“Ite inflammate omnia
Go, set the world alight!”.
"Pergilah dan kobarkanlah api Tuhan bagi dunia!"
28 - 10 - 2013.
Bersama dengan intensi peringatan Sumpah Pemuda sembari mengingat-kenang sepenggal semboyan populer, “100% Katolik, 100% Indonesia” ala Mgr. Soegijapranata, yang kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”, hari itulah saya mengalami dua momentum sederhana tentang makna kemerdekaan sebagai orang Katolik yang Indonesia sekaligus orang Indonesia yang Katolik.
Pertama, di pagi harinya, saya bersama rekan muda dari “CJ – Catholic Jeepers” dan beberapa umat Sragen mengadakan perayaan Sumpah Pemuda di penjara Sragen bersama dengan 27 narapidana kristiani, yang hampir semuanya berusia muda: Ada ibadat dan sharing, ada pembacaan puisi dan narasi tentang Ignatius Kusni Kasdut, ada juga pentas lagu lagu beserta pembacaan kembali teks Sumpah Pemuda dan sorak sorai kata “Merdeka” – “Merah darahku, Putih tulangku – Katolik imanku”. Jelasnya, lewat pelbagai hal sederhana inilah, mereka seakan hadir dan mengalir: berkata kata, bercerita, berdoa, bertindak tanduk sebagai anak anak muda yang merdeka.
Kedua, di sore harinya, saya bersama para mahasiswa Katolik Surakarta mempersembahkan misa peringatan Sumpah Pemuda di Loji Gandrung Solo. Ditemani deras air hujan yang luruh dan jatuh berpendar ke tanah di kota Solo, misapun berjalan lancar dan bahkan “Bung FX“, sang walikota Solo juga ikut duduk lesehan merayakan misa kudus di tengah semarak rekan muda lainnya yang terserak dan terarak dengan sorak sorai kata “Merdeka” – “Merah darahku, Putih tulangku – Katolik imanku”., tanpa menjaga jarak dan tanpa banyak pengawalan. Kesan pertama yang dihadirkan olehnya secara tidak langsung adalah rasa merdeka sebagai seorang beriman yang berjalan dan berjuang bersama yang lainnya dengan cara cara yang sederhana.
Mencandra dua momentum sederhana inilah, saya kembali merenung – menungkan arti sebuah kemerdekaan ala FX dengan trilogi dasarnya: “F"amily – Kekeluargaan yang Hangat, "F"raternity – Persaudaraan yang Andal, "F"aith – Keberimanan yang Militan”:
MERDEKA itu berarti bergandengan tangan,
bergandengan pikir, bergandengan hati, menyatukan visi misi dan mimpi demi satu
negeri pertiwi.Go, set the world alight!”.
"Pergilah dan kobarkanlah api Tuhan bagi dunia!"
28 - 10 - 2013.
Bersama dengan intensi peringatan Sumpah Pemuda sembari mengingat-kenang sepenggal semboyan populer, “100% Katolik, 100% Indonesia” ala Mgr. Soegijapranata, yang kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”, hari itulah saya mengalami dua momentum sederhana tentang makna kemerdekaan sebagai orang Katolik yang Indonesia sekaligus orang Indonesia yang Katolik.
Pertama, di pagi harinya, saya bersama rekan muda dari “CJ – Catholic Jeepers” dan beberapa umat Sragen mengadakan perayaan Sumpah Pemuda di penjara Sragen bersama dengan 27 narapidana kristiani, yang hampir semuanya berusia muda: Ada ibadat dan sharing, ada pembacaan puisi dan narasi tentang Ignatius Kusni Kasdut, ada juga pentas lagu lagu beserta pembacaan kembali teks Sumpah Pemuda dan sorak sorai kata “Merdeka” – “Merah darahku, Putih tulangku – Katolik imanku”. Jelasnya, lewat pelbagai hal sederhana inilah, mereka seakan hadir dan mengalir: berkata kata, bercerita, berdoa, bertindak tanduk sebagai anak anak muda yang merdeka.
Kedua, di sore harinya, saya bersama para mahasiswa Katolik Surakarta mempersembahkan misa peringatan Sumpah Pemuda di Loji Gandrung Solo. Ditemani deras air hujan yang luruh dan jatuh berpendar ke tanah di kota Solo, misapun berjalan lancar dan bahkan “Bung FX“, sang walikota Solo juga ikut duduk lesehan merayakan misa kudus di tengah semarak rekan muda lainnya yang terserak dan terarak dengan sorak sorai kata “Merdeka” – “Merah darahku, Putih tulangku – Katolik imanku”., tanpa menjaga jarak dan tanpa banyak pengawalan. Kesan pertama yang dihadirkan olehnya secara tidak langsung adalah rasa merdeka sebagai seorang beriman yang berjalan dan berjuang bersama yang lainnya dengan cara cara yang sederhana.
