual. Dia tak sepenuhnya dilepaskan, tapi juga tak sepenuhnya ditahan. Di lain matra, trauma adalah bekas, semacam torehan dari suatu peristiwa negatif di masa silam.
Lewat pemahaman Rene Girald, saya akan melihat suatu pengalaman korban (Ayub). Dengan mempelajari kisah Ayub, kita bisa melihat, bahwa memaafkan (baca: rekonsiliasi) adalah bertindak yang menurut Hannah Arendt adalah “memulai sesuatu yang baru”, “lahir lagi”, yakni merelakan yang lewat. Tetapi trauma telah membuat korban (Ayub) tak mudah bertindak, maka tak mudah juga memaafkan. Membalas dendam adalah reaksi naluriah atas kebekuan itu, tetapi dendam adalah bagian dari ketidakmampuan untuk memulai sesuatu yang baru (Arendt, Vita activa, hlm.306). Kekhilafan (tresspassing) menurut Arendt merupakan kejadian harian. Disinilah maaf dan rekonsiliasi selalu dibutuhkan agar dengan membebaskan manusia dari perbuatan yang kerap tidak disadarinya, hidup bisa dilanjutkan.
Di samping itu, mengampuni merupakan tindakan yang membebaskan, karena alternatif dari pengampunan adalah hukuman. Menurut Arendt, manusia tidak bisa mengampuni perbuatan (tindakan) yang tidak dapat dihukum, sebaliknya tindakan yang tidak bisa dikenai hukuman secara logis juga tidak dapat diampuni.
B. Belajar dari Ayub: Sang Korban
Selain trauma pribadi, kita juga mengenal trauma kolektif. Trauma itu diderita oleh suatu bangsa, penganut agama dan kelompok manusia. Basis peristiwa bagi trauma semacam itu juga bersifat kolektif, yaitu suatu psikosis massa, seperti: pengejaran terhadap minoritas, pembantaian massal, perang agama, dst. Puluhan ribu manusia dimobilisasi untuk membela agama/ideologi tertentu dan dihadapkan pada puluhan ribu manusia lainnya dari isme yang berbeda. Senjata-senjata digunakan, pedang-pedang berdencing, manusia-manusia mandi darah. Yang bertahan hidup bersorak histeris telah membasmi lawan. Membunuh dimuliakan sebagai keutamaan konflik. Dibunuh pun sebuah kemuliaan, karena tidak lahir dari pasivitas, melainkan dari absennya kesempatan membunuh. Dalam psikosis massa, individu adalah ketiadaan, kelompok adalah segalanya. Bukan manusia menghadapi manusia, tapi Komunis vs Kapitalis, Islam vs Kristen atau Cina vs Pribumi. Dan, kerap salah satu kelompok dianggap menjadi kambing hitam.
Menurut Rene Girald (Job, the Victim of His People), Ayub adalah contoh seorang korban/kambing hitam (spacegoat) masyarakatnya:
Nafasku menimbulkan rasa jijik pada isteriku, dan bauku memualkan saudara-saudara sekandungku. Bahkan kanak-kanakpun menghina aku, kalau aku mau berdiri, mereka mengejek aku. Semua teman karibku merasa muak terhadap aku; dan mereka yang kukasihi, berbalik melawan aku. (Ayub 19:17-19)
Pelbagai ungkapan (seperti: menimbulkan rasa jijik, muak, bau memualkan), mengingatkan kita akan binatang kurban dalam kitab Imamat. Pelbagai ungkapan ini menyiratkan fenomena ritus kurban. Ayub telah pula mengeluhkan hal ini:
“Murka-Nya menerkam dan memusuhi aku, Ia menggertakkan giginya terhadap aku; lawanku memandang aku dengan mata yang berapi-api. Mereka mengangakan mulutnya melawan aku, menampar pipiku dengan cercaan, dan bersama-sama mengerumuni aku.” (Ayub 16:9-10)
Tampaknya yang jauh lebih menarik ialah bagaimana Ayub melihat dirinya sebagai kambing hitam dari komunitas yang sudah dikambinghitamkan itu. Ia menjadi korban dari masyarakat yang mengalami suatu trauma kolektif. Dalam tekanan situasi ini, Ayub lalu mulai melihat kematiannya yang mengerikan:
“Hai bumi, janganlah menutupi darahku, dan janganlah kiranya teriakku mendapat tempat perhentian!”
