PENDAHULUAN
Kitab Suci memuat semangat Maria, dan diwujudkan dalam tindak devosi sangat menggerakkan hati umat beriman dewasa ini. Devosi yang benar mampu menumbuhkan niat dan tekat untuk berbakti kepada Tuhan. Sebab Maria menjadi pengantara dan ibu yang mengantar kita kepada Tuhan bersama dengan Yesus anakNya. Lebih dari itu Maria tekun memelihara tradisi bangsanya sehingga mampu mendidik Jesus puteranya, dan mempersiapkan Dia terlibat dalam kiprah percaturan kehidupan bangsa dan negerinya. Kita umat beriman kini, juga semakin menyadari dan yakin bahwa Maria dalam kesederhanaannya mampu mengajarkan kepada Jesus dan mengantarkan kita untuk memiliki sikap hidup yang selalu mencari kebenaran, perdamaian dan membangun semangat rekonsiliasi dengan sesama, termasuk dalam memberi motivasi yang benar dalam bidang kemasyarakatan, budaya, pengalaman religiositas dan sosial-politik jamannya.
Kitab Suci memuat semangat Maria, dan diwujudkan dalam tindak devosi sangat menggerakkan hati umat beriman dewasa ini. Devosi yang benar mampu menumbuhkan niat dan tekat untuk berbakti kepada Tuhan. Sebab Maria menjadi pengantara dan ibu yang mengantar kita kepada Tuhan bersama dengan Yesus anakNya. Lebih dari itu Maria tekun memelihara tradisi bangsanya sehingga mampu mendidik Jesus puteranya, dan mempersiapkan Dia terlibat dalam kiprah percaturan kehidupan bangsa dan negerinya. Kita umat beriman kini, juga semakin menyadari dan yakin bahwa Maria dalam kesederhanaannya mampu mengajarkan kepada Jesus dan mengantarkan kita untuk memiliki sikap hidup yang selalu mencari kebenaran, perdamaian dan membangun semangat rekonsiliasi dengan sesama, termasuk dalam memberi motivasi yang benar dalam bidang kemasyarakatan, budaya, pengalaman religiositas dan sosial-politik jamannya.
FENOMEN TRADISI DEVOSI
1. Sejarah singkat:
Fenomen Rekonsiliasi di Gua Maria Sendangsono
Asal usul devosi Maria. Pada permulaan tahun 1903, Pater Van Lith dikunjungi ketegisnya, yang membawa seorang bekas pengikut Kyai Sadrach yang bernama Daud dengan empat bekel (= Kepala Desa) dari daerah kalibawang. Tanggal 20 Mei 1904 keempat orang itu dibaptis oleh Pater Van Lith. Kemudian mereka mengajar agama bagi umat di sekitar Sendangsono. Tanggal 14 Desember 1904 terjadi peristiwa besar sekitar, 173 orang di baptis di Mata Air Sendangsono.
Kenyataan itu menjadi awal terjadinya rekonsiliasi antara orang yang cenderung berlaku hitam dengan mereka yang hidup dalam terang kebenaran, menjadi awal dan pembuka pewartaan Injil bagi orang-orang Jawa. awal dan pembuka pewartaan Injil bagi orang-orang Jawa. Kuncinya adalah yang bersalah tidak diadili atau dihukum, tetapi mereka diterima setelah mendengar warta kebenaran, Injil. Kesalahan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Pada tanggal 8 Desember 1929 diadakan perayaan ekaristi dan prosesi sebagai ucapan syukur atas dibaptisnya sejumlah orang Jawa di Sendangsono 25 tahun yang lalu. Sendangsono diberkati dan diresmikan sebagai tempat peribadatan umat beriman. Kemudian ditegaskan pula oleh Pater Prenntheler bahwa peran Jesus - Maria jauh mengatasi peran “Den Rara Lantangsari dan Den Bagus Samijo, yang dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai “Pepunden masyarakat” (= pribadi yang dihormati dan dijunjung tinggi). Jesus dan Maria tidak jauh tetapi tetap dekat pada umat dan masuk ke dalam hati mereka.
