Dorothy Day
PROLOG
Dorothy Day adalah seorang jurnalis feminis dan penganut atheis
gnostik yang
bertransformasi menjadi aktivis
sosial yang militan dan anggota Gereja
Katolik Roma yang
taat. Dorothy Day yang kerap dianggap sebagai “Bunda
Teresa dari Amerika” itu menjadi
terkenal karena kampanye keadilan sosialnya dalam membela para buruh dan banyak orang miskin. Bersama dengan Peter Maurin, Dorothy
Day yang juga dijuluki “nabi para kaum buruh” mendirikan “Catholic Worker Movement” (Gerakan
Pekerja Katolik), yang dimulai
dengan penerbitan koran “Catholic Worker”. Gerakan sosialnya menyebar-pencar ke kota-kota lain di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris. Pada tahun 1941, ada lebih dari 30 komunitas “Catholic Worker” yang independen namun berafiliasi
dengan “Catholic Worker”.
Pada tahun 2005 telah ada sekitar 100 komunitas
di Australia, Britania Raya, Jerman, Belanda, Irlandia, Meksiko, Selandia Baru,
dan Swedia.
SKETSA
PROFIL
”Belajar berbicara dengan berbicara,
belajar membaca dengan membaca,
berlari dengan berlari, bekerja dengan bekerja;
demikian juga, kita belajar mencintai … dengan
mencintai.”
Santo Fransiskus Sales, Pelindung Para Penulis
“I
really only love God as much as I love the person I love the least.” Ini adalah kata-kata bijak bestari yang
diungkap-kenangkan oleh Dorothy Day, seorang jurnalis atheis yang berubah
menjadi aktivis sosial dan anggota Gereja Katolik. Banyak orang sungguh
“termakan” oleh kata-kata ini, sebab Dorothy dengan tegas menyamakan kasih
kepada yang ilahi dengan tindakan kasih yang sudah dilakukan kepada sesama
manusia. Seberapa besar kasih kepada orang lain, sedemikianlah menurutnya kasih
yang (sebenarnya) hadir untuk Yang ilahi. Dorothy Day mengajak banyak orang
untuk serius memikirkan dan melaksanakan sebuah keseimbangan sempurna antara
kesalehan individu dengan kesalehan sosial, sebentuk perilaku keagamaan yang
tidak berkanjang dalam ruang domestifikasi belaka, tetapi menjadi daya gerak,
daya ubah, katalisator bagi perubahan sosial kemasyarakatan. Dengan
kata-katanya ini, ia tidak sedang menyebarkan agama atau menonjolkan agama
tertentu di sini. Ia sedang menunjukkan jati diri kemanusiaan yang hakiki,
bahwasannya manusia membawa gambar diri yang Ilahi dalam dirinya, saat belas
kasihan kepada sesama ciptaan-Nya merajai kehidupan dan berbuah dalam tindakan
kepedulian. Disinilah, Jim Forest seorang penulis auto-biografi menyatakan sosok Dorothy Day sebagai
“sahabat kaum merah.”
Dorothy
Day sendiri terlahir pada tanggal 8 November 1897 di
Amerika Serikat dan meninggal
pada tanggal 29 November 1980. Ia adalah anak ketiga dari lima
bersaudara. Kehidupan Dorothy Day sendiri diwarnai dengan “isme-isme”
(Anarkisme, Komunisme, Sosialisme) yang terserak-marak pada saat itu.
Ketika pergi ke Chicago sebagai
seorang jurnalis muda, Dorothy mulai mengenal pelbagai pemikiran sosialis.
Pengenalan dan pemikiran ini berkembang pesat didukung dengan minat bacanya
yang tinggi dan ketergerakannya untuk masuk dan terlibat dalam tempat-tempat
rawan konflik sosial di sekitar Chicago. Yah,
semasa mudanya, ia menjadi seorang perempuan yang tidak mempercayai agama
(agnostik). Ia juga merupakan seorang aktivis hak-hak kaum perempuan yang
menganut hidup bebas. Selain mempunyai beberapa pacar, ia juga pernah melakukan
aborsi dan mempunyai seorang anak di luar nikah.
