Chiara Lubich
PROLOG
Seorang perempuan Katolik
menerima belasan gelar doktor kehormatan. Ia juga menerima pelbagai
kewarganegaraan kehormatan dan penghargaan internasional, di antaranya yaitu
Hadiah Templeton untuk kemajuan di bidang Agama (1977), Hadiah Pendidikan
Perdamaian UNESCO (1996) dan Hadiah untuk Hak Asasi Manusia (1998). Dia juga
telah menulis lebih dari 40 buku tentang spiritualitas, yang banyak di
antaranya telah diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Dia adalah salah seorang
figur spiritual terkemuka dalam dunia Katolik, dengan komitmen yang tajam dalam
persatuan Gereja dan dialog antar umat beriman. Siapakah dia? Dialah Chiara
Lubich (22 January 1920 – 14
Maret 2008) seorang perempuan Katolik taat, pendiri dan presiden Gerakan Focolare, yang kini
tersebar-pencar di 182 negara dan memiliki jutaan anggota dan pengikut dari
pelbagai agama dan budaya.
SKETSA
PROFIL
"Tetapi
kita harus berpesta dan bergembira,
sebab
adikmu itu sudah mati,
tetapi
sekarang hidup lagi; ia sudah hilang,
tetapi
sekarang telah ditemukan kembali."
Dengan
kata-kata ini Yesus memperingatkan anda
akan
adanya satu bahaya yang anda sendiri mungkin hadapi,
yaitu
hidup untuk menjadi orang yang terhormat,
yang
hanya berfokus pada pencarian kesempurnaan pribadi,
dan
menilai sesama tidak sebaik diri anda.
(Chiara
Lubic)
Perdamaian dan keharmonisan
adalah keniscayaan yang diyakininya akan datang dimana negara-negara sibuk
berperang. Perang telah meluluhlantakkan rumah yang dicintai dan kerap
menewaskan orang-orang yang tak bersalah. Itulah situasi aktual yang dialami
seorang gadis kecil bernama Chiara Lubich. Ia lahir dan dibesarkan di Trento,
Italia pada 22 Januari 1920 dan meninggal
di Rocca di Papa, Italia, 14 Maret 2008 pada
umur 88 tahun. Sejak kecil, dia
diasuh oleh ayah yang berhaluan sosialis, sedangkan ibunya adalah seorang
pendoa yang saleh.
Chiara Lubich lahir pada masa fasisme di Italia. Ayahnya seorang sosialis yang kehilangan
pekerjaannya karena hukuman lawan politiknya. Untuk membiayai sekolahnya, dia harus memberikan les pribadi dan menghemat pelbagai macam hal. Ungkapan doa yang selalu
didaraskan dan mengiringi
hidupnya adalah “You who are light and warmth, enter me through my eyes”.
Pada awal 1940-an, Chiara Lubich bekerja sebagai guru sekolah dasar di Trento dan terdaftar dalam fakultas filsafat di Universitas
Venesia. Kemudian
di puncak kebencian dan kekerasannya terhadap Perang Dunia II, terdorong oleh
apa yang dirasanya sebagai rasa
haus akan kebenaran, dia menemukan Tuhan sebagai
satu-satunya yang ideal. Tuhan, yang dia temukan penuh
dengan cinta, menerangi dan mengubah hidupnya dan hidup orang lain. Ia meyakini bahwa Tuhan memanggilnya untuk bekerja sama mewujudkan apa yang dikatakan Yesus: "Ut Omnes Unum Sint. Supaya semua menjadi satu".
Chiara mencandra kenyataan bahwa Gereja Katolik berada di antara ratusan gereja lainnya serta pelbagai komunitas menggereja. Gereja Katolik
juga berada di antara kemajemukan
agama dan budaya, bahkan orang-orang yang berkehendak
baik dan tidak langsung percaya Tuhan. Karena itulah, Chiara memandang perlunya kesatuan yang diwujud-nyatakan antara
individu, kelompok, pelbagai kota dan negara yang berusaha
menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan memimpikan masa depan cerah, yang dihadirkan dalam “a united world”.