2. Ada apa dengan kebaktian Maria?
a. Perbuatan-perbuatan
Perbuatan sehari-hari umumnya berkaitan dengan iman. Devosi mereka diwujudi dengan jalan kaki untuk ke dan dari suatu tempat perjumpaan antar pribadi orang beriman; Mereka menggunakan simbol-simbol iman umat setempat yang sederhana: doa rosario dan bukan meditasi; jalan salib dan bukan Misa karena imam jarang dan jauh; Mereka menyanyi dan menyalakan lilin sebagai simbol persekutuan umat beriman perdana (Kis. 2: 42-44; 4: 32-37). Doa bersama dilambungkan dan tindak ambil atau beli air sendang secara berebutan dilakukan. Itu semua merupakan tanda kehidupan bersama. Selanjutnya di tempat yang sama selalu diadakan pembukaan Bulan ziarah ke Sendangsono pada bulan Mei, yang dibuka dan ditutup dengan Ekaristi Kudus, serta dengan prosesi obor, yang menjadi simbol hadirnya juru terang kedalam kehidupan umat.
b. Perasaan-perasaan
Makna ziarah Maria dialami oleh banyak orang sebagai upaya meningkatkan persekutuan beriman yang ditandai dengan perasaan menjadi sahabat satu sama lain, rela bertemua walau harus berjalan jauh, dan kenyataan semakin dikuatkan kepercayaan pada Jesus sendiri.
Dalam persekutuan itu juga tumbuh perasaan tenang, damai di dalam hati setiap peziarah, karena suasana alam yang mendukungnya; kesejukan karena banyak pohon, gua, patung, batu, air, kesunyian, dan keheningan sehingga para peziarah dengan khikmat dapat mewujudkan tujuan peziarahannya dengan baik. Tidak jarang pula mereka merasa lega dalam hati, karean sudah melaksanakan tugas suci untuk menghormati Allah lewat Maria Bunda Jesus. Mereka yang pergi berziarah merasa “kecil” karena banyaknya problem kehidupan yang harus dihadapi: sosial-politik, moral, pilihan martabat hidup. Namun menjadi tenang kembali ketika mereka dapat mengungkapkan setiap problem yangf dihadapi kepada Allah, melalui Jesus dan BundaNya.
c. Klasifikasi Devosi dan Realisasinya
Devosi kebaktian kepada Maria mempengaruhi sikap pribadi seseorang. Devosi juga dipengaruhi oleh tradisi setempat serta situasi konkret hidup manusia pada zamannya. Keterlibatan dan kesadaran itu mempengaruhi mereka untuk berserah diri kepada Tuhan lewat Maria dan dengan pertolongan Maria Bunda Jesus, mereka berusaha untuk terlibat langsung dalam kehidupan masyarakatnya: religiositas, budaya, sosial politik, dan hubungan dialogal tradisi untuk membangunan masyarakat.
Hubungan-hubungan semacam ini memperhatikan kenyataan masyarakat yang meliputi antara lain:
1) Matiraga: berjalan kaki agak jauh, panas, jalan licin berlumpur, hujan. Pendeknya aspek perjuangan diperehatikan. Sebab hanya melalui perjuangan orang sampai pada penemuan makna kegiatannya.
2) “Hari yang baik”: Mei adalah bulan di musim semi; Oktober adalah musim panen; kesuburan: Selasa/Jumat Kliwon, Jumat pertama.
3) Unsur Magik / Daya sakti: tempat keramat, disimbulkan dengan air sendang; apa lagi kalau dicampur air Lourdes (laku sekali) untuk pengusiran setan dan penyembuhan penyakit.
4) “Ngruwat”: disimbulkan dengan pembakaran surat, untuk menandai tekat peserta untuk melebur dosa dan mempersembahkan korban silih.
5) Mengirim sesaji: Mereka menghadap Maria dengan menyalakan lilin; memasang bunga (= Aneh bahwa dupa tidak menonjol); mengucapkan syukur dan terima kasih, kaul dan nadar; mohon perlindungan selanjut dan intensi lainnya.
6) “Samadi/ menyepi”: tugur di lantai gua; di atas kertas koran, keheningan malam; suasana alam yang sunyi; berdoa rosario atau berdoa di depan Arca Bunda Maria.
