Bernadette Soubirous
PROLOG
Gereja Katolik mempunyai banyak
tempat ziarah. Ketika kita bicara soal pelbagai tempat ziarah, kurang afdol rasanya kalau kita tidak menyebut
tempat ini: Goa Maria Lourdes. Lebih
dari satu setengah abad yang lalu, Bunda Maria menampakkan diri sebanyak 18
kali, dari tanggal 11 Februari hingga 16 Juli 1858 kepada seorang gadis miskin yang
sakit-sakitan. Yah, inilah sepenggal kisah nyata tentang seorang gadis sederhana dari Prancis, yang hampir sepanjang hidupnya
menderita sakit namun dipilih
oleh Tuhan dan Bunda Maria. Sekarang ia diangkat menjadi santa pelindung
orang-orang sakit. Namanya ialah Bernadette Soubirous,
seorang perempuan beriman, yang mengalami
penampakan Bunda Maria, yang jenazahnya masih utuh dan tersimpan dalam peti kaca yang indah di kapel utama St. Gildard Nevers, Prancis, dengan seuntai rosario dililitkan di
sekeliling tangannya. Tubuhnya
masih utuh. Wajahnya juga sangat tenang. O Res mirabilis. O sungguh
mengagumkan!
SKETSA
PROFIL
"Aku
tidak menjanjikan kamu kegembiraan di dunia ini,
tetapi
di dunia yang akan datang."
(Pesan
Bunda Maria kepada Bernadette Soubirous)
11
Februari tahun 1858, pada sebuah gua di Massabielle, dekat
Lourdes, di Perancis selatan, Bunda
Maria menampakkan diri sebanyak 18 kali. Bunda Maria memperkenalkan diri
sebagai “Immaculata: Yang Dikandung Tanpa Dosa” dan minta agar sebuah kapel dibangun
di tempat penampakan. Gadis itu diminta minum dari sebuah sumber air di gua.
Tidak ada sumber air sama sekali di sana, tetapi ketika ia menggali
di suatu tempat yang ditunjukkan kepadanya, sebuah mata air mulai memancar. Air
yang hingga kini masih memancar itu mempunyai daya penyembuhan yang luar biasa,
meskipun para ahli ilmu pengetahuan tidak dapat menemukan adanya zat-zat yang
berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit. Lourdes telah menjadi suatu tempat
ziarah Bunda Maria yang paling terkenal. Lourdes yang memiliki populasi 15 ribu orang tapi sanggup
menampung lima juta peziarah selama masa peziarahan antara bulan Maret hingga
Oktober. Diperkirakan Lourdes telah menerima peziarahan 200 juta orang sejak
tahun 1860. Ssst,
sebetulnya, siapakah nama gadis miskin yang beruntung itu?
Bernadette Soubirous!! Yah, Bernadette sendiri terlahir pada tanggal 7 Januari 1844, sebagai anak sulung dari pasangan Francois Soubirous, seorang pengusaha penggilingan gandum
dan isterinya, Louise Casterot. Ia mempunyai delapan adik, tetapi 3 di antara meninggal
dunia di masa bayinya. Ia
dibaptis 2 hari setelah kelahirannya, yaitu tanggal 9 Januari yang merupakan
hari ulang tahun perkawinan kedua orangtuanya. Pada awalnya, ia diberi nama
Marie Bernarde, tapi karena perawakannya yang kecil, ia kemudian
biasa dipanggil Bernadette (Bernarde kecil). Mereka hidup di Lourdes, sebuah desa di Perancis bagian
selatan tetapi bahasa yang digunakan di sana bukanlah bahasa Perancis, tapi
bahasa Occitan yang mendapat pengaruh dari bahasa Catalan dan bahasa Spanyol. Sejak kecil, kesehatan Bernadette memang kurang baik. Ia selalu saja menderita
sakit, terutama asma. Walaupun
sakit, ia tetap membantu ibunya mengasuh kelima adiknya. Dan ketika Bernadette
telah dianggap cukup umur, ia pun bekerja
sebagai penggembala ternak.
