KUMPULAN BUKU KARYA ROMO JOST KOKOH
PRIHATANTO, PR
KEBEBASAN (IAIN Press, 2006)
“..Di mana kebahagiaan sejati? Tak jauh, tapi sukar untuk menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat dengan trem, dengan kuda atau perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea perjalanan itu. Jalan itu susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya dengan airmata dan darah di jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada dalam diri kita sendiri…”.
Memang ada yang klise dalam paragraf itu jika kita baca sekarang, namun jelas: Tuhan bukanlah sebuah jalan lurus yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya harus dicari kembali, setiap hari, dalam setiap perjumpaan.
MENGAPA SAYA MASIH TETAP MENJADI SEORANG KRISTEN (Kanisius 2010)
Qui dormit non peccet/peccat
Barang siapa tidur, dia tidak berdosa.
Qui habet aures audiendi audiat
Barang siapa yang bertelinga, hendaklah dia mendengar.
Qui rogat, non errat.
Barang siapa bertanya, dia tidak akan melakukan kesalahan.
Qui tacet consentit
Barang siapa diam, berarti ia setuju
Qui scribit, bis legit
Barang siapa menulis, ia membaca dua kali
CARPE DIEM - Reguk Hari Bersama Santo/a (Kanisius 2010)
Sed fugit interea,
fugit inreparabile tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan lekas berlalu
(Kutipan dari karya Vergilius, Georgicon III:284).
Suatu ketika, Dalai Lama ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.” Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan masa depannya, sampai tidak sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan? Wajarlah, orang Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari! Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.
Disinilah, baik kita mengingat slogan orang Romawi, “Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan, “Seize the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat lengkapnya adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti, "reguklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok."
Kutipan filosofi dari karya Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar memaknai hidup dengan arif, duc in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup” dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif, seperti nats pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)
Dalam edisi tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, bersama dengan ulang tahun rahmat tahbisan imamat saya yang kelima, ditampil-kenangkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja tentang Bunda Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir, adalah “365 kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para santo/a, satrawan, budayawan dan ilmuwan.
Harapannya, semoga tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa juga menjadi obor, semacam lentera atau pelita yang menyala, terus menerangi serpihan lika-liku hidup dan carut-marut perguatan iman kita. Fiat Lux!
XXI – INTERUPSI (Kanisius, 2010)
DR. George Junus Aditjondro,
Dosen Neo-Marxisme, Penulis buku Gurita Cikeas:
"Buku karangan Romo Jost Kokoh ini menyajikan suatu who is who Gereja Katolik Roma di dunia. Ada kilas balik dan sketsa sepuluh kongregasi bentukan para imam diosesan, yang ditampilkan, yakni CICIM, MSC, SX, MSF, SDB, CM, SVD, CSsR, SCJ, Ordo Dominikan, serta “super-ordo” Opus Dei. Namun, gereja ini tidak akan bertahan apabila tidak ada figur pemimpin yang dapat diteladani. Oleh karena itu, buku ini memperkenalkan sejumlah Kardinal karismatis dari Eropa, Amerika Latin, dan Asia. Oleh karena itu, buku karangan Romo Jost Kokoh ini patut dibaca oleh semua orang yang tertarik pada sejarah dan praksis Gereja Katolik Roma. Tolle et legge! Ambil dan bacalah!"
MIMBAR - ALTAR (Kanisius, 2009).
Ayu Utami, Novelis:
Sesungguhnya, buku kecil indah ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti merpati. Buku ini adalah sebuah altar, tempat pemikiran dan pengalaman dipersembahkan bagi kita. Agar kita, gembala juga domba, imam juga awam, menyediakan ruang jeda dalam diri untuk menyelami yang mudah dimengerti, maupun yang sulit dimengerti, pencerahan maupun misteri. Dan, jelaslah lewat yesus-yesus kecil inilah, , diantara pasar, mimbar dan altar. Tentulah altar yang paling menakjubkan!
BBM-Beriman Bersama Maria (Kanisius 2008)
“Apalah artinya sebuah nama?” Sekadar nama, bagi sebagian orang memang tidak punya arti. Tetapi dalam buku karya Romo Jost Kokoh ini, setiap nama mendapat artinya. Dan, buku kaya makna karya Romo Jost Kokoh ini bukan sekadar othak-athik nama atau kata, tetapi semuanya menuntun kita pada pribadi Maria yang tak asing lagi. Buku ini menyajikan informasi dan refleksi tentang Mariologi dan teologi biblis. Refleksi itu berbasis pada pengalaman rohani dan devosi pribadi kepada Maria. Buku yang dikemas secara kreatif dan inspiratif untuk keperluan devotif. Baca segera buku ini! Bacalah untuk menimba kekayaan rohani dalam berdevosi kepada Maria! (DR. Surip Stanislaus OFMCap, Ketua LBI-Lembaga Biblika Indonesia)
O Sancta Simplicitas, melalui buku kecil ini, Romo Jost Kokoh Pr berusaha memotivasi kaum muda untuk selalu ingat peranan Bunda Maria dan para perempuan lain dalam karya penebusan Kristus. Dengan demikian, mudah-mudahan buku kecil ini dapat menjadi antidote terhadap godaan dunia gemerlap malam. Semoga buku Romo (Jost) Kokoh ini mengokohkan kaum muda untuk menghormati teman dan kekasih perempuan, sebagaimana Yesus menghormati para perempuan yang begitu jost andilnya dan kokoh cintanya dalam karya penebusanNya. (DR. George Junus Aditjondro, Dosen Neo-Marxisme dan Kiri Baru, Penulis Gurita Cikeas).
CARPE DIEM - REQUIEM (Gn Sopai Press, 2012).
Sebuah permenungan harian tentang kematian slama 365 hari yang diangkat dari pandangan gereja, pujangga, seniman, budayawan, ilmuwan.
