PROLOG
Selama tahun 2009-2011, saya pernah berkarya di sebuah gereja
sederhana yang didesain apik oleh “Burung Manyar” Romo Mangunwijaya. Sebuah
gereja terbuka, yang terletak megah-gagah di Jalan Tugu Raya, Cilincing,
pinggiran Utara Jakarta. Adapun namanya: Gereja Salib Suci. Di lain kesempatan,
ketika, saya mempersembahkan sebuah misa Rabu Abu bagi para karyawan KEKAL
(Keluarga Katolik Lippo) di Gereja St Helena Karawaci, ternyata santa pelindung
paroki ini digambarkan memeluk sebuah salib suci. Yah, menurut tradisi dan
sejarah Gereja, Helena-lah yang menemukan salib suci di
Yerusalem. Ia juga terkenal karena keramahannya kepada para
tawanan, tentara, dan kaum miskin di sekitarnya.
SKETSA PROFIL
“Kami menyembah Engkau,
ya Kristus, dan memuji-Mu,
sebab dengan Salib
Suci-Mu Engkau telah menebus dunia.”
(St Fransiskus Assisi)
Helena berasal dari Drepanum, dekat Izmit, Turki. Ia terlahir pada
tahun 250 dan wafat pada tahun 330. Helena sendiri adalah putri
seorang pengusaha penginapan di Drepanum. Kota kecil ini menjadi markas militer
dengan sarana latihan yang sangat lengkap bagi tentara Romawi waktu itu. Rumah
Helena terletak tidak jauh dari markas militer dan sering menjadi tempat
singgah para tentara Romawi yang ingin melepas lelah dengan makan dan minum
seusai latihan militer.
Helena, seorang gadis yang cantik lagi rajin serta selalu
membantu orangtuanya, melayani para tamu dengan sopan dan ramah. Suatu hari
seorang kepala pasukan bernama Konstantinus Klorus singgah di rumahnya.
Konstantinus Klorus jatuh cinta padanya. Orangtua Helena merestui hubungan kasih mereka, sehingga
mereka berdua melangsungkan pernikahan.
Usai pernikahan, karena Kaisar Maximianus Hercules
menilai bahwa Konstantinuslah orang yang tepat untuk mengatasi
pemberontakan yang sering muncul di daerah Galia Selatan, maka pun dipindah-tugaskan
ke Galia Selatan dan tinggal di Naissus. Di tempat yang jauh dari
orangtuanya itu, Helena melahirkan anak pertamanya, Konstantinus Agung
pada 274.
Beberapa tahun kemudian, Konstantinus Klorus ditunjuk
sebagai kaisar sehingga menceraikan Helena dengan alasan politis, yakni supaya
bisa mengawini puteri kaisar terdahulu. Helena menjadi orang biasa lagi.
Setelah Konstantinus Klorus meninggal di Eboracum (York) dalam
sebuah ekspedisi ke Britania pada tahun 306, maka Konstantinus Agung
menggantikan ayahnya sebagai Kaisar Romawi Barat. Dia memanggil ibunya, Helena
ke istana di Roma dan menganugerahinya gelar Augusta, yang artinya ibu suri.
Dia juga memberi nama tempat kelahiran ibunya dengan nama Helenopolis dan
mencetak gambar Helena di atas koin-koin resmi.
Pada tahun 313, kerajaannya diserang pasukan
Maxentius. Ia mengalami penglihatan ajaib di langit. Ia melihat sebuah
salib. Pasukannya berperang dengan memakai tanda tersebut. “In hoc
signo vinces - kau akan menang dengan lambang ini”. Dalam
tanda itulah, Konstantinus Agung menang mutlak dan dielu-elukan saat
memasuki Roma. Sejak kemenangan itulah, ia mengeluarkan “Maklumat
Milan” (Edict Milano). Ia memberi kebebasan beragama kepada
umat Kristen, dan agama Kristen dijadikan agama negara. Orang Kristen yang
masih dipenjara dibebaskan, dan dalam perjalanan waktu, ia bersama ibunya juga
menjadi penganut Kristen: ”Qualis rex, talis grex - seperti hal
rajanya, demikian pula rakyatnya.”
Dikobarkan oleh rasa cintanya pada Yesus, sekitar tahun 324,
dengan wewenang Kaisar yang adalah puteranya sendiri, Helena dalam
masa tuanya pergi berziarah ke Tanah Suci Yerusalem untuk menemukan
tempat-tempat suci. Dalam ziarah ini, ia bertekad menemukan salib yang
dipakai para algojo untuk menyalibkan Yesus. Bukankah disini tepat pepatah
latin yang berkata, “Potius sero quam numquam - lebih baik
terlambat daripada tidak sama sekali”,
Suatu ketika, Helena menemukan tiga salib lengkap dengan
paku-pakunya di sebuah sumur dekat Bukit Golgota di Yerusalem. Manakah salib
Yesus? Dengan bantuan Uskup Makarios, ketiga salib itu ditempelkan pada seorang
wanita yang telah lama sakit dan tak tersembuhkan. Ketika salib yang ketiga
disentuhkan pada wanita tersebut, seketika wanita itu sembuh. Ia meyakini,
salib ketiga itulah salib Yesus.