Suatu
hari, pada tanggal 11 Februari 1858, suatu peristiwa yang luar biasa terjadi.
Ketika ia bersama adiknya Toinette dan seorang temannya sedang mencari kayu
bakar di sebuah gua (grotto) yang disebut Massabielle (=Batu Besar), di tepi
sungai Gave dekat kota Lourdes. Dia sendirian di dekat gua, sementara dua gadis
lainnya beristirahat mengumpulkan kayu. Bernadette mendengar sesuatu yang aneh.
Menurut
pengakuannya: “Suatu hari saya
dan dua gadis lain pergi ke pinggir sungai Gave. Tiba-tiba saya mendengar bunyi
gemerisik. Saya mengarahkan pandangan ke arah padang yang terletak di sisi
sungai, tetapi pepohonan di sana tampak tenang dan suara itu jelas bukan datang
dari sana. Kemudian saya mendongak dan memandang ke arah gua di mana saya
melihat seorang wanita mengenakan gaun putih yang indah dengan ikat pinggang
berwarna terang. Di atas masing-masing kakinya ada bunga mawar berwarna kuning
pucat, sama seperti warna biji-biji rosarionya. Saya menggosok-gosok mata saya,
kemudian saya tergerak untuk memasukkan tangan saya ke dalam lipatan baju saya
di mana tersimpan rosario. Saya ingin membuat tanda salib, tetapi tidak bisa,
tangan saya lemas dan jatuh kembali. Kemudian wanita itu membuat tanda salib.
Setelah usaha yang kedua saya berhasil membuat tanda salib meskipun tangan saya
gemetar. Kemudian saya mulai berdoa rosario sementara wanita itu menggerakkan
manik-manik di antara jari-jarinya tanpa menggerakkan bibirnya sama sekali.
Setelah saya selesai mendaraskan Salam Maria, wanita itu tiba-tiba menghilang. Saya bertanya kepada kedua gadis
yang lain apakah mereka melihat sesuatu, tetapi mereka mengatakan tidak. Tentu
saja mereka ingin tahu apa yang telah terjadi. Saya katakan kepada mereka bahwa
saya melihat seorang wanita mengenakan gaun putih yang indah, namun saya tidak
tahu siapa dia. Saya minta mereka untuk tidak menceritakan hal itu kepada siapa
pun. Mereka mengatakan saya bodoh karena memikirkan yang bukan-bukan.”
Tiga
hari kemudian tiga gadis itu kembali ke gua, sambil membawa air suci untuk
menguji batinnya. Wanita itu menampakkan diri sekali lagi tetapi hanya
Bernadette yang dapat melihatnya. Ketika Bernadette menuang air suci ke tanah,
wanita itu hanya tersenyum. Ketika
Bernadette kembali ke gua bersama dengan orang-orang kota untuk ketiga kalinya
pada tanggal 18 Februari, wanita itu menampakkan diri lagi dengan permintaan
agar Bernadette kembali 15 kali lagi dengan jarak waktu yang tetap.
Peristiwa penampakan ini memang
pada awalnya meresahkan
masyarakat, pejabat negara, dan Gereja. Beberapa tahun Bernadette mengalami penderitaan akibat
kecurigaan dan praduga orang-orang yang tidak mau percaya.
Namun, ia menanggung semuanya dengan sabar dan ikhlas sambil tetap percaya pada
Bunda Maria. Bernadette ‘diinterogasi’
oleh pastor paroki, polisi, dan jaksa, serta diwawancarai oleh orang-orang
penting.
Bernadette, gadis sederhana yang buta huruf dan
sakit-sakitan ini, tentu saja tidak tahu arti “Dikandung Tanpa Dosa”, tetapi ia
segera menyampaikan pesan itu kepada Abas Peyramale yang pada awalnya juga
tidak percaya pada Bernadette. Mendengar kata-kata Bernadette, hati Abas
terpana. Yah, empat tahun sebelumnya yaitu tanggal 8 Desember 1854 Paus
Pius IX dalam ensikliknya ”Ineffabilis Deus” mengeluarkan dogma bahwa Bunda
Maria dikandung tanpa dosa (Immaculata).