Ada 7 edisi Carpe Diem: Orangkudus, BundaMaria, Otakatikgatuk-Requiem (Tetralogi OBOR). Ada juga TRILOGI (Pepatahlatin, Pantunrohani dan Punctabestari)
HERSTORY (Kanisius 2012)
Hampir sebagian besar perempuan yang dikisahkan di dalam “Her-Story,” ini adalah perintis berbagai konggregasi biarawati di dalam Gereja Katolik yang mempunyai kekhasan pemaknaan masing-masing terhadap spiritualitas Katolik. Pada umumnya mereka mempunyai aturan masing-masing yang dijadikan landasan konstitusi dari setiap konggregasi dan sesuai dengan Hukum Gereja Katolik. Di dalam Gereja Katolik yang berusia sekitar 20 abad ini dengan struktur dan hirarki yang jelas serta peran kaum laki-laki yang dominan, buku “Her-Story,” ini bisa memberikan suatu alternatif terhadap gambar yang dominan dan seringkali tanpa disadari, dipersepsikan sebagai “satu-satunya” kenyataan yang ada.
Gereja Katolik adalah Gereja yang Universal baik bagi kaum perempuan maupun kaum laki-laki. Buku “Her-Story,” ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemahaman dan penghargaan kita bersama akan keberagaman pemaknaan terhadap Spiritualitas Katolik khususnya yang berbasiskan gender. Keperempuanan mereka yang dikisahkan di dalam buku ini turut mempengaruhi bagaimana mereka memaknai spritualitas Katolik baik disadari maupun tidak disadari oleh mereka sendiri. (DR Eri Seda, Sosiolog UI)
CARPE DIEM 1 - Reguk Hari Bersama Bunda Maria (Kanisius 2009)
Sed fugit interea,
fugit inreparabile tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan lekas berlalu
(Kutipan dari karya Vergilius, Georgicon III:284).
Suatu ketika, Dalai Lama ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.” Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan masa depannya, sampai tidak sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan? Wajarlah, orang Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari! Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.
Disinilah, baik kita mengingat slogan orang Romawi, “Carpe Diem”, yang dalam bahasa Inggris kerap diartikan, “Seize the Day”, secara lugas berarti, “Reguklah Hari Ini”. Kalimat lengkapnya adalah, “Carpe diem, quam minimum credula postero”, yang berarti, "reguklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok."
Kutipan filosofi dari karya Horatius Carminum ini dimaksudkan agar setiap orang belajar memaknai hidup dengan arif, duc in altum - bertolak lebih dalam, untuk “hidup lebih hidup” dari hari ke hari. Dalam kacamata iman yang lebih positif, seperti nats pemazmur yang mendaraskan, “Tuhan ajarilah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana.” (Mazmur 90:12)
Dalam edisi tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, ditampil-kenangkan secara terpisah “365 kata-kata wasiat Orang Kudus setiap hari”, “365 kata-kata Bunda Maria dan nubuat santo/a dan Gereja tentang Bunda Maria”, “365 Otak Atik Gathuk”, seperti: Bambang: Bersama Allah Makin Berkembang, Sinaga: Siap Naik ke Surga, Astuti: Asal Tuhan ada di hati, Johan: Jodohnya Tuhan, Wagiman: Wajah Giat Beriman, dsbnya. Dan terakhir, adalah “365 kata-kata seputar Requiem (kematian), dari para santo/a, satrawan, budayawan dan ilmuwan.
Harapannya, semoga tetralogi “Carpe Diem OBOR” ini, seperti namanya, “OBOR”, bisa juga menjadi obor, semacam lentera atau pelita yang menyala, terus menerangi serpihan lika-liku hidup dan carut-marut perguatan iman kita.
HERSTORY (Kanisius, 2012)
“Her-Story,” adalah serangkaian kisah pemaknaan kaum perempuan terhadap spiritualitas Katolik yang mencakup sebagian besar dari untaian kisah yang digambarkan dengan menarik oleh Rm Jost Kokoh. Mungkin pengecualian adalah kisah Kartini yang merepresentasikan kisah perempuan priyayi Jawa pada awal abad lalu. Meskipun Gereja Katolik secara resmi mengakui peran penting kaum perempuan tetapi kerap timbul berbagai pertanyaan yang berkaitan dengan peran kaum perempuan secara nyata di dalam Gereja Katolik. Sebagai contoh misalnya, kisah mengenai “Paus” Yohana, Maria Magdalena, dan Dorothy Day yang untuk sebagian kalangan masih terus diperdebatkan hingga kini. Sungguh patut dihargai bahwa Romo Jost Kokoh, Pr, seorang imam dari Keuskupan Agung Jakarta, memasukkan ketiga kisah tersebut di dalam “Her-Story,”. Buku “Her-Story,” karya Rm Kokoh,Pr ini dapat membantu kita bersama untuk menyadari bahwa ada beragam kisah yang turut membentuk Gereja Katolik. (DR. Francisia SSE Seda, Sosiolog UI)
Perjuangan perempuan kerap terlupakan, padahal yang dilakukan perempuan adalah perjuangan paling hakiki. Dimulai dari rahim dan payudara sebagai pemberi hidup sampai jiwa dan tenaga. Hingga perjuangan keadilan untuk masa depan dunia. Sejarah perjuangan perempuan dalam HERSTORY karya Rm Jost Kokoh ini adalah cerita kehidupan dan sejarah kemanusiaan. (Rosiana Silalahi, jurnalis media)
PASAR (Kanisius, 2010)
DR. Paul Budi Kleden, SVD, Dosen Filsafat STFT Ledalero: Buku "PASAR" ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa filosofis mengenai pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan lain-lain. Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa Rm Jost yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami.
Charles Beraf dan Bona Beding, Kolumnis lepas:
Seperti keranjang pemulung, buku padat memikat ini pastinya terisi banyak hal yang kerap terlewatkan dari perhatian dan tenggelam dalam mobilitas dan anonimitas massal. Ternyata dari semua itu, identitas seorang, pun identitas sosial kultural bisa dijejak-maknai. Penulis buku ini sangat piawai mengisi dan mengemas “keranjang pemulungnya”. Proficiat!
