Jeanne d’Arc
PROLOG
Jeanne d’Arc (1412-1431) adalah tokoh penting dalam sejarah atau
budaya barat. Sejak zaman Napoleon hingga kini, politisi Perancis dari
berbagai partai telah membangkitkan kenangan terhadapnya. Banyak penulis dan
komponis, termasuk Shakespeare, Voltaire, Schiller, Verdi, Tchaikovsky, Twain, Shaw, dan Brecht, telah menciptakan
berbagai karya musik dan sastra mengenai dirinya. Di Perancis, ia dijuluki La Pucelle yang berarti "sang dara"
atau "sang perawan". Ia
menjadi pahlawan bangsanya pada umur tujuh belas tahun, tapi wafat pada umur
sembilan belas tahun.
SKETSA PROFIL
Pada tahun
1909, penata rambut Paris, Antoine, menciptakan model rambut bob, yang mengakhiri tabu yang
berlangsung berabad-abad terhadap perempuan yang memotong rambut. Gaya ini
menjadi populer pada dasawarsa 1920-an dan diasosiasikan dengan kebebasan
wanita. Antoine mengakui bahwa model rambut bob yang dipopulerkannya terinspirasi dari
seorang pahlawan perempuan Prancis, Jeanne d’Arc.
Jeanne d'Arc (dalam bahasa
Inggris: Joan of Arc) sendiri terlahir di Lorraine,
Domrémy Perancis pada tanggal 6 Januari 1412. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara pasangan
Jacques d'Arc dan Isabelle Romée. Ia meninggal di Rouen, Normandia, Perancis, pada tanggal 30 Mei 1431 di usia 19 tahun. Orang-tuanya bekerja sebagai petani. Selain bertani, ayahnya juga menduduki
jabatan kecil di pemerintah daerah setempat dan bertugas mengumpulkan pajak
serta mengepalai keamanan kota. Mereka
tinggal pada suatu daerah terisolasi di wilayah timur laut yang tetap setia
pada Perancis, walaupun
dikelilingi oleh daerah kekuasaan Burgundi. Jeanne
dibesarkan seperti gadis-gadis desa lainnya di Domrémy, Perancis. Meskipun
tidak pernah belajar membaca dan menulis, Jeanne hafal benar kata-kata dalam
“Syahadat Para Rasul”, doa “Bapa Kami”, dan doa “Rosario”.
Periode sebelum datangnya Jeanne
adalah salah satu titik terendah dalam sejarah Perancis. Perang
yang berlarut-larut telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat, terutama pada
bagian utara yang dikuasai oleh Inggris. Ada kemungkinan besar bahwa Perancis
akan bergabung dengan Inggris sebagai suatu "Monarki Kembar" ("Dual
Monarchy") di bawah pemerintahan raja Inggris. Adapun raja Perancis pada waktu
lahirnya Jeanne, yakni Charles VI menderita penyakit jiwa dan sering
tidak mampu untuk memerintah kerajaannya. Selain
itu, pada tahun 1429, hampir semua
bagian utara dan sebagian barat daya Perancis dikuasai oleh pihak asing (Inggris menguasai Paris, sedangkan pihak Burgundi menguasai
Reims). Reims sendiri adalah kota yang sangat penting,
karena secara tradisi digunakan sebagai tempat penobatan (coronation)
dan pentahbisan (consecration) raja.
Dalam konteks seperti inilah,
Jeanne hadir. Sejak kecil, ia memang sudah menunjukkan sikap yang begitu
saleh terhadap masyarakat di sekitarnya. Semua
penduduk desanya mencintai Jeanne untuk kelemah-lembutan dan kesalehannya. Pada awalnya, Jeanne adalah seorang anak yang taat
kepada orangtua dan tidak pernah menyusahkan orangtuanya sampai dia berumur 13
tahun.
Yah, pada usia 13 tahun, ia mulai merasakan dorongan batin yang
begitu kuat, ia mendengar ‘suara-suara’ yang memanggilnya agar selalu berbuat
baik dan agar sering mengunjungi gereja, dengan
demikian ia akan selalu mendapatkan pertolongan Tuhan. Jeanne mengaku bahwa ia
mendapatkan pencerahan (vision) pertamanya sekitar 1424. Ia yakin bahwa ‘suara-suara’ yang ia
dengar setiap hari itu adalah suara Tuhan melalui St. Mikael Sang Malaikat
Agung, Sta. Katarina dan Sta. Margareta.