Ungkapan teologis ’Yang Dikandung Tanpa Dosa/Immaculata
Conceptio’ sendiri tidak banyak dikenal umat selain para imam tertahbis yang
mendalami imu teologi dan filsafat. Ketika ungkapan ini keluar dari mulut
Bernadette, yang bahkan buta huruf, Abas Peyramale baru diyakinkan bahwa wanita
itu adalah sungguh-sungguh Perawan Maria Yang Terberkati dan bahwa dia datang
meneguhkan Dogma ”Immaculata Conceptio”. Maka,
sebuah tempat suci segera dibangun di Gua Massabielle, dan sumber airnya segera
terkenal karena daya penyembuhannya. Pada tanggal 18 Januari 1862, Uskup
Lawrence, Uskup Tarbes, keuskupan yang membawahi Lourdes, mengeluarkan surat
yang mengakui penampakan-penampakan di Lourdes sebagai penghargaan iman: ”Kami meyakinkan bahwa Penampakan
ini supranatural dan berasal dari Allah…”
Bernadette akhirnya menerima penampakan Maria yang ke-18
dan itu adalah penampakan Bunda Maria yang terakhir kalinya bagi Bernadette
pada tanggal 16 Juli 1858, pada Pesta Perawan Maria dari Gunung Karmel. Seiring waktu yang terus berjalan, Bernadette ingin menjadi seorang biarawati. Awalnya ia tertarik
memasuki biara Karmel, tapi kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya
mengikuti rutinitas biara Karmelit yang berat. Akhirnya ia memutuskan dan diterima dalam biara para
Suster Charitas di Nevers, Perancis, pada Pada
tahun 1866 di usia 22 tahun. Ia hidup senormal mungkin di biara dan
akhirnya memperoleh kemampuan baca dan tulis. Ia bekerja merawat orang sakit, dan membuat hiasan-hiasan
taplak altar dan jubah-jubah.
Tiga
belas tahun lamanya ia tinggal di biara dan sebagian besar dari waktu tersebut
dihabiskannya di tempat tidur karena sakit yang dideritanya. Sebagai suster, ia mendapat perlakuan
keras oleh pembimbingnya dengan alasan yang tidak jelas. Tetapi, Bernadette bertahan, tetap gembira, dan penuh
harapan. Walaupun badan Bernadette rapuh,
tetapi jiwanya kuat dan imannya bertumbuh.
Bernadette juga adalah seorang yang sangat rendah hati. Buktinya? Suatu ketika seorang suster bertanya
kepadanya, apakah ia merasa bangga
karena dipilih oleh Bunda Maria. "Bagaimana
mungkin," Bernadette
cepat-cepat menjawab, "Bunda
Maria memilih saya justru karena saya inilah yang paling hina." Suatu jawaban dari kerendahan hati
yang paling dalam, bukan? Suatu
hari seorang lain juga bertanya pada Bernadette, yang saat itu telah menjadi
seorang biarawati, "Suster,
benarkah Perawan yang Terberkati begitu cantik?" "Cantik, sangat
cantik!" Jawab
Bernadette. "Sehingga
saat engkau melihatnya pertama kali, engkau tidak sabar menanti untuk segera
bertemu dengannya kembali!"
Bernadette akhirnya meninggal dunia di ruang orang sakit
Salib Suci di Biara St. Gildard, tempat Bernadette menjadi suster. Ia meninggal
pada hari Rabu sesudah hari raya Paskah tepatnya pada tanggal 16 April 1879, dalam usia 35 tahun karena penyakit tuberculosis. Suster
Nathalie Portat yang menjaga Bernadette menceritakan bahwa Bernadette kerap
menampakkan ekspresi wajah menahan kesakitan dan meminta rekan-rekannya
mendoakan jiwanya. Pada saat terakhirnya, ia menceritakan bahwa Bernadette
mendoakan Salam Maria dengan penuh kerendahan hati bagaikan seorang anak
perempuan kecil pada ibunya menyatakan dua kali ”Santa Maria, Bunda Allah,
doakanlah kami yang berdosa ini”. Beberapa
saat kemudian Bernadette membuat tanda salib, minum beberapa tetes air dan
meninggal dalam kedamaian.