Setelah itu, Helena meminta kepada putranya untuk mendirikan
sebuah gereja di atas Bukit Golgota untuk menyimpan salib tersebut. Atas
permintaannya juga, dua gereja lainnya dibangun di Betlehem, tempat kelahiran
Yesus dan di Bukit Zaitun, tempat Yesus mengalami sakratul maut dan diangkat ke
surga. Setelah mendirikan banyak gereja, Helena kembali bersatu dengan
putranya yang berkuasa sebagai raja. Saat itu, ibu kota Roma sudah dipindah ke
Konstantinopel. Helena akhirnya meninggal dunia pada 330.
Atas perintah putranya, Helena dimakamkan di makam para raja di
Gereja Apostle. Pada 849, jasad Helena dipindahkan ke Abbey of Hautvillers
dekat Rheims, Perancis. Makamnya menjadi tempat ziarah umat Katolik. Gereja
Katolik Roma memperingati kematiannya setiap 18 Agustus dan Gereja Ortodoks
Timur memperingatinya setiap 21 Mei.
Bicara lebih lanjut soal Helena, St Ambrosius pernah menyampaikan
khotbahnya bahwa ketika Helena menemukan salib yang asli, “ia tidak
menyembah kayu, melainkan Raja, yaitu Dia yang tergantung pada kayu salib. Ia
berkobar-kobar dalam kerinduan sejati untuk menyentuh jaminan hidup abadi.”
Dalam suratnya kepada Kaisar Konstantius (putera dan penerus
Konstantinus Agung), Sirilus dari Yerusalem memaklumkan, “Kayu salib
yang menyelamatkan ditemukan di Yerusalem pada masa Konstantinus.” Dalam
Pengajaran katekese yang keempat, ia juga menulis, “Ia
sungguh disalibkan demi dosa-dosa kita. Sebab, jika engkau menyangkalnya,
tempat ini secara tak terelakkan membuktikan kesalahanmu; Golgota yang
terberkati ini, di mana kita sekarang berkumpul demi Dia yang disalibkan di
sini; dan sejak itu seluruh dunia telah dipenuhi dengan potongan-potongan kayu
Salib.” Dalam kacamata Gereja, pesta Salib Suci sendiri dirayakan setiap tanggal
14 September.
REFLEKSI TEOLOGIS
1.HELENA
Hebat, LEmah lembut dan sederhaNA
Adauge nobis fidem
Tambahkanlah iman kami (Luk 17:5).
Saya mengenal seorang aktivis KTM (Komunitas
Tritunggal MahaKudus) di Jakarta, bernama sama seperi orang kudus yang
menemukan Salib Suci, yaitu: Helena. Secara sederhana, nama Helena memiliki
arti, “HEbat, LEmahlembut dan sederhaNA.
-Hebat: Pernahkah anda pergi menaiki Gunung
Sinai di Mesir? Gunung Sinai sendiriadalah sebuah gunung, tempat Musa
pernah mendapat 10 Perintah Allah. Cuaca di Gunung Sinai ini cukup ekstrem:
ketika pagi dan siang hari sangat panas, ketika sore dan terlebih malam hari,
begitu dingin. Kita bisa mendakinya dengan berjalan kaki, atau kadang juga bisa
dengan menaiki seekor unta, yang dijaga oleh beberapa gembala dari suku Baduin.
Nah, persis di kaki Gunung Sinai inilah, terdapat sebuah biara tua yang besar
dan pastinya menyimpan banyak kenangan sejarah. Namanya: Biara St
Catharina. Adapun sejarah dari biara tua yang terletak di kaki Gunung
Sinai ini berawal pada abad ke-3, saat para pertapa Kristen yang tertarik
dengan “lembah”, yang secara tradisi merupakan tempat dari “Semak
yang menyala tapi tidak terbakar” ( Keluaran 3:2 ). Dan, ternyata, biara
St Catharina ini dirintis-dirikan oleh Helena, sang penemu salib
suci.
Struktur permanen pertama dibuat pada tahun 330, saat Helena
mendirikan sebuah gereja kecil dan menaranya di tempat Semak Terbakar. Biara
Santa Katarina sendiri tumbuh dengan subur selama 1400 tahun dalam perlindungan
para penguasa-penguasanya (termasuk Nabi Muhammad dan Napoleon Bonaparte). Para
biarawan ini memang hidup dalam kemiskinan dan tertutup (kecuali pada
hari-hari suci, mereka berkumpul bersama di Semak Terbakar). Karena odor
sanctitas, semacam aura kesucian serta tradisi keramah-tamahan kepada setiap orang
yang diperlihara oleh para biarawan-biarawannya, biara ini tak
pernah ditaklukkan.
