"What language is that?" tanya seorang
wanita bule setengah baya disampingku. Umurnya aku taksir diatas tempat puluh.
Rambutnya pirang, dan dari pakaian yang dikenakan tampaknya ia seorang pekerja
kantoran. Ia bertanya tentang buku yang sedang aku baca lembar demi lembar.
"Oh, it's Indonesian language," jawabku singkat. Reaksinya biasa, tapi
ia tampak antusias.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku lanjutkan pembicaraan itu, "it's a good book, you know, and he's a good writer too." Tampaknya wanita itu tertarik. Mungkin hobinya membaca, demikian pikirku dalam hati. Lalu, aku tambahi, " if you're isterested you can find it at Olson Book Store. It's already translated in English." Kusebutkan salah satu toko buku yang cukup nge-top untuk daerah Washington, D.C. sini.
"Who's the author's name?" tanya wanita itu seperti tertarik akan promosiku. "His name is Pramoedya Ananta Toer" jawabku. "if you happen at Olso, just look for the last name T-O-E-R" Biasanya kalo kita mencari buku di toko-toko buku sini, yang kita sebutkan adalah nama belakang pengarangnya. "T-O-E-R, Toer," begitu dia mengeja dan mengulang, bagai ingin melekatkan dalam ingatannya. Beberapa judul buku Pram, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, memang di jual di toko buku Olson. Bahkan ketika Pram berkunjung ke Amerika beberapa tahun lalu, ia sempat jumpa penggemar dan menandatangani buku-bukunya di toko buku ini.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan aku lanjutkan pembicaraan itu, "it's a good book, you know, and he's a good writer too." Tampaknya wanita itu tertarik. Mungkin hobinya membaca, demikian pikirku dalam hati. Lalu, aku tambahi, " if you're isterested you can find it at Olson Book Store. It's already translated in English." Kusebutkan salah satu toko buku yang cukup nge-top untuk daerah Washington, D.C. sini.
"Who's the author's name?" tanya wanita itu seperti tertarik akan promosiku. "His name is Pramoedya Ananta Toer" jawabku. "if you happen at Olso, just look for the last name T-O-E-R" Biasanya kalo kita mencari buku di toko-toko buku sini, yang kita sebutkan adalah nama belakang pengarangnya. "T-O-E-R, Toer," begitu dia mengeja dan mengulang, bagai ingin melekatkan dalam ingatannya. Beberapa judul buku Pram, yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, memang di jual di toko buku Olson. Bahkan ketika Pram berkunjung ke Amerika beberapa tahun lalu, ia sempat jumpa penggemar dan menandatangani buku-bukunya di toko buku ini.
Judul buku-bukunya yang mudah didapat, antara lain Kwartet Buru-nya (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca), dan juga Nyanyi Sunyi Seorang Bisu yang telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris. Saat ditanya oleh wanita bule itu, aku sedang membaca buku Pram, yang dikarangnya di pulau Buru, yaitu:
"Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer." Buku itu bercerita tentang gadis-gadis Indonesia yang dijadikan budak sex oleh tentara Dai Nippon di jaman pendudukan Jepang, pada masa perang dunia ke dua (tahun 1942 - 1945). Semula aku kurang tertarik membacanya, karena aku pikir ini tentu cerita kuno yang membosankan. Fakta tentang hal-hal yang menyangkut isi cerita itu sendiri sampai sekarang tidak ada, dan bahkan tidak pernah muncul ke permukaan. Sejarah tidak pernah mencatat tragedi itu. Seolah-olah peristiwa itu hanya menjadi kenangan pahit yang patut di telan bumi.
Aku kira tak terungkapnya fakta tentang perbuatan keji ini ada sangkut pautnya dengan harga diri. Bagi bangsa Jepang, mereka tentu malu mengakui kesalahan-kesalahan yang demikian rendahnya, yang dilakukan oleh pendahulunya. Dan juga sebuah pengakuan, tentu akan berakibat pemberian ganti rugi yang tidak sedikit jumlahnya. Sedangkan bagi bangsa Indonesia sendiri, yang sangat menjunjung tinggi budaya malu (bahkan terkadang demikian keterla), persoalan itu ibarat sebuah aib bagi seluruh bangsa. Mereka berusaha menimbun aib yang demikian memalukannya itu, walaupun harus mengorbankan sejarah derita para anak bangsa yang malang itu.
Makin dalam lembar-lembar halaman terbaca, makin banyak informasi yang dapat aku ketahui. Para gadis malang itu ternyata dikumpulkan memang untuk memenuhi kebutuhan sex tentara Jepang, karena makin sulitnya mereka mendatangkan para wanita penghibur dari Jepang sendiri, China, dan Korea. Hal itu karena hubungan melalui laut dan udara semakin sulit dilakukan, kemungkinan akibat sergapan-sergapan yang banyak dilakukan terhadap kapal-kapal pengangkut Jepang oleh pihak tentara Sekutu. Pengumpulan para gadis ini tidak dilakukan melalui pengumuman tertulis dengan dokumen resmi atau melalui Lembaran Negara, melainkan melalui cara-cara lisan, atau dari mulut ke mulut. Hal ini tampaknya sudah menjadi perhitungan, karena dengan mengumumkan secara tertulis dapat memudahkan pelacakan. Dokumen-dokumen yang memuat adanya kegiatan itu bisa dijadikan barang bukti akan adanya kebijaksanaan tercela itu.