Dorothy Day seringkali secara
radikal menuntut pemerintahan waktu itu, baik terhadap penguasa lokal di New
York maupun di pusat Washington D.C. Ia merindukan suatu perubahan, di mana
waktu itu adalah tahun-tahun berat yang dialami dikarenakan resesi ekonomi yang
berkepanjangan. Sebagai jurnalis,
benturan-benturan sosial pun kerap dialami. Bahkan di Chicago pula, setelah
dipenjara pertama di Washington, Dorothy harus meringkuk dalam penjara.
Pengalaman berada dalam penjara dan perjumpaannya dengan para tahanan lain
kerap ia lukiskan: “Saya
adalah ibu yang anaknya telah diperkosa dan dibunuh. Saya adalah ibu yang telah
melahirkan monster pelakunya. Saya sendirilah monster itu, yang merasakan
segala kesesakan dan kebencian di dalam hati saya.”
Suatu saat karena pelbagai hal
dan pernah dicari-cari penegak hukum di New York, maka dia mengasingkan diri di
daerah terpencil di wilayah New Jersey. Dalam pengasingan dirinya inilah
terjadi perubahan besar pada dirinya. Ia mulai membantu orang-orang miskin
dengan sumber daya seadanya untuk mencoba bertahan hidup dan menyiapkan
generasi berikutnya untuk kehidupan yang lebih baik, dengan gizi yang baik,
lingkungan higienis, pendidikan yang memadai, dan sebagainya.
Pastinya,
peziarahan hidup Dorothy Day menjadi Katolik sendiri memang menempuh jalan yang
pelik. Dorongan terakhir timbul dari kelahiran anak perempuannya pada bulan
Maret 1926. Melalui pergumulan sebagai seorang ateis, ternyata Dorothy Day
berhasrat membaptiskan puterinya: “Tentu
saja, seorang ibu, betapapun ateisnya dia, menginginkan bayinya memperoleh
kehidupan kekal”, demikian
kata batinnya ketika bertanya kepada salah satu suster perihal pembatisan
seorang bayi. Pengalaman membaptiskan puterinya inilah yang mempercepat
perpindahan imannya. Ia telah memperoleh mutiara tak ternilai yang membuatnya
tak ragu untuk mengorbankan semuanya. Dorothy Day pun, seperti Saulus (Paulus)
ditangkap oleh Kristus. Beberapa bulan kemudian, tepat diusianya yang ketiga
puluh tahun, ia memberikan dirinya untuk dibaptis.
Dalam
masa-masa inilah, Peter Maurin, seorang ahli filsafat dari Perancis mengajarkan
Dorothy Day supaya berani berjuang menghadapi kemiskinan dan mengabdikan
dirinya untuk melayani orang lain yang sangat membutuhkan bantuan. Untuk
itulah, bersama dengan Peter Maurin dia
mendirikan “Catholic Worker Movement” (Gerakan
Pekerja Katolik). Gerakan ini menganjurkan
aksi non kekerasan dan keramahan
bagi orang miskin dan terlantar. Gerakan ini sendiri dimulai dengan penerbitan koran “Catholic Worker” yang didirikannya untuk memasang posisi netral, sebagai pendukung perdamaian pada masa 1930-an yang tercabik-cabik oleh pelbagai perang antar negara. "Aturan kami merupakan karya
kasih," kata Dorothy Day lebih lanjut, "ini merupakan jalan
pengorbanan, jalan pemujaan, sebuah bentuk penghormatan".
Disinilah, menurut Peter Maurin yang turut
mendirikan “Catholic Worker”bersama Dorothy Day, ada
beberapa kepercayaan dasar yang menjadi tata gerak dan
hidup mereka, yakni:
- Paham dasar yang berakar bertumbuh dan berbuah dari ajaran iman Katolik.
- Adanya tugas pribadi untuk
menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama yang dianggap sebagai saudara,
secara lebih kontekstual.
- Perlunya pelbagai latihan harian dalam aneka karya kasih.
- Pembangunan rumah-rumah dermawan untuk bantuan cepat
kepada mereka yang membutuhkan.
- Pendirian Farming Communes, dimana setiap orang bekerja menurut
kemampuannya dan memperoleh apa yang dibutuhkannya.
- “Catholic Worker”berusaha menciptakan sebuah masyarakat
baru, yakni masyarakat yang sama namun dengan filosofi yang baru.