Helena sendiri mengabdikan struktur bangunan kepada Santa Perawan
Maria, sejak tradisi Kristen menyatakan bahwa peristiwa penampakan Tuhan di
“Semak Tebakar” berparalel dengan peristiwa “Kabar Sukacita”. Gereja utamanya
dikenal dengan nama Gereja Transfigurasi dimana terdapat mosaik-mosaik indah
yang menggambarkan peristiwa-peristiwa hidup dari Yesus. Biara ini juga memiliki
banyak “harta karun”, termasuk sekitar 2000 ikon yang indah dari abad ke-5.
Juga terdapat perpustakaan yang menyimpan lebih dari 8000 buku dan manuskrip.
Karena sangat berharganya koleksi perpustakaan ini, sampai-sampai disebut
sebagai perpustakaan Vatikan kedua, dalam hal jumlah banyaknya buku serta
nilainya dari buku-buku tersebut. Jelas, bahwa Biara St Catharina ini sungguh
semua karena usaha banyak orang, dan salah satunya jelas karena kehebatan
semangat iman seseorang bernama, Helena.
-Lemah lembut dan sederhana
Menurut Eusebius, Helena berusia sekitar 63 tahun saat dibaptis. Semangat
Kristiani sejati terus menggerakkan Helena untuk semakin
bersikap lemah lembut dan sederhana. Eusebius sendiri menggambar-kenangkan sosok
Helena sebagai berikut, “Teristimewa berlimpah ruah pemberian yang
ia amalkan kepada mereka yang telanjang dan kepada orang-orang miskin yang
malang. Kepada yang sebagian, ia memberikan uang, kepada yang lain banyak
persediaan pakaian; ia membebaskan yang lain dari penjara, atau dari perbudakan
pahit di pertambangan; sebagian lainnya ia bebaskan dari penindasan yang tidak
adil, dan yang lainnya lagi, ia pulangkan dari pembuangan. Namun demikian,
walau termasyhur karena kebajikan-kebajikan yang demikian …, ia jauh dari
melalaikan kesalehan pribadi kepada Tuhan. Orang dapat melihat dia
terus-menerus mengunjungi Gereja-Nya, sementara pada saat yang sama ia
menghiasi rumah-rumah doa dengan amal kasih yang berlimpah, tanpa mengabaikan
gereja-gereja di kota-kota terkecil sekalipun. Singkat kata, perempuan
mengagumkan ini biasa dilihat, dengan busana sederhana dan bersahaja, berbaur
di antara khalayak ramai yang bersembah bakti, dan memberikan kesaksian akan devosinya
kepada Tuhan dengan rangkaian rutin perbuatan-perbuatan saleh” (Riwayat
Hidup Konstantin, XLIV, XLV).
2. SALIB
Saat Aku Lemah Ingatlah Bapa
Non vestimentum virum
ornat,
sed vir vestimentum.
Bukan pakaian yang
memberi arti pada seseorang,
tetapi dia yang
memberi arti pada pakaiannya.
Helena identik dengan salib. Yah, Helena selalu digambarkan
memegang atau bahkan memeluk sebuah salib. Apa itu salib? Sebenarnya salib
adalah salah satu alat yang digunakan oleh orang Romawi untuk menjalankan
hukuman mati terhadap seseorang yang berbuat kejahatan. Salib dianggap sebagai
alat untuk mendatangkan kematian dengan cara yang pelan namun sangat
menyakitkan. Orang Romawi biasanya menggunakan salib untuk menghukum mati budak
atau orang asing. Orang yang dijatuhi hukuman diharuskan memikul salib atau
balok lintang ( atau balok mendatar) ke tempat eksekusi.
Iman kristiani juga lekat-dekat dengan salib, bukan? Kita membuka
dan menutup doa dengan sebuah tanda salib. Kita melihat-kenang di pelbagai
gereja ada banyak kayu salib yang terpajang di dinding. Di Timur Tengah, masih
segar dalam benak kita, ada sebuah perang politik dengan mengatasnamakan agama,
bernama Perang Salib, Setiap jumat sore dalam masa prapaskah terdapatlah sebuah
doa devosi, ibadat Jalan Salib namanya. Bahkan, dalam perayaan Ibadat Jumat
Agung, bukankah semua Gereja Katolik sedunia mengadakan upacara penciuman
salib? Yah, tidak ada kebangkitan tanpa pergulatan. Tidak ada kemuliaan tanpa
penderitaan. Tidak ada paskah yang gempita tanpa jumat agung yang penuh duka.