Menginjak usia dewasa, dia
memilih untuk tidak menikah. Ia mencurahkan segala tenaga dan pikirannya untuk
terus menyuarakan persatuan di berbagai agama dan negara. Selama hidup dan karyanya, Chiara Lubich
mengalami banyak kesempatan untuk berjumpa dengan orang-orang yang memiliki
berbagai macam latar belakang budaya dan agama. Perjumpaan-perjumpaan itulah
yang mendorongnya untuk menemukan jalan atau spiritualitas yang baru: The Spirituality of Unity (Spiritualitas Kesatuan). The Spirituality of Unity (Spiritualitas Kesatuan) inilah yang nantinya menjadi detak jantung
dari Gerakan Focolare yang didirikannya. Satu hal yang pasti, dia semakin
menyadari bahwa panggilan Tuhan
pada dirinya adalah: “untuk
membawa bersama keluarga manusia dalam persatuan.”
Menurut Chiara sendiri, setiap
orang yang mencoba menghayati
Spiritualitas Kesatuan ini hendaknya menjadikan dirinya sebagai benih yang
mewujudkan solidaritas, khususnya
kepada kaum miskin dan lemah untuk dunia yang lebih bersatu. Sebuah inspirasi dasarnya adalah prinsip-prinsip Kristiani, yakni menghilangkan sikap acuh tak acuh dan memunculkan sikap saling meneguhkan dalam perbedaan iman
dan budaya.
Penemuan Spiritualitas Kesatuan
ini memang terkait-paut dengan lahirnya gerakan Focolare. Berangkat dari permenungannya tentang sebuah doa Yesus untik para muridNya: ”Bapa, ... supaya mereka menjadi
satu” (Yoh 17: 11-21). Teks
yang sulit ini direnungkannya dari kata per kata lalu mulai masuk ke dalam kehidupan dan memberi prinsip dasar
pada lahirnya gerakan ini dari sabda Injil. Teks ini sungguh menyentuh
pengalaman hidupnya saat ada pelbagai peperangan yang menewaskan banyak
orang, menggagalkan rencana studinya dan pelbagai rencana hidupnya yang lain. Dengan situasi
hidupnya ini, dia bertanya: “Dimana
tempat yang paling ideal dan aman, dan tak
ada pengeboman dan dimana kita bisa mengabdikan hidup kita”? Baginya, jawaban yang paling ideal
adalah Tuhan. Peperangan merupakan buah dari ‘Benci’, tapi Tuhan
dimanifestasikan dalam diri kita masing-masing sebagai ‘Cinta’: “Allah, yang adalah Kasih,
mendekati manusia, tanpa
memperhitungkan apakah manusia itu pantas atau tidak, namun Dia ingin agar manusia membuka
diri kepadaNya guna membangun
persekutuan hidup yang murni denganNya.”
Dalam perkembangan selanjutnya, Chiara mencoba menjelaskan bahwa ‘cinta’ yang disebutnya sebagai “Golden Rule” ternyata hampir ada di semua Kitab Suci. Orang Kristen memahaminya: “Dan sebagaimana kamu kehendaki
supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31). Mahabarata pun mengatakan: “Jangan lakukan pada orang lain apa
yang menyakitkan kamu sehingga itu tidak dilakukan padamu”. Mahatma Gandhi
mengatakan dengan amat indah, “Kamu
dan aku adalah satu seperasaan. Aku tidak dapat melukaimu tanpa dengan tanganku
sendiri”. Lebih jauh, Injil juga mengajarkan bagaimana
mewujudkan “Cinta”. Sebagai contohnya, dalam Injil
terdapat perintah: “Kasihilah
sesamamu seperti dirimu sendiri” (Mat
19:19). Chiara sendiri mengagumi Santo Basil yang menjalankan
perintah utama yaitu mencintai Tuhan
dan sekaligus mencintai
sesamanya.
Lewat permenungannya inilah,
Chiara berharap bahwa kita bisa mencintai setiap orang tanpa
membedakan latar belakang agama,
budaya dan pengetahuan akademisnya. Setiap
orang harus dicintai dengan cara yang sama. Bahkan, cinta yang kuat adalah saat
kita mencintai musuh kita, mendoakan dia, dan membalas tindakannya dengan
pengampunan, tukas Chiara Lubic.
