@ KOMITMEN ORANG KRISTEN DALAM MASYARAKAT YANG
KEHILANGAN ARAH.
3. Mengapa Komitmen Kristen?
Mengapa justru menjadi seorang Kristen?
Perkenankan saya sedikit merenung, dan berusaha untuk tidak memberi jawaban
yang cepat atas pertanyaan mengenai prinsip yang begitu besar ini.
Peristiwa-peristiwa di Israel, India, atau
salah satu dari negara-negara Islam akhir-akhir ini, telah menyadarkan kembali
banyak orang bahwa bagi kita orang Kristen, sebagaimana bagi seorang Yahudi
atau seorang Muslim, kenyataan kita dilahirkan di dalam suatu tradisi iman dan
komunitas nilai tertentu merupakan hal yang penting; suka atau tidak, kita
tetap dipengaruhi olehnya, baik secara positif maupun negatif. Keadaan tersebut
mirip dengan keadaan dalam keluarga. Kita tidak mungkin mengatakan dalam
kemarahan atau ketidakpedulian bahwa sama sekali tidak relevan apakah seseorang
tetap mempertahankan hubungan atau telah memutuskannya.
Di sini, baik orang Kristen maupun mantan
orang Kristen mungkin dapat memahami mengapa banyak orang Kristen tetap mau
bertahan hidup dalam Tradisi Kristen yang besar dan baik, yang dibentuk melalui
sejarah selama sekitar dua puluh abad. Sebenarnya, mereka kritis dan tidak
kurang pintar; mereka juga menentang tradisi-tradisi dan lembaga-lembaga
Kristen yang kaku, yang mempersulit orang untuk menjadi seorang Kristen.
Meskipun demikian, tradisi yang besar dan baik ini benar-benar tetap masih ada.
Jadi, mengapa saya tetap menjadi seorang
Kristen?
- Karena bagaimana pun, saya seutuhnya dapat merasa positif mengenai sebuah tradisi yang begitu berarti bagi saya meskipun saya juga melontarkan banyak kritik dan keprihatinan; suatu tradisi yang di dalamnya memungkinkan saya bersentuhan dengan begitu banyak orang lain, baik di masa lampau maupun sekarang.
- Karena saya tidak mungkin mencampuradukkan Tradisi besar Kristen dengan struktur-struktur Gereja sekarang, dan tidak begitu saja menyerahkan definisi nilai-nilai sejati Kristen kepada para admnistrator sekarang.
- Singkatnya, karena – meskipun saya mempunyai keberatan-keberatan yang sangat keras terhadap apa yang disebut Kristen – saya menemukan suatu arah dasar di dalam krisianitas terkait dengan permasalahan-permasalahan besar mengenai Dari mana dan Kemana, Mengapa dan Karena apa mengenai kemanusiaan dan dunia: suatu arah dasar bagi diri saya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Bersamaan dengan itu, saya menemukan suatu rumah spiritual yang tidak ingin saya tinggalkan sebagaimana di dalam politik saya tidak ingin meninggalkan demokrasi yang dalam caranya sendiri dahulu dan sekarang sama-sama disalahgunakan dan dilanggar tidak kurang daripada kristianitas. Tetapi harus diakui, semua ini hanyalah isyarat pada faktor yang menentukan. Sekarang, saya akan mengatakan lebih jelas.
Nyatanya, banyak orang non-Kristen dan mantan
orang Kristen yang mengatakan bahwa mereka percaya kepada suatu Asal dan
Tujuan, suatu Pengada Abolut atau Mahatinggi, suatu Keilahian, atau “Allah”;
mereka percaya bahwa ateisme tidak membuat mereka puas, baik secara intelektual
maupun emosional. Tetapi mereka tidak banyak mengerti mengenai apa yang harus
dilakukan terkait dengan “Allah” ini, mereka jarang mengenal apa atau siapakah
Allah itu, atau seperti apakah Dia. Dalam pengertian ini, kalau mereka bukan
ateis sekurang-kurangnya mereka agnostik.