Mencandra dua momentum sederhana inilah, saya kembali merenung – menungkan arti sebuah kemerdekaan ala FX dengan trilogi dasarnya: “F"amily – Kekeluargaan yang Hangat, "F"raternity – Persaudaraan yang Andal, "F"aith – Keberimanan yang Militan”:
MERDEKA itu berarti melangkah kaki ke depan; satu-dua, kanan-kiri, jangan jalan sendiri (nanti bisa ‘ngos’), lebih baik jalan bersama biar ‘joss’.
MERDEKA itu berarti melangkah kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, pandang ke depan, perkecil menengok kebelakang (apalagi jalan di tempat).
MERDEKA itu berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri (jangan kaki kiri menjegal kaki kanan, nanti kesrimpet dan jatuh sendiri).
MERDEKA itu berarti melangkahkan kaki ke depan: satu-dua, kanan-kiri, maju terus pantang mundur (bukannya mundur terus pantang maju, bukan?).
Yang pasti, bersama dengan hadirnya buku sketsa sederhana “FX” ini kita disadarkan sekaligus disandarkan untuk selalu mengingat (ber-“anamneses”) bahwa kita sudah merdeka, karena ingatan ini sejatinya adalah cara untuk mendapatkan suatu pengetahuan yang sejati (episteme) bahwa perjuangan menjadi orang Katolik di Indonesia yang mau terlibat di tengah masyarakat dewasa ini sudah merupakan satu bentuk interupsi, dan akhirnya semoga lewat buku “FX” ini, kita juga berani menghidupi iman kristiani sebagai sebuah interupsi. Selalu!
MERDEKA!
Ya Allahku, aku cinta padaMu melampaui segala sesuatu
Dan aku dengan seutuh jiwa membenci dosa-dosa
karena dengan dosa, Engkau telah kuhina,
karena Engkau memang tidak berkenan ada dosa di hadirat
Dikau yang mahabaik dan pantas dicinta.
Aku akui, aku harus mencintai Engkau
dengan cinta yang melampaui segala
dan aku harus mencoba membuktikan cintaku padaMu.
Aku terima Engkau di hati dan pikiranku sebagai
yang jauh tak terhingga lebih besar
daripada segala yang ada di dunia
tak peduli betapapun bernilai dan indahnya.
Oleh karenanya, dengan tekad bulat aku berketetapan
Tak pernah aku akan setuju Engkau terhina
atau melakukan sesuatu yang tak berkenan di hatiMu
yang baik dan berkuasa
ataupun menempatkan diri dalam bahaya
akan jatuh dari rahmatMu yang suci.
Sekuat daya yang ada padaku,
aku bertekad untuk tetap dalam rahmat sampai hembusan nafas terakhir
pada saat aku mati. Amin.
(St Fransiskus Xaverius, 1506-1552 adalah salah satu teman awal Ignatius Loyola,
Ia menghabiskan masa hidupnya sebagai misionaris di India, Indonesia, Malaya dan Jepang)
Selamat datang di “SOLO" - "Spirit Of Loving Others”.
Sebuah era blusukan, yakni era horisontal yang selalu mendengar dan memperhatikan sekaligus mencintai dan membela, karena ruang dan uang seharusnya memang dibangun dengan “bahasa kemanusiaan, bahasa kasih dan bahasa kejujuran”.
Selamat datang di “SOLO" - "Spirit Of Loving Others”.
Inilah sebuah era bahasa yang mengurangi instruksi tapi banyak mendelegasi, yang mengurangi perintah tapi banyak berkomunikasi. Sebuah era dimana pemimpinnya: Ketika ada masalah – dia ada di paling depan, ketika ada kerja - dia ada di tengah-tengahnya, dan ketika ada kemakmuran - dia ada di paling belakang, karena sejatinya pemimpin harusnya menderita dan bukan menikmati, harusnya penuh cinta dan bukan sekedar kata kata hampa, karena cinta akan menghasilkan sesuatu, sementara kata - kata kerap hanya menghasilkan alasan.
Tolle et legge. Ambil dan bacalah!
@Romo Jost Kokoh Prihatanto.
0 komentar:
Posting Komentar