Selain itu, setiap pagi, dia
merenung-menung dan berdoa di
depan Sakramen Mahakudus dengan mengulang kata-kata, ”I am nothing, You are everything”. Setelah berdoa, dia menuliskan hasil
permenungannya dan yang sangat mempengaruhi hidupnya adalah “unity”. Dia mengutipkan
salah satu buah permenungannya: ”Jiwaku
selalu memandang pada satu Bapa dengan banyak anak. Melalui budi dan hati,
kita harus selalu membiasakan terbuka pada diri kita sendiri dan pada satu
keluarga manusia dalam satu Bapa. Yesus,
teladan kita menyadarkan kita pada dua pikiran yang adalah satu: menjadi
anak-anak dari satu Bapa dan menjadi saudara lelaki dan perempuan untuk siapa
saja. Ketika kita hidup berkomunitas, harus disadari penuh oleh setiap pribadi
bahwa kita dapat mengalami kesendirian. Setelah mencintai saudara dan sahabat,
kita menjadi sadar akan kesatuan kita dengan Tuhan.”
Dari pengalaman doanya inilah,
ia menyatakan bahwa Tuhan sungguh menginginkan kesatuan. Bagi Chiara, kita hidup untuk
semata-mata menjadi satu bersama mereka, satu bersama orang lain dan satu
bersama segala manusia. Inilah suatu panggilan yang luar biasa dimana kita
terkait pada surga dan membenamkan kita dalam keluarga umat manusia. Kesatuan
adalah kata yang menyimpulkan gerakan hidup kita. Dia menyadari bahwa kita
dipanggil ke Pesta Kristus Raja dimana dia mengutip Mazmur 2:8, ”Mintalah
kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu,
dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu”. Dia juga menghubungkan
dengan terbitnya ensiklik Mystici
Corporis oleh Paus Pius XII,
yang menyatakan bahwa umat
manusia menjadi satu dalam tubuh
mistik Kristus, dimana Kristus
sebagai kepalanya.
Untuk mewujudkan Spiritualitas Kesatuan, Chiara mengadakan banyak
perjumpaan dengan beberapa pemimpin agama lain. Dia sungguh terkesan dengan
pembicaraan tentang iman yang mengungkapkan hubungan yang unik antara Tuhan dan
manusia. Dia melihat agama
(kepercayaan) mengandung suatu rasa yang sangat kuat akan “Yang Satu”, “Yang Absolute”. Dan di atas semua itu, semua agama menegaskan tentang toleransi dan
cinta. Tentunya, toleransi dan cinta yang sudah menjadi praksis hidup dan
kebiasaan akan sangat mendukung bagi terciptanya ruang dialog antar umat
beragama. Upaya saling menghormati dan memberi apresiasi merupakan sikap
toleransi yang sangat sederhana.
Ia juga semakin diyakinkan bahwa dialog membutuhkan cinta antar umat
beragama. Sebuah cinta yang mengalir
dari relasi manusia dengan Tuhan. Bukankah Tuhan mencintai kita pertama kali
karena dialah satu-satunya yang memberikan kita cinta dan dia
menumbuhkembangkan itu ketika kita mencarinya? Gandhi menegaskan bahwa, “Tuhan adalah Cinta”. Pengalamannya berdialog juga
diteguhkan oleh ungkapan Paus Yohanes Paulus II di India,” Melalui dialog, kita mengizinkan Tuhan hadir di
tengah-tengah kita; karena kita membuka diri kita
dalam dialog pada orang-orang lain, kita juga membuka diri kita pada Tuhan. Dan, itu akan
membuahkan kesatuan di antara
kita dan Tuhan”.
Dia menggunakan cara unik untuk
mengembangkan dialog dalam kelompok Focolare yang dibentuknya. Focolare
mengadakan pertemuan untuk saling berbagi pengalaman dari Word of Life (kutipan ayat-ayat kitab suci).