Dorothy Day sendiri secara sadar memilih koran tabloid sebagai senjata
perjuangannya. Melalui “The
Catholic Worker”, ia menyerukan perjuangan yang total untuk tidak sekedar membantu para
buruh, tapi lebih mendasar lagi, yaitu menghapus perbudakan buruh. Melalui “berita-berita
revolusionernya” di “The
Catholic Worker”, Dorothy Day merekam dan mengabarkan jejak-jejak
protes kaum buruh terhadap perlakuan tidak adil kaum pemodal, hukum dan kebijakan pemerintah yang kerap tidak memihak kaum buruh serta tekanan atas biaya hidup yang semakin
tinggi seiring upah riil yang semakin merosot.
Dalam “The Catholic Worker”, Dorothy
juga menyerukan penolakannya atas perang. Ia menyerukan
agar orang-orang mangkir dari wajib militer. Kantor “The Catholic Worker” yang sederhana juga sering dijadikan
tempat pertemuan-pertemuan untuk merencanakan pemogokan, mengakhiri pemogokan,
bahkan membentuk serikat buruh dan melawan serikat buruh yang hanya menjadi
kepanjangan tangan penguasa. Dorothy Day kemudian juga membuka
sebuah "rumah singgah"
di daerah kumuh New York City.
Satu pokok yang bisa kita kenang
bahwa Dorothy Day adalah salah satu perintis Gerakan Pekerja Katolik. Mencandra
kenyataan bahwa ada banyak orang yang ingin mengetahui lebih lanjut seputar
kehidupan Dorothy Day, maka disusunlah sebuah auto-biografinya, “The Long Loneliness” (Kesepian yang panjang), yang diterbitkan pada tahun 1952. Dalam
karyanya yang singkat tapi mempesona ini, Dorothy Day bermaksud memberikan penjelasan
bagi teman-temannya yang berasal dari kelompok radikal: mengapa ia memilih
Kristus dan Gereja Katolik. Sedangkan, catatannya tentang gerakan “Catholic Worker” dalam “Loaves and Fishes” (Roti dan Ikan), diterbitkan pada tahun 1963.
Selain buku dan auto-biografi,
ternyata juga ada sebuah film populer berjudul, “Entertaining Angels:The Dorothy
Day Story” yang diproduksi pada 1996 oleh sutradara Michael Rhodes. Film
ini sendiri mengisahkan kronologi kehidupan awal Dorothy Day hingga saat
konversinya ke agama Katolik yang mendorongnya menjadi penolong kaum miskin
dengan berbagai aktivitas sosial dan jurnalistik. Dalam film ini, Dorothy Day
diperankan oleh aktris Moira Kelly, sedangkan tokoh Peter Maurin diperankan
aktor Martin Sheen. Adapun surat kabar dan organisasi sosial “Catholic Worker”
yang didirikan oleh Dorothy Day hingga kini masih ada dan merupakan salah satu
organisasi sosial terbesar di Amerika Serikat.Selain itu, film dokumenternya
yang pertama dan terlengkap
tentang dirinya berjudul, "Dorothy
Day: Don't Call Me a Saint" ("Jangan Panggil Aku Orang Kudus"), ditayangkan di
Universitas Marquette pada tanggal 29 November 2005.
Selama lebih dari 50 tahun,
Dorothy Day berkomitmen penuh terhadap perdamaian, keadilan sosial dan revolusi
tanpa kekerasan. Dorothy Day bersama dengan Martin Luther King Jr. dikenal
sebagai 'saksi tanpa kekerasan' yang memiliki 'pengaruh kuat dalam kehidupan
gereja di Amerika Serikat'. Dorothy Day yang selalu dijuluki 'Head Anarch' oleh
editor koran gerakan buruh Katolik ini, dijuluki juga sebagai 'First Lady of American Catholism'.
Selama hidupnya, Dorothy Day bersama “Catholic Worker” terus
menyuarakan dan mengkritisi isu-isu perburuhan, kemiskinan, urbanisasi,
kebijakan yang diskriminatif, dan berjuang untuk melakukan perubahan sosial
yang adil, dan menempatkan nilai-nilai religius serta ajaran sosial gereja
sebagai roh dan kompas perjuangannya. Walau tidak diundang datang pada Konsili
Vatikan II, Dorothy Day datang dan berbicara mengenai berbagai
isu sosial dengan para uskup yang sedang membahas Konstitusi Pastoral Konsili
Vatikan II (“Gaudium et Spes”).