Bukankah siapa yang ingin mengambil bagian dalam Kerajaan Surga,
harus juga mengambil bagian dalam perjalanan-Nya yang penuh penderitaan menuju
ke Kalvari? Bukankah hanya melalui jalan inilah orang dapat merayakan
kemenangan atas segala kesulitan hidup?
Nah, bicara lebih lanjut soal pengalaman
sekaligus pemaknaan seputar salib suci yang ditemukan Helena, ternyata ada tiga
hal pokok yang kerap mengiringinya, yakni:
- Pertama adanya cap, dan sialnya cap itu adalah
cap yang kerap tidak bagus. Disinilah tampak proses pertama, yaitu stigmatisasi.
- Kedua, adalah upaya meminggirkan, bahwasannya
dia bukan bagian kami karena dia tidak se ’iya’ dengan kami. Di sini
sebetulnya tampak proses kedua yang juga tidak kalah buruknya, yaitu marginalisasi.
Orang yang tidak sama kemudian dimarginalkan.
- Sehingga, akhirnya ketika seseorang sudah
mengalami proses stigmatisasi dan marginalisasi, kerap ia juga
mengalami suatu penyaliban lain, yakni dikorbankan. Bisa lewat pergunjingan di
mana yang bersangkutan sungguh tidak tahu. Istilahnya, menusuk dari belakang,
karena itulah sungguh sebuah ciri dari kecenderungan mengorbankan. Bisa jadi,
ini dibuat supaya ada proses pengkambinghitaman. Inilah sebetulnya proses viktimisasi.
Ketiga hal di atas, “semper accusat” - selalu
menuduh, karena selalu asyik bicara tentang, tapi
lupa untuk bicara dengan. Artinya, ada
sebuah potensi bahwa kita tidak pernah mencoba untuk melihat teks dalam sebuah
konteks yang lebih luas. Ibarat orang buta yang disuruh menjawab apa itu gajah
dengan cara menyentuhnya. Orang buta itu hanya akan memahami gajah sebagai
hewan yang panjang dan suka bergoyang karena dia hanya memegang belalai dan
ekornya saja. Atau ia hanya akan memahami gajah sebagai hewan yang kecil,
bersisik dan keras karena ia hanya memegang kaki gajah. Jelasnya, dalam situasi
“salib”, wajar kita menjadi lemah bukan? Nama baik kita bisa hancur,
pikiran kita menjadi galau, hati kita kacau balau.
Oleh karena itulah, bersama dengan kehadiran dan figur Helena,
penemu salib suci. Bolehlah kita sejenak bijak bertanya: “Pernahkah kita
‘menyalibkan’ orang lain? Pernahkah kita secara sengaja memberi cap buruk,
menyingkirkan dan bahkan mengkambinghitamkan sesama kita, atau bahkan orang
yang dekat dengan hidup kita?
Yah, lepas dari posisi kita sebagai pelaku atau korban, di
balik ini semua, kalau mau melihat dalam mata iman, maka “stigmatisasi,
marginalisasi serta viktimisasi”, adalah juga khas pengalaman para rasul
perdana, bahkan juga khas dengan pengalaman Yesus sendiri. Jelasnya, dicap
jelek, disingkirkan dan menjadi korban adalah bagian sejarah dari tradisi iman
yang harus dimaknai, karena Yesus dan para rasulpun mengalami hal yang sama
bukan? Dan, bagi yang pernah mengalami-patutlah bersyukur boleh mengambil
bagian dalam tradisi iman yang sungguh besar itu, karena bukankah benar bahwa
salib bisa berarti, “Saat Aku Lemah Ingatlah Bapa?”
EPILOG
“..Lihatlah kayu salib,
Disini tergantung
Kristus, penyelamat dunia..”
(Lagu Pembuka Ibadat Penciuman Salib)
Memikul salib berarti mempersiapkan diri untuk
menghadapi semua kemungkinan; seperti dialami oleh Yesus sendiri, seperti
dialami oleh para martir dan para kudus, seperti dialami oleh para pejuang
kemanusiaan, karena kesetiaan pada kehendak Allah dan kebaikan manusia. Memikul
salib berarti siap untuk menanggung hal terburuk yang mungkin ditimpakan oleh
orang lain pada kita karena kita percaya dan taat pada ajaran Yesus. Bersama
dengan teladan Helena sang penemu salib suci, baiklah kita mengingat-kenang
sebuah rumusan iman dari Santo Benedictus, pelindung Benua Eropa, “Sacra
Crux Sit Mihi Lux - Salib suci menjadi cahaya hidupku”. Yah semoga
demikian adanya!
ASPIRASI
“Tuhan bila salib menimpa kami,
maka hancurlah hidup kami, tetapi bila Engkau
yang datang bersama salib,
Engkaulah yang setia memeluk kami.”
(Dom Helder Camara)
0 komentar:
Posting Komentar