Kegiatan ini dimaksudkan agar mereka menjaga api cinta Tuhan yang mengobarkan
semangat hidup dan iman mereka. Mereka dapat menyatu dari
latar belakang pekerjaan, studi, doa dan perjuangan sampai pada tingkat
kekudusan atau pewartaan hidup kristiani yang berbeda.
Jelasnya, Chiara Lubich bereaksi terhadap sebuah
kerusuhan nyata, yang terjadi setelah Perang Dunia II, dengan mencoba
memperbaiki masyarakatnya melalui rasa kemanusiaan yang sama, dengan menekankan
bagaimana konsep persatuan yang sederhana dapat dijalankan dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kepemimpinan
Lubich, kerja sama antara masyarakat Focolare dan umat-umat dari berbagai agama
telah menunjukkan bahwa adalah membangun jembatan-jembatan pengertian,
penghormatan, dan cinta itu sangat dimungkinkan. Setiap kunjungan ke masyarakat
Focolare di luar Florence, Italia, akan menegaskan bahwa setiap orang, termasuk
setiap agama dan budaya lain, tidak hanya ditampung tetapi juga disambut: “Sikap baru ini akan menimbulkan suatu
pertobatan sejati dalam diri anda, karena akan membersihkan anda dari merasa
lebih baik dari yang lain, menghindarkan anda dari sikap tidak bertoleransi
agama, serta akan memampukan anda untuk menerima keselamatan yang diberikan
Yesus kepada anda sebagai pemberian yang murni dari kasih Allah.”
REFLEKSI
TEOLOGIS
Cahaya -
Cari Tuhan, Hadapi cobaan, Yakini iman
“Tentu
saja,
anda
tahu bahwa hambatan yang terbesar
terhadap
Allah-Kasih adalah
cara
hidup orang-orang yang hanya
menyibukkan
diri dengan perbuatan dan karya,
padahal
yang diinginkan Allah
adalah
hati mereka.”
(Chiara
Lubic)
Pendiri Gerakan Focolare bernama Chiara Lubic. Chiara sendiri dalam
bahasa Italia bisa berarti “terang” atau “cahaya”. Secara sederhana dan nyata,
Chiara menjadi terang cahaya bagi banyak orang lain, bahkan bagi orang lain
yang tidak seagama dan tidak sebudaya. Sudahkah kita juga menjadi cahaya bagi
dunia kita? Mungkin baik, kalau kita kembali mengingat tiga sikap dasar yang
secara sederhana terangkum dalam sebuah kata “cahaya” yakni: “Cari Tuhan, Hadapi cobaan,
Yakini iman”.
- Cari Tuhan
Gerakan Focolare (kadang disebut "Opera di Maria") adalah sebuah gerakan keagamaan yang
didirikan pada 1943 di Trento, Italia oleh Chiara Lubich. Meskipun anggota
utamanya adalah orang-orang Katolik Roma, namun sekarang
ini mempunyai hubungan baik dengan denominasi Kristen lainnya dan juga agama lainnya, bahkan dengan orang yang tidak
beragama. Yang pasti, gerakan
Focolare lahir sebagai salah satu usaha manusia yang mencari Tuhan. Gerakan awam ini dikukuhkan oleh
Paus Yohannes XXIII pada tahun 1962 dengan nama “Karya Bunda Maria”. Saat ini,
gerakan Focolare telah tersebar di 182 negara serta anggotanya mencapai jutaan
orang yang berasal dari usia, ras, budaya, agama dan latar belakang yang
berbeda, yang sama-sama mencari Tuhan.
- Hadapi
cobaan
Focolare berarti "tempat perapian/pendiangan di
rumah" (pemanas api yang
biasanya ada di pelbagai rumah penduduk yang tinggal di daerah dengan 4 musim). Di kala
musim dingin, biasanya seluruh
anggota keluarga/komunitas berdiang/menghangatkan diri di sekitar pendiangan
tersebut sambil berbagi cerita. Nah,
persis di tengah “musim dingin” yang disebabkan oleh Perang Dunia II, Chiara
Lubich, menyadari hanya Tuhan-lah satu-satunya yang kekal, yang tidak dapat
dihancurkan oleh pelbagai cobaan dan hambatan. Sejak saat itu, CHIARA dan
teman-temannya mulai berusaha “menghidupkan” INJIL. Inilah yang menjadi dasar
lahirnya “Spiritualitas Kesatuan” (ONENESS). Yah, mereka berani menghadapi
pelbagai cobaan, dengan tetap mengingat tujuan awalnya, yakni: “Persaudaraan
Universal”, untuk mewujudkan doa Yesus kepada Allah Bapa, “Semoga mereka semua menjadi satu” (Yoh.17:21).
