Luisa de Marillac
CARITAS CHRISTI URGET NOS
PROLOG
Ada banyak Novena tentang Bunda
Maria bukan? Ada Novena Tiga Salam Maria. Ada Novena Ratu Pecinta Damai. Ada
Novena Bunda Penolong Abadi dan lain sebagainya. Sebuah Novena Maria yang
mungkin pernah anda dengar adalah Novena Medali Wasiat. Yah, pada tanggal 27
November 1830, terjadi penampakan Bunda Maria kepada Sr. Katarina Laboure di kapel rumah induk
sebuah tarekat suster di Paris. Inilah
salah satu kekayaan sebuah tarekat yang lekat-dekat dengan pelbagai karya nyata
bagi kaum marginal. Mereka dikenal sebagai tarekat para suster Puteri Kasih (“PK”) dengan Luisa de Marillac
sebagai pendirinya bersama Vincentius a Paulo.
SKETSA
PROFIL
Luisa
de Marillac adalah pendiri
Tarekat Puteri Kasih (bersama dengan Vincentius a
Paulo). Ia terlahir di Prancis pada tanggal 12 Agustus 1591, dari keluarga bangsawan Auvergne bernama Louis I de Marillac, seorang ksatria dan penguasa
Ferrieres-Brie di-i de Villiers-Adam. Ayah dan ibu Luisa sendiri meninggal
ketika ia masih kecil. Namun, ia dirawat dengan baik oleh bibinya dan menerima
pelbagai pendidikan berkualitas di biara kerajaan Poissy, dekat kota Paris.
Pada
tahun 1604, bibinya juga meninggal. Maka, Luisa tinggal bersama pamannya Michel
de Marillac (1560-1632) di Paris. Disanalah, Luisa sering mengunjungi Biara
Kapusin Foubourg Saint-Honoré. Lewat perjumpaan dengan para imam Kapusin
inilah, dia kerap berpikir untuk bergabung dalam sebuah tarekat religius serta
melayani Allah dan sesama dengan lebih total: Consuetudinis
vis magna est - pengaruh sebuah kebiasaan sungguh luar
biasa., bukan?
Seiring
berjalannya waktu, Luisa direncanakan menikah dengan Antoine Le Gras, anak muda
ambisius yang bermasa depan cerah. Luisa mengambil langkah besar menuju
pernikahan pada tahun 1613. Pasangan ini mempunyai anak tunggal pada tahun pertama
pernikahan. Meskipun sudah menikah, Luisa masih merindukan kehidupan membiara.
Tak lama setelah kelahiran anaknya, Antonie
Le Gras terkena penyakit kronis dan akhirnya jatuh terbaring di tempat tidur .
Pada
tahun 1623, ia menulis: "Pada
hari raya Pentakosta, selama misa ketika saya masih berdoa di gereja, pikiran
saya benar-benar terbebas dari keraguan. Saya disarankan untuk mendampingi
suami dulu, dan bahwa suatu saat nanti, saya akan berada dalam posisi yang
tepat untuk menjalankan kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan dalam sebuah
komunitas."
Dua
tahun setelah pengalaman iman ini, suaminya meninggal dan Luisa merasa mantap
untuk memenuhi panggilan hatinya. Kemudian, persisnya pada tahun 1632, Luisa melakukan retret pribadi untuk mencari kehendak
Allah dalam hidupnya. Ia yang
mendapatkan pembinaan teologi sekaligus bimbingan rohani yang kokoh dari seorang imam projo, Vincentius a
Paulo, semakin mengenali bahwa: “Inkarnasi Putera Allah ada dalam
rencana abadi penebusan umat manusia” (Spiritual
Writings, 830). Baginya,
putusnya hubungan Allah dengan manusia yang terjadi akibat dosa, tak bisa berlangsung selamanya. Maka, dengan mengutus PutraNya ke
dunia, Allah hendak membaharui hubungan dan memberi kesempatan manusia untuk
menemukan kembali makna keberadaannya. Disinilah,
bagi Luisa, Tuhan mengajaknya juga untuk lahir sebagai ciptaan baru. Yah, sebagai
ciptaan baru, ia diyakinkan bahwa sudah tiba waktunya untuk membantu orang
miskin. Pada waktu itu, sekitar abad
ke-17, Perancis memang sedang kacau balau. Kemiskinan dan pebagai derita merebak karena perang saudara yang terus berkecamuk.Satu hal yang pasti, bagi Luisa de Marillac, mencari jalan
Tuhan bukanlah suatu jalan lempang dan terang yang dibangun oleh akal budi praktis. Tapi, jalan itu tak
henti-hentinya harus dicari kembali, oleh masing-masing diri. Dalam perspektif inilah,
Tuhan bukanlah hanya keniscayaan dari dorongan ethis, sang
Otoritas moral yang menjadi mediator yang menjadi acuan
nilai-nilai yang universal. Bagi Luisa
de Marillac, Tuhan adalah sebuah pengalaman batin yang unik bagi tiap saat dan
pastinya bagi tiap manusia.
