(Buku “TANDA”, Kanisius)
1. Gembala Yang Baik!
“
Aku adalah anak gembala, selalu riang serta gembira”, 1. Gembala Yang Baik!
“
karena aku senang bekerja, tak pernah malas ataupun lengah”
Tra la la la la la la…tra la la la la la la….
setiap hari kubawa ternak ke padang rumput di kaki bukit
Rumputnya hijau subur dan banyak
Ternakku makan, tak pernah sdikit
Tra la la la la la la…tra la la la la la la….”
Di tahun pertama tahbisan, saya ditugas-karyakan menjadi “pastor” (Bhs Latin: gembala) di paroki St.Maria Tangerang, salah satu dari sembilan paroki tua di Keuskupan Agung Jakarta. Di paroki ini, saya bertugas bersama tiga pastor dan satu frater diakon, semuanya dari Ordo Serikat Yesus. Ada sekitar 20 ribu umat dengan lima stasi yang tersebar pencar. Ada yang di Teluk Naga, Tanjung Kait, Rajek, Kotabumi dan Poris. Selain bertugas rutin di paroki, saya sendiri sekarang bertugas menjadi pastor moderator di stasi Teluk Naga dan Tanjung Kait, dekat pinggir laut. Kadang juga merayakan misa dan berkunjung ke penjara, rumah sakit kusta serta beberapa sekolah dan kampus di sekitar kota Tangerang. Kerap, saya membayangkan, bagaimana mungkin empat orang (bahkan sekarang hanya tinggal tiga pastor), bisa melayani 20 ribu orang dengan lima stasi ini?
Sepintas-kilas, saya mendapatkan satu kalimat singkat padat tapi sebetulnya memikat, minimal bagi saya, yang pernah saya dapatkan dari seorang imam projo sekaligus budayawan-seniman, yang lama tinggal di Kali Code Yogyakarta, Romo Mangunwijaya, Pr, “si burung manyar”. Ia menyatakan,“setiap orang bisa jadi pastor!”. Iya, tanpa masuk seminari, tanpa harus belajar bahasa latin atau hidup di asrama/biara selama belasan tahun, tanpa harus hidup selibat, tanpa harus mengikrarkan kaul, karena senyatanya setiap orang adalah pastor (baca:gembala) bagi umat yang lainnya. Suami adalah gembala bagi istrinya, orangtua gembala bagi keluarga dan anak-anaknya, warga gembala bagi sesamanya, begitu juga sebaliknya bukan?
Yesus sendiri memperkenalkan dirinya sebagai “Gembala Baik” (Pastor Bonus, Yohanes 10:11). Kitapun juga sebenarnya dipanggil menjadi gembala baik. Sebetulnya, secara sederhana, mengacu pada lagu anak-anak yang kembali dipopulerkan oleh seorang bintang cilik, Tasya, “Aku adalah Anak Gembala”, ada tiga ciri gembala yang baik, yakni:
Pertama: GEMbiralah dalam karya (“Aku adalah anak gembala, selalu riang serta gembira”). Ketika anda mengunjungi daerah padang gurun di sekitar Israel, dan bahkan mendaki sampai puncak gunung Sinai, anda akan berjumpa dengan beberapa kelompok gembala, yang biasa dikenal dengan suku Baduin. Di tengah panasnya udara, lihatlah mereka tetap masih bisa membagikan senyumannya kepada teman dan orang lain yang mereka jumpai.
Kedua, BA’jaga’lah dalam doa (“karena aku senang bekerja, tak pernah malas ataupun lengah”). Seorang gembala dari suku Baduin tersebut, tentunya harus tahu kondisi medan atau konteks alam dimana para domba ternaknya hidup. Banyak dari mereka yang terus berjaga, menemani para dombanya, sambil tetap memegang tongkat kayu jika sewaktu-waktu diperlukan. Bukankah Yesus sendiri pernah mengingatkan, kita itu diutus seperti domba ke tengah serigala. Ada banyak serigala modern yang siap menerkam kita dan domba-domba kita juga bukan?