3 Bulan, 5 Bintang, 7 Matahari (Kanisius, 2011)
Saya suka Romo yang tampan karena setampan apapun tak akan menjadi saingan. Saya suka Romo yang lucu karena seolah mengajak berbahagia. Tapi saya paling suka Romo yang menuliskan kesaksian dan iman dalam keseharian, karena dengan demikian menjadi bagian dari awam. Saya suka buku ini!!! (Arswendo Atmowiloto, Budayawan).
Inilah cara seorang Pastor di Jakarta yang hendak memberikan hiburan untuk domba-dombanya. Dengan senyum dan tawa, dengan lagak yang ceria, dengan kegenitan yang diharapkan umat Jakarta yang sedang membutuhkan ‘Roti Boy, Ayam KFC, 7-Eleven’ – bukan makanan macam sphagetti, pizza, pasta – ia menawarkan ‘jualan’ rohaninya. Popularnya Romo Jost ini terletak ketika ia membawa ide-ide altar ke pasar; atau bisa juga sebaliknya, membawa guyonan di pinggiran terminal ke tengah-tengah mimbar. Untuk itulah tulisannya nampak cool. Tulisannya menjadi sahabat dan teman canda, ketika siang hari nampak gelap berawan, malam terasa sumpek, hati galau. (Greg Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP)
T A N D A - K aTA, ANgka dan naDA (Kanisius 2009)
Buku ini sendiri terdiri dari tiga matra pokok (30 Angka, 30 Kata dan 30 Nada). Dalam bagian 30 Angka ditampilkan 30 angka dan pemaknaannya, misalnya: 7 arus dosa, 7 jurus cinta, 7 dukacita, 7 sukacita, 3 peran setan, 3 jenis godaan, 3 karakter Yohanes, Zakheus, Nikodemus, Bunda Maria dll. Dalam bagian 30 Kata, ditampilkan puluhan kata penuh makna, misalnya: Sahabat-Satu dalam suka, Hadir dalam duka dan berjaBAT dalam doa, juga pelbagai kata-kata lain yang coba dimaknai. Dalam bagian 30 Nada, ada 30 lagu yang diangkat dan dimaknai, dari lagu Mutiara yang Hilang, Anak Gembala, sampai lagu Panis Angelicus. Dkl: Romo Jost Kokoh – lewat buku ini – mengajak kita untuk memberi pemaknaan lebih pada setiap angka, kata dan nada dalam keseharian hidup.
M A P (Lamalera Press, 2007)
PROLOG
Menolak Identifikasi, Mencari ”Zwischenraum”
Dr. Paul Budi Kleden, SVD
Tidak semua orang setuju begitu saja apabila dikatakan bahwa altar dan pasar boleh disejajarkan, apalagi disamakan. Alasannya, keduanya merupakan dua bidang kehidupan yang berbeda dan memiliki kaidah yang berlainan malah bertentangan. Namun ada pula yang berpendapat sebaliknya. Menurut mereka, altar mesti masuk ke dunia pasar, dan pasar harus diperluas ke wilayah kudus. Iman tak cukup lagi dibatasi dalam lingkup terbatas, dia harus dipasarkan seturut hukum pasar. Maka pertimbangan pasar mesti juga tercermin dalam perilaku di sekitar altar.
Pandangan pertama di atas secara sadar atau tidak masih berorientasi pada pandangan tua yang pernah dianut secara resmi dalam Gereja Katolik: Extra ecclesiam nulla salus, di luar Gereja tak ada keselamatan. Gereja, termasuk semua ajaran, struktur dan segala perangkatnya, adalah sarana yang mutlak demi keselamatan; Konsep yang semula masih memiliki makna spiritual, perlahan menjadi materialistis. Ecclesia bukan lagi soal iman, melainkan masalah ritus dan segala perlengkapannya. Mimbar dan altar menjadi ruang yang berdaya magis. Magi adalah satu bentuk otomatisme dalam beriman; Bersentuhan dengan mimbar dan altar sudah menjamin kesemalatan, tak terlampau penting apa yang dilakukan sebelum dan sesudahnya. Akibatnya, ke gereja menjadi ritual yang terpisah dari kehidupan sehari-hari. Para koruptor dan pemeras buruh merasa tidak bermasalah dengan imannya, asalkan masih sempat memaksa diri ke gereja pada hari Minggu kendati harus mengumpat mendengarkan kotbah yang tak menyentuh.
Dekat dengan para fungsionaris menambah jaminan keselamatan. Semakin orang kenal dan dikenal romonya, semakin ada kepastian di dalam hati bahwa dirinya termasuk dalam kalangan pilihan yang sudah mengantongi tiket masuk surga. Pandangan ini mempunyai pengaruh khusus pada sebagian fungsionaris agama yang kerjanya seputar mimbar dan altar. Mereka memanfaatkan secara cerdik kebutuhan umat akan kedekatan dengan mereka. Praktik simonis atau memperdagangkan keselamatan, baik sadar maupun tidak sadar, lalu menjadi biasa. Pelayanan sakramen untuk orang-orang berkuasa dan anggota umat yang kaya dari dunia pasar lebih mendapat prioritas ketimbang perhatian dan kepedulian bagi yang miskin dan tak punya pengaruh. Kendati para romo itu sudah belajar tentang pandangan Gereja baru yang telah mengoreksi konsep extra ecclesiam nulla salus, namun tidak sedikit dari mereka masih senang menghayati pandangan ini dalam praktiknya. ”Di luar gereja tidak ada keselamatan, maka berbahagialah mereka yang dapat membeli hati para romo”. Semakin eksklusif kelompok yang dikategorikan seabagai orang-orang yang diselamatkan, maka semakin tinggi pula tuntutan untuk menjadi anggotanya. Maka tidak mustahil, semakin konservatif paham teologis yang diwakili satu komunitas iman, artinya semakin ketat rumusan tuntutan keselamatan, semakin kaya pula komunitas iman tersebut.
