@
KOMITMEN ORANG KRISTEN DALAM MASYARAKAT YANG KEHILANGAN ARAH.
2. Kristen Sebatas Nama dan Kristen Sejati
Di sini, saya ingin sekali berbicara tidak
hanya kepada umat Kristen, tetapi juga kepada yang non-Kristen, serta kepada
orang-orang yang sedang dalam keraguan. Baik umat Kristen maupun umat
non-Kristen mungkin awalnya dapat sepakat dalam tiga masalah penting berikut:
- Di dalam krisis nilai dewasa ini, kebanyakan orang yakin bahwa sama sekali tidak mungkin bagi manusia untuk hidup bersama jika tidak ada kesepakatan sedikit pun atas sistem nilai. Dapat dipertanyakan apakah negara pun dapat berfungsi, mengingat semua konflik kepentingan yang ada, jika tidak ada kesepakatan sedikit pun atas norma-norma dan sikap-sikap dasar yang diterima bersama (dan pada saat ini hal-hal tersebut didiskusikan secara serius dalam pelbagai partai politik). Kita dapat mengandaikan bahwa sekurang-kurangnya terdapat kesepakatan mengenai satu hal, yaitu bahwa tidak mungkin ada masyarakat yang berbudaya dan tidak mungkin ada negara jika tidak ada sistem hukum tertentu. Tetapi tidak mungkin ada sistem hukum jika tidak ada rasa keadilan. Dan, tidak mungkin ada rasa keadilan jika tidak ada kesadaran moral atau etis. Dan, tidak mungkin ada kesadaran moral atau etis jika tidak ada norma-norma, sikap-skap, dan nilai-nilai dasar.
- Seperti telah saya singgung, memberi pendasaran pada etika murni secara rasional itu amatlah sulit – untuk tidak mengatakan mustahil – oleh karena itu, kita tidak boleh begitu saja mengabaikan fungsi dan pentingnya praktik yang selama ribuan tahun telah memberikan pendasaran untuk suatu etika dan nilai-nilai dasar bagi manusia. Maksudnya, kita tidak dapat menyingkirkan agama tanpa menanggung konsekuensinya. Kita harus menerima bahwa tidak ada kewajiban yang mengikat tanpa syarat untuk melakukan tindakan manusiawi tertentu jika tidak ada penerimaan atas otoritas yang mengikat tanpa syarat yang memberikan kewajiban tersebut kepada kita. Tidak ada tindakan manusiawi yang bermoral yang mengikat tanpa syarat, dan tidak ada etika yang mengikat tanpa syarat tanpa agama. Dan, jika agama sejati tidak menjalankan fungsi tersebut, agama palsu atau quasi agama yang akan menjalankannya. Tetapi bagi agama sejati, satu-satunya otoritas yang dapat mengklaim ketaatan absolut tanpa syarat bukanlah sesuatu yang dikondisikan secara manusiawi seutuhnya. Otoritas tersebut adalah Sang Abolut sendiri, yang kita sebut Allah.
- Kristen atau bukan, kita harus mengakui bahwa norma-norma dan nilai-nilai dasar yang bersifat kemanusiaan murni di masa lampau sangat dipengaruhi kekristenan. Dan, hal ini seutuhnya demi kepentingan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia. Pikiran dan semangat Kristen mengukir nilai-nilai martabat manusia, kemerdekaan, keadilan, solidaritas, dan perdamaian. Tanpa muatan Kristen, nilai-nilai tersebut akan merupakan konsep yang bersifat ekuivok, yang dimanipulasi sekehendaknya, baik di Timur maupun di Barat. (Bukan hanya the People’s Republics and George Orwell’s dalam karyanya 1984 yang membuatnya jelas). Tambahan lagi, suka atau tidak, pesan Kristen tidak hanya memberikan suatu jawaban teoretis dan abstrak terhadap permasalahan-permasalahan mengenai norma dan nilai. Jawaban itu bersifat praktis dan konkret.
Masa depan merupakan milik kaum muda dan
merekalah yang secara khusus harus menghadapi permasalahan mendesak ini.
Tidakkah kita harus lebih serius lagi menangani masalah sistem nilai yang sudah
lazim yang dapat membantu kita menentukan apa yang harus kita lakukan? Saya
tidak mengusulkan suatu langkah mundur yang bersifat nostalgia ke masa lampau.
Tetapi mungkin kita harus memetakan jalur masa depan kita dengan bantuan dari
masa lalu yang masih dapat digunakan. Setelah begitu banyak instrumen lain
terbukti hanya memberikan dugaan-dugaan yang tidak dapat diandalkan dalam
prahara zaman modern, mungkin bantuan tersebut dapat menunjukkan kepada kita
suatu jalan menuju suatu masa depan penuh dengan martabat manusia yang lebih
luhur. Di dalam zaman yang miskin akan orientasi ini mungkin orientasi dasar
kekristenan sekali lagi - dengan cara yang baru - dapat menjadi petunjuk.
Tetapi di sini, kita harus membuat beberapa pemilahan.