Suatu hari, ‘suara-suara’ tadi mengatakan, agar Jeanne menyelamatkan negara Perancis yang
pada saat itu hampir seluruh wilayahnya dikuasai oleh pasukan Inggris dan
Burgundi. Jeanne juga harus
menghantarkan putera mahkota kerajaan Perancis yang bernama Charles VII untuk
segera mengenakan mahkota sebagai raja Perancis dan mengusir tentara Inggris
dari tanah Perancis.
23 Pebruari 1429, Jeanne menemui gubernur Sir Robert de
Baudricort di kota Vaucoulers. Jeanne menceritakan
‘suara-suara’ yang didengarnya dan menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan
putra mahkota Charles di Chinon. Setelah ditolak beberapa kali, akhirnya Jeanne diijinkan untuk bertemu dengan Pangeran Charles, sang putra mahkota.
Tidak gampang meyakinkan putra
mahkota, terlebih-lebih pada saat kekuasaan gereja yang begitu besar pada saat
itu. Setelah melalui penyidikan yang dilakukan oleh para pejabat gereja yang
dipimpin oleh uskup agung Reims, Jeanne dijinkan
untuk memimpin tentara Perancis, dengan mengenakan baju zirah, kuda, pedang, dan pataka
(banner), bertuliskan “Yesus” dan “Maria”. Sejarawan Stephen W. Richey
menjelaskan bahwa Jeanne adalah satu-satunya harapan bagi rezim
yang hampir runtuh:
"Setelah bertahun-tahun
memperoleh kekalahan demi kekalahan, pemimpin militer dan sipil Perancis
mengalami demoralisasi dan dipermalukan. Sewaktu Charles mengabulkan permintaan
mendesak Jeanne untuk melengkapi persenjataannya dan menjadikannya sebagai
pemimpin pasukan, keputusannya pasti didasarkan terutama oleh kenyataan bahwa
semua kemungkinan ortodoks dan rasional telah dicoba dan mengalami kegagalan.
Hanya suatu rezim yang berada pada ambang keputusasaan-lah yang bersedia
membiayai seorang gadis petani buta huruf yang mengaku mendengar suara Tuhan
serta memerintahkannya untuk memegang kendali pasukan negaranya dan membawa
kemenangan."
Jeanne pada awalnya ditugaskan untuk melakukan pengepungan
terhadap Orléans oleh Charles VII sebagai upaya
pembebasan kota tersebut. Ia tiba di lokasi pengepungan Orléans
pada 29 April 1429. Jean d' Orléans (dikenal sebagai Dunois), kepala
keluarga bangsawan Orléans, pada awalnya tidak melibatkan Jeanne dalam dewan
perang dan tidak memberitahukannya jika pasukan menyerang musuh. Jeanne
mengatasi hal ini dengan mengabaikan keputusan para komandan veteran dan turut
serta dalam setiap penyerangan, dimana ia menempatkan dirinya pada garis depan
dengan membawa patakanya.
Jeanne d'Arc menerapkan
penyerangan frontal terhadap benteng pertahanan musuh dalam setiap pertempuran. Sejarawan
modern mengakui kepahlawanan Jeanne dalam pertempuran ini, di mana pada suatu
saat ia harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan dengan
lukanya tetap kembali untuk memimpin penyerangan terakhir. Ia berhasil memporak-porandakan kubu
pertahanan tentara Inggris di Orleans pada tanggal 8 Mei 1429.
Setelah itu, pasukan Perancis
berangkat menuju Reims dari Gien-sur-Loire pada 29 Juni dan menerima status netral kota Auxerre yang dikuasai Burgundi melalui
negosiasi pada 3 Juli. Semua
kota sepanjang jalan menuju Reims menyerah tanpa syarat kepada pasukan
Perancis. Troyes, tempat
disepakatinya perjanjian yang berupaya menyingkirkan Charles VII, takluk
setelah pengepungan empat hari, nyaris tanpa adanya pertumpahan darah. Pasukan Perancis menderita krisis
persediaan makanan pada saat mencapai Troyes. Edward Lucie-Smith mengutip bahwa
hal ini merupakan contoh nyata bahwa Jeanne lebih tepat disebut
"diberkati" dari pada dikatakan “memiliki
kemampuan”. Seorang biarawan pengelana bernama Bruder Richard telah
berkhotbah akan datangnya akhir dunia di Troyes dan meyakinkan penduduk
setempat untuk menanam kacang-kacangan (bean) yang memiliki masa panen
pendek. Pasukan Jeanne tiba tepat saat panen tiba. Menakjubkan!