PERAN MARIA MENURUT KITAB SUCI
Dalam Kitab Suci, Maria diakui sebagai Bunda Pengantara Rahmat dan Ratu Perdamaian serta teladan bagi umat beriman bagi umat beriman. Gambaran itu dapat ditemukan dimana-mana. Di sini saya mencoba mendekati tradisi Sendangsono dari sisi apa yang terjadi, tetapi kita juga bisa bertanya bagaimana Kitab Suci mengajarkan, membimbing dan mengantar kita kepada semangat perdamaian (= rekonsiliasi) dalam keterlibatan umat beriman di tengah kehidupan konkret masyarakat kita. Untuk lebih membantu saya mencoba mendekati peran Maria dan kemudian menelusiri dalam aktivitas hidup kita.
1. Tekas Kitab Suci: Lukas bab 1 dan 2
Dari kebanyakan tulisan Perjanjian Baru (= P.B.) Maria tidak atau hampir tidak disebut. Beberapa teks yang menyinggung tentang Maria antara lain:
a. Gal. 4:4: Maria diakui sebagai ibu Jesus, yang melahirkanNya secara fisik.
b. Kis. 1,14: Mereka bertekun dalam doa bersama Maria, ibu Jesus, dan bersama beberapa perempuan lain (Cf. Kis Rasul 1,14).
c. Wahyu 12:1 dst. Dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan.
d. Yo. 2: 1-12; Maria Ibu Jesus menyertai Jesus. Ia ada dalam perkawinan di Kana. Yo. 19: 25-27: Ia juga berdiri di bawah salib Jesus, puteranya.
e. Mk. 3:20-21 dst. Kaum keluarga datang hendak mengambil Jesus.
f. Matius bab 1 & 2: Kisah masa kanak-kanak Jesus. Bdk. Lukas 1 dan
Pendek kata dari teks Perjanjian Baru (= PB) sedikit saja informasi tentang Maria. Bahkan minat PB pertama-tama ditujukan kepada pribadi Jesus. Dari antara teks KS tersebut, di sini dipilih Lukas bab 1 dan 2, karena teks ini amat laku (= bahkan dihafal) di kalangan umat. Kiranya maksud pengarang adalah untuk mengajarklan bahwa sejak semula Jesu smempunyai martabat Messias, “yang terpilih oleh Allah”, sejak kelahiran Nya, hidupNya disebabkan dan dipimpin oleh Allah. Dalam Lukas Bab 1 dan 2: Maria digambarkan sebagai teladan sikap orang beriman terhadap Allah, rencanaNya dan MessiasNya; Maria sebagai peyambut Sabda dan karya Allah; Maria sebagai hamba Tuhan. Keluhuran Maria terletak dalam keterbukaannya tanpa syarat kepada Allah (yang didalamnya juga terkandung kegelapan iman). Tetapi perlu dicatat bahwa di atas itu semua, maria dipuji baha gia karena perbuatan-perbuatan dari yang Maha Kuasa.
2. Maria Menurut Konsili
a. Konsili Efesus Ds 251
Persoalan yang dibahas dalam Konsili ini, adalah kesalahan dan kemanusiaan Jesus. Kemudian muncul persoalan tentang Maria.
Pertama, Maria sebagai Bunda Manusia Jesus, dianggap kurang mengungkapkan keistimewaan Maria. Kedua, Maria sebagai Bunda Allah (<theotokos>). Pandangan ini ditolak oleh Nestorius, sebab Maria tidak tidak melahirkan keallahan Jesus, tetapoi dipandang dan dipakai sebagai istilah “Maria Pengandugn Allah” (<theodochos>) atau diusulkan sebagai jalan tengah: “Maria Bunda Kristus”.
Atas persoalan di atas, Konsili Efesus menegaskan kesatuan antara keallahan Jesus dan kemanusiannya. Logos Ilahi adalah subjek hidup manusiawi Jesus. Logos ilahi lahir dari Maria. Maka Maria harus disebut sebagai Bunda Allah (Ds. 251). Pendek kata gambaran Maria sebagai Bunda Allah harus dimengerti dalam kerangka Dogma Gereja tentang mister “Inkarnasi Allah” (= misteri keallahan dan kemanusiaan Jesus). Di mana akan budi manusia tidak cukup untuk bisa menangkap seluruh misteri penjelmaan Jesus.
b. Konsili Vatikan II: LG 60-69;
Dalam Vatikan II Mariologi ditempatkan dalam konteks eklesiologi. Dengan kata lain untuk membendung devosi liar pada Maria diberi segi eklesiologis nya. Uraian tentang Maria terdapat dalam Lumen Gentium Bab VIII a. 60-69. Nadanya cukup biblis, terutama Maria digambarkan sebagai “gambaran (= typhos) dan sebagai “suri teladan Gereja”. (LG. A. 63).