Merupakan sebuah kenyataan bahwa
para “focolarini” dan “focolarina” bercita-cita untuk mewujudkan persatuan dan
perdamaian dunia dengan mengamalkan hidup rukun walau berbeda-beda, di tengah
pelbagai macam konflik pertentangan dan permusuhan antar agama. Bahkan di
Italia, mereka membangun sebuah kota komunitas mereka sebagai “laboratorium
hidup” masyarakat majemuk yang hidup dengan rukun dan damai. Unitas in Diversitas, Bersatu
dalam perbedaan. Atau dalam bahasa yang lebih populer di telinga orang
Indonesia, “Bhineka Tunggal
Ika.”
- Yakini iman
Satu kekhasan Focolare: Mereka
berusaha untuk semakin meyakini iman dengan menghidupi ayat-ayat Injil dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagai orang awam, mereka berkumpul dalam pertemuan
untuk berbagi pengalaman dan permenungan hidup sesuai ayat-ayat yang dikutip ke
dalam Sabda Kehidupan. Gerakan
Focolare juga membuka ruang kebebasan bagi siapapun
untuk belajar memperdalam ajaran Kitab Suci dan menginspirasikannya kepada umat beragama lain. Beberapa kegiatan para anggota Focolare lainnya yakni: berdoa, bernyanyi,
pendalaman alkitab, mengunjungi orang jompo, melayani anak-anak yang sakit dan
pebagai karya sosial dan kunjungan lintas iman.
Ada juga sebuah retret musim
panas mereka, yang disebut “Mariapolis.” Retret itu merupakan “kegiatan
evangelisasi”, karena para anggotanya membawa teman-teman non-Katolik mereka
untuk ikut. Selain itu, mereka juga membantu orang yang membutuhkan, misalnya lewat “Economy of Communion” (EoC) dari Gerakan Focolare. Economic of communion atau Economic of Sharing sendiri merupakan sebuah gagasan yang
belum ada dalam pelbagai mainstream dunia ekonomi. Gagasan ini dilemparkan
oleh Chiara Lubic dan para anggota Focolare serta diimplementasikan oleh
orang-orang yang bergerak dalam bidang ekonomi dan mereka menjiwai bidang
pekerjaan mereka dengan keyakinan iman yang sangat radikal.
EPILOG
“Sekitar 450 ribu orang memadati
lapangan St.Petrus dan Via della Concilazione, Roma, Sabtu sore menjelang
Pantekosta (3/6/06). Mereka adalah para pengikut lebih dari 100 gerakan awam
Katolik dan Komunitas Baru dari seluruh
dunia. Bersama Paus Benediktus XVI, mereka berdoa dan memuji Tuhan secara
meriah dengan cara mereka masing-masing.”
Surat kabar Vatikan L’Osservatore Romano edisi Senin, 5 Juni 2006,
menurunkan laporan sepanjang 5 halaman penuh atas peristiwa tersebut. Nampaknya
Vatikan memandang pertemuan Paus dengan para pemuka dan pengikut pelbagai
Gerakan awam gerejani ini amat penting dan menarik.
Pertemuan antara Paus Benediktus
XVI dengan Gerakan-gerakan Awam dan Komunitas-komunitas Baru ini bertema: “Indahnya Menjadi Seorang Kristiani
dan Kegembiraan Dalam Mewartakan-nya”. Tema ini berasal dari kotbah
Benediktus XVI saat misa pelantikannya sebagai Paus (24 April 2005). Pada saat
itu Paus antara lain berkata: “Tak
ada yang lebih indah daripada pertemuan dengan Kristus. Tak ada yang lebih
indah daripada mengenal Dia dan mewartakan kepada orang lain tentang
persahabatan kita dengan-Nya”.