Saat ini, hal tersebut tidak terlalu
mengherankan saya. Saya sama sekali tidak meremehkan Allah para filsuf atau
Allah suatu religiusitas universal, yang umumnya dibicarakan oleh kaum
agnostik. Saya tidak ingin menyatakan Allah ini merupakan berhala buatan
manusia, sebagaimana telah lama dinyatakan oleh teologi Protestan tertentu.
Bagaimana mungkin saya mengecapnya sebagai berhala jika mempertimbangkan
Aristoteles, Plato dan Plotinus, Descartes, Spinoza dan Leibniz, Kant dan
Hegel? Sebab tetap masih merupakan hal yang mulia bagi manusia untuk mengetahui
sesuatu mengenai Dari mana dan Kemana, Mengapa dan Sebab apa terkait dengan
kemanusiaan dan dunia ini; sesuatu mengenai misteri kenyataan yang agung; dan
dengan begitu mempunyai suatu arah dasar tertentu. Tetapi saya mendapat kesan
bahwa tidaklah terlalu mudah untuk hidup dengan misteri yang masih tersembunyi
ini, dengan Allah para filsuf yang abstrak ini; untuk mengetahui apa atau
siapakah Dia, seperti apakah Dia. Allah ini adalah Allah tanpa wajah. Ia adalah
“Allah yang tidak dikenal”, theos agnostos dari Kisah Para Rasul, dan Dia tetap
merupakan Allah kaum agnostik. Ini tetap demikian kecuali, sebagaimana halnya
dengan para filsuf besar zaman modern (dan juga para lawan ateis mereka), kita
membiarkan diri kita sendiri dipengaruhi oleh ide Kristen mengenai Allah yang
hadir di mana-mana bahkan sampai hari ini.
Namun, dengan memperhatikan secara lebih dekat
arah yang lebih bersifat filosofis atau religius universal: jikalau kita harus
berbicara dengan cara ini mengenai Allah sebagai Asal usul terjauh, Sebab dari
semua sebab, Tujuan terjauh, Tujuan dari segala tujuan, bagaimana saya
benar-benar bisa mengetahui apa yang tersembunyi di dalam Sang Asal usul
terjauh/Dasar segala sesuatu, dan apa yang menantikan kita pada tujuan akhir?
Tidak mungkinkah Asal usul terjauh itu merupakan suatu jurang yang gelap, dan
bukan sesuatu yang membawa terang? Jangan-jangan Sang Asal usul terakhir/Dasar
terakhir itu adalah suatu khayalan yang menipu, dan bukan dasar yang menjamin
kehidupan. Tidak dapatkah tujuan akhirnya merupakan kekeliruan definitif, dan
bukan pemenuhan sempurna? Bagaimana saya bisa tahu apakah makna terakhir bagiku
dan bagi dunia bukanlah kesia-siaan dan apakah nilai dasar ternyata sama sekali
bukanlah nilai? Keraguan-keraguan seperti itu benar-benar sahih dan memberi
tantangan yang sulit bagi suatu Orientasi dasar.
Apa dan siapakah Allah yang harus memberikan
nilai-nilai hakiki saya? Seperti apakah Dia? Dalam terang Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru saya tahu suatu jawaban terhadap pertanyaan itu. Allah dari
iman Kristen-Yahudi tidak tetap menjadi abstrak dan tidak menentu, seperti
Allah para filsuf. Dia konkret dan pasti; tidak tersembunyi, tetapi diwahyukan
di dalam sejarah bangsa Israel dan Yesus Kristus. Dan, tidak seperti Allah para
filsuf dan para cendekiawan – untuk menggunakan kontras Pascal – Allah Abraham,
Ishak, dan Yakub ini, Allah dari Yesus Kristus, tidaklah penuh teka-teki,
seperti sphinx Mesir, pencekek orang yang lewat. Dia juga bukanlah Allah yang
ambivalen, ekuivok, bermuka dua, seperti dewa Janus Romawi, misalnya. Dia juga
tidak tergesa-gesa, tanpa perhitungan seperti Tyche-Fortuna, yang sebagai dewi
kebahagiaan dan kemalangan membimbing jalannya dunia.