Pikiran yang melatarbelakangi gambaran Maria tersebut adalah gambaran tentang Gereja sendiri menurut Vatikan II: Gereja sebagai kumpulan orang beriman atau Gereja sebagai Peristiwa. Maria merupakan salah satu orang beriman. Adapun hubungan Maria dengan orang beriman lainnya diungkapkan dalam LG a. 61: “Santa Perawan Maria ikutserta secara istimewa sekali dalam karya penyelamat dengan ketaatan, iman, pengharapan dan cinta kasihnya yang bernyala-nyala untuk memulihkan hidup berahmat”.Atas alasan itulah ia adalah Ibu kita dalam tata rahmat.
3. Maria Dalam Hidup Umat Beriman: Hubungan Devosi dan Teologi
Kata devosi berarrti penghormatan, perhatian penuh hormat, pembaktian diri kepada yang ada di atas. Dengan kata lain devosi merupakan penghayatan iman pribadi dan berangkat dari kebutuhan, seperti kebutuhan untuk berdamai satu sama lain. Sedangkan teologi merupakan refleksi iman Gereja. Titik temu antara devosi dan refleksi iman (= teologi) terletak dalam diri kita sendiri (= orang yang berefleksi atas imanya). Baik devosi maupun teologi, keduanya terarah pada penghayatan iman sendiri. Kita akui bahwa berhubungan dengan Marai devosi jauh lebiuh maju dari pada teologi, yang kemudian terpaksa mengejar. Namun juga harus diakui bahwa seringkali devosi tidak bisa dijelaskan secara teologis.
Misalnya betapa sulitnya, bahkan hampir tidak mungkin menjelaskan secara teologis tentang gelar-gelar Maria dalam litani Maria. Dari satu pihak , bila melulu ditekankan cdevosi pada Maria, terlepas dari konteks iman yang lebih luas (= misalnya: keselamatan Allah, peranan Kristus, Gereja, dll. ) serta bisa berhenti pada segiperasaan yang berlebihan melulu. Dari lain pihak, bila terlalu ditekankan teologi (= Mariologi), bisa jadi iman menjadi kering, kurang menjawab kebutuhan yang hidup di antara umat.
PRAKTEK PASTORAL
Sehubungan dengan fenomen Sendangsono, dan bentuk-bentuk devosi Maria yang sejenisnya, kiranya dapat diajukan beberapa kemungkinan pelayanan pastoral sebagai berikut:
1. Gelar Maria sebagai bunda, Pengantara segala rahmat, boleh saja tetap hidup, asal dimengerti secara baik. Demikian pula Maria sebagai Ratu Perdamaian. Sebab Maria bukan saingan Allah dan Kriostus dalam memberikan rahmat. Tetapi gelar-gelar itu, dengan segala perasaan yang terkandung di dalamnya, merupakan gelar fungsional di antara kita. Artinya, Maria di pihak kita! Maria bukan ditengah antara manusia dan Allah, karena satu-satunya pengantara antara manusia dan Allah adalah Kristus (bdk. 1 Tim. 2:5). Kita bukan orang MRIS (Maria-Kristus), melainkan orang Kristen (maaf juga bukan orang Jesuit = menyamakan diri dengan Jesus). Maria adalah ibu kita dalam tata rahmat.
2. Gelar Maria sebagai “teladan” orang beriman. Gelar ini bisa di wartakan dalam kotbah, khususnya menjelaskan faham biblis. Doa rosario dengan menggunakan renungan pendek dari kutipan Kitab Suci. (terutama peristiwa-peristiwa gembira).
3. Untuk mengimbangi devosi kepada Maria, jalan salib perlu dipertahankan, karena ini cukup menampilkan segi kristologis. Pada pengertiam mengenai keistimewaan Jesus bergantunglah, sejauh mana orang menangkap keluhuran Maria.