Tubuhnya sendiri masih utuh hingga kini meskipun ia
telah meninggal lebih dari seabad yang lalu. Pada 8 Desember 1933, Bernadette diangkat sebagai orang kudus oleh Paus Pius XI. Pestanya dirayakan pada tanggal 16 April (secara istimewa pula, 16 April adalah ulang tahun Paus
Benediktus XVI). Bernadette juga diangkat sebagai pelindung bagi orang sakit, keluarga, penggembala
dan orang miskin. Sebuah catatan diberikan kepada kanonisasinya bahwa ia
menerima sebutan orang kudus bukan sepenuhnya karena ia menerima penampakan
Bunda Maria, tetapi terutama karena kesederhanaan dan kekudusan hidupnya
sendiri.
REFLEKSI TEOLOGIS
SAKIT
Saat Aku
Kuatir Ingatlah Tuhan
Waktu lambat laun kan hadir dan mengeringkanmu...
Seperti daun yang menguning...,
Memang pelan tapi pasti...
engkau kan berubah jadi buruk dan tanpa warna
"Pekerjaanku
semakin maju," kata
Bernadette. "Pekerjaan
apa?" tanya seorang
suster keheranan. "Pekerjaan
bersakit-sakit!" jawabnya
sambil tersenyum. Yah, hidup
Bernadette memang tak lepas dari pengalaman kerapuhan akan sakit fisiknya
selama bertahun-tahun. Di dalam biara pun, Bernadette sering
sakit: menderita TBC, sakit tulang, tumor, asma, dan kesehatan yang memburuk
secara keseluruhan. Satu hal
yang pasti, sampai wafatnya pada usia 35 tahun, kehidupan sehari-hari
Bernadette diwarnai banyak
percobaan berat. Bernadette, sejak kecil hidup dalam kemiskinan, tinggal di perumahan
yang tidak sehat, berpindah-pindah tempat karena orangtuanya tidak mampu
membayar uang sewa. Ketika berumur 14 tahun, ia sering sakit sehingga tubuhnya
tampak lemah dan gerakannya lamban. Ia menderita asma dan radang selaput
paru-paru.
Sebenarnya
apa itu sakit? Badan Kesehatan
Dunia, WHO menyatakan bahwa sakit berarti kondisi tidak utuhnya dimensi fisik, mental dan sosial, jadi
bukan soal tiadanya penyakit belaka. Satu
hal yang pasti, orang sakit itu
tidak terbatas yang ada di rumah sakit saja, atau bahasanya Patch Adams, setiap dari kita
adalah sakit, tapi
syukurnya setiap orang itu juga bisa menjadi dokter bagi dirinya sendiri maupun
bagi sesamanya. Kita bisa menjadi sakit karena adanya faktor hypo/kekurangan, atau hyper/kelebihan. Sakit sendiri adalah pantulan pengalaman asli negatif
manusia. Dalam kitab Budha bahkan dibuka dengan sebuah kata yakni
“samsara”, yang memaknakan hidup
sebagai dukha (sakit).
Di lain
segi, berkunjung ke Lourdes selalu menimbulkan kesan yang
mendalam. Di sana kita melihat begitu banyak orang-orang sakit dan yang duduk
di atas kursi roda berharap untuk sembuh. Setiap tahun jutaan orang datang berdoa di Lourdes dan
mengunjungi Gua Massabielle. Mereka mengambil bagian dalam penyembuhan melalui
sumber air, yang telah menyembuhkan begitu banyak orang dari penyakit fisik dan
rohani. Salah
satu penyembuhan yang paling terkenal adalah penyembuhan mata Louis Bouriette (Bouriette adalah tukang batu
setempat, matanya yang satu buta, yang membantu untuk membangun kolam di
sekeliling sumber yang telah ditemukan Bernadette. Ketika dia menggosok matanya
yang buta dengan lumpur dan berdoa kepada Perawan Maria, secara ajaib matanya
dapat melihat).