Dalam perkembangan waktu, Dorothy Day diusulkan untuk menjadi santa oleh
para Misionaris Klaris pada tahun 1983. Beberapa penentang menganggap dia
tidak pantas karena "dosa masa mudanya": praktek seks bebas dan aborsi. Namun demikian, Tahta Suci Vatikan memberikan ijin kepada Keuskupan Agung New York untuk membuka langkah penelitian menjadikan Dorothy Day sebagai orang kudus pada Maret 2000. Sampai sekarang, dia dihormati
layaknya sebagai seorang santa bagi para pekerja dan pejuang
sosial-kemanusiaan.
REFLEKSI TEOLOGIS
KATOLIK: “Kristussentris, Apostolik, Tujuhsakramen, Orangkudus, Liturgiekaristi, Inkarnasi dan Koinonia”.
Dorothy Day identik dengan “Catholic Worker Movement”! Di
Amerika Serikat, organisasi ini sendiri bermula sebagai sebuah sarana untuk
menyatukan sejarah karya-karya Dorothy Day dalam aktivitas sosial berdasarkan
prinsip-prinsip paham Katolik, lima tahun setelah ia menjadi penganut Katolik
pada tahun 1927. Nah, ternyata
lewat figur dan teladan imannya yang hidup, kita boleh kembali memaknai arti kata “katolik” secara
lebih indah.
Sebenarnya apa itu
kekatolikan? Mengacu
pada buku “Catholic Way”, halaman
19-20, Mgr. Suharyo mengatakan bahwa “Katolik” tak pertama-tama menunjuk
sekelompok orang yang terbatas, melainkan lebih-lebih adalah karya Roh yang
hadir dan berkarya di mana-mana, menjiwai seluruh dunia dengan daya Roh itu
serta mengangkat kekayaan seluruh umat manusia. Jadi kata “Katolik”
pertama-tama berkata tentang kegiatan Roh yang diimani, berhembus ke mana Dia
mau dan diyakini kehadiran-Nya yang menjiwai seluruh karya umat manusia. Maka
kata “Katolik” adalah sebuah paham dinamis, suatu entitas yang bergerak terus
sampai pada kepenuhan-Nya. Secara etimologis, “Katolik”, “Catholos”
berarti utuh dan menyeluruh, universal dan terbuka. Bagi saya sendiri,
mencandra figur seorang Dorothy Day, kata
“Katolik”menjadi sangat berarti, yakni tujuh sikap iman yang coba dihayati
seorang Dorothy Day lewat “Catholic Worker Movement” nya, yakni:
- Kristus sentris: “Catholic Worker Movement” adalah sebuah organisasi Katolik yang didirikan oleh Dorothy Day (bersama Peter Maurin) pada
tahun 1933. Tujuannya adalah untuk "hidup sesuai dengan keadilan dan
kedermawanan Yesus Kristus"." Pastinya,
semua kegiatan dan pelayanan karya kasih Dorothy Day yang begitu nyata
bersumber dan berpuncak pada Kristus sebagai pusatnya. Pada tahun-tahun awal
pendirian “Catholic Worker
Movement” merupakan
tahun-tahun berat yang harus dijalaninya. Selain karena masalah pra-sarana dan
biaya juga cercaan sana-sini serta kecurigaan orang lain yang menganggap
organisasi barunya ini sebagai propaganda terselubung gerakan komunisme.
Teman-teman pergerakannya dulu ketika muda yang saat itu sudah ada yang duduk
di konggres pernah menawari dia untuk meninggalkan organisasinya dan bergabung
dengan para senator. Tapi dengan mantap, Dorothy Day berkata tidak dan lebih
memilih melayani rakyatnya dengan setiap hari melakukan perjuangan hidup
bersama mereka. Bukankah ini semua terjadi karena dia mendasarkan segalanya
pada Kristus sendiri sebagai dasar sekaligus puncak pelbagai karya sosialnya?