4. Segi-segi afektif, suasana hening meditatip, jalan tak usah diratakan (= aspal), perlu dipertahankan dan dijaga. Pembangunan gedung-gedung di sekitar lokasi devosi merusak suasana alam. Aspek Ziarah/menghadap Allah.
5. Suasana magis, misalnya: air yang keluar dari “sendang” tidak mengandung kekuatan gaib. Tetapi kalau kita membawa sebagai tanda kepercayaan bahwa Maria memperhatikan kita, mendukung kita dengan doa-doanya, dan pemakaiannya diiringi pembaharuan sikap yang baik, termasuk sikap berdamai, yang terus menerus menjadi “keinginan menjadi sahabat” (bdk. “be friending in desire”), yang telah dimulai di Sendangsono dan diteruskan kepada semua orang yang percaya kepada Dia “sumber damai” manusia di bumi kita ini.
1. Sejarah singkat:
Fenomen Rekonsiliasi di Gua Maria Sendangsono
Asal usul devosi Maria. Pada permulaan tahun 1903, Pater Van Lith dikunjungi ketegisnya, yang membawa seorang bekas pengikut Kyai Sadrach yang bernama Daud dengan empat bekel (= Kepala Desa) dari daerah kalibawang. Tanggal 20 Mei 1904 keempat orang itu dibaptis oleh Pater Van Lith. Kemudian mereka mengajar agama bagi umat di sekitar Sendangsono. Tanggal 14 Desember 1904 terjadi peristiwa besar sekitar, 173 orang di baptis di Mata Air Sendangsono.
Kenyataan itu menjadi awal terjadinya rekonsiliasi antara orang yang cenderung berlaku hitam dengan mereka yang hidup dalam terang kebenaran, menjadi awal dan pembuka pewartaan Injil bagi orang-orang Jawa. awal dan pembuka pewartaan Injil bagi orang-orang Jawa. Kuncinya adalah yang bersalah tidak diadili atau dihukum, tetapi mereka diterima setelah mendengar warta kebenaran, Injil. Kesalahan membawa mereka kepada kehidupan yang lebih baik dan sejahtera. Pada tanggal 8 Desember 1929 diadakan perayaan ekaristi dan prosesi sebagai ucapan syukur atas dibaptisnya sejumlah orang Jawa di Sendangsono 25 tahun yang lalu. Sendangsono diberkati dan diresmikan sebagai tempat peribadatan umat beriman. Kemudian ditegaskan pula oleh Pater Prenntheler bahwa peran Jesus - Maria jauh mengatasi peran “Den Rara Lantangsari dan Den Bagus Samijo, yang dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai “Pepunden masyarakat” (= pribadi yang dihormati dan dijunjung tinggi). Jesus dan Maria tidak jauh tetapi tetap dekat pada umat dan masuk ke dalam hati mereka.
2. Ada apa dengan kebaktian Maria?
a. Perbuatan-perbuatan
Perbuatan sehari-hari umumnya berkaitan dengan iman. Devosi mereka diwujudi dengan jalan kaki untuk ke dan dari suatu tempat perjumpaan antar pribadi orang beriman; Mereka menggunakan simbol-simbol iman umat setempat yang sederhana: doa rosario dan bukan meditasi; jalan salib dan bukan Misa karena imam jarang dan jauh; Mereka menyanyi dan menyalakan lilin sebagai simbol persekutuan umat beriman perdana (Kis. 2: 42-44; 4: 32-37). Doa bersama dilambungkan dan tindak ambil atau beli air sendang secara berebutan dilakukan. Itu semua merupakan tanda kehidupan bersama. Selanjutnya di tempat yang sama selalu diadakan pembukaan Bulan ziarah ke Sendangsono pada bulan Mei, yang dibuka dan ditutup dengan Ekaristi Kudus, serta dengan prosesi obor, yang menjadi simbol hadirnya juru terang kedalam kehidupan umat.
b. Perasaan-perasaan
Makna ziarah Maria dialami oleh banyak orang sebagai upaya meningkatkan persekutuan beriman yang ditandai dengan perasaan menjadi sahabat satu sama lain, rela bertemua walau harus berjalan jauh, dan kenyataan semakin dikuatkan kepercayaan pada Jesus sendiri.