Pandangan kedua hendak membawa dunia pasar ke dalam gereja, ke dekat mimbar, bahkan ke atas altar. Hukum pasar yang direduksi ke dalam kaidah penawaran dan permintaan menjadi dogma yang tak bisa dibantah. Dogmanya adalah, di luar pasar tidak ada keselamatan. Penyelamat kita adalah pasar, maka kita perlu tahu hukumnya. Segala yang ada memiliki nilai tawar dan hanya diterima sejauh ada permintaan; Yang tak punya sesuatu untuk ditawarkan, atau yang kalah bersaing dalam konkurensi pasar yang semakin ketat malah kejam, tak akan mendapat keselamatan.
Iman pun adalah sesuatu yang harus dipasarkan menurut kaidah pasar. Karena itu perlu diketahui apa yang menjadi kebutuhan umat dan bagaimana mereka menghendaki kebutuhannya itu dipenuhi. Karya pewartaan tak beda dengan menjual iman. Karunia Roh sama dengan anugerah marketing, yang memberi inspirasi seputar kapan harus menyelenggarakan apa dan bagaimana. Maka para romo tidak hanya perlu mengenal sensus fidelium atau cita rasa iman umat, tetapi juga sense of markets; Para romo tak cuma perlu belajar Kitab Suci, tetapi mesti paham prinsip-prinsip marketing. Efisiensi menjadi kata kunci. Akibatnya, ada romo paroki yang mencantumkan jam kantornya. Tarif pelayanannya tergantung entah terjadi pada jam sibuk dan jam longgar. Kalau dalam teologi rahmat para calon romo belajar aksiom gratia gratis data, maka ketika menjadi romo prinsipnya lalu berbunyi, Tak ada yang gratis di dunia ini, Beri dulu baru dapat, Di dunia ini tak ada yang gratis.
Sebenarnya, kedua pandangan di atas pada akhirnya bermuara pada kenyataan yang sama, yakni komersialisasi apa yang dinilai sakral. Mimbar dan altar dipahami dalam kerangka berpikir pasar. Akibatnya, yang di luar pasar tak punya akses menuju keselamatan. Kalau dulu yang berada di luar keselamatan adalah umat beragama lain, maka kini orang-orang miskin berada dalam bahaya tak tersentuh suara mimbar dan tak kebagian roti yang dibagi secara gratis di atas altar.
Romo Jost Kokoh Prihatanto dalam buku ini (buku ini terdiri dari dua buku terpisah, yang sekarang diterbitkan Kanisius, yakni edisi “Mimbar Altar” dan edisi “Pasar”) menolak identifikasi mimbar, altar dan pasar; Iman tidak sama dengan pasar dan pasar tidak identik dengan iman. Iman dan pasar harus dibedakan, sebab itu mimbar bukanlah tempat reklame produk tertentu dan altar tidaklah meja penjualan saham untuk masuk surga. Itu tak berarti pasar harus ditolak secara keseluruhan, atau didemonisasi secara total. Pasar membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mendorong pemanfaatan potensi manusia serta alam. Dengan ini pasar sebenarnya menolong penghayatan keimanan secara lengkap, karena iman mesti juga dialami sebagai pendorong untuk upaya menyejahterakan masyarakat, sebagai inspirasi untuk memperjuangkan pengembangan diri manusia dan sebagai motor untuk mengusahakan pelestarian alam. Benar kalau dikatakan, apabila hendak mencapai perdamaian, maka usahakan kemajuan ekonomi. Salah satu motor kemajuan ekonomi adalah pasar. Jika perdamaian merupakan salah satu nilai yang hendak diperjuangkan agama-agama, maka orang-orang beragama dan beriman pun mesti terlibat dalam pasar.
Walaupun pasar memiliki nilai positif, akan menjadi persoalan apabila pasar mendominasi seluruh bidang kehidupan. Segala macam hukum yang lain akan gugur, ketika hukum pasar berlaku secara mutlak dan total. Politik menjadi masalah negosiasi dagang sapi, peradilan tak lebih dari kartu truf di tangan aparat untuk melelang perkara, relasi antarmanusia dipertahankan sejauh masih dianggap menguntungkan. Dan itu tadi, agama kehilangan cirinya sebagai penyerahan diri total manusia kepada Allah yang telah memberikan diri-Nya secara cuma-cuma.
Persoalan yang kita hadapi di dunia dewasa ini, dan bahaya yang mengancam kehidupan bergereja sekarang ini hemat saya adalah dominasi hukum pasar sebagaimana disampaikan di atas. Di tengah situasi seperti ini, yang diperlukan adalah mencari apa yang oleh Habermas disebut sebagai ”Zwischenraum”. Habermas membicarakan ruang antara ini ketika dia menunjukkan bahaya yang ada dalam dunia modern, yakni kolonialisasi bidang-bidang kehidupan oleh sistem berpikir tertentu. Sistem selalu bersifat total, memiliki satu pusat dan melihat segala yang lain sebagai sub-sistem. Namun kenyataan menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia dan masyarakat memiliki dunia kehidupan dalam bentuk plural (Lebenswelten). Karena itu, rasio pun mestinya diakui sebagai kapasitas berpikir yang ada dalam bentuk plural. Ada ruang antara, Zwischenraum, yang tak boleh dilanggar agar rasio tidak menjadi totaliter. Totalitarianisme adalah bahaya bagi manusia dan masyarakat. Di bawah rezim yang totaliter dan pola pikir yang dominatif, tidak ada penghargaan bagi otonomi individu, kedaulatan masyarakat dan batas kemampuan alam. Totalitarianisme adalah ketidakadilan, dan damai yang diciptakannya hanyalah ketenangan yang semu; Kalau demikian, totalitarianisme adalah pengkhianatan terhadap iman.
Memperjuangkan Zwischenraum merupakan satu tugas penting bagi agama-agama. Johann Baptist Metz, pencetus konsep teologi politik baru (untuk membedakannya dari konsep teologi politik lama dari Carl Schmidt yang justru mendukung totalitarianisme), sering terlibat dalam diskusi yang menyegarkan dengan Habermas. Dia memberikan sebuah definisi tentang agama yang sangat khas. Menurut dia, definisi tersingkat dari agama adalah interupsi (Unterbrechung). Ya, pada dasarnya agama berangkat dari interupsi Allah ke tengah dunia yang sedang disalahurus oleh manusia. Agama hadir sebagai satu bentuk interupsi di tengah dunia yang terpusat hanya pada dirinya; Yang dapat dilakukan agama-agama dalam dunia ini hanyalah membuat interupsi, karena derasanya arus berpikir, bertindak dan menilai lainnya. Namun interupsi ini harus terus-menerus dilakukan. Agama-agama mengkhianati panggilannya, apabila mereka berhenti membuat intervensi.