Pelbagai kemenangan yang diperolehnya, akhirnya berhasil mengantar
pemahkotaan Charles VII di Reims. Reims membuka pintu gerbangnya pada 16 Juli, dan
penobatan diadakan besok paginya, 17 Juli 1429. Sejak menjadi Raja, Charles tidak lagi mendengarkan nasihat maupun
pendapat Jeanne. Kekuasaan telah membuat gelap mata raja muda ini, ditambah
lagi dengan kekuasaan gereja yang mendominasi di lingkungan kerajaan.
Jeanne mendapatkan bisikan bahwa waktunya
hanya tinggal satu tahun lagi untuk membantu Perancis melepaskan diri dari
tangan Inggris. Hal ini juga sudah disampaikannya kepada Raja Charles, tetapi
tetap saja Raja Charles tidak mengindahkannya. Hampir satu tahun Jeanne meyakinkan Raja Charles mengenai hal
ini.
Di tengah kebimbangan dan rasa
frutrasi, Jeanne menjalankan
misinya sendiri. 23 Mei 1430, Jeanne tertangkap
di kota Compiegne, ia dikhianati oleh tentara Burgundia. Raja Charles yang
mendengar kabar ditangkapnya Jeanne, tidak melakukan tindakan apa-apa.
Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais,
seorang anggota dewan yang mengawasi pendudukan Inggris di utara Perancis,
memiliki peranan penting pada negosiasi ini dan juga pada pengadilan Jeanne. Tanggal 21 November 1430, ia dipindahtangankan ke pihak Inggris. Di sanalah Jeanne merasakan siksaan-siksaan baik fisik
dan psikis.
Jeanne akhirnya dibawa ke pengadilan dengan tuduhan
pokok praktek sihir dan takhayul. Proses
hukum dilangsungkan pada 9 Januari 1431 di Rouen, di wilayah
pendudukan Inggris selama 15
kali. Proses ini sendiri dianggap memiliki beberapa aspek yang
tak lazim. Untuk menyimpulkan
beberapa masalah utama, Pierre Cauchon dari Beauvais tidak memiliki yurisdiksi untuk
bertindak sebagai hakim pada pengadilan tersebut. Penunjukannya lebih
disebabkan karena dukungannya terhadap pemerintah Inggris yang membiayai
keseluruhan proses pengadilan. Selain
itu, walaupun pihak penuntut, Nicolas Bailly tidak bisa mengumpulkan
bukti-bukti yang memberatkan terhadap Jeanne, pengadilan tetap dilangsungkan.
Jeanne membela diri dan secara gemilang
mendebat para penuntutnya yang
kebanyakan adalah kaum cendekiawan. Ia selalu menolak tuntutan untuk
mengungkapkan ‘suara-suara’ yang didengarnya. Akhirnya Jeanne dinyatakan bersalah. Pengadilan berbau politis yang
diadakan Inggris mendakwanya melakukan bidah (ajaran sesat).
Penguasa setempat Inggris – John
dari Bedford – memerintahkan
untuk menghukum Jeanne dengan dibakar hidup-hidup di Rouen, Normandia, Perancis.
Malam sebelum Jeanne dibakar, dengan rasa ingin tahu yang
besar dan juga kebimbangan, Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais mengunjunginya. Ia bertanya kepada
Jeanne mengenai misteri
‘suara-suara’. Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais sangat terperanjat
dengan salah satu jawaban Jeanne. Dengan
lugu, Jeanne menggambarkan sosok St. Mikael dengan sangat jelas. Pierre Cauchon perlahan menyadari bahwa apa yang dialami
Jeanne lewat ‘suara-suara’
misteriusnya adalah suatu kebenaran.
30 Mei 1431, Jeanne dibakar hidup-hidup di alun-alun
Rouen. Ia menemui ajalnya melalui keputusan
palsu pengadilan gereja yang tanpa malu-malu menjual kebenaran untuk tujuan
politik Inggris. Seorang
saksi mata menggambarkan suasana eksekusi itu: “Jeanne terikat pada tiang tinggi. Ia meminta dua petugas, Martin Ladvenu
dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di hadapannya. Ia
berulangkali berkata dengan suara keras menyebut nama Yesus dan berdoa tanpa
henti untuk memohon bantuan para kudus dari surga.”