Dalam persekutuan itu juga tumbuh perasaan tenang, damai di dalam hati setiap peziarah, karena suasana alam yang mendukungnya; kesejukan karena banyak pohon, gua, patung, batu, air, kesunyian, dan keheningan sehingga para peziarah dengan khikmat dapat mewujudkan tujuan peziarahannya dengan baik. Tidak jarang pula mereka merasa lega dalam hati, karean sudah melaksanakan tugas suci untuk menghormati Allah lewat Maria Bunda Jesus. Mereka yang pergi berziarah merasa “kecil” karena banyaknya problem kehidupan yang harus dihadapi: sosial-politik, moral, pilihan martabat hidup. Namun menjadi tenang kembali ketika mereka dapat mengungkapkan setiap problem yangf dihadapi kepada Allah, melalui Jesus dan BundaNya.
c. Klasifikasi Devosi dan Realisasinya
Devosi kebaktian kepada Maria mempengaruhi sikap pribadi seseorang. Devosi juga dipengaruhi oleh tradisi setempat serta situasi konkret hidup manusia pada zamannya. Keterlibatan dan kesadaran itu mempengaruhi mereka untuk berserah diri kepada Tuhan lewat Maria dan dengan pertolongan Maria Bunda Jesus, mereka berusaha untuk terlibat langsung dalam kehidupan masyarakatnya: religiositas, budaya, sosial politik, dan hubungan dialogal tradisi untuk membangunan masyarakat.
Hubungan-hubungan semacam ini memperhatikan kenyataan masyarakat yang meliputi antara lain:
1) Matiraga: berjalan kaki agak jauh, panas, jalan licin berlumpur, hujan. Pendeknya aspek perjuangan diperehatikan. Sebab hanya melalui perjuangan orang sampai pada penemuan makna kegiatannya.
2) “Hari yang baik”: Mei adalah bulan di musim semi; Oktober adalah musim panen; kesuburan: Selasa/Jumat Kliwon, Jumat pertama.
3) Unsur Magik / Daya sakti: tempat keramat, disimbulkan dengan air sendang; apa lagi kalau dicampur air Lourdes (laku sekali) untuk pengusiran setan dan penyembuhan penyakit.
4) “Ngruwat”: disimbulkan dengan pembakaran surat, untuk menandai tekat peserta untuk melebur dosa dan mempersembahkan korban silih.
5) Mengirim sesaji: Mereka menghadap Maria dengan menyalakan lilin; memasang bunga (= Aneh bahwa dupa tidak menonjol); mengucapkan syukur dan terima kasih, kaul dan nadar; mohon perlindungan selanjut dan intensi lainnya.
6) “Samadi/ menyepi”: tugur di lantai gua; di atas kertas koran, keheningan malam; suasana alam yang sunyi; berdoa rosario atau berdoa di depan Arca Bunda Maria.
PERAN MARIA MENURUT KITAB SUCI
Dalam Kitab Suci, Maria diakui sebagai Bunda Pengantara Rahmat dan Ratu Perdamaian serta teladan bagi umat beriman bagi umat beriman. Gambaran itu dapat ditemukan dimana-mana. Di sini saya mencoba mendekati tradisi Sendangsono dari sisi apa yang terjadi, tetapi kita juga bisa bertanya bagaimana Kitab Suci mengajarkan, membimbing dan mengantar kita kepada semangat perdamaian (= rekonsiliasi) dalam keterlibatan umat beriman di tengah kehidupan konkret masyarakat kita. Untuk lebih membantu saya mencoba mendekati peran Maria dan kemudian menelusiri dalam aktivitas hidup kita.