Beberapa saat sebelum Paus tiba,
pelbagai kelompok menyampaikan doa serta kesaksian mereka. Mereka juga secara
bergantian memainkan musik dan lagu-lagu khas kelompoknya masing-masing.
Pastinya, kelompok Focolare, bentukan Chiara Lubich yang terkenal dengan
lagu-lagunya yang hidup dan meriah, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk
menyanyikan lagu-lagu favorit mereka. Kebanyakan yang datang mengenakan syal
warna-warni di leher mereka. Tidak sedikit di antara mereka yang datang membawa
poster, bendera, umbul-umbul serta segala macam atribut kelompok. Hal ini tentu
saja semakin menambah semaraknya suasana.
Tepat pukul 17.30 Paus memasuki
lapangan St.Petrus, dengan kendaraan Jeep yang terbuka. Kehadiran Paus disambut
dengan sorak-sorai, tepuk tangan dan teriakan-teriakan histeris. Paus
berkeliling dengan kendaraannya memberi salam semua yang hadir.
Suasana berubah menjadi hening
dan tenang pada saat Paus mulai memimpin Ibadat Sore menyongsong hari Raya
Pantekosta. Pelbagai kelompok yang berbeda-beda itu kini seolah-olah disatukan
lewat Ibadat yang dipimpin langsung oleh Paus mereka yang sama.
Pada awal kotbah yang
disampaikan pada pertemuan tersebut, Paus berkata: “Sore ini kalian datang kemari
dalam jumlah yang sungguh besar. Dengan tulus, saya ucapkan banyak terima
kasih. Kalian yang terdiri atas beragam bangsa dan budaya, datang kemari
mewakili pelbagai Gerakan Gerejani dan Komunitas Baru”. Dalam bagian lain,
Paus berkata: “Roh Kudus
menghendaki persatuan, menghendaki totalitas!”, kata Paus yang disambut
dengan tepuk tangan panjang.
Beberapa pemimpin gerakan awam
turut juga memberikan renungan sekaligus sambutan singkatnya dalam pertemuan
sore itu. Mereka adalah Prof.Andrea Riccardi, pendiri sekaligus pemimpin
Komunitas San Egidio; Kiko
Arguello, pemimpin Gerakan Neocatecumenale dan Julian Carron, pemimpin
Persaudaraan Comunione e
Liberazione. Dan pastinya, Chiara Lubich, pendiri Gerakan Focolare yang berhalangan hadir pun tetap
mengirimkan sambutannya yang dibacakan oleh Graziella Di Luca.
Dalam sambutannya, Chiara Lubich
antara lain menulis: “Kepada
Bapa Suci, kami ingin meyakinkan bahwa kerja sama antara pelbagai Gerakan Awam
dan Komunitas Baru akan terus berlanjut. Dengan demikian dalam kesatuan dan
ketaatan penuh kepada Bapa Suci dan kepada para Bapa Gereja, dapat kiranya
diwujudkan kehendak Tuhan Yesus, pertama-tama yaitu persatuan”, tulisnya.
Apa yang ditulis Chiara Lubich merupakan cerminan serta cita-cita bersama semua
yang hadir sore itu. Yah, “Ut Omnes Unum Sint. Supaya Mereka Semua
Menjadi Satu”. Indah,
bukan?
ASPIRASI
"Yesus, izinkanlah aku
selalu berbicara dengan kata yang seakan-akan merupakan kata terakhirku.
Izinkanlah aku selalu bertindak seakan-akan tindakanku adalah tindakan
terakhirku. Izinkanlah aku selalu menderita,, seakan-akan penderitaanku itu
merupakan penderitaan terakhir yang bisa saya persembahkan kepada-Mu.
Izinkanlah aku selalu berdoa, seakan-akan doa itu merupakan kesempatan terakhir
yang diberikan kepadaku di bumi ini untuk bercakap-cakap dengan-Mu.”
(Doa Chiara Lubich)
0 komentar:
Posting Komentar