Setelah meninggal, orang-orang
Inggris membongkar arang dan menunjukkan tubuhnya yang telah hangus hingga
memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahwa ia selamat
dari hukuman, lalu membakar ulang tubuhnya hingga menjadi abu dan mencegah
pengumpulan relikwi. Mereka membuang abu tersebut ke sungai
Seine. Salah seorang petinggi
Inggris yang hadir menyerukan sebuah penyesalan terlambat: “Kita kalah, kita telah membakar
seorang kudus!” Belakangan,
algojo Geoffroy Therage menyatakan bahwa ia sangat
takut dikutuk karena ia telah membakar wanita suci.
Dua puluh empat tahun kemudian,
setelah Inggris berhasil diusir dari Perancis, Paus Kallixtus III membuka kembali kasus Jeanne. Proses
ini sendiri dikenal sebagai "pengadilan
rehabilitasi", atas permintaan Inquisitor-General Jean Brehal dan ibunda Jeanne,
Isabelle Romée.
Penyelidikan dimulai dengan
pemeriksaan terhadap Guillaume Bouille. Jean Brehal melakukan penyelidikan pada
tahun 1452. Permohonan
banding resmi diajukan pada November 1455. Proses ini
melibatkan banyak pihak dari seantero Eropa dan mengikuti prosedur standar
pengadilan. Para ahli teologi
menganalisis kesaksian dari 115 saksi mata. Jean Brehal menyampaikan simpulan akhirnya
pada Juni 1456, yang
menggambarkan Jeanne sebagai seorang martir dan menuduh almarhum Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais sebagai bidah karena telah menjatuhkan hukuman
kepada perempuan yang tak berdosa demi urusan
duniawi. Pengadilan memutuskan Jeanne tak bersalah pada 7 Juli 1456.
Anne dari Burgundi,
istri dari wali Inggris, menambahkan bahwa
Jeanne adalah seorang perawan sewaktu sidang pendahuluannya. Secara teknis, hal
ini menghalangi pengadilan untuk menuduh Jeanne sebagai penyihir. Hal ini
sedikit banyak kemudian juga menjadi dasar bagi pembersihan nama dan
pengangkatan Jeanne menjadi santa di
kemudian harinya.
Félix Dupanloup, uskup Orléans
dari 1849 sampai 1878, memimpin suatu upaya yang berujung pada beatifikasi
Jeanne pada 1909. Paus Benediktus XV melakukan kanonisasi terhadap Jeanne pada 16 Mei 1920: Ia
dinyatakan kudus, bukan karena patriotisme atau keberaniannya berperang,
melainkan karena kesalehan hidup dan kesetiaannya dalam memenuhi apa yang
dikaruniakan Tuhan kepadanya. Perayaannya
sendiri dirayakan Gereja sedunia setiap tanggal 30 Mei.
REFLEKSI
TEOLOGIS
Pahlawan
“PAkailaH
cinta, LAWANlah dosa”.
“There’s
a HERO –
And then
the HERO comes along –
With the
strength to carry on –
And you
cast your fears aside –
And you
know you can survive -
So when
you feel like hope is gone –
Look
inside you and be strong –
And
you’ll finally see the truth –
That a
HERO lies in you”.
( “HERO”, Mariah Carey)
Dalam praksis liturgi Gereja
Katolik, menjadi sebuah kebiasaan bahwa setiap tanggal 2 November kita
merayakan ekaristi untuk memperingati arwah semua umat beriman. Nah, persis
pada tanggal 2 November 2011 yang lalu, saya merayakan ekaristi arwah bersama beberapa
umat di dalam area Taman Makam Pahlawan, Kalibata
Jakarta Selatan. Di kuburan yang
cukup besar dan indah inilah,
banyak pahlawan nasional Indonesia yang dimakamkan. Gelar pahlawan sendiri
diberikan kepada mereka yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia, dan mereka yang berjuang
dalam proses untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Hingga 10 November
2006, telah ada ratusan tokoh yang ditetapkan Pemerintah
Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Salah seorang umat Katolik, perintis
dan aktivis Partai Katolik baru saja pada tahun 2011 lalu dinobatkan menjadi
pahlawan nasional Indonesia, yakni Bapak IJ Kasimo.
Arti “pahlawan” sendiri adalah “orang
yang sangat gagah berani, pejuang yang gagah, berani atau yang terkemuka“, begitu kata WJS. Purwodarminto
mengartikan pahlawan dalam Kamus Bahasa Indonesia. Batasan itu sangat luas.