(Ayub 16:18)
Namun, di tengah proses mengerikan yang akan menyergapnya itu, kita dapat katakan bahwa Ayub, pada akhirnya akan angkat bicara. Bagaimanapun juga perlu dipertanyakan, mengapa Ayub bisa menjadi obyek kedengkian masyarakatnya? Yang kita dengar darinya ialah bahwa ia tidak layak menerima semuanya itu: (Lihat: Ayub 29:2-25)
Jelaslah siapa itu Ayub sebelum dijadikan kambing hitam oleh komunitasnya. Ia memiliki kedudukan yang terhormat. Yang terutama menjadi kontras dalam hidupnya sekarang ialah: Ayub yang dulunya disukai, kini tidak lagi disukai kaumnya. Hal yang nampak dalam perikop di atas adalah suatu perubahan tingkah laku massa rakyat terhadapnya. Kalau mau dirumuskan bagaimana isi tuduhan massa yang memusuhinya maka hal itu kira-kira dapat didengar dari pertanyaan Elifas:
“Apakah karena takutmu akan Allah, maka engkau dihukum-Nya, dan dibawa-Nya ke pengadilan? Bukankah kejahatanmu besar dan kesalahanmu tidak berkesudahan? Karena dengan sewenang-wenang engkau menerima gadai dari saudara-saudaramu dan merampas pakaian orang-orang yang melarat; orang yang kehausan tidak kauberi minum air, dan orang yang kelaparan tidak kauberi makan, tetapi orang yang kuat, dialah yang memiliki tanah, dan orang yang disegani, dialah yang mendudukinya. Janda-janda kausuruh pergi dengan tangan hampa, dan lengan yatim piatu kauremukkan.” (Ayub 22:4-9)
Kita menyaksikan suatu fenomena sosial mengerikan, yakni: perubahan simpati menjadi antipati. Ayub menjadi korban opini publik yang menekannya dan bergulir seperti bola salju.. Agaknya anggota masyarakat itu, terinfeksi secara serempak dalam membenci Ayub, sebuah proses mimesis (peniruan) yang berkelanjutan. Kian lama kian banyak orang yang meniru kebencian itu Akhirnya, sampailah Ayub menerima stigma: Ayub adalah orang jahat yang akan melalui jalan lama (22:15).
Peristiwa dan Massa
Massa cepat lupa, karena dalam peristiwa massa, rasa tanggungjawab itu menjadi tumpul. Menyitir Rene Girald, massa yang cepat lupa ini dipersonifikasikan dengan teman-teman Ayub, yang menyepakati bahwa Allah sendiri yang mengutuk Ayub:
“Orang fasik menggeletar sepanjang hidupnya, demikian juga orang lalim selama tahun-tahun yang disediakan baginya……..Untuk mengisi perutnya, Allah melepaskan ke atasnya murka-Nya yang menyala-nyala, dan menghujankan itu kepadanya sebagai makanannya. ……..Itulah ganjaran Allah bagi orang fasik, milik pusaka yang dijanjikan Allah kepadanya."
(Ayub 15:20-23, 20:23-29)
Persis, seperti dalam kisah Ayub, menjadikan sebuah tuduhan sebagai tuduhan kosmik, yang datang dari Allah, membuat kekerasan menjadi tak terbantahkan. Apalagi, suatu kekerasan yang diangkat menjadi wacana kudus, sacred discourse, bisa menjadikan peristiwa massa seolah terjadi di luar sejarah. Maka, orang-orang yang melakukan lynching (menganiaya ramai-ramai tanpa pengadilan), tidak akan melihat apapun dalam kekerasan tersebut. Mata mereka tidak akan melihat sebentuk kebenaran apapun dalam peristiwa massa itu. Mereka tidak akan sadar bahwa tangannya adalah melulu tangan para barbar:
“Kulit tubuhnya dimakan penyakit, bahkan anggota tubuhnya dimakan oleh penyakit parah. Ia diseret dari kemahnya, tempat ia merasa aman, dan dibawa kepada kedahsyatan. Dalam kemahnya tinggal apa yang tidak ada sangkut pautnya dengan dia, di atas tempat kediamannya ditaburkan belerang. (Ayub 18:13-15)
Korban: Dari Pharmakos Menuju Pharmakon
Martin Heidegger memiliki istilah yang tepat untuk massa, yaitu Gedankenlosigkeit, ketidakberpikiran (Bdk: Heidegger, Discourse on Thinking, hlm.45). Massa tidak pelupa, melainkan tidak berpikir. Massa kerap hanya ber-mimesis, meniru. Orang-orang, sebenarnya ingin sekali seperti Ayub, yang secara sosial berasal dari kelas atas. Ayub pernah menjadi model untuk ditiru; kini orang-orang ingin seperti dirinya dan menirunya dalam rasa cemburu. Ada mimetic desire, atau gairah meniru yang demikian dashyat dalam diri para sahabatnya.