Bukan, Allah Kristen-Yahudi secara pasti
terbukti merupakan Allah, yang tidak melawan kemanusiaan tetapi mendukung
kemanusiaan, “Immanuel: Allah beserta kita”. Suatu Allah yang bagi manusia
seharusnya bukan menjadi ketakutan – seperti sering ditampilkan oleh mereka
yang dianggap para guru Kristen – melainkan menjadi rasa aman, bukan
penderitaan tetapi kebahagiaan, bukan kematian tetapi kehidupan. Bahkan di
dalam Perjanjian Lama (meskipun sebagian masih mengambil bentuk-bentuk mitos
kafir) bukan pemilik budak tetapi Allah yang membawa mereka keluar dari Mesir,
Allah pembebasan, belas kasih, keselamatan, rahmat. Allah yang tidak mempunyai
pesaing, dewa-dewa lain, di samping-Nya. Allah yang satu dan satu-satunya ini
adalah kenyataan yang paling akhir, paling awal yang disembah oleh kaum Muslim
bersama dengan kaum Kristen dan Yahudi – suatu kenyataan yang sangat penting
untuk perjanjian Camp David dan upaya-upaya perdamaian dewasa ini di Timur
Tengah. Dia adalah kenyataan yang juga dicari kaum Hindu di dalam Brahma, dan
kaum Buddha di dalam Dharma Absolut (Nirvana), sebagaimana orang China dalam
surga atau dalam Tao. Bagi kaum Islam, Yahudi, dan Kristen Allah yang satu dan
benar ini bukanlah Allah yang tidak dikenal. Dia adalah Allah yang baik, Allah
yang melihat manusia dengan kemurahan hati, Allah yang menjadi tempat manusia
dapat menaruh kepercayaan absolut dan total bahkan sewaktu mengalami keraguan,
penderitaan, dan dosa, sewaktu terlibat di dalam semua kedukaan personal dan
semua penderitaan sosial – Allah yang de fakto menjadi tempat kita dapat
menyandarkan iman.
Dia, tentu saja, Allah biblis, tetapi Allah biblis
yang dimengerti di dalam pandangan baru mengenai dunia menurut Copernicus,
Galileo, dan Darwin. Allah, sebagai Allah yang serba merangkum dan serba
meresapi dunia, pastilah bukan pribadi sebagaimana manusia disebut pribadi. Apa
yang menentukan setiap eksistensi manusiawi individual bukan seorang pribadi
individual seperti pribadi-pribadi lain. Dia bukanlah sebuah super-ego atau
Saudara tua. Allah jauh melebihi sebuah pribadi sehingga konsep pribadi pecah
berantakan kalau mau diterapkan pada Allah karena tidak mampu memuat-Nya.
Tetapi sebaliknya, Allah yang merupakan dasar
dari kodrat pribadi manusia Dia sendiri tidak mungkin merupakan sesuatu yang
tidak personal/impersonal. Dia bukanlah sesuatu yang ada di bawah tataran
personal. Allah melampaui konsep impersonal; Allah tidak tidak lebih rendah
dari pribadi pula.
Bahkan para matematikawan dan ilmuwan harus
terbiasa dengan pemikiran paradoksal. Konsep Niels Bohr mengenai perimbangan
menawarkan sebuah contoh. Dalam mekanika kuantum, tergantung pada pertanyaan
yang diajukan apakah jawaban di dalam percobaan dinyatakan di dalam istilah
“gelombang” atau “sel”. Sejalan dengan itu, dalam diskusi filosofis dan
teologis, tergantung pada cara pertanyaan diajukan apakah, sebagai jawaban
terhadap pertanyaan khusus, Allah dapat dilukiskan sebagai “personal” atau
“a-personal”. Tetapi kenyataan bahwa Allah pada dasarnya bukan personal atau
a-personal tergantung pada hakikat Allah yang tidak dapat dibandingkan.