William James, yang merekam berbagai pengalaman religius, menyebut pengalaman dengan Tuhan itu sebagai 'the
individual pinch of destiny'.
Vincentius a Paulo (yang adalah pembimbing rohani Luisa de
Marillac) amat prihatin melihat
kemiskinan pada waktu itu. Setelah pengalaman berkotbah di Folleville (1617)
yang menjadi asal muasal pendirian Kongregasi Misi (CM) dan Chatillon les Dombes yang menjadi titik tolak pendirian
"Konferensi Cinta Kasih", Vincentius a Paulo mengumpulkan gadis-gadis yang bersedia
melayani orang miskin dan
menyerahkannya kepada Luisa de Marillac untuk dibina.
Berkumpulnya beberapa gadis ini di bawah bimbingan seorang janda yang
sangat beriman bernama Luisa de
Marillac inilah, yang kemudian dimaknai sebagai awal
pendirian kongregasi suster-suster Puteri Kasih. Pelbagai kegiatan awal mereka,
adalah: mengunjungi, melayani serta merawat orang-orang miskin dimana pun
mereka diutus. Peristiwa itu sendiri terjadi pada tanggal 29 November 1633.
Di bawah
bimbingan Louise de Marillac, para suster
memperluas pelayanan mereka ke pelbagai rumah sakit, panti asuhan, panti jompo
dan penjara, sekolah dan medan perang untuk membantu para korban perang. Tak lama, Louise de
Marillac mendirikan komunitas Puteri Kasih di pelbagai kota yang
tersebar-pencar: Charo, Chantilly, Montmirail, Hennebont, Brienne, Etampes, Bernay, Sainte-Marie du Mont, Cahors, Saint-Fargeau, Ussel, Calais, Metz dan Narbonne.
Luisa de Marillac sendiri dipandang sebagai
"ibu" yang membina dan memimpin para gadis Puteri Kasih, dengan pelbagai
pendalaman spiritualitasnya, entah lisan ataupun tertulis. Sebuah contohnya: Pada tahun 1652, Luisa de Marillac
menulis kepada para suster Puteri
Kasih di Richelieu untuk
mengingatkan mereka tentang pentingnya mengkontemplasikan hidup Yesus selama menjadi manusia, karena disitulah mereka akan menemukan kasih
sejati: “Kelembutan,
keramahan, dan kesabaran harus menjadi praktek hidup Putri Kasih sebagaimana
halnya kerendahan hati, kesederhanaan dan cinta akan kemanusiaan yang kudus
Yesus Kristus, yang adalah kasih sempurna, merupakan semangat mereka. Itulah,
para susterku terkasih, ringkasan dari apa yang saya pikir perlu saya katakan
kepadamu tentang aturan kita bersama.”(Spiritual Writings, 406)
Di dalam Sejarah Gereja,
kehadiran Luisa de Marillac
bersama komunitas Suster Puteri
Kasih-nya waktu itu memang dipandang revolusioner. Suster Puteri
Kasih adalah tarekat religius pertama yang dapat pergi dengan leluasa untuk melayani orang-orang
miskin. Sebab, pada waktu itu yang disebut tarekat religius harus tinggal di
dalam biara-biara. Sementara, para suster Puteri Kasih tidak tinggal di dalam
biara, melainkan pergi melayani dan mengunjungi mereka yang terlantar dan
terluka. Yah, bagi Luisa,
penderitaan umat manusia merupakan perpanjangan penderitaan dari kemanusiaan
Kristus, sedangkan pelayanan
kasih dari Putri Kasih adalah kelanjutan dari penebusan. Diharapkan, pelbagai karya
kasih para suster Puteri Kasih memungkinkan
setiap orang miskin yang terhina dan terabaikan untuk hidup kembali, lahir dan bangkit menjadi pribadi yang mengalami kemerdekaan anak-anak
Allah.