Penuh makna dan memberikan kesampatan untuk ditafsirkan berbeda-beda. Karena
ukurannya hanya yang gagah berani. Tidak ada penjelasan gagah berani dalam hal
apa. Untuk apa dan menurut siapa. Padahal kenyataannya gagah berani itu bisa
bermacam-macam. Dalam realitas, kata pahlawan acapkali bertukar makna dengan
kata-kata lain yang berlawanan, seperti pemberontak, penghianat, pengacau dan
kata-kata lain yang sejenis.
Waktu saya masih mengenakan baju seragam merah putih alias masih duduk di Sekolah Dasar, saya mengenal tokoh-tokoh pahlawan di komik Robinhood, cerita rakyat si
Pitung, lakon wayang Gatotkaca ataupun kartun Superman. Dalam perjalanan waktu, saya juga
mengenal tokoh-tokoh pahlawan dalam Kitab Suci: Abraham-Bapak segala bangsa, Yakub-penakluk malaikat, Yusuf
sang pemimpi, Daud si kecil-kecil cabe rawit, Paulus
yg bertobat dan pastinya Yesus Kristus, anak tukang kayu dari
Nazaret. Yesus sendiri membuat banyak pembebasan yang belum
pernah ada: Ia menyembuhkan orang
buta-cacat-ayan, membangkitkan
orang mati, menghibur orang
berduka, menentang kemapanan yang
tidak adil. Ia juga mempunyai murid yang banyak,
jago menggandakan roti, meredakan angin taufan, berpuasa 40 hari, melawan setan. Yesus adalah contoh
nyata seorang pahlawan, bukan?
Memang, ada macam-macam pahlawan
bukan? Ada pahlawan revolusi, perintis kemerdekaan, pejuang kemerdekaan,
pahlawan pembangunan bahkan ada juga pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan
sendiri bagi saya berarti, “PAkailaH cinta, LAWANlah dosa”. Tiga contoh sosok seorang pahlawan
dalam Gereja Katolik Indonesia.
Pertama, Romo
Van Lith. Lebih
dari satu abad yang lalu, Gereja
Katolik di Jawa Tengah dirintis oleh Romo Fransiskus Van Lith
di daerah Kalibawang. Romo Van Lith juga yang membaptis umat
Katolik Jawa yang pertama tanggal 14 Desember 1904 di daerah Sendangsono. Van
Lith sambil belajar bahasa dan budaya jawa, dengan jubah hitamnya selalu bersepeda
dan berkunjung ke rumah anak-anak didiknya. Ia mendirikan sekolah dan asrama
guru (Kweekschool) di Muntilan (Betlehem Van Java): bukan untuk
semata membabtis orang, tapi untuk membentuk rasul-rasul awam yang tangguh. Ia
tidak ambil pusing berapa banyak yang bisa dibaptis, ia hanya ingin mewartakan
injil seluas dunia. Tahukah kita bahwa figur Van Lith inilah yang
membuat banyak orang Belanda ingin menjadi imam dan bermisi di Jawa? Van Lith sendiri diberi julukan,
“orang Belanda yang berhati Jawa” (untuk
membedakan dengan “orang Jawa yang berhati Belanda”). Bisa dibayangkan dari
sebutan itu seperti apa kualitas kepahlawanan seorang Romo Van Lith. Sebuah
kutipan tulisannya, ketika harus berhadapan dengan penjajah yang datang dari
bangsanya sendiri: “Setiap
orang sekarang tahu bahwa kami para misionaris, ingin bertindak sebagai
penengah. Tapi setiap orang tahu juga bahwa seandainya terjadi perpecahan
meskipun tak diharapkan dan kami terpaksa memilih, maka kami akan berdiri di
pihak golongan pribumi, golongan yang dijajah dan dihisap.” Bukankah ini jelas sebuah
keberpihakan, sebuah pilihan sikap ketika berhadapan dengan situasi konkret
dengan inspirasi iman semata mewartakan Kerajaan Allah. Satu hal lain juga yang
menarik: Romo Van Lith yang notabene adalah seorang pastor dan berasal dari
Belanda, dicalonkan oleh Partai Sarikat Islam untuk menjadi anggota Volkstraat
(DPR) waktu itu.
Kedua, Bapak I.J.Kasimo. Ia
adalah seorang pejuang politik. Dia berjuang dalam politik bukan hanya sebagai
politikus biasa tapi sebagai politikus yang berinspirasi dan beraspirasi pada
iman Katolik. Sebagai seorang perintis dan aktivis Partai Katolik, Bapak I.J.