1. Tekas Kitab Suci: Lukas bab 1 dan 2
Dari kebanyakan tulisan Perjanjian Baru (= P.B.) Maria tidak atau hampir tidak disebut. Beberapa teks yang menyinggung tentang Maria antara lain:
a. Gal. 4:4: Maria diakui sebagai ibu Jesus, yang melahirkanNya secara fisik.
b. Kis. 1,14: Mereka bertekun dalam doa bersama Maria, ibu Jesus, dan bersama beberapa perempuan lain (Cf. Kis Rasul 1,14).
c. Wahyu 12:1 dst. Dalam keluhan dan penderitaannya hendak melahirkan ia berteriak kesakitan.
d. Yo. 2: 1-12; Maria Ibu Jesus menyertai Jesus. Ia ada dalam perkawinan di Kana. Yo. 19: 25-27: Ia juga berdiri di bawah salib Jesus, puteranya.
e. Mk. 3:20-21 dst. Kaum keluarga datang hendak mengambil Jesus.
f. Matius bab 1 & 2: Kisah masa kanak-kanak Jesus. Bdk. Lukas 1 dan
Pendek kata dari teks Perjanjian Baru (= PB) sedikit saja informasi tentang Maria. Bahkan minat PB pertama-tama ditujukan kepada pribadi Jesus. Dari antara teks KS tersebut, di sini dipilih Lukas bab 1 dan 2, karena teks ini amat laku (= bahkan dihafal) di kalangan umat. Kiranya maksud pengarang adalah untuk mengajarklan bahwa sejak semula Jesu smempunyai martabat Messias, “yang terpilih oleh Allah”, sejak kelahiran Nya, hidupNya disebabkan dan dipimpin oleh Allah. Dalam Lukas Bab 1 dan 2: Maria digambarkan sebagai teladan sikap orang beriman terhadap Allah, rencanaNya dan MessiasNya; Maria sebagai peyambut Sabda dan karya Allah; Maria sebagai hamba Tuhan. Keluhuran Maria terletak dalam keterbukaannya tanpa syarat kepada Allah (yang didalamnya juga terkandung kegelapan iman). Tetapi perlu dicatat bahwa di atas itu semua, maria dipuji baha gia karena perbuatan-perbuatan dari yang Maha Kuasa.
2. Maria Menurut Konsili
a. Konsili Efesus Ds 251
Persoalan yang dibahas dalam Konsili ini, adalah kesalahan dan kemanusiaan Jesus. Kemudian muncul persoalan tentang Maria.
Pertama, Maria sebagai Bunda Manusia Jesus, dianggap kurang mengungkapkan keistimewaan Maria. Kedua, Maria sebagai Bunda Allah (<theotokos>). Pandangan ini ditolak oleh Nestorius, sebab Maria tidak tidak melahirkan keallahan Jesus, tetapoi dipandang dan dipakai sebagai istilah “Maria Pengandugn Allah” (<theodochos>) atau diusulkan sebagai jalan tengah: “Maria Bunda Kristus”.
Atas persoalan di atas, Konsili Efesus menegaskan kesatuan antara keallahan Jesus dan kemanusiannya. Logos Ilahi adalah subjek hidup manusiawi Jesus. Logos ilahi lahir dari Maria. Maka Maria harus disebut sebagai Bunda Allah (Ds. 251). Pendek kata gambaran Maria sebagai Bunda Allah harus dimengerti dalam kerangka Dogma Gereja tentang mister “Inkarnasi Allah” (= misteri keallahan dan kemanusiaan Jesus). Di mana akan budi manusia tidak cukup untuk bisa menangkap seluruh misteri penjelmaan Jesus.
b. Konsili Vatikan II: LG 60-69;
Dalam Vatikan II Mariologi ditempatkan dalam konteks eklesiologi. Dengan kata lain untuk membendung devosi liar pada Maria diberi segi eklesiologis nya. Uraian tentang Maria terdapat dalam Lumen Gentium Bab VIII a. 60-69. Nadanya cukup biblis, terutama Maria digambarkan sebagai “gambaran (= typhos) dan sebagai “suri teladan Gereja”. (LG. A. 63).
Pikiran yang melatarbelakangi gambaran Maria tersebut adalah gambaran tentang Gereja sendiri menurut Vatikan II: Gereja sebagai kumpulan orang beriman atau Gereja sebagai Peristiwa. Maria merupakan salah satu orang beriman. Adapun hubungan Maria dengan orang beriman lainnya diungkapkan dalam LG a. 61: “Santa Perawan Maria ikutserta secara istimewa sekali dalam karya penyelamat dengan ketaatan, iman, pengharapan dan cinta kasihnya yang bernyala-nyala untuk memulihkan hidup berahmat”.Atas alasan itulah ia adalah Ibu kita dalam tata rahmat.