Kenyataannya, Dia adalah keduanya pada waktu yang sama. Karena itu dapat dengan
tepat disebut “supra-personal”.
Tetapi demi iman biblis dan nilai Kristen kita
sekarang, hal yang jelas, meskipun Allah ini bersifat “supra-personal”, Dia
tetaplah merupakan mitra sejati yang baik hati dan seutuhnya dapat diandalkan,
seorang mitra yang dapat kita ajak bicara. Tentu saja kita hanya dapat
berbicara mengenai Allah ini, dan berbicara kepada-Nya, di dalam kiasan dan
gambaran, di dalam sandi dan simbol. Tetapi bagaimana pun kita dapat
berkomunikasi dengan-Nya dengan menggunakan kata-kata manusia. Berdasar inilah
doa dan ibadah dimungkinkan – suatu kemungkinan yang, menurut saya, sangatlah
penting, khususnya bagi kita manusia modern dan Orientasi dasar yang dicari;
sesuatu yang tentu saja tidak boleh bersifat murni intelektual. Dalam doa
sederhana dan ibadah yang tulus, orang modern dapat menemukan nilai-nilai
tertentu pada kedalaman eksistensi mereka yang seutuhnya, dan dapat benar-benar
mengalami dari mana kita berasal, di mana kita berada, dan ke mana kita menuju.
Dewasa ini kaum Kristen tidak lagi mempunyai
iman yang naif akan Allah. Dan sekarang, akan diberikan orientasi jawaban atas
kesulitan dan pertanyaan yang diajukan kepada kekristenan – khususnya
pertanyaan dan kesulitan dari dunia ilmu pengetahuan.
Salah satu kesulitan adalah ide mengenai Allah
sebagai “Pencipta” surga dan bumi. Di sini, kita harus mengingat bahwa
pertanyaan mengenai dari mana dunia dan manusia – permasalahan mengenai apa
yang ada sebelum Big Bang dan sebelum ada hidrogen apa pun, pertanyaan besar
mengenai mengapa ada sesuatu bukannya ketiadaan – merupakan pertanyaan yang
pada dasarnya bersifat manusiawi. Para ilmuwan tidak dapat memberikan jawaban
karena jawaban itu berada di luar cakrawala pengalaman. Tetapi justru untuk
alasan itulah, ia tidak dapat menyingkirkan pertanyaan tersebut sebagai
pertanyaan yang tidak relevan atau tanpa makna. Dalam menjawab, penting untuk
mengingat bahwa kisah-kisah penciptaan di dalam Kitab Suci tidak dimaksudkan
untuk memberi informasi ilmiah mengenai bagaimana terjadinya semesta. Kisah-kisah
itu bermaksud menunjukkan apa yang kita sebut kesaksian iman mengenai Asal usul
paling awal dari semesta, suatu kesaksian yang tidak dapat dipastikan atau
disanggah kebenarannya oleh ilmu: awal dunia adalah Allah. Dan di dalam
mengatakan itu, kesaksian-kesaksian biblis ini menekankan bahwa Allah menjadi
asal mula segala sesuatu dan semua manusia; bahwa Dia tidak sedang bersaing
dengan salah satu prinsip-lawan yang jahat atau demonic; bahwa dunia secara
keseluruhan dan dalam setiap bagiannya – materia, tubuh manusia dan termasuk
seksualitas – baik adanya; bahwa manusia merupakan penyempurnaan dari proses
penciptaan dan pusat dari semesta, dan bahwa ciptaan Allah sudah merupakan
tanda komitmen rahmat-Nya kepada dunia dan kepada manusia, baik laki-laki maupun
perempuan – yang berarti sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan, pikiran,
dan tindakan kita.
Kesulitan kedua adalah ide mengenai Allah
sebagai Dia yang “membimbing” sejarah. Bagaimana kita harus memahami hal ini?
Jika Allah ada, Dia tentu tidak bertindak di dunia seperti seseorang atau
sesuatu yang bersifat terbatas dan relatif. Dia bertindak sebagai Yang Tak
Terbatas di dalam yang terbatas dan sebagai Yang Absolut di dalam yang relatif.