Kasimo baru saja pada tahun 2011 lalu dinobatkan menjadi pahlawan nasional
Indonesia. Ketika ia diwawancarai mengenai sikap dasar berpolitik yang
dihayatinya, dia menekankan tiga pilar pokok, yakni: “sederhana”, “jujur”, dan
yang ketiga adalah “tidak semata-mata perjuangan duniawi” . Ini mengesankan,
bukan?
Ketiga, Mgr.
Soegijapranata. Soegijapranata
adalah seorang imam Jesuit dan uskup pribumi pertama yang hidup
dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia.
Beliau kemudian diangkat sebagai pemimpin Gereja Katolik untuk wilayah Semarang
pada tahun 1940. Situasi negara yang sedang bergolak saat itu menuntutnya untuk
tidak hanya melakukan kegiatan seputar altar, tetapi juga memberikan sumbangan
bagi kehidupan bersama masyarakat. Keterlibatannya dalam situasi negara
ditunjukkan dengan kemauannya mengikuti gerak perjuangan bangsa Indonesia saat
itu. Uskup ini terkenal dengan aksioma: 100 % Katolik dan 100 % Indonesia, serta kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja
Indonesia”. Bahkan, Romo Mangun memandang bahwa Mgr.
Soegija adalah seorang Gerejawan besar: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”. “Saya tidak dapat menggambarkan
bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia seandainya dulu Mgr. A.
Soegijapranata tidak ada.
Keempat, Slamet Riyadi. Pada usia 23
tahun, dia sudah menjadi wakil pemerintah Indonesia untuk menerima penyerahan
kota Solo dari Belanda. Dalam posisi berpangkat Overste, (waktu itu belum Katolik), ia
memutuskan untuk menjadi seorang Katolik (zaman sekarang situasinya terbalik: biasanya untuk mencari jabatan, iman Katolik malahan ditinggalkan, bukan?). Yah, Slamet Riyadi menjadi figur pahlawan yang menarik:
Ketika ingin menyempurnakan aktualisasi dirinya sebagai manusia, dia malahan memberikan dirinya untuk
dibaptis. Nama baptisnya adalah Ignatius. Ini istimewa!
Bagi saya, empat contoh pribadi di atas menampilkan bahwa kepahlawanan
kristiani bukan sekadar konsep
tapi kehidupan nyata. Disinilah, Jeanne
d’Arc juga hadir sebagai seorang pahlawan yang “PAkailaH cinta, LAWANlah
dosa”.
-“PAkailaH cinta”
Jeanne d’Arc datang dari desa terpencil dan menjadi
terkenal sewaktu ia baru saja melepas masa kanak-kanaknya dan ia melakukan itu
dengan status sebagai golongan petani yang tak berpendidikan. Dia hidup di tengah konflik antara
para raja Perancis dan Inggris yang tidak memakai cinta. Konflik yang terjadi adalah sengketa
waris antara kedua monarki. Disinilah, Jeanne memberikan arti pada sebuah cinta dan ketulusan. Meminjam kata-kata Stephen Richey, "Ia mengubah apa yang tadinya
hanyalah sengketa antar dinasti yang membuat rakyat jelata tak tergerak,
kecuali untuk kesengsaraan mereka sendiri, menjadi suatu perjuangan populer
yang penuh semangat demi pembebasan negeri."
Richey juga menggambarkan: "Orang-orang yang yang datang
lima abad setelah kematiannya berupaya untuk memberi segala macam cap pada
dirinya: pengikut iblis, penyihir, boneka kekuasaan yang lugu dan tragis,
pencipta dan simbol nasionalisme modern, pahlawan yang dicintai, orang suci. Ia
bersiteguh, bahkan sewaktu diancam dengan siksaan dan dihadapkan pada kematian
dengan dibakar, bahwa ia dibimbing oleh suara Tuhan. Benar atau tidak, apa yang
dicapainya telah membuat siapapun yang mengetahui kisahnya akan menggelengkan
kepala dengan penuh kekaguman."