Bukan mustahil, kepekaan terhadap dunia publik dan dunia pasar, dapat membukakan mata para fungsionaris agama terhadap orientasi dasar yang tengah mengalir dalam nadi-nadi hidup dan karya mereka. Persaingan pasar yang meminggirkan banyak orang miskin, cacat dan tua ke tepian perhatian masyarakat, mestinya menggugat para agawaman/ti perihal kontribusi teologis dan sikap pastoral mereka sendiri terhadap kondisi ini; Gereja, teologi, pendidikan calon romo dan praktik hidup para romo memang mesti semakin sering diinterupsi.
Metz sadar bahwa dalam perjalannya agama-agama sudah sering mengingkari hakikat dirinya. Metz berbicara mengenai bürgerliche Religion, agama masyarakat kelas menengah yang sudah menjadi mapan; Agama seperti ini sudah tidak bisa dibedakan dari lembaga lain, karena dia hidup menurut logika kekuasaan dan pasar. Suara para korban tidak lagi mendapat tempat di dalam agama kemegahan ini, dan tidak ada keberanian untuk menyuarakannya, karena kecemasannya akan kehilangan banyak privilese. Agama-agama tidak lagi menjadi duri yang menusuk dan membuat tidur tidak aman, tetapi sebaliknya merupakan obat tidur yang sangat mujarab.
Karena berbicara dalam konteks agama kristen, baiklah kita melihat beberapa contoh interupsi tersebut. Paham tentang Allah yang tritunggal dilihat sebagai satu interupsi ke tengah dunia yang cendrung monolitik dan pandangan dalam agama yang sangat hirarkis seturut garis; satu Allah, satu raja, satu agama/Gereja. Paham monolitik dipandang dibenarkan oleh konsep yang monotheistis. Inkarnasi, peristiwa Allah menjadi manusia, merupakan satu bentuk interupsi terhadap kecendrungan manusia untuk menjadi Allah, untuk disembah seperti Allah, untuk berkuasa mutlak atas hidup dan mati orang lain. Warta Yesus tentang Kerajaan Allah menginterupsi kondisi yang diciptakan manusia, yang menempatkan dirinya sebagai raja yang sewenang-wenang atas manusia dan ciptaan. Ekaristi sebagai pusat dan sumber hidup orang Kristen adalah perjamuan bersama pada meja yang satu. Dalam pengertian seperti ini, ekaristi pada intinya merupakan satu interupsi di tengah tendensi manusia yang mau makan sendiri dari dan pada satu meja, yang melakukan korupsi di bawah meja, atau yang malahan tak segan-segan membawa pergi mejanya sekalian.
Agama-agama perlu melakukan interupsi, baik terhadap dunia politik dan pasar, maupun terhadap diri mereka sendiri. Dalam intensi seperti ini saya hendak memahami dan mengapresiasi refleksi-refleksi Romo Jost Kokoh yang masih muda ini. Melalui refleksi-refleksi yang tajam dan segar, oleh penuturan pengalaman dan biografinya serta dengan puisi-prosanya yang dalam dan kaya makna, Romo Jost Kokoh bertanya nakal mengenai sejumlah pandangan dogmatis, masuk ke dalam kehidupan Gereja, membuat sentilan terhadap kehidupan umat dan mempersoalkan secara jenaka tampang kesalehan yang dipamerkan para calon romo. Pengetahuannya tentang filsafat dan teologi diramu secara menarik dengan opsi dasar yang jelas menuju satu pemahaman dan penghayatan hidup beragama yang tidak meninggalkan manusia di pinggir jalan.
Jika dalam buku “Mimbar dan Altar”, yang pada dasarnya merupakan satu kesatuan, dan termasuk dalam dunia agama. Dimana, ditempatkan artikel-artikel dan ulasan-ulasan yang berkisar pada masalah biografi iman dan historiografi panggilan romo Jost Kokoh serta refleksinya mengenai tema-tema Gereja. Renungan tentang Natal yang menyentil kesadaran mengenai kesederhanaan, refleksi mengenai kematian, ekaristi dan kawin campur diramu dalam gaya yang segar dan menarik. Terkesan, Romo Jost Kokoh sanggup mengemas apa yang menjadi inti iman kristiani dalam gaya yang tidak hanya gampang, tetapi juga suka dimengerti. Boleh jadi ini adalah buah dari interupsi dunia pasar terhadap uraian teologis yang terlampau klise dan tak jarang membosankan.
Nah, pada buku “Pasar” ini, tulisan-tulisan yang dikumpulkan mempunyai daya tarik tersendiri. Kita tidak menemukan di sini satu pleidoi mengenai pentingnya hukum penawaran dan permintaan. Bagian ini bukanlah sebuah cetak biru dari sebuah credo kepada dunia pasar dan neoliberalisme. Sebaliknya, di sini pembaca akan berhadapan dengan tulisan-tulisan yang mendalam bernuansa filosofis mengenai pertanyaan-pertanyaan dasar kehidupan seperti tentang Allah dan relevansi-Nya, kematian, psikologi dan religi, agama dan teori kritik dan lain-lain. Itu berarti, pasar yang digelar di sini bukanlah pasar yang murah meriah. Dia lebih merupakan pasar ide yang serius. Namun sekali lagi, sentuhan gaya bahasa yang segar membuat pasar ide ini menarik untuk dibaca dan mudah untuk dipahami. Dengan isi yang mendalam dan gaya yang menarik seperti ini, Romo Jost Kokoh sebenarnya tengah melakukan interupsi ke dalam dunia pasar yang hanya mengagungkan hal-hal yang murah meriah sambil menjual manusia dan menguras alam.