- Apostolik: Bagaimana
mengetahui kehadiran Roh yang menjadi hakekat Kekatolikan? Hal ini bisa dikenali dari dua
hal. Pertama, melalui Kitab Suci sebagai sumber iman. Satu hal yang pasti dan
merupakan pokoknya adalah bahwa Allah sungguh mencintai kita (Yoh 3:16). Itulah
seluruh cerita cinta dari semua isi Kitab Suci. Kedua: Melalui tradisi gereja
dan rasuli. Kitab Suci sendiri tak bisa menjadi satu-satunya sumber. Tradisi
rasuli dan tradisi gereja adalah apa yang dihayati dan diimani oleh Gereja
sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu. Nah, berdasarkan semangat pengabdian
dirinya untuk melayani orang lain seperti cara hidup jemaat perdana dan para
rasul, Dorothy Day, “sang rasul modern” mendirikan surat kabar “Catholic
Worker” dan pelbagai dapur sosial yang menyediakan makanan bagi orang-orang
miskin dan gelandangan. Selain dapur, ia juga mendirikan rumah penampungan bagi
mereka. Tidak hanya itu, ia juga aktif meng-kampanyekan perdamaian, seperti
tradisi Rasul Paulus yang kerap memberi salam damai kepada para jemaatnya. Satu hal yang pasti: Rumah-rumah Catholic Worker bukanlah perangkat resmi institusi Gereja
Katolik Roma. Organisasi ini adalah
sebuah organisme yang berlandaskan
iman Katolik dan berkampanye untuk perdamaian dan aktif dalam kampanye anti-perang
dan kesenjangan pembagian kekayaan dunia.
- Tujuh sakramen: Secara sederhana, sakramen adalah
tanda hadirnya “yang Kudus”, Allah. Yah, Allah yang jelas-jelas hadir, sejak
kita lahir (lewat sakramen pembaptisan) sampai kita hendak meninggal (lewat
sakramen perminyakan). Disinilah, Dorothy Day berjuang untuk menjadi sakramen
yang hidup. Ia menghadirkan wajah Allah secara nyata. Dalam hal ini, dia
menghadirkan gambaran wajah Allah yang mewartakan pengharapan, terlebih bagi
kaum buruh dan banyak orang miskin.
Harapan sendiri tidak sama
dengan optimisme. Optimisme muncul atas siasat naluri, atau pertimbangan
manusiawi. Misalnya, kurs rupiah semakin kuat, maka lima tahun lagi ekonomi
makin baik. Ini optimisme. Kalau pada waktunya yang dioptimiskan tak jadi maka
optimisme berubah menjadi pesimisme. Sedangkan pengharapan itu berada pada
tingkatan inspirasi, pada tingkatan iman. Kalau tak berhasil, Tuhan tak akan
pernah gagal; Ia yang telah memulai pekerjaan yang baik akan menyelesaikan juga
pada waktunya. Mungkin saja diwujudkan lewat orang lain, dalam masa yang lain
juga: “Dum spiro, spero - Selama
saya masih bernafas, saya tetap berharap.”
Hal inilah juga yang diperbuat
oleh Dorothy Day sebagai sakramen yang hidup: Ia menawarkan harapan nyata bagi
banyak orang. Sepenggal
kisah nyata: Hari itu, May Day, 1 Mei 1933 (persis
pembukaan Bulan Maria dan Pesta St Yusuf pekerja) , suara alto yang cukup keras dari Dorothy
Day bersama dengan para aktivis memenuhi Union Square di kota New
York: “Bangkitlah, hai para
pekerja di dunia. Bangkitlah, hai kaum yang malang di bumi.” Sesaat kemudian, 50.000 orang serentak menyanyikan
hymne lagu perjuangan buruh. Hari
itu juga menandai hari pertama penerbitan koran tabloid delapan halaman, “The Catholic Worker”. Dia membawa harapan bagi banyak buruh
dengan ber-orasi dan membagi-bagikan tabloid “The Catholic Worker” di tengah-tengah aksi May day. Walaupun pada awalnya, Dorothy melihat lebih banyak
kebingungan daripada antusiasme pada para pembaca tabloid: “Bagaimana mungkin sebuah koran
radikal diterbitkan oleh orang-orang Katolik?
Bukankah Gereja Katolik anti komunis, lalu kenapa
mereka mendukung gerakan para pekerja?”