Merupakan sebuah kenyataan,
bahwa ketika setiap orang memakai cinta, maka ia akan lebih mudah menerima
pelbagai pengalaman, termasuk tentunya pengalaman salib yang tidak mengenakkan. Jeanne d'Arc salah satu contohnya. Di dalam kamar tahanan, menjelang eksekusi, Jeanne berlutut sambil menangis
memanggil-manggil para orang kudus yang membisikkan telinganya selama ini. Ia
memanggil-manggil St. Mikael, Sta. Katarina dan Sta. Margareta, namun Jeanne tidak mendengar apa-apa, tidak ada
satu jawaban ataupun bisikan di telinganya. Ia merasa sangat takut karena merasa ditinggalkan oleh
Tuhannya. Namun entah darimana asalnya, rasa takut tadi berangsur-angsur hilang
berganti dengan rasa keberanian yang begitu besar. Jeanne kembali menemukan kepercayaan dan
keyakinannya lagi. Bisa jadi,
karena ia memakai nada dassar “C”, yakni “cinta”. Cintanya kepada Tuhan dan
cintanya kepada bangsa!
Akibat kualitas cintanya yang
teramat besar inilah, Jeanne
d'Arc akhirnya menjadi sebuah ikon bagi banyak pihak: Ia menjadi
simbol politis di Perancis sejak zaman Napoleon bagi pelbagai kaum. Kaum liberal
menekankan pada asal keturunannya yang sederhana. Kaum konservatif awal
menekankan pada dukungannya terhadap monarki. Kaum konservatif belakangan
mengenang nasionalismenya. Bahkan,
selama Perang Dunia II, baik Vichy Regime maupun French Resistance menggunakan
simbol dirinya. Tiga kapal milik
angkatan laut Perancis telah diberi nama dari namanya, termasuk satu helikopter
pengangkut yang saat ini masih aktif bertugas. Bahkan salah satu partai politik kontroversial Perancis, Front National, kerap mengadakan pawai di patungnya,
menggunakan figurnya dalam publikasi partai, serta menggunakan api triwarna,
yang sebagian menyimbolkan pengorbanan Jeanne, sebagai lambang partai. Libur
nasional Perancis untuk penghormatan dirinya sendiri diadakan pada hari Minggu kedua di
bulan Mei.
Selain itu, banyak orang Katolik tradisional, terutama di
Perancis, juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi. Mereka sering membandingkan ekskomunikasi
yang dilakukan terhadap uskup agung Marcel Lefebvre (pendiri Komunitas St. Pius X dan penentang reformasi Konsili Vatikan II) dengan ekskomunikasi yang
dilakukan terhadap Jeanne.
-“LAWANlah dosa”.
Satu-satunya gambar Jeanne d'Arc
yang dibuat pada masa hidupnya adalah suatu sketsa oleh Clément de
Fauquembergue untuk catatan Parlemen Paris. Gambar ini
dibuat menyertai berita kemenangannya di Orléans.
Yah, lewat sebuah gambar itulah, sosok Jeanne d'Arc mengajak kita juga untuk
“menang” melawan dosa kita masing-masing. Selain itu, catatan pengadilan juga membuktikan
intelektualitas Jeanne untuk setia melawan dosa. Transkrip dialog yang terjadi
mencerminkan hal tersebut. Sewaktu ditanya apakah ia tahu bahwa ia berada dalam
lindungan Tuhan (God's grace), ia menjawab: 'Jika tidak, semoga Tuhan
menempatkan saya di sana; dan jika iya, semoga Tuhan tetap melindungi saya.” Pertanyaan ini sebenarnya adalah
jebakan, karena doktrin gereja mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa
yakin bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan. Maka, jika Jeanne menjawab iya,
maka ia akan dituduh melakukan bidah. Jika
Jeanne menjawab tidak, maka ia mengakui kesalahannya. Boisguillaume belakangan
bersaksi bahwa pada saat pengadilan mendengar jawaban ini, "Mereka yang menginterogasinya
menjadi takjub dan langsung menunda interogasi pada hari itu.” Dialog ini sendiri menjadi terkenal
dan digunakan pada banyak karya modern mengenai subyek ini.
Di lain matra, dalam pelbagai
dunia pengadilan, kerap terbuka banyak lubang dosa: penyimpangan ketidakadilan,
intrik dan kebohongan, bukan? Inilah juga yang dialami oleh Jeanne.
- Beberapa pejabat pengadilan belakangan
bersaksi bahwa banyak bagian transkrip yang diubah untuk menjatuhkan Jeanne.
- Terjadi
penekanan terhadap para petugas pengadilan, termasuk interogator, Jean
LeMaitre. Beberapa orang bahkan sempat diancam akan dibunuh oleh pihak Inggris.
- Dalam
pedoman interogasi, seharusnya Jeanne ditahan dalam penjara eklesiastik (agama)
dalam pengawasan penjaga perempuan (yaitu biarawati). Tapi, sebaliknya pihak Inggris
menahannya di penjara sekular (umum) yang dijaga oleh prajurit Inggris sendiri.