Karena
kesehatannya yang memburuk, Luisa de Marillac akhirnya meninggal dunia pada 15 Maret 1660. Dia dibeatifikasi pada 9 Mei 1920 dan dikanonisasi pada 11 Maret 1934 oleh Paus Pius XI.
Ia merupakan santa pelindung para janda, pekerja sosial dan
perawat, yang diproklamasikan oleh Paus Yohanes XXIII pada tahun 1960. Jenazahnya kini berada di sisi kiri
Kapel Medali Wasiat di Gereja Saint-Laurent di Paris.
Dalam sejarahnya, para Suster
Puteri Kasih adalah tarekat religius yang banyak bertugas di garis depan,
seperti pada waktu perang mereka bertugas untuk merawat para korban perang
maupun serdadu-serdadu yang terluka. Ketika kemiskinan di Eropa merebak hebat
seiring dengan revolusi Perancis yang tidak kunjung selesai, para suster ini
mencurahkan tenaganya untuk melayani mereka, membagi sup hangat, mengobati yang
sakit. Sesudah Perang Dunia Pertama dan Perang Dunia Kedua, para suster Puteri Kasih banyak menangani
rumah-rumah sakit.
Saat ini seiring dengan jumlah
anggota yang terus menyusut, mereka mencurahkan diri dalam pelayanan-pelayanan
yang lebih lugas untuk orang-orang miskin, seperti
penderita AIDS, orang-orang kusta, anak-anak yatim piatu, merawat korban
bencana alam, pendidikan sekolahan, pelayanan kesehatan di klinik-klinik, dan
pastoral orang muda. Di seluruh
dunia, serikat Puteri Kasih memiliki anggota sekitar dua puluh ribuan lebih suster biarawati yang tersebar-pencar di negara-negara di lima benua. Deus vult. Tuhan menghendakinya!
REFLEKSI
TEOLOGIS
1.Puteri
Kasih.
PUnya TEkad untuk membeRI KASIH
“Allah
tak pernah menunjukkan
kasih
yang lebih besar kepada ciptaanNya
daripada
ketika Dia memutuskan
untuk
menjadi manusia.”
(Spiritual
Writings, 700)
Sebuah surat terakhir Luisa de Marillac, secara khusus pada Natal
1659 (tiga bulan sebelum
wafatnya), yang ditulisnya untuk Genevieve Doinel: “Engkau mengundang saya ke palungan
agar saya dapat bertemu denganmu di sana dekat kanak-kanak Yesus dan BundaNya
yang kudus. Engkau akan belajar
dari Yesus, para susterku yang terkasih, untuk mempraktekkan keutamaan yang
kokoh, sebagaimana Dia lakukan dalam kemanusiaaanNya yang kudus, begitu Dia
turun ke dunia. Melalui teladan Yesus pada masa kanak-kanak, kamu akan memperoleh segala yang kamu
butuhkan untuk menjadi orang kristiani sejati dan Puteri Kasih yang sempurna” (Spiritual Writings, 666). Jelaslah,
bahwa penekanan Luisa pada kontemplasi akan kemanusiaan Kristus menunjukkan
betapa besar keinginannya agar kehidupan setiap anggota Puteri Kasih menjadi cerminan wajah
Kristus dengan kebaikan insaninya
yang tak terbatas dan kasih imaninya yang tak terhingga.
Berangkat dari semangat Luisa de Marillac bersama para suster Puteri Kasih di atas, maka tergambarkanlah secara nyata dalam logonya, yang
bertuliskan: “Caritas Christi
urget nos - Cinta Kasih Kristus mendorong
kami." Tulisan ini
sendiri mengelilingi gambar hati
yang bernyala, yang di depannya
terdapat gambar Salib. Ketika para suster Puteri Kasih menghayati kehadirannya
dalam lambang hati yang bernyala, ketika itu seorang Puteri Kasih adalah
pribadi penuh cinta, yang memberi diri seutuhnya untuk melaksanakan kehendak
Allah, yaitu melayani dan mewartakan Kabar Gembira kepada orang-orang miskin.
Identitas hidup Puteri Kasih adalah cinta, cinta Kristus sendiri: "Kalian adalah Puteri-Puteri
Kasih yang miskin yang mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah untuk kasih pelayanan mereka yang miskin."