Untuk saat ini, saya sudah dapat mendengar
protes dari kaum non-Kristen. Nilai-nilai Kristen yang hakiki? Apa yang masih
dapat disebut sebagai kristiani untuk zaman ini? Kristianitas sudah selesai.
Tetapi, di sini saya ingin menjelaskan sendiri kepada mereka, kaum non-Kristen
dan kaum tidak beriman. Tidak hanya kaum tidak beriman di luar, tetapi juga
kaum tidak beriman di dalam, di antara kita sendiri, yang berulang kali
menyatakan keraguan dan keberatan, yang mengatakan “saya percaya” tetapi,
seperti orang di dalam Injil itu, menambahkan: “Tolonglah saya yang tidak
percaya ini!” Kepada orang-orang itu, saya ingin memberikan jawaban yang terus
terang dan jujur.
Secara terus terang dan jujur saya katakan
jika banyak orang, baik yang mengaku dirinya orang beriman maupun tidak beriman
dalam menentukan orientasi dasar hidup mereka menolak banyak hal yang disebut
kristen dan jika mereka menolak segala sesuatu yang dalam berbagai bentuk
berkaitan dengan ajaran iman yang otoriter tidak masuk akal dan dengan
moralitas yang tidak realistis dan picik, maka saya tidak dapat menentang
mereka. Jika mereka putus asa dengan legalisme dan oportunisme, keangkuhan dan
sikap tidak-toleran dari begitu banyak pejabat Gereja dan teolog dan jika
mereka ingin menyerang kesalehan yang tidak mendalam dari mereka yang umumnya
dianggap kaum saleh, sifat tanggung dari banyak surat kabar dan majalah Gereja
yang membosankan, dan tidak adanya orang kreatif di dalam Gereja, maka saya
berada di pihak mereka. Saya pun sama sekali tidak berusaha menutup mata
terhadap kegagalan kristianitas dalam sejarah. Sebab saya tidak bermaksud
mencuci bersih sejarah kristianitas atau menutupi cacat-celanya: tidak hanya
penganiayaan terhadap saudara-saudari kita orang Yahudi, perang salib,
pengadilan kaum bidah, pembakaran tukang tenung, dan perang-perang agama tetapi
juga pengadilan terhadap Galileo dan begitu banyak pengutukan secara keliru
terhadap ide-ide dan orang-orang – para ilmuwan, filsuf, teolog; semua
keterlibatan Gereja dalam sistem-sistem tertentu tentang masyarakat, pemerintahan,
dan pemikiran, serta semua kegagalan yang begitu banyak di dalam masalah
perbudakan, masalah perang, masalah perempuan, masalah kelas, dan masalah ras;
keterlibatan yang berlapis-lapis dari banyak Gereja dengan para penguasa
pelbagai negara di dalam kelalaian mereka terhadap kaum hina, tertindas,
terhimpit, dan terhisap; agama sebagai obat penenang bagi mereka. … Semua ini
adalah kritik; kritik yang pedas yang tepat diajukan).
Tetapi saya bertanya kepada Anda: Ini semuakah
yang disebut “Kristen”? Kaum beriman dan bukan beriman tentunya akan setuju
bahwa ini disebut “Kristen” hanya dalam pengertian tradisional, dangkal, dan
tidak tepat. Umat Kristen tentu saja tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya
terhadap apa yang biasa disebut “Kristen”. Tetapi tidak satu pun dari semuanya
itu Kristen dalam arti mendalam, murni, dan asli; tidak ada yang
sungguh-sungguh Kristen. Ini tidak berkaitan dengan Kristus yang namanya
dirujuk. Dalam banyak cara, hal-hal tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari
apa yang menyeret Yesus ke kayu salib. Hal itu sebenarnya merupakan Kristen
semu atau anti-Kristen.
Terdapat begitu banyak hal yang disebut
Kristen. Tetapi apakah semuanya ini seutuhnya menjadi Kristen hanya karena
disebut Kristen? Kita harus menghadapi permasalahan ini. Bahkan orang yang
mengaku tergolong dalam suatu Gereja Kristen – seperti saya, dengan penuh
keyakinan – tidak ingin mempertahankan bahwa segala sesuatu yang berhubungan
dengan institusi-institusi yang menyandang nama kristiani adalah sungguh-sungguh
Kristen.