Dalam proses mimesis tersebut, sebuah kelompok karena tidak mampu meniru model (yang biasanya mempunyai karisma lebih), akhirnya memilih korban pengganti untuk melampiaskan keinginannya itu. Uniknya, kehadiran surrogate victim ini dapat melahirkan suatu perdamaian dalam masyakat tersebut.
Selanjutnya, keadaan damai ini dipahami terjadi karena adanya intervensi ilahi. Dan sebagaimana diuraikan di atas, inilah penjelasan untuk memahami terjadinya kekerasan yang suci, violent sacred. Kambing hitam memiliki daya dan efeknya kepada masyarakat di situ, dan kasus Ayub telah membuktikan hal tersebut:
“Aku telah dijadikan sindiran di antara bangsa-bangsa, dan aku menjadi orang yang diludahi mukanya. Mataku menjadi kabur karena pedih hati, segala anggota tubuhku seperti bayang-bayang. Orang yang jujur tercengang karena hal itu, dan orang yang tidak bersalah naik pitam terhadap orang fasik. Meski begitu orang yang benar tetap pada jalannya, dan orang yang bersih tangannya bertambah-tambah kuat. (Ayub 17:6-9)
Korban ternyata memiliki sumbangan berarti yakni agar sesamanya yang lain dapat tetap menjadi orang yang baik dan benar. Dalam hal ini, pharmakos telah berubah menjadi pharmakon (racun telah menjadi obat). Ada efek samping yang mendatangkan kebaikan, beneficial effect, dalam lakon Ayub, sang korban ini. Komunitas yang chaos ditransformasikan menjadi komunitas yang kosmos karena pengorbanan Ayub.
Korban: Saatnya Bicara
Semula ketiga teman Ayub membujuknya untuk mengakui aib pada dirinya. Sebab yang diperlukan dalam setiap pengkambinghitaman adalah penerimaan dari korban itu sendiri. Ayub diminta menerima kemartirannya, namun Ayub menolak semua itu.
Di samping hal di atas, ada satu hal lagi yang diupayakan atas diri korban, yakni: penghapusan memoria passionis atau ingatan masyarakat tentang korban. Jadi, bukan hanya figur kambing hitam yang hendak dibinasakan, tapi juga ingatan tentang dirinya sendiri. Korban dipahami mengandung racun yang menular pada masyarakat:
“Ingatan kepadanya lenyap dari bumi, namanya tak lagi disebut di lorong-lorong. Ia diusir dari tempat terang ke kegelapan, dan ia dienyahkan dari dunia. Ia tidak akan mempunyai anak atau cucu cicit di antara bangsanya, dan tak seorangpun yang tinggal hidup di tempat kediamannya. (Ayub 18:17-19)
Semua hal di atas, diyakini oleh teman-teman Ayub sebagai hukuman Tuhan yang pantas ditanggungnya, sebuah retribution. Jadi keadilan ilahi ini sebenarnya sama maknanya atau mau dijadikan sebagai arti terdalam dari proses lynching dan pengkambinghitaman Ayub itu. Sebenarnya hal ini mirip dengan situasi modern kita: ketika gerakan pembasmian terhadap yang lain dilakukan, selalu ada prinsip ganjaran yang menjadi dasarnya.