- Uskup Cauchon menolak permintaan banding
Jeanne kepada Dewan Basel dan Paus, yang seharusnya akan dapat menghentikan
proses pengadilan tersebut.
- Dua
belas tuduhan yang menyimpulkan temuan pengadilan bertolak belakang dengan isi
catatan pengadilan. Jeanne yang buta huruf terpaksa menandatangani dokumen abjuration yang tidak ia mengerti dengan ancaman
eksekusi langsung jika tidak menyetujuinya. Dalam catatan resmi, dokumen itu
diganti oleh dokumen lain oleh pengadilan.
- Sebuah
kisah yang lain bahwa dunia kita penuh dengan dosa: Ketika dipenjara, Jeanne pada awalnya setuju untuk menggunakan pakaian
perempuan. Beberapa hari kemudian, menurut saksi mata, ia mendapatkan percobaan
perkosaan oleh seorang bangsawan Inggris di dalam penjara. Ia kemudian
mengenakan kembali pakaian laki-laki sebagai perlindungan terhadap pelecehan
seksual dan juga, menurut kesaksian Jean Massieu, karena pakaiannya telah
dicuri dan ia tidak memiliki apa-apa untuk dikenakan.
Disinilah, di tengah carut marut
dunia yang penuh dosa, kita diajak untuk setia melawan dosa. Sebuah tambahan
informasi: Sebagai seorang pahlawan, pengaruh kepemimpinan militer Jeanne pernah merupakan bahan perdebatan sejarah.
Saksi mata melaporkan bahwa ia sering kali memberikan usulan yang cerdas dalam
medan pertempuran, tapi pasukan dan komandannya menghargainya terutama karena menganggap
kemenangannya merupakan persembahan bagi Tuhan. Sejarawan tradisional, seperti
Edouard Perroy, berpendapat bahwa Jeanne sebenarnya hanyalah pembawa bendera
biasa yang pengaruh utamanya adalah sebagai pembangkit semangat. Analisa ini
terutama bersumber pada pengakuan pengadilan, di mana Jeanne d'Arc menyatakan
bahwa ia lebih memilih pataka dibandingkan pedangnya. Sejarawan modern, yang
lebih terfokus pada pengadilan rehabilitasinya, lebih cenderung menyatakan
bahwa para koleganya menghargainya sebagai perancang taktik dan stategi yang
mahir. Stephen W. Richey menyatakan bahwa "Ia
berhasil memimpin pasukan melalui rangkaian kemenangan yang luar biasa yang
membalikkan keadaan peperangan." Walaupun
ada dua pendapat tersebut, sejarawan setuju bahwa pasukan Perancis berhasil
mencapai kesuksesan di bawah kepemimpinan dan
kepahlawanan Jeanne. Satu hal
lain yang pasti: seorang pahlawan
adalah alter christi, tapi
juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya (Ibrani
5:2). Dunia butuh banyak pahlawan, siapkah kita?
EPILOG
Pro
Patria et Ecclesia adalah
semboyan Latin yang berarti, “Demi
Tanah Air dan Gereja”. Dalam konteks Indonesia, istilah ini biasa juga dikenal dengan
sebuah aksioma yang pernah dibuat oleh Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia
sekaligus pahlawan nasional, Mgr Soegijapranata: “100% Katolik, 100%
Indonesia”. Dalam
tulisan, “Alit Nanging
Mentes”, Mgr. Soegija, yang
merupakan sahabat dekat Bung Karno menekankan
bahwa orang Katolik sudah semestinya bersatu dalam kesatuan yang tertata dan
mempunyai disiplin, mempunyai jiwa merdeka dan bertanggung jawab, mempunyai
tata susila dan sopan santun, rendah hati, tapi mempunyai semangat rela
berkorban untuk kesejahteraan umum. Bukankah
ini semua yang dimilik-hayati oleh seorang perempuan Katolik bernama Jeanne
d’Arc? Orang
Katolik memang bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi bukankah orang Katolik tetap harus berusaha menjadi bagian yang
lebih baik (pars sanior)? Bersama teladan iman dan hidupnya,
marilah kita, sebagai ‘significant minority’ berani juga menghidupi semangat iman ini setiap
harinya: Pro Patria et Ecclesia!!
ASPIRASI
"Tidak ada seorang pun dari
Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian
melebihi Jeanne d'Arc."
(DeVries)
0 komentar:
Posting Komentar