Tidak, dengan kehendak paling baik, saya tidak
dapat menyebutnya Kristen, atau memiliki nilai-nilai Kristen murni mengingat
bahwa dalam Gereja – saya sendiri dalam menanggapi masalah-masalah yang penting
bagi jutaan orang Katolik – orang lebih mengacu bukan kepada Yesus Kristus,
melainkan hanya kepada otoritas Gereja. Saya harus mengulang: Dengan kehendak
paling baik yang yang saya miliki, saya tidak dapat memikirkan bahwa Pribadi
yang diacu oleh kristianitas, Yesus dari Nazaret, sekarang akan mengambil sikap
yang sama seperti para penguasa di Roma berkaitan dengan masalah-masalah pelik
berikut ini:
- bahwa Dia, yang memperingatkan kaum Farisi agar tidak menaruh beban yang tak tertanggungkan di atas pundak orang lain, sekarang akan menyatakan semua kontrasepsi “buatan” merupakan dosa besar;
- bahwa Dia, yang secara khusus mengundang para pecundang ke meja-Nya, sekarang akan melarang semua orang cerai yang menikah lagi untuk mendekati meja perjamuan itu untuk selamanya;
- bahwa Dia, yang selalu disertai kaum perempuan (yang mengurus milik-Nya), dan yang rasul-rasul-Nya, kecuali Paulus, semuanya menikah dan tetap begitu, sekarang akan melarang perkawinan bagi semua laki-laki yang tertahbis, dan tahbisan bagi semua perempuan;
- bahwa Dia, yang mengatakan “Aku kasihan melihat orang banyak”, sekarang akan membiarkan umat-Nya semakin kehilangan para gembala dan membiarkan runtuh suatu sistem pemeliharaan pastoral yang dibangun selama lebih dari seribu tahun;
- bahwa Dia, yang membela si pezinah dan para pendosa, sekarang akan memberikan keputusan yang begitu kasar di dalam masalah-masalah yang pelik yang menuntut pertimbangan yang teliti dan kritis, seperti seks sebelum nikah, homoseksualitas, dan aborsi.
Tidak, saya akan berpendapat bahwa, seandainya
Dia datang lagi sekarang, Dia tidak akan setuju:
- bahwa perbedaan denominasi harus terus dianggap sebagai halangan bagi perkawinan - bahwa perkawinan seperti ini seharusnya menjadi halangan bagi para teolog awam Katolik yang ingin terlibat di dalam pelayanan pastoral (sebagaimana juga benar bagi kaum Protestan yang akan menjadi pendeta);
- bahwa keabsahan tahbisan pendeta Protestan dan perayaan Ekaristi mereka harus tidak diakui; dan bahwa komuni dan Ekaristi bersama, pemakaian bersama gedung-gedung gereja dan pusat paroki dan pelajaran agama secara ekumenis harus dicegah; bahwa perayaan-perayaan ekumenis harus dilarang secara sistematis pada hari-hari Minggu, di dalam suatu zaman yang gerejanya semakin kosong;
- bahwa, bukannya terlibat dalam perdebatan terbuka dan rasional, tetapi usaha (perdebatan) tersebut harus dilakukan untuk membungkam para teolog, para pastor universitas, guru agama, jurnalis, pejabat organisasi-organisasi, dan orang-orang yang bertanggung jawab atas karya kaum muda dengan perintah dan “pernyataan” (dan bahkan, bila saja mungkin, dengan hukuman disipliner dan finansial).
Tidak, apabila kita ingin menjadi Kristen,
kita tidak dapat menuntut kebebasan dan hak asasi manusia bagi Gereja secara
eksternal dan tidak memberikannya secara internal. Kita tidak dapat
menggantikan pembaruan-pembaruan yang secara mendesak dibutuhkan di dalam
Gereja dengan kata-kata indah mengenai Eropa, Dunia Ketiga, dan konflik
Utara-Selatan pada sinode-sinode, pertemuan-pertemuan Gereja, dan perjalanan
Paus. Singkatnya, keadilan dan kebebasan tidak dapat dikhotbahkan jika tidak
ada pengurbanan bagi Gereja dan para pemimpinnya.
Dengan mudah saya dapat berbicara terus,
misalnya, mengenai penggunaan uang publik tanpa kontrol resmi; atau mengenai
skandal keuangan di Roma, Chicago, dan tempat-tempat lain. Saya dapat
menyinggung nominasi para uskup, yang berlawanan dengan tradisi Katolik kuno,
tanpa partisipasi kaum berjubah dan umat, atau para imam dan dewan-dewan keuskupan;
atau pelanggaran terus-menerus terhadap batas 75 tahun bagi para uskup, suatu
prinsip yang dengan sungguh-sungguh ditetapkan oleh Vatikan II, dan seterusnya.
Saya menyinggung masalah ini semua secara
sangat terbuka, bukan karena hal ini menyenangkan saya, tetapi melulu karena
merupakan tugas dan tanggung jawab teolog-lah untuk menyampaikan kebenaran,
apakah ini berguna atau tidak bahkan seandainya pun membuahkan hukuman.
Tetapi, meskipun saya sadar akan sifat
mengerikan dari banyak hal yang disebut Kristen, dan meskipun saya sadar juga
akan keberatan-keberatan terutama yang bersifat ilmiah, rasional, atau populer
terhadap kristianitas – secara historis, filosofis, psikologis atau sosiologis
– tetap saja saya ingin mengatakan ini: bahwa di zaman yang kebingungan ini
saya menerima nilai-nilai hakiki saya dari kristianitas meskipun ada banyak hal
yang kurang menyenangkan. Bukan dari apa yang disebut Kristen, tetapi dari apa
yang benar-benar Kristen: dari pesan Kristen sendiri, dari iman Kristen yang tidak
hanya dipercayai tetapi benar-benar dihayati, justru berkat menjadi seorang
Kristen. Tetapi di sini muncul suatu pertanyaan yang menjadi tema bagian kita
yang berikut.
0 komentar:
Posting Komentar