Tahun
2009-2011, kebetulan saya pernah berkarya bersama para pastor Lazaris (CM) di
Utara Jakarta. Disanalah saya berjumpa dengan para Suster Puteri Kasih yang bersahaja. Mereka tinggal bersama di tengah-tengah para keluarga miskin
di Cilincing dan Warakas-Tanjung Priok.
Mereka melayani para nelayan serta keluarga-keluarga
miskin. Mereka melakukan bimbingan belajar, pelayanan gizi bagi anak-anak,
pelayanan kesehatan, dan bersama para dokter muda melayani pula pengobatan yang
diperlukan bagi orang-orang miskin di sana. Bagi saya, kasih yang dinyatakan seperti kisah para
suster Puteri Kasih di Cilincing dan Tanjung Priok ini seharusnya menjiwai dan membakar hati setiap anggota Putri Kasih lainnya yang ingin “PUnya TEkad untuk membeRI KASIH”, terlebih bagi orang kecil. Di lain matra, Luisa juga sering
menutup surat-suratnya dengan referensi kepada kasih sejati, yang terwujud pada diri Yesus tersalib: “Inilah kasih itu: bukan kita yang
pertama-tama mengasihi Allah, namun Dialah yang telah mengasihi kita dan
mengutus PutraNya sebagai korban penebusan dosa-dosa kita. Karena itulah kita
mengenal kasih: Yesus telah memberikan hidupNya bagi kita, maka kita juga harus
memberikan hidup kita bagi saudara-saudari kita.”
2.Spiritualitas
Puteri Ka-“SIH”
Servite In Humilitate - Layanilah dengan
Kerendahan Hati!
Dalam suratnya yang panjang di bulan Agustus 1655 kepada suster-suster Puteri Kasih, yang berkarya di Polandia, Luisa de Marillac terus menekankan pentingnya
mengkontemplasikan hidup Yesus yang manusiawi: “Hormatilah Yesus Kristus dengan
melaksanakan keutamaan-keutamaan yang diajarkanNya sendiri dalam kemanusiaanNya
yang kudus” (Spiritual
Writings, 478). Bagi Luisa,
kerendahan hati jelas menyatakan wajah Allah yang sesungguhnya. Inkarnasi (Allah menjadi manusia, firman menjadi
daging) telah cukup menyatakan
ini. Namun, banyak tindakan dalam hidup Yesus lebih menegaskan soal kerendahan hati ini, dari
Betlehem sampai Golgota: “Dengan
kelahirannya di palungan, Yesus
menjadi seorang anak agar lebih mudah didekati oleh ciptaanNya.” (Spiritual Writings, 718).
Luisa juga banyak merenungkan “kerendahan
hati Allah yang ditunjukkan dalam pembaptisanNya” (Spiritual Writings, 719). Dan, sementara merenungkan tentang
pembasuhan kaki pada malam Kamis Putih, dia berseru: ”Tiada sesuatupun menghalangi saya
untuk merendahkan diri. Karena saya mendapat teladan nyata dari Tuhan sendiri” (Spiritual Writings, 715).
Selain itu, Luisa juga kerap
mengangkat Bunda Maria, sebagai
figur iman para suster Puteri Kasih. Dengan
rasa syukur yang besar dan penuh afeksi,
Luisa mengkontemplasikan pilihan Allah atas Maria, seorang perempuan sederhana
dari Nazareth: ”Allah telah
menetapkan dia untuk menjadi bunda PutraNya” (Spiritual Writings, 735) Dari
pengalaman pribadinya sebagai
seorang ibu, Luisa tahu apa artinya memberikan dan menyelenggarakan
hidupnya bagi seorang anak. Ia
ingin mengungkapkan kebahagiaan
yang memenuhi dirinya: ”Terpujilah
Engkau senantiasa, Ya Allahku, karena pilihan yang Kau jatuhkan atas Perawan
Kudus! Engkau menggunakan darah
Perawan terberkati untuk membentuk tubuh PutraMu yang terkasih” (Spiritual Writings, 801).
3.Komunitas
Ekaristis: “TRI - DI” – Diberkati, Dipecah dan Dibagi-bagi.
Luisa de Marillac secara
mendalam juga mengajak setiap anggotanya untuk menjadi sebuah komunitas
ekaristis. Dalam bahasa Henri Nouwen, komunitas ekaristis mengajak setiap orang yang telah menjadi pilihan Tuhan untuk memiliki metode “3 D (tri D)”: Diberkati, Dipecah dan
Dibagi-bagi.