Namun Ayub adalah korban yang unik, exceptional victim. Sejak awal telah ditegaskan bahwa keunikan Ayub ada pada protesnya dan penegasan bahwa ia sebenarnya tidak bersalah. Tampaknya, Ayub secara perlahan mempertanyakan otoritas keilahian yang dipakai untuk menyudutkannya:
“Maka aku akan berbicara tanpa rasa takut terhadap Dia, karena aku tidak menyadari kesalahanku. Aku akan berkata kepada Allah: Jangan mempersalahkan aku; beritahukanlah aku, mengapa Engkau beperkara dengan aku? Apakah untungnya bagi-Mu mengadakan penindasan, membuang hasil jerih payah tangan-Mu, sedangkan Engkau mendukung rancangan orang fasik? (Ayub 9:35, 10:1-3)
Kini ada pemberontakan dari sang korban. Sang korban mencari Allah dan menemukan bahwa Allah adalah Allah para korban. Sikap Ayub ini mengejutkan para penyiksanya, sebab bagaimana mungkin bahwa Ayub dibela oleh Sang Ilahi, setelah tersiksa dan menjadi kambing hitam? Jadi, telah muncul di tengah perkara itu sosok Allah para korban. Walaupun hal itu baru terjadi setelah kematian Ayub sendiri:
Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku rusak, tanpa dagingku aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu. (Ayub 19:25-27)
Anehnya, Allah selanjutnya mengalihkan persoalan Ayub dan menjawab Ayub dengan penjelasan tentang sejarah alam: Ada soal astronomi, meteorologi, dan banyak soal ilmu binatang. Dengan cara itu, kini Ayub tinggal diam, terperangah, serta penuh takjub. Yang hadir bukanlah Allah yang mendorong pembalasan, tapi Allah yang berada di pihak yang lemah, di pihak Ayub sang korban itu sendiri. Paradima ini juga yang menjadi titik tolak seorang Albert Camus dalam karya-karyanya. Titik tolak Camus adalah paham Nazisme Hitler yang mengerikan itu. Baginya, Hitler dengan Nazi-nya mau menanggapi serta menghidupi nihilisme sepenuh-penuhnya dengan cara dan bentuk perwujudan se-ngeri itu. Maka dari itu, pelbagai drama Camus, misalnya “Caligula” merupakan simbol dramatis terhadap si Hitler dengan kekejiannya terhadap eksistensi manusia.
C. Sebuah Oto-Refleksi
Bangsa Indonesia memiliki trauma-trauma. Dia hidup dengan trauma. Bukan hanya itu, ke-Indonesia-an itu sendiri dibentuk oleh pengalaman-pengalaman negatif. Dalam arti ini bangsa Indonesia juga hidup dalam trauma yang tak kunjung terolah dan terselesaikan.
Goresan trauma itu de facto kerap tidak berakhir. Pengejaran atas mereka yang dituduh terlibat dalam PKI dan dicap napol/tapol adalah bagian traumatis yang paling kelam pasca kolonialisme. Maka, trauma sesungguhnya tidak terletak pada peristiwa itu sendiri, karena sudah lewat, melainkan pada bekasnya, pada torehan dalam ingatan kolektif bangsa Indonesia, pada kehadiran karakter ancaman akan terulangnya peristiwa itu.
Di lain matra, sebagai anti-peristiwa, trauma muncul sebagai yang mekanis: Rezim Orde Baru mengulang-ulang ancaman bahaya laten komunisme, dan masyarakat dipenggal-penggal lewat mantra antikomunisme itu. Ketakutan rezim, entah real atau fiktif, dengan cara itu ditularkan pada rakyatnya. Paranoia kekuasaan bersesuaian dengan psikosis massa. Rakyat ingin melupakannya, tetapi harus mengingatnya, yakni mengingat seperti cara rezim mengingatnya. Kalau ingatan diorganisasikan, rezim juga telah mengorganisasikan kelupaan dengan membuat yang benar raib dari sejarah. Bekas traumatis yang ditinggalkan itu adalah suatu ketidakyakinan bahwa bangsa ini dapat menanggulangi sejarahnya sendiri. Ketidakyakinan itulah yang de facto telah dikembangbiakkan oleh rezim Orde Baru. Wajar jika William Liddle menilai Orde Baru sebagai sistem otoriter. Seorang Benedict Anderson juga menilai Orde Baru kerap mendasarkan diri pada praktek brutal dan sadis yang tidak hanya dilakukan oleh tentara, tapi juga para preman yang dipakai oleh negara.
Tetapi sebetulnya, mereka yang tidak yakin dapat melampaui sejarah mereka juga dalam kenyataan justru akan didikte masa silamnya. Anggapan tentang terulangnya sejarah bisa ditolak, karena peristiwa tidak mengulangi dirinya. Tetapi trauma kolektif justru memungkinkannya. Jika tidak, mengapa teknik-teknik pembantaian massal dan politik pengkambinghitaman itu diulangi lagi dan lagi oleh rezim Orde Baru, jauh sesudah mimpi buruk di sekitar 1965 itu berakhir? Apa yang telah ditinggalkan sebagai torehan dalam ingatan kolektif bangsa ini? Peristiwa Priok, Dili, tragedi Juli 96, pembantaian di Aceh, kerusuhan Mei 98 sampai tragedi Bom Bali-Kuningan. Lewat semua malapetaka politis ini individu maupun kelompok dalam masyarakat kita lagi dan lagi dibuat tidak mampu untuk menerima perbedaan baik etnis maupun politis. Bahwa aneka tragedi sejenis terulang lagi dan lagi menunjukkan yang mekanis telah beroperasi dalam kesadaran kolektif.