Yah,
orang-orang yang sakit, terlebih sosok Bernadette ibarat Adam dengan rusuk yang kurang
satu, namun mereka berkurang karena mau dibagikan agar sesamanya hidup, karena pekerjaan-pekerjaan Allah akan dinyatakan
dalam dia (Yoh 9:3). Inilah rahmat kehidupan yang lahir dari kerapuhan, suatu
keselamatan dengan wajah istimewa, sangat sederhana dan tidak sempurna, seperti
Yesus yang bangkit dengan luka di tangan, kaki dan lambungnya.
Baiklah
kita mengangkat sebuah kisah nyata di Belanda: Seorang penulis, penyair, sekaligus
esais ateis bernama, Willem Jan Otten di tahun 1999 masuk menjadi penganut
agama Katolik. Mau tahu sebabnya? Ia masuk Katolik karena melihat Paus Yohanes
Paulus II yang tua, lemah dan sakit-sakitan. Baginya, di tengah zaman modern
yang anti penderitaan, agama Katolik menampilkan kesaksian iman sebagai agama
manusia biasa, yang mau menerima pengalaman sakit dan penderitaan, yang rela
mengakui kelemahan dan ketuaannya. Sakit bisa menjadi sebuah tanda kesaksian,
bukan? Yah dari Bernadette, kita boleh belajar menjadi
manusia beriman, karena kerap
lewat pengalaman kerapuhan dan sakit inilah, Tuhan daan Bunda Maria semakin dekat
dengan kita, karena bukankah “sakit” bisa berarti, “Saat Aku Kuatir Ingatlah
Tuhan?”
EPILOG
Menjelang penobatan Bernadette sebagai orang kudus, Paus
Pius XI menyatakan, “…Demi kemuliaan Tuhan, dengan senang hati kami katakan bahwa
kehidupan Bernadette dapat disimpulkan dalam tiga hal utama: Bernadette setia
pada perutusannya, Bernadette rendah hati dalam kejayaannya dan Bernadette
tabah dalam menghadapi segala percobaannya.”
Dari tiga pilar: kesetiaan,
kerendahan hati dan ketabahan Bernadette di atas, baiklah kita mengingat
sepenggal kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri: “Voyes comme’est simple, il
suffit d’aimer - lihatlah bagaimana sederhananya, semua
yang kau lakukan tuk mencintai”. Itulah
kalimat terakhir Bernadette Soubirus
di kamarnya, sebelum dia
meninggal karena sakit
tuberculosis di Paris, tepat pada masa Paskah, Medio April 1879.
Di lain matra, menyitir Charles Swindoll, banyak orang hidup
di zaman sekarang ini juga menjadi “sakit”, karena mengidap penyakit “Hanya-jika”. Banyak orang yang sakit itu menganut prinsip bahwa orang bisa
hidup tenang “hanya-jika”: hanya jika punya uang banyak, hanya jika punya rumah
banyak, hanya jika makan banyak, hanya jika …. Hidup semacam itu kerap membuat kita menjadi tidak tenang (Jw: kemrungsung).
Lewat figur iman Bernadette,
bukankah hidup banyak orang kudus
sama saja dengan kebanyakan orang, yang terdiri dari peristiwa-peristiwa kecil
harian yang tak melulu tercatat dalam buku sejarah dunia? Bukankah kesucian diraih dalam kesungguhannya
pada kehidupannya sehari-hari yang biasa-biasa saja? Bagaimana dengan kita? Semoga kitapun juga bisa terus belajar untuk mencintai, seperti syair yang pernah kita dengar, “aku ingin mencintaimu dengan
sederhana, seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu..
ASPIRASI
“...Bila
kamu datang berziarah, janganlah seperti turis,
tapi
berlakulah sungguh sebagai peziarah - homo viator,
mulailah
sebuah perjalanan,
yakni
masuklah dalam sebuah perjalanan
dan
lepaskanlah pelbagai kesenangan
serta
lemparkanlah dirimu dalam ketidaktahuan mengikuti Yesus.”
(In
the Footsteps of St Bernadette).
0 komentar:
Posting Komentar