Dengan refleksi dan kisah pengalaman ini, Romo Jost Kokoh sudah menunjukkan perannya sebagai seorang pencerita dan pemikir yang membuat interupsi, baik ke dalam Gereja sendiri, artinya ke tengah kalangan para romo dan umat serta calon romo, tetapi juga ke dalam pasar ide yang bersifat publik, ke tengah dunia para pemikir sosial dan politik, kepada para ahli ekonomi dan pencinta budaya. Hemat saya, peran seperti inilah yang perlu terus dimainkan sebagai seorang romo. Romo Jost Kokoh mengutip pernyataan romo Kardinal di Jakarta, yang mengatakan bahwa salah satu tugas seorang imam adalah menjadi jembatan. Tentu saja yang dimaksudkan adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antar manusia yang membentuk jemaat. Dari peran ini lahir peran kedua yang, hemat saya, tidak kalah penting, yakni membuat interupsi. Seorang romo perlu melakukan interupsi ke dalam kehidupan yang hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak punya sesuatu.
Sebagaimana diakui penulis dalam bagian pertama buku ini, karya ini sebenarnya memiliki satu keberpihakan. ”Seperti kegiatan yang dilakukan oleh penyair Wiji Thukul dari Yogyakarta yang coba memperkenalkan seni puisi tentang, untuk dan kepada pelbagai kelompok menengah bawah seperti kalangan tukang becak, atau para pekerja bangunan dari kelompok dan kelas sosial yang sama” (mimbar, hlm 2). Hemat saya, sesungguhnya seorang romo perlu memiliki keberpihakan, karena sang Guru dari Nazaret yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang lemah, kecil dan terpinggirkan. Itu tak berarti seorang romo lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini. Keberpihakan menjadi kata kunci dalam refleksi teologis dan reksa pastoral gereja-gereja di belahan selatan dunia. John Sobrino, seorang teolog pembebasan merumuskan perbedaan pertanyaan mengenai Allah di kedua belahan bumi ini sebagai berikut: Di utara, maksudnya di Eropa dan Amerika Serikat/Utara, orang bertanya tentang apakah Allah ada; Itu berarti pertanyaan mengenai eksistensi-Nya; Di Selatan, orang bertanya tentang di mana Allah; Ini adalah pertanyaan tentang keberpihakan.
Sambil mengucapkan proficiat dan syukur atas karunia imamat dan terima kasih atas kesediaan Romo Jost Kokoh untuk menerima rahmat ini, saya membungkus kado dalam bentuk harapan dan untaian doa, agar Romo Jost Kokoh tetap menghayati imamat sebagai satu perwujudan keberpihakan Allah. Menjadi imam dewasa ini sudah merupakan satu bentuk interupsi, kiranya Romo Jost Kokoh menghidupi imamatnya sebagai interupsi. (Dr. Paul Budi Kleden, SVD, dosen filsafat STFT Ledalero)
EPILOG
Khotbah di Bukit
Tapi di masa ini bukit sudah ada. Teknologi, terutama, telah meratakannya. Di masa ini, suara suara disiarkan melalui corong-corong dan titik-titik lubang pada kotak ajaib multi media – dari yang paling primitive (seperti TOA di menara), maupun yang tercanggih (misalnya streaming siaran langsung pada telepon seluler). Televisi adalah yang paling jamak.
Lihatlah! Lihatlah ini manusia – yesus menatap bukitnya yang telah rata dan menjadi tahu bahwa suara tak lagi harus disampaikan dari ketinggian ideal, pun tak bisa disampaikan dalam keheningan obtektif.
Sebab, bahkan di puncak Gunung Lawu pun orang bisa membuat interupsi berkat alat komunikasi. Alat komunikasi itu, yang tetap bisa bordering dalam misa dan bioskop –menghubungkan orang dengan tempat lain dengan cara memutus hubungan orang tersebut dengan lokasi beradanya hic et nunc, disini dan sekarang. Tak ada lagi keheningan obyektif.
Maka mafhumlah yesus bahwa bukit telah menjadi sekedar metafora bagi mimbar ideal: mimbar dimana ia bisa mewartakan keselamatan, juga kutukan, kepada orang-orang yang mendongak kepada dia. Yang saling bertatap wajah dengan dia. Dalam sebuah ketenangan. Ia tak perlu berteriak kepada mereka. Sebab mereka yang datang di lingkaran terdekat memang hadir untuk mendengarkan dia. Ah, bukit benarlah area kotbah yang jinak.
Tapi bukit itu telah diratakan sekarang. Bahkan orang-orang yang ke gereja tidak datang untuk mendengar apa yang dikotbahkan dari mimbar. Mereka pertama-tama datang untuk hal-hal lain selain mendengarkan kotbah. Kalaupun ada yang ke gereja demi mendengarkan kotbah, jangan-jangan adalah mereka yang bercita-cita menjadi pengkotbah juga.
Yesus pun meninggalkan bukitnya yang telah datar dan tibalah ia di pasar. Ini dia, pasar yang terbentuk di sekitar Bait Allah. Mudah sekali dibayangkan. Kira-kira seperti tenda biru yang terbentuk di sekitar mesjid Atta’awun di puncak, tenda-tenda yang merusak hijau hening kebun the. Atau bedeng-bedeng yang mengerumuni Borobudur. Atau kios pedagang yang dulu mangkal di Monas atau Senayan, atau yang kini masih meyesaki lahan menuju Kebun Raya Bogor atau Cibodas, tumpah ke jalan bersama sampah-sampahnya. Disana burung-burung diperdagangkan dengan rebut. Burung itu bakal persembahan. Juga kambing, domba dan bandot. Bakal kurban. Mata uang dipertukarkan dengan pelbagai muslihat. Orang-orang yang takut akan Allah dibujuk justru karena ketakutannya akan Allah. “Belilah burungku, burung surgawi.” Pojok lain berteriak, “semakin berat kambing yang anda korbankan, semakin ringan dosa yang anda tanggung.” Di sudut lain, “kambing kami bisa dikredit, bunga ringan.”