Dan, saya akan menambah bahwa Allah tidak bertindak pada, atau ke dalam, dunia
dari atas atau dari luar sebagai Penggerak Yang Tak Tergerakkan. Sebagai yang
paling nyata dan dinamis dari semua kenyataan, Dia bekerja dari bagian dalam,
di dalam proses evolutif yang Dia buat mungkin, yang Dia kuasai, dan yang Dia lengkapi.
Dia tidak bertindak pada dunia secara eksternal; Dia bertindak di dalam dunia
sendiri, di dalam dan bersama dengan manusia dan benda-benda. Apakah ini
berarti Dia melakukan intervensi? Jawabannya, Dia tidak mengintervensi dengan
cara yang sama sebagaimana sering dipikirkan orang. Dia tidak hanya bertindak
pada suatu golongan kecil, khususnya titik-titik penting atau saat-saat genting
di dalam permasalahan-permasalahan dunia. Dia bukanlah pemecah masalah. Bukan,
Dia bertindak sebagai penjamin dan pendukung utama yang kreatif dan lengkap.
Dia membimbing dunia sebagai Dia yang sekaligus imanen di dalam dunia dan
mengatasi dunia, serba hadir dan serba kuasa, dengan sepenuhnya menghormati
hukum-hukum alam yang bertitik awal tidak lain daripada dalam diri Allah
sendiri. Dia adalah serba mengerti dan serba meresapi arti dan tujuan segala
sesuatu di dunia dan keseluruhan proses sejarah dunia. Ia “melemparkan dadu” –
tetapi mengikuti aturan tertentu, sebagaimana dijelaskan oleh mekanika kuantum
dan mikrobiologi. Kemerdekaan absolut-Nya tidak membatasi kemerdekaan relatif
manusia, tetapi membuat kemerdekaan itu mungkin, memberdayakan dan menjaminnya.
Kesulitan ketiga berkaitan dengan konsep
mengenai Allah sebagai “penyempurna” dunia dan manusia. Satu hal jelas. Tidak
ada satu pun gambaran atau proyeksi ilmiah yang tegas mengenai masa depan umat
manusia dan semesta. Dan, saya akan menambah bahwa tidak ada kisah dan gambaran
biblis mengenai akhir dunia yang memiliki otoritas pernyataan ilmiah. Kita
harus memahaminya sebagai kesaksian iman mengenai Tujuan semesta yang, sekali
lagi, tidak dapat ditegaskan atau dibantah ilmu: akhir dunia adalah Allah.
Sebagaimana Dia adalah awal (alpha), demikian juga Dia adalah akhir (omega).
Kita dapat mengabaikan semua upaya untuk menyelaraskan pernyataan-pernyataan
biblis dan pelbagai teori ilmiah mengenai awal dan akhir. Kesaksian biblis
memahami akhir pada tingkat yang pada dasarnya berbeda – sebagai pemenuhan
kegiatan Allah di dalam ciptaan-Nya. Itu berarti apa yang ada pada akhir dunia,
sebagaimana pada awalnya, bukanlah Ketiadaan yang tidak menjelaskan apa pun,
melainkan Allah. Akhir ini tidak boleh begitu saja disamakan dengan petaka
kosmis dan akhir sejarah manusia secara mendadak. Apa yang bersifat lama,
sementara, tidak sempurna, dan jahat benar-benar akan berakhir. Tetapi, akhir
ini harus dimengerti sebagai penyempurnaan dan pemenuhan akhir.
“Ya” kepada Allah bukanlah emosi yang kabur
atau pun bukti rasional. Manusia dihadapkan pada suatu alternatif. Mereka harus
memutuskan apakah mereka siap menerima bahwa di dalam kehidupan dan sejarah
umat manusia dan dunia tidak ada dasar, dukungan, dan makna – atau bahwa
semuanya bagaimana pun juga mempunyai dasar kokoh, dukungan dan makna; dengan
rumusan lebih konkret, ada seorang pencipta, pembimbing, dan penyempurna. Kita
dapat tidak percaya pada dasar, dukungan, dan makna kenyataan lalu mengatakan
“tidak” kepadanya. Atau kita dapat percaya, dan mengatakan “ya” kepada Allah.