Ketiga, LAyanilah dalam cinta (“setiap hari kubawa ternak ke padang rumput di kaki bukit).” Suhu udara di padang gurun Israel kalau siang terasa panas sekali, kalau malam terasa dingin sekali, dan memang kerap sulit mendapatkan air. Tapi betapa para gembala, dari suku Baduin ini tetap melayani: rajin membawa serombongan ternak mereka, setiap hari untuk mencari tempat makan.
Pertanyaannya, sudahkah kita bergembira? Setiakah kita berjaga? Dan relakah kita melayani?
2. Roti Istimewa
“Panis Angelicus fit panis hominum,
Dat Panis caelicus figuris terminum,
O res mirabilis!
Manducat Dominum pauper servus et humilis!”
Salah satu dari tujuh pernyataan diri Yesus dalam injil Yohanes 6, yakni “Akulah Roti Hidup”. Memang, ada begitu banyak roti yang kita kenal di mall atau resto. Ada roti tawar sampai roti tart, dari Bread Talk di Singapura, Bread In, J Co, Dunkin Donuts di Amerika, Holland Bakery sampai roti Unyil di Bogor. Tapi roti ini istimewa, dia lain daripada yang lain. “Inilah roti yang telah turun dari sorga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”
Maka dari itulah, saya mengartikan Roti ini sebagai, Rahmat Oleh Tuhan, yaitu Iman. Mengapa rahmat oleh Tuhan? Lihat dan dalamilah arti dari lagu dengan lirik bahasa Latin, di atas:
“Panis Angelicus fit panis hominum, - Roti malaekat menjadi roti manusia,
Dat Panis caelicus figuris terminum, - Roti surgawi mendapat bentuk terbatas,
O res mirabilis! - Oh begitu mengagumkan!
Manducat Dominum pauper servus et humilis! - Hamba yang miskin dan hina makan Tuannya!
Bayangkanlah, roti malaikat yang ilahi bisa menjadi roti manusia yang insani, yang bahkan mendapat bentuk terbatas, dalam sebuah hosti kecil, bundar dan begitu tipis (hostia: korban), yang kita kenangkan dalam sakramen Ekaristi. Lewat Ekaristilah, kita melihat betapa Tuhan begitu memberi kita rahmat: kita, yang miskin dan hina karena dosa ini, boleh menyantap Tuhan yang kaya, mulia dan penuh cinta ini.
Mengapa iman? Iman dalam kacamata Magisterium (kuasa/wewenang mengajar yang sah), berarti gratia, semacam karunia cuma-cuma dari Allah (grace-gratia-gratis, bdk.St.Agustinus). Lewat Ekaristi jugalah, kita mendapatkan rahmat oleh Tuhan, yaitu iman. Iman akan kehidupan, sengsara, wafat juga yang pasti kebangkitanNya ke surga.
Dan dengan iman, ingatlah penggalan lagu populer kristiani ini,
“Maukah kau jadi roti yang terpecah bagiKu ? Maukah kau jadi anggur yang tercurah bagiKu ? Maukah kau jadi saksi memb’ritakan InjilKu ? Melayani, mengasihi lebih sungguh. Aku mau jadi roti yang terpecah bagiMu. Aku mau jadi anggur yang tercurah bagiMu. Aku mau jadi saksi memb’ritakan InjilMu, Melayani, mengasihi lebih sungguh."
Bagaimana, apakah kita mau jadi roti yang terpecah dan anggur yang tercurah bagi yang lain juga, terlebih bagi setiap keluarga kita masing-masing?