Kita tahu, di pasar yang demikian, Yesus meradang. Ia menjungkir meja-meja dan menghambur-hamburkan uang: dinar, dirham, talenta – secara harafiah. Satu-satunya gambaran secara eklsplisit tentang pasar dalam Injil adalah pasar ini. Pasar burung dan kambing, money changer yang memanfaatkan sebuah pusat keberimanan. Para seniman senang melukiskan Yesus dengan mata melotot dan rambut berdiri berkibar-kibar. Tangannnya menunjuk berang!
Tapi di jaman ini, pasar telah lebih cerdik daripada ular, dan suka berlagak tulus seperti merpati. Pasar yang barbar tentu tetap ada. Menjual burung dan hewan terlarang lainnya. Tapi pasar juga masuk ke ruang, atau kotak kaca, dimana bujuk membujuk terjadi, transaksi terjadi, tapi pertemuan yang sesungguhnya tidak terjadi lagi. Dulu, pertemuan terjadi di pasar tradisional, juga di bukit perkotbahan. Sekarang, ia tidak terjadi di televisi. Yang terjadi di televisi, kini dan di sini adalah komersialisasi.
Yesus mengintip lewat kaca depan sebuah rumah dan melihat sebuah kotak pipih menyala dengan gambar. Di depannya satu keluarga asyik menonton. Di dalam layar kacanya yang pipih seseorang berkotbah. Setelah itu iklan, obat sakit maag, obat batuk, detergen pemutih baju, bumbu penyedap dll. Disanalah mimbar dan pasar kini menyatu. Bait Allah dan kios kambing, burung dan mata uang dalam bentuk rapi dan lebih berbinar. Tidak ada bau tahi hewan atau keringat manusia dan orang tak perlu berangkat kesana. Sebab pasar yang satu ini datang ke ruang keluarga tanpa mengetuk pintu atau memijit bel. Ia bahkan juga bisa melawat dalam kendaraan pribadi, yang dilengkapi tv set (yang sekali lagi, yang memutuskan orang dari hubungan disini dan sekarang).
Di mimbar begini, orang harus berteriak-teriak. Tak seperti di bukit, melainkan seperti di pasar. Dan yesus pun menulis. Barangkali itulah pentingnya Romo Jost Kokoh, si “yesus kecil” (yesus dengan huruf kecil) menulis. Sebab, bukit telah rata dan kotbah telah jadi banal. Di gereja, ia menjadi rutin. Lagipula seremonial; tak bisa dibantah meskipun imam dan umat bertatap-tatapan. Di televisi, kadang ia hanya terdengar jika sudi merendahkan standar selera.
Kembalilah pada membaca dan menulis. Sebab di jaman ini tak ada lagi keheningan obyektif. Maka kita harus meruapkannya di dalam ruang-ruang itu sendiri, ruang hati, ruang jeda diantara hiruk pikuk. Menulis dan membaca menyediakan ruang jeda itu. Ruang retret dan meditasi yang rendah hati. Lagipula, bukankah banyak wisma dan tempat retret kita yang tak lagi bisa mempertahankan keheningan karena banyaknya “suara-suara kehidupan” motor dan “toa”?) Membaca dan menulis bukan hanya ruang jeda yang rendah hati, tapi juga yang cerdik dan niscaya.
Dan sesungguhnya, buku-buku ini adalah altar, yaitu tempat seorang pastor muda, Jost Kokoh Prihatanto, mempersembahkan dirinya, dengan cerdik seperti ular dan tetap tulus seperti merpati. Tulisan-tulisan dalam buku ini memang tidak disiapkan untuk menjadi satu kesatuan yang mengalir, melainkan lebih merupakan sebundel catatan dan pemikiran, terpisah juga terulang, sederhana juga kaya makna. Tapi, bukankah kita juga terbiasa dengan Alkitab yang juga merupakan satu bundel narasi, surat, puisi, prosa yang terpisah dan juga terulang di banyak bagian, (seperti di Injil Sinoptik, Matius Markus Lukas misalnya)? Buku ini member kesempatan pada pembacanya untuk masuk dari banyak pintu dan mencoba menyusuri pertanggungjawaban sekaligus refleksi mini seorang pastor muda di sebuah Negara, dimana Gereja Katolik yang minoritas, senantiasa berusaha merumuskan peran dan keberadaannya dalam masyarakat yang beragam dan berbeda, yang mengandung unsur tradisional maupun modern, sekaligus. Gereja ingin menyatakan keunikan imannya, sekaligus terbuka pada pelbagai kebenaran nilai di luar dirinya, dan prakteknya , ini bukan pekerjaan mudah. Disinilah anggota Gereja tak boleh dan tak bisa menutup diri dari khazanah di luar Gereja. Sebab, Gereja senantiasa dalam dialog dengan yang lain- dengan nilai-nilai yang berbeda kadar, dan dengan orang yang berbeda iman. (Ayu Utami, novelis)
“Via, Veritas Vita” (Gn Sopai
Press, 2012)
Hampir lima tahun saya melewati ruwet renteng hidup sebagai seorang imam muda
di sebuah kota besar bernama Jakarta. Serpihan dan penggalan pengalaman hidup
jasmani dan rohani serta pemaknaan hidup karya dan warta, membuat saya lebih
mengenal banyak carut marut kehidupan: pelbagai gulat karakter orang, geliat
diri sendiri dan lebih mengenal khalwat Allah sendiri.
Pengalaman-pemahaman kegiatan hidup seperti, “dokar”: doa dan karya, “tudi”:
tugas mengabdi dan studi, dan “bisul”: bina relasi dan juga merasul. “Dokar”,
“tudi” dan “bisul” ini saya cecap-kecap dari tengah sampai ujung keramaian,
dari pusat sampai pinggir perkotaan, dari kelas seniman, wartawan, hartawan
sampai sekedar umat beriman kebanyakan. Dari yang tua-renta sampai yang baru
lahir penuh gelak canda, yang kaya sampai yang tidak bisa sekolah karena kurang
biaya, dari yang konglomerat sampai yang melarat. Dari yang wanginya semerbak
sampai yang baunya seperti bisa ditebak, karena tidak punya banyak bak. Juga
pastinya, dari perjumpaan dengan banyak rekan sediosesan dan aneka tarekat
penuh berkat, yang diaku dan diampu sebagai “hiraki gereja” sekaligus “kuasa
mengajar yang sah”, dengan pelbagai atribut dan kebersahajaannya masing-masing.