Maka “ya” kepada Allah merupakan masalah kepercayaan – meskipun kepercayaan
dalam dirinya sendiri merupakan suatu kepercayaan yang cukup masuk akal. Tidak
ada bukti rasional untuk tindak kepercayaan seperti itu, tetapi pasti ada
banyak dasar yang masuk akal. Sebab hanya “ya” penuh percaya kepada dasar,
dukungan, dan makna utama dapat menjawab pertanyaan mengenai dasar, dukungan,
dan makna dunia, dan makna utama hidup kita sendiri. Hanya “ya” penuh percaya
dapat memberikan kepastian, rasa aman tertinggi kepada manusia – dan
kenyataannya memberikan suatu sistem sejati dari nilai-nilai hakiki. Dalam
terang ini, hanya “ya” merupakan hal yang pada dasarnya masuk akal, bukan
“tidak”, yang menuntun kepada ketidakbermaknaan dasariah.
Jika kita mau mengarahkan diri kita kepada
Allah dalam iman, yaitu Allah kaum Kristen, kita tidak perlu benar-benar
menjadi irasional, sebagaimana ditakutkan oleh banyak orang. Sebaliknya, dengan
mempercayai Allah pikiran kita benar-benar “menangkap dasar-alasannya” Dan
Allah para filsuf, yang lebih menarik bagi orang-orang tertentu, tidak dengan
sendirinya terhapuskan di dalam proses tersebut: di dalam Allah kaum Yahudi dan
Kristen, Dia adalah apa yang dalam bahasa Jerman disebut, dalam suatu kata
dengan tiga makna yang indah, aufgehboben – Dia ditegaskan, disangkal, dan
diatasi sekaligus; ditegaskan, direlatifkan, dan ditinggikan secara tak
terbatas. Saya percaya, Allah ini adalah apa yang dapat kita sebut “Allah yang
lebih ilahi”. Kaum modern, baik laki-laki maupun perempuan, tidak perlu
membuang akal mereka yang telah terlanjur kritis di hadapan Allah ini. Dia
adalah Allah yang di hadapan-Nya mereka dapat “berdoa dan berkurban, jatuh
berlutut dalam kekaguman, membuat musik dan menari” lagi, untuk menggunakan
kata-kata yang digunakan Heidegger dalam mengungkapkan harapannya. Maka jawaban
pertama dan dasar saya terhadap pertanyaan mengenai nilai-nilai hakiki Kristen
adalah: saya tahu apa yang dapat saya andalkan dan akan saya andalkan karena
saya percaya kepada Allah yang hidup.
Sesungguhnya, setiap orang memiliki ”Allahnya”
sendiri: yaitu nilai tertinggi yang kita gunakan untuk mengatur segalanya, yang
menjadi tujuan kita, yang bagi-Nya kita bersedia untuk mengurbankan segalanya.
Jika ini bukan Allah yang benar, ini menjadi semacam berhala, suatu berhala
lama atau baru – uang, karir, seks, atau kenikmatan. Tidak satu pun di antara
hal-hal tersebut yang jahat di dalam dirinya sendiri, tetapi memperbudak mereka
yang menjadikannya Allah. Orientasi kepada Allah yang satu dan benar, kepada
satu-satunya Yang Absolut, membebaskan kita dari hal-hal itu, dan memungkinkan
kita menggunakan mereka, mengungkapkan diri kita sebagai manusia dengan
menggunakan mereka. Orientasi kepada Allah yang satu dan benar membuat seorang
manusia benar-benar bebas di dunia ini. Tetapi di dalam semuanya ini,
pembicaraan kita masih sangat umum. Kita harus melanjutkan refleksi kita dan
berbicara secara lebih tepat. Dari mana saya memperoleh komitmen saya pada
nilai-nilai Kristen yang hakiki?
0 komentar:
Posting Komentar