Trauma melahirkan trauma berikut. Dalam arti ini trauma telah mereproduksi dirinya. Karena itu konflik-konflik etnis-separatistis dan religius hingga sekarang ini bukannya tanpa hubungan dengan bekas-bekas dalam ingatan kolektif bangsa ini. Konflik-konflik itu harus dilihat dalam konteks pola-pola hubungan represif traumatis yang telah mencetak mechanical behavior di dalam masyarakat kita: Musuh kelompok harus menjadi musuh individu, dan musuh pemimpin harus menjadi musuh kelompok. Yang traumatis di sini muncul dalam ketidakberdayaan individu di hadapan kelompok. Dan karena individu dan individualitas tidak memiliki tempat dalam masyarakat kita, individu akan selalu menyediakan dirinya untuk dikendalikan dari luar dirinya.
Akhirnya, Apa arti semua ini?
Pendidikan dan pengasuhan harus mulai mendorong proses pendewasaan, yakni kemampuan untuk mendengarkan suara hati sendiri (bukan suara kelompok). Kita perlu diam, tetapi bukan membisu, karena orang yang membisu cenderung bicara, hingga tak mampu bungkam. Agar dapat diam orang harus memiliki sesuatu untuk dikatakan. Berdiam mengandaikan pemahaman [Heidegger, Sein und Zeit, paragraf 34]. Latihan untuk diam bagi bangsa ini adalah: belajar memahami masa silam, yakni melawan kelupaan dan penglupaan sejarah. Mereka yang tidak memahami justru cenderung berbunyi ribut.
Itulah pengumpulan diri suatu bangsa yang mengokohkan identitas bersama. Dan akhirnya, waktu akan mematangkan. Kemampuan yang lebih besar untuk mendengarkan, tetapi juga untuk mengungkapkan diri dan mengambil jarak terhadap yang lewat memberi peluang untuk semakin merelakan dan menanggulangi sejarah.
Membiarkan lewat yang lewat. Betapa sulitnya bagi korban. Tidak mudah menatap ketakutannya sendiri, menghadapi keterlantarannya sendiri, melepaskan yang menyakitkan. Kendalanya nyata: Rezim-rezim politik yang memimpin bangsa ini cenderung menghalang-halangi pengenalan akan torehan-torehan sejarah itu. Para saksi dan korban kerusuhan dibungkam atau dibiarkan bungkam, sementara para pelaku dibiarkan bebas berkeliaran. Dalam ketakutan akan ketakutan ini yang lewat tidak pernah sungguh-sungguh lewat. Penyingkapan realitas objektif para korban yang ditandai penderitaan, penindasan, dan ketidakadilan mempertanyakan dan mendesak hidup iman kita. Akar solidaritas harus ditemukan dalam motivasi yang membangkitkan tanggung jawab bersama kita sebagai manusia itu imperatif etis, dan sekaligus membawa keselamatan.
Berangkat dari hal inilah, menyitir Helder Camara, selain pendidikan dan pengasuhan mendengarkan suara hati, maka maaf dan pengampunan dari para korban juga merupakan unsur tak terduga yang dapat memutus spiral kekerasan.
Contoh lain dari sebuah tindakan mengampuni adalah apa yang dilakukan Yesus dari Nazareth. Ia mengartikulasikan ungkapan pengampunan dengan kata-kata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…..” (Luk 23:34). Maka, pembebasan yang diajarkan Yesus tentang pengampunan adalah pembebasan dari dendam (vengeance).
Kini pertanyaannya, dapatkah para korban memaafkan para penindasnya? Tindakan secara alamiah memang tidak dapat diramalkan, tapi seperti optimisme Arendt, memaafkan adalah kemampuan manusia, untuk bertindak secara baru dan tak terduga. Tindakan memaafkan ini akan membebaskan baik pelaku maupun korban dari kehancuran. Semoga!!
0 komentar:
Posting Komentar