Para gadis, yang berumur rata-rata 15 tahunan ini, dikumpulkan dari keluarga para priyayi pegawai pemerintahan maupun kalangan bangsawan.Untuk mengelabuhi, pemerintah Dai Nippon menjanjikan menyekolahkan para gadis itu ke Jepang. Lembaga yang ditugaskan untuk mengelabuhi dan menipu ini bernama ‘Sedenbu' (Barisan/Jawatan Propaganda). Adanya c ita-cita mulia untuk menjadi wanita maju serta keinginan untuk mengabdi kepada masyarakat, membuat para gadis terpikat dengan janji itu. Hal lain adalah besarnya pengaruh dari peran orang tua, yang tidak ingin kehilangan jabatan maupun kedudukan, jika tidak menyerahkan anak gadisnya. Akhirnya, setelah dipisahkan dari orang tuanya, mereka dikumpulkan di sebuah asrama untuk kemudian diangkut dengan kapal ke berbagai titik pertahanan Jepang di Nusantara. Bahkan ada yang diangkut ke Singapura, dan juga Thailand.
Banyak yang mengalami kemujuran, namun lebih banyak lagi yang mengalami kemalangan. Beberapa gadis mampu melarikan diri dengan selamat dengan dibantu oleh penduduk sepetempat seperti di Singapura, juga di Thailand. Ada juga di dalam negeri yang mampu selamat, seperti di Makasar. Banyak diantara mereka yang ingin pulang, namun tidak tahu bagaimana caranya. Selain itu banyak pula diantara mereka yang malu untuk pulang ke kampung halamannya karena cita-cita semula bukan saja kandas namun sangat bertolak belakang. Bagi keluarga yang ditinggalkan, banyak yang telah menganggap mereka hilang atau mati. Diantara para gadis yang dijadikan budak sex, yang sangat memprihatinkan terutama adalah mereka yang dikirim ke titik-titik pertahanan Jepang di pelosok-pelosok Nusantara, yang penduduknya masih terbelakang. Salah satu contohnya adalah bagi mereka yang dikirim ke pertahanan Jepang di Pulau Buru.
Begitu Jepang kalah, para gadis itu ditelantarkan begitu saja, selain banyak pula yang dibunuh untuk menghilangkan jejak kebiadaban tentara Dai Nippon. Banyak diantara para gadis yang berada di pelosok-pelosok itu, begitu ditinggalkan tentara Jepang yang melarikan diri karena kalah perang, kemudian jadi rebutan penduduk asli setempat. Begitu juga dengan mereka yang ada di Pulau Buru. Akhirnya banyak yang terpaksa kawin dengan penduduk asli itu.
Hal terakhir ini yang mengakibatkan taraf peradaban dan kebudayaan mereka menjadi mundur. Mereka menjadi tawanan lingkungannya sendiri. Syarat hidup yang teramat berat menyebabkan mereka cepat menjadi tua.
Selain itu mereka disumpah untuk tidak boleh bicara bahasa ibu (Jawa/Indonesia) dalam berkomunikasi, terutama dengan pendatang, dan juga disumpah untuk setia kepada adat istiadat setempat.
Suku asli di Pulau Buru oleh para pendatang disebut suku Kayakaya. Mereka termasuk suku terbelakang dan memiliki budaya unik. Mereka hidup berkelompok dalam kampung-kampung. Setiap kampung dihuni oleh marga yang sama. Budaya unik lainnya adalah anggapan bahwa wanita adalah harta. Dengan begitu wanita menjadi obyek jual beli, atau dapat ditukar dengan barang- barang seperti: babi, tombak, parang, kain belacu, dan sarong seberang (kain sarung yang berasal dari luar Buru). Setiap wanita rata-rata dihargai 400 sampai 600 harta. Perhitungkan harta itu, misalnya seekor babi yang sudah tua dihargai 70 harta. Segala pekerjaan, mulai dari memasak, mengurus anak sampai dengan mengangkut barang-barang dalam sebuah perjalanan dilakukan oleh wanita. Para pria biasanya hanya memanggul tombak dan parang jika mereka berjalan beriringan.
Pertemuan antara para wanita (yang dijadikan budak sex dan kumudian ditelantarkan oleh tentara Dai Nippon) dengan para pendatang (dalam hal ini para tahanan politik yang dibuang ke Pulau Buru), banyak terjadi di awal tahun 70-an. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mereka mampu bertahan hidup selama 30 tahunan. Namun akhirnya banyak diantara para wanita itu yang ikut meninggal ketika wabah penyakit melanda para masyarakat suku terasing. Bangsa Indonesia sendiri tidak pernah mengungkap tentang adanya tragedi ini. Ia dianggap tidak ada ataupun hilang. Aku nggak tahu apakah ini ada hubungannya dengan kurang dihormatinya hak-hak asasi masing-masing warga negaranya, sehingga mereka ibarat jadi tumbalnya sejarah. Tumbal sejarah yang tampak layak untuk dilupakan daripada diingat dan dihargai.
Akhirnya wanita bule setengah baya itu turun dari kereta. Ia nggak pamitan kepadaku, dan aku juga cuek aja. Aku nggak tahu apakah sikap cueknya itu gara-gara ia memang cuek orangnya, atau gara-gara aku nyebut bahwa bahasa yang ada dalam buku yang tengah aku baca itu adalah Bahasa Indonesia. Negara tercinta kita, Indonesia, memang kemarin-kemarin nge-top disini.
Bukan nge-top lantaran berita-berita baik yang ditulis di koran, tapi nge-top lantaran di cap sebagai salah satu negara sarang teroris. Mudah-mudahan wanita bule itu nggak memukul rata dengan menganggapku satu diantara para teroris itu. Maklum, orang Amrik sekarang lagi ekstra-sensitif gara-gara "kejadian New York dan sebagainya" .
0 komentar:
Posting Komentar