- Orang Kudus: Ia kadang bertanya, dimanakah para santo dan santa yang mencoba mengubah
tatanan sosial? Dimanakah agama
berdiri dalam tatanan sosial yang selalu saja menghasilkan orang miskin? Dalam hal kekatolikan, Dorothy Day
memang tidak hanya mendasarkan dirinya pada Kitab Suci (terutama Sabda Bahagia)
tetapi ia juga banyak membaca kisah orang kudus, secara khusus pada para
mistikus di Abad Pertengahan. Ia sangat terkesan dengan Santa Teresa dari
Avilla. Karena itu, Dorothy mencoba meneladan mistikus perempuan ini dengan
menggunakan sebagian waktunya untuk berdoa dan menerima kemiskinan sebagai
salah satu syarat untuk kebebasannya sendiri. Dorothy
Day juga sering menegaskan bahwa ia sendiri dan
para rekannya di “Catholic
Worker” sedang melayani
Kristus, bila mereka melayani orang-orang miskin dan terlantar. Dorothy Day jelas seorang yang radikal sekaligus juga seorang yang kudus, bukan?
- Liturgi: Gereja Katolik identik
dengan liturgi bukan? Liturgi menjadi semacam tata gerak serta perayaan iman
yang penuh syukur dalam khazanah Gereja Katolik. Dorothy Day, melalui perjalanan
hidupnya, menegaskan “proses liturgi“ untuk memaknai peziarahannya itu sendiri.
Ada usaha untuk mengetahui tentang apa yang salah dan harus diperbaiki. Ada
sebentuk keberanian untuk mengorbankan hal-hal tertentu dalam hidup supaya
mengalami perubahan pikiran dan tujuan. Ada ketergerakan untuk maju dan tidak
statis. Dan, ada bukti yang bisa dilihat dari ketiga proses sebelumnya, yakni
buah perubahan pikiran dan tujuan.
Yah, lewat
perjumpaan dan pemaknaan terhadap pengalaman
hidupnya, Dorothy
Day mengajak kita untuk bergerak dari kedangkalan/banal melewati situasi batas/limit agar sampai pada kedalaman/depth.
Irama kehidupannya ini bisa juga dibahasakan secara liturgis, yakni perjalanan
pertobatan dari ”kyrie” (Tuhan
Kasihanilah Kami) menuju perayaan ”gloria” (Kemuliaan) hingga akhirnya bemuara
dalam sebuah keyakinan iman yang mendalam ”credo” (Kepercayaan Iman).
Jelasnya, pada saat Dorothy
Day berseru ”Kyrie eleison” dan kemudian mengalami kuasa kasihnya,
maka dengan penuh rasa haru diliputi syukur, dia bermadah ”Gloria in Exelcis
Deo”, akibatnya hanya pribadi seperti Dorothy
Day yang telah merasakan kasih dan kuasa Allah seperti
itulah, yang akan dapat menyampaikan Injil (euangelion, kabar gembira
Kerajaan Allah), dan dengan penuh syukur pastilah merasa terdorong untuk
mewartakan syahadat iman, ”Credo in Unum Deum.”
-Inkarnasi: Inilah paham kristiani bahwa Allah mau
menjadi manusia, Allah kita adalah Allah yang ber-inkarnasi, menjadi daging.
Allah yang mau turun tangan! Disinilah Dorothy
Day menegaskan salah satu prinsip penuntunnya adalah
kedermawanan dan keterlibatan
nyata terhadap mereka yang
tertindas dan tergilas di tengah masyarakat. Selain itu, Dorothy memang kerap turun tangan: Ia meliput aksi massa buruh sambil ikut
menyanyikan lagu “Internationale.” Lewat
laporannya, ia sesungguhnya sedang “memotret
kemiskinan” yang dialami para
buruh ketika itu, agar semua pembaca tahu, sadar, bersikap dan
mendukung perjuangan kaum buruh dalam suatu upaya “penghapusan perbudakan.” Secara
reflektif, kita juga disadarkan kalau
Gereja mau sungguh ada dan terus berarti dalam dunia, Gereja mesti penuh
perHATIan bukan hanya berhenti pada tradisi dan wahyu suci melulu, melainkan
juga pada pelbagai keterlibatan dan pengalaman kontekstual serta kesadaran
historis aktual, karena konteks membuat teks agama, katekese dan kesaksian iman
kita menjadi lebih berdaya makna, berdaya tahan sekaligus tanggap zaman.