3. Seindah Mutiara
“Lama sudah aku mencari
ketenangan di dalam diri
atau tempat pautan hati
Kala ku sendiri
Dikaulah mutiara
Yang lama kucari
sekarang berjumpa
Mutiara yang hilang
Hanyalah kiasan
Tapi dikau orangnya
Kini aku telah bertemu
Dia yang tlah lama kucari
Mutiara yang hilang dulu
Jumpa lagi”
Bicara soal mutiara ada banyak contohnya. Di Pluit, ada Pantai Mutiara. Di Daan Mogot ada Apotik Mutiara. Di Kotabumi ada perumahan Mutiara Pluit. Di Malioboro ada Hotel Mutiara. Di salon-salon ada masker mutiara. Di laut ada kerang mutiara, di leher ibu-ibu ada kalung atau perhiasan mutiara. Di buku-buku rohani ada kata-kata mutiara. Nah, apakah di hati kita juga ada mutiara? Mutiara! itulah satu dari tujuh perumpamaan tentang Kerajaan Surga yang dijelaskan oleh Yesus dalam Matius bab 13. Mutiara ini sebenarnya terdiri dari tiga sikap dasar, yakni:
- Mu: Muliakan Tuhan
Adalah seorang lelaki Katolik yang lahir pada tahun 1491, di kastil Loyola, Spanyol. Awalnya, ia menekuni karier militer, dan pernah terluka dalam sebuah peperangan di tahun 1521. Dalam proses penyembuhannya inilah, ia mengalami kelahiran kembali. Pemicunya sederhana saja. Ia membaca dua buku, “Hidup Kristus” dan “Hidup Para Kudus”. Ia membayangkan, “Apa yang akan terjadi bila saya juga melakukan perkara yang dikerjakan oleh Fransiskus dan Dominikus?”
Dialah Ignatius Loyola. Dia mau memuliakan Tuhan, maka ia berjalan kaki lebih dari 3000 kilometer menuju Yerusalem, di jaman ketika orang-orang Eropa umumnya tidak pernah melancong lebih dari 15 kilometer dari tempat kelahirannya. Berjalan selama 18 bulan untuk mencapai Yerusalem agar ia bisa merasa lebih dekat dengan Kristus. Pengalaman batinnya, yang sangat menentukan berlangsung Maret 1522 – Februari 1523 di Manresa. Dalam rentang waktu ini, ia mengalami pencerahan Ilahi. Ia pun mencatat pengalaman rohani ini hari demi hari (kini dikenal dengan nama LR, Latihan Rohani). Dalam asas dan dasar LR, dia menulis, “tujuan setiap manusia diciptakan adalah untuk memuji dan memuliakan Tuhan”. Kini, para pengikut Ignatius, (Serikat Yesus) dan beberapa kolese Yesuit, kerap menegas-tegaskan semboyannya, “AMDG, Ad Maiorem Dei Gloriam”, demi lebih besarnya kemuliaan Tuhan.
- Ti: Tingkatkan Iman
Yesus menyiratkan bahwa dunia kita seperti sebuah ladang - ada yang menjadi ilalang juga ada yang menjadi gandum, seperti jala/pukat – ada ikan yang baik juga ada yang buruk, seperti padang – ada yang menjadi domba juga ada yang menjadi kambing. Ignatius dalam Latihan Rohani juga pernah menjelaskan tentang “Meditasi Dua Panji” (LR 136 – 147). Dalam meditasi ini kita dipanggil untuk bertempur melawan segala kejahatan. Kita diajak untuk masuk, bukan untuk menonton, melainkan ikut terlibat dalam peperangan.
Di satu kubu, ada pasukan kekuatan kebaikan dan kebenaran yang berjuang membangun Kerajaan Allah. Di lain kamp, ada barisan kekuatan si jahat dan kepalsuan yang juga berupaya untuk memperdaya dan meruntuhkan Kerajaan Allah. Maka, dari itu kita perlu meningkatkan iman, supaya tidak seperti pepatah Jawa, “esuk dele sore tempe – lambe domble mencla mencle”, sehingga sungguh menjadi kota di atas gunung, dan cahaya di atas kaki dian bagi masyarakat sekitarnya (Mat 5:13) dengan pelbagai media dan sarana khas dunia yang ada, bagi perkembangan iman dan pemeliharaan jiwa-jiwa, ...”karena itu manusia harus mempergunakannya sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan ia diciptakan, dan harus melepaskan diri dari barang tersebut, sejauh itu merintang dirinya....” (LR 23).
- Ara: Arahkan Tujuan
Yesus mengatakan, akan datang saatnya pemisahan. Orang benar akan dipisahkan dari yang jahat, gandum dari ilalang, domba dari kambing, ikan yang baik dari ikan yang buruk. Orang jahat akan dicampakkan ke dalam dapur api, disanalah terdapat ratapan dan kertakan gigi. Kita diajak untuk arahkan tujuan ke surga, bukan ke neraka, ke Tuhan dan bukan ke setan. Bukankah, memang benar masih ada hidup setelah hidup kita di dunia ini?
0 komentar:
Posting Komentar