3. Maria Dalam Hidup Umat Beriman: Hubungan Devosi dan Teologi
Kata devosi berarrti penghormatan, perhatian penuh hormat, pembaktian diri kepada yang ada di atas. Dengan kata lain devosi merupakan penghayatan iman pribadi dan berangkat dari kebutuhan, seperti kebutuhan untuk berdamai satu sama lain. Sedangkan teologi merupakan refleksi iman Gereja. Titik temu antara devosi dan refleksi iman (= teologi) terletak dalam diri kita sendiri (= orang yang berefleksi atas imanya). Baik devosi maupun teologi, keduanya terarah pada penghayatan iman sendiri. Kita akui bahwa berhubungan dengan Marai devosi jauh lebiuh maju dari pada teologi, yang kemudian terpaksa mengejar. Namun juga harus diakui bahwa seringkali devosi tidak bisa dijelaskan secara teologis.
Misalnya betapa sulitnya, bahkan hampir tidak mungkin menjelaskan secara teologis tentang gelar-gelar Maria dalam litani Maria. Dari satu pihak , bila melulu ditekankan cdevosi pada Maria, terlepas dari konteks iman yang lebih luas (= misalnya: keselamatan Allah, peranan Kristus, Gereja, dll. ) serta bisa berhenti pada segiperasaan yang berlebihan melulu. Dari lain pihak, bila terlalu ditekankan teologi (= Mariologi), bisa jadi iman menjadi kering, kurang menjawab kebutuhan yang hidup di antara umat.
PRAKTEK PASTORAL
Sehubungan dengan fenomen Sendangsono, dan bentuk-bentuk devosi Maria yang sejenisnya, kiranya dapat diajukan beberapa kemungkinan pelayanan pastoral sebagai berikut:
1. Gelar Maria sebagai bunda, Pengantara segala rahmat, boleh saja tetap hidup, asal dimengerti secara baik. Demikian pula Maria sebagai Ratu Perdamaian. Sebab Maria bukan saingan Allah dan Kriostus dalam memberikan rahmat. Tetapi gelar-gelar itu, dengan segala perasaan yang terkandung di dalamnya, merupakan gelar fungsional di antara kita. Artinya, Maria di pihak kita! Maria bukan ditengah antara manusia dan Allah, karena satu-satunya pengantara antara manusia dan Allah adalah Kristus (bdk. 1 Tim. 2:5). Kita bukan orang MRIS (Maria-Kristus), melainkan orang Kristen (maaf juga bukan orang Jesuit = menyamakan diri dengan Jesus). Maria adalah ibu kita dalam tata rahmat.
2. Gelar Maria sebagai “teladan” orang beriman. Gelar ini bisa di wartakan dalam kotbah, khususnya menjelaskan faham biblis. Doa rosario dengan menggunakan renungan pendek dari kutipan Kitab Suci. (terutama peristiwa-peristiwa gembira).
3. Untuk mengimbangi devosi kepada Maria, jalan salib perlu dipertahankan, karena ini cukup menampilkan segi kristologis. Pada pengertiam mengenai keistimewaan Jesus bergantunglah, sejauh mana orang menangkap keluhuran Maria.
4. Segi-segi afektif, suasana hening meditatip, jalan tak usah diratakan (= aspal), perlu dipertahankan dan dijaga. Pembangunan gedung-gedung di sekitar lokasi devosi merusak suasana alam. Aspek Ziarah/menghadap Allah.
5. Suasana magis, misalnya: air yang keluar dari “sendang” tidak mengandung kekuatan gaib. Tetapi kalau kita membawa sebagai tanda kepercayaan bahwa Maria memperhatikan kita, mendukung kita dengan doa-doanya, dan pemakaiannya diiringi pembaharuan sikap yang baik, termasuk sikap berdamai, yang terus menerus menjadi “keinginan menjadi sahabat” (bdk. “be friending in desire”), yang telah dimulai di Sendangsono dan diteruskan kepada semua orang yang percaya kepada Dia “sumber damai” manusia di bumi kita ini.
0 komentar:
Posting Komentar