Harapan akan keterlibatan
dankeberpihakan Gereja di tengah dunia inilah yang sebenarnya mendasari setiap Ajaran
Sosial Gereja bukan? Yah, sebagai orang beriman, kita diajak dan diingatkan
bahwa Ajaran Sosial Gereja bukan pertama-tama ajaran, tapi sebetulnya
mengandaikan gerakan. Yah, sebuah ajaran untuk tergerak dan bergerak melibatkan
diri pada masalah-masalah aktual dan ikut turun tangan mengangkat
masalah-masalah nyata sebagai “masalah iman”. Nah, karena Ajaran Sosial Gereja
sebenarnya adalah gerakan maka pertanyaannya adalah apa yang dapat dan
hendaknya dibuat supaya hidup manusia dalam lingkungan sekitar kita yang
terdekat dapat berlangsung dengan lebih manusiawi? Disinilah, sebuah pernyataan Dorothy
Day sungguh menarik untuk disimak: "….somehow each one of us taking
less so other can have more,…. there is no sin being'rich' and there is no sin
being 'so poor', but there will be a big sin if we are having more than we need
and not share to those who have less than they need…". Dia mengajak
kita untuk berbagi. Tentunya tidak hanya berhenti pada sekedar berbagi materi,
tapi juga berbagi pengetahuan, pengalaman, harapan, keinginan dan peneguhan
iman.
-Koinonia: Salah satu dari sifat
Gereja Katolik yang paling dasar adalah kesatuan/koinonia (ada juga: liturgia, kerugma, martyria serta diakonia). Maka Gereja dalam
Konsili Vatikan II diberi judul “communion”,
persekutuan persatuan. Maka, kalau inti Gereja Katolik adalah persekutuan dan
persatuan, maka salah satu yang langsung berlawanan dengan hakekat Gereja
Katolik adalah perpecahan. Bukankah Yesus berdoa supaya para muridnya menjadi
satu; tapi para muridnya pecah terus menerus? Ini langsung menohok hakekat
gereja! Maka, walaupun memang pada awalnya, pelbagai kegiatan sosial Dorothy Day yang mengatasnamakan agama Katolik
sempat mengundang kecemburuan dari beberapa pihak Gereja Katolik yang merasa
“tersaingi”, dan membuatnya kecewa dan berduka. Tapi rasa cinta dan
persatuannya dengan Gereja Katolik membuatnya terus bertahan ditengah pelbagai
pencobaan dan pergulatan. Ia terus mencoba untuk – dalam bahasa Uskup Romero – “sentire cum ecclesia” (sehati dengan Gereja). Bagaimana
dengan kita sendiri?
EPILOG
Adalah
sebuah buku berjudul, “From
Union Square to Rome.” Buku
ini merupakan sebuah kisah peziarahan Dorothy Day, seorang ateis gnostis menuju
Gereja Katolik Roma. Yah, pengalaman peziarahan untuk menjadi pengikut Kristus
bisa terjadi dan dialami bagi siapa saja, ketersentuhan rohani yang membuat
seseorang untuk meyakini dan memperjuangkan imannya kepada Kristus pun bisa
melalui berbagai cara.
Ada
berbagai peristiwa yang harus dialaminya. Layaknya seorang Bima dalam kisah
Dewaruci, Dorothy Day menunjukkan diri sebagai seorang pribadi yang harus
melakukan perjalanan batin untuk menemukan identitas dirinya. Dalam pencarian
itu, Dorothy harus mengalami pergumulan hidup. Ia harus berbenturan dengan diri
sendiri, sesama manusia, alam sekitar dan Tuhan. Benturan yang membuat dirinya
semakin menemukan jatidirinya, juga ketika berhadapan dengan “isme-isme” yang
sangat mempengaruhi pergulatan batinnya. Dorothy Day, melalui perjalanan
hidupnya, menegaskan proses untuk memaknai peziarahannya itu sendiri.
Kita semua sebenarnya juga
adalah para peziarah yang sedang berproses. Alangkah baiknya, supaya hidup
dan iman kita sungguh bisa menjadi kota
di atas gunung, dan cahaya di atas kaki dian, bersama teladan hidup Dorothy Day, kita memaknai peziarahan
kita masing-masing, dengan sebuah semangat yang menjadi motto ibukota Amerika Serikat, Washington DC, yakni: Iustitia omnibus - Keadilan
untuk semua.
ASPIRASI
“Dorothy
Day telah memberikan sebuah sumbangan yang luar biasa”
Ton
Cornell, Peter Maurin Farm
“Pembawa
kasih dan harapan”
TIME
“Keteladanan
spiritual Dorothy Day pantas
diidolakan…”
James
Martini SJ, pengarang ‘My Life with the Saints’
0 komentar:
Posting Komentar