-Diberkati: Salah satu ciri khas Luisa de Marillac bersama Kongregasi Puteri Kasihnya sejak awal pendiriannya adalah bahwa
mereka menghayati pentingnya hidup berkomunitas yang diberkati. Yah, komunitas untuk pelayanan kepada orang
miskin bagaikan kelompok 12 rasul
yang diberkati. Meskipun para Suster Puteri Kasih menjalani hidup aktif, mereka diingatkan untuk tidak jatuh dalam aktivitas pekerja
sosial dan mentalitas ‘single
fighter’. Mereka diajak
bersama rekan sekomunitas tetap menyediakan waktu untuk berdoa dan merayakan
ekaristi: mengkontemplasikan wajah Kristus dan bersatu dengan-Nya bersama dengan karya bagi setiap orang miskin yang dilayaninya. Luisa menginginkan bagi dirinya dan
bagi mereka yang didampinginya dalam perjalanan rohani adanya ”persekutuan kasih” dengan Allah. (Spiritual Writings, 823)
-Dipecah: Ekaristi tidak terbatas pada saat
kehidupan Kristus. Ketika saatnya telah mendekat, Yesus menemukan jalan untuk
memperpanjang itu sedemikian rupa sehingga selalu bersama kita, yaitu pengalaman “dipecah”.
Luisa de Marillac takjub akan peristiwa ekaristi yang luar biasa ini: ”Putra
Allah mengambil rupa manusia … Bagaimanapun ini tidak memuaskan kasihNya yang
besar bagi kita. Ia menginginkan persatuan tak terpisahkan antara kodrat ilahi
dengan manusiawi. (Spiritual
Writings, 784). Sepertinya bagi
Luisa, Allah ingin terus menerus
menyatakan kasihNya yang agung bagi umat manusia. Allah menjadi seorang pribadi yang
rela dipecah. Disinilah, Luisa tak pernah berhenti merenungkan aspek ”kenangan dan kurban” dari
Ekaristi.
-Dibagi-bagi: Luisa berbicara lebih banyak tentang penerimaan komuni sebagai: ”tindakan yang demikian terpuji,
dan secara manusiawi tak dapat dimengerti” (Spiritual Writings, 822). Menurut Luisa, menerima Tubuh Kristus yang dibagi-bagi, berarti ambil bagian
dalam kehidupan Allah sendiri. Allah yang mau dibagi, yang mau
memberikan dirinya sebagai santapan agar manusia memperoleh tenaga baru
darinya. Dalam mengikuti Kristus, orang kristiani juga dipanggil
untuk mau dibagi-bagi: memberikan segenap dirinya jika mereka
mau membawa hidup dan kasih kepada sesamanya. Penerimaan komuni membawa
kekuatan yang luar biasa karena itu memberi kita ”kemampuan untuk hidup di
dalam Dia sebagaimana Dia hidup dalam kita” (Spiritual Writings, 823).
EPILOG
Nil sine
numini.
Tak ada
yang dapat terjadi tanpa kehendak Ilahi.
Luisa de Marillac jelas mempunyai pemahaman yang sangat jernih
dan mendalam akan kasih Allah. Seperti penulis Kitab Suci, dia
menyadari bahwa “Allah adalah api yang menghanguskan” (Ibr 12:29). Dalam hidup
sehari-hari, semua pribadi juga diundang untuk membiarkan “Api Ilahi” ini menghangatkan dan mengisi
keberadaan hati dan pelbagai
karya dan warta kita. Dalam relasi kehangatan
akan cinta Allah inilah, kita akan semakin menemukan kekuatan, tenaga, dan kreativitas
untuk melaksanakan pelayanan kasih bersama mereka yang menderita kemiskinan
dalam berbagai bentuknya. Adalah
kasih Kristus yang mendorong Luisa Marillac bersama para suster Puteri Kasih untuk
semakin cerdas dan lugas berseru, “caritas Christi urget nos”
(2 Kor 5:14). Bagaimana dengan
kita sendiri?
ASPIRASI
“Maria yang terkandung tanpa
cela, doakanlah kami yang berlindung kepadamu.”
(Novena Medali Wasiat Puteri
Kasih)
0 komentar:
Posting Komentar