Yah, disinilah, saya mengenal ruang dan waktu, ruang dan waktu dalam pelbagai seginya: waktu sehat dan waktu sakit; mengenal waktu suram dan waktu cerah; mengenal waktu kerasan dan waktu bosan-bimbang; waktu sukses atau kecewa; waktu rukun atau kisruh. Itulah pebagai serpihan dan cercahan pengala”man diri yang terkenang-riang dan selintas-pintas turut saya bawa masuk khusyuk ke dalam buku “Via, Veritas Vita” ini.
Adapun buku “Via, Veritas Vita” ini sendiri hadir sebagai sebuah pengungkapan syukur pada ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima. Usia tahbisan saya sendiri baru lima tahun. Memang masih muda, tapi bukankah yang muda juga yang kerap bercerita? Bukankah bukan banyak dan lamanya, tapi bagaimana kita mencecap semua itu dalam-dalam? Satu kata dalam tradisi pertapaan para rahib Benediktin saya ingat, “ruminatio”: terus mengunyah-ngunyah dengan perlahan, sampai sungguh terasa halus benar. Selama proses “ruminatio” inilah, pelbagai serpihan kisah yang datang dan pergi, sempalan kasih yang dating mengihami, saduran, kutipan dan terjemahan saya turut lakukan dalam proses penyusunan buku sederhana ini sekaligus sebagai sebuah proses integrasi dan internalisasi antara kegiatan dan hidup doa, antara pewartaan dan relung jiwa.
Akhirnya, sambil menulis-manis dan menyusun-rukun buku sederhana dengan tema yang terarak-serak ini, saya ingin memantapkan rasa syukur terhadap rahmat imamat, atas apa yang sudah saya capai, sekaligus membetulkan apa yang belum beres serta melengkapi apa yang belum dicapai selama ini. Dan satu hal yang saya dapatkan dari lima bab pokok yang tersebar-pencar (diskursus, pastoralia, sinemaloka, sastraloka dan pustakaloka), dimana masing-masing tersusun-rukun dengan lima sub-bab pada setiap bab utamanya (Maksudnya sih, Otak atik gathuk, sesuai dengan jumlah tahun yang saya syukuri dalam imamat) plus dua bab tambahan (varia dan galeri), saya semakin meyakini sebuah premis iman yang secara kebetulan saya dapatkan juga di atas pusara nisan makam almarhum bapak saya, bahwa di balik semua isi buku yang sarat kata ini, Yesus adalah sang “Jalan (Via), Kebenaran (Veritas) dan Hidup (Vita)”: Ketika tak jelas jalan mana yang saya harus ditempuh. Ketika tak cerdas kebenaran mana yang harus saya pilih dan ketika tak lugas hidup seperti apa yang harus saya maknai, saya diajak kembali ke dasar iman yang bernas, ke pokok anggur yang benar, “back to basic”. Saya sebagai “imam kecil” diajak kembali kepada “Imam” dengan huruf besar, yakni Yesus sendiri. Dalam carut-marut perjuangan sebagai yesus-yesus kecil, saya merasa indah dan menggugah ketika bisa kembali kepada Yesus besar setiap hati dahaga dan haus akan arti sebuah “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”.
Satu hal yang pasti, Ignatius Loyola dalam LR. 189b menyebutkan: “Dalam segala-galanya dan di mana-mana jangan sampai menginginkan atau mencari sesuatu apapun kecuali bertambah besarnya pujian dan kemuliaan Allah. Tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri”. Sepakat dengan itu, semoga dengan hadir-munculnya buku sederhana ini di pertengahan tahun ini, nama Tuhan sang Via Veritas Vita semakin dimuliakan dan keselamatan jiwa semakin diteguhkan.
Yah, disinilah, saya mengenal ruang dan waktu, ruang dan waktu dalam pelbagai seginya: waktu sehat dan waktu sakit; mengenal waktu suram dan waktu cerah; mengenal waktu kerasan dan waktu bosan-bimbang; waktu sukses atau kecewa; waktu rukun atau kisruh. Itulah pebagai serpihan dan cercahan pengala”man diri yang terkenang-riang dan selintas-pintas turut saya bawa masuk khusyuk ke dalam buku “Via, Veritas Vita” ini.
Adapun buku “Via, Veritas Vita” ini sendiri hadir sebagai sebuah pengungkapan syukur pada ulang tahun tahbisan imamat saya yang kelima. Usia tahbisan saya sendiri baru lima tahun. Memang masih muda, tapi bukankah yang muda juga yang kerap bercerita? Bukankah bukan banyak dan lamanya, tapi bagaimana kita mencecap semua itu dalam-dalam? Satu kata dalam tradisi pertapaan para rahib Benediktin saya ingat, “ruminatio”: terus mengunyah-ngunyah dengan perlahan, sampai sungguh terasa halus benar. Selama proses “ruminatio” inilah, pelbagai serpihan kisah yang datang dan pergi, sempalan kasih yang dating mengihami, saduran, kutipan dan terjemahan saya turut lakukan dalam proses penyusunan buku sederhana ini sekaligus sebagai sebuah proses integrasi dan internalisasi antara kegiatan dan hidup doa, antara pewartaan dan relung jiwa.
Akhirnya, sambil menulis-manis dan menyusun-rukun buku sederhana dengan tema yang terarak-serak ini, saya ingin memantapkan rasa syukur terhadap rahmat imamat, atas apa yang sudah saya capai, sekaligus membetulkan apa yang belum beres serta melengkapi apa yang belum dicapai selama ini. Dan satu hal yang saya dapatkan dari lima bab pokok yang tersebar-pencar (diskursus, pastoralia, sinemaloka, sastraloka dan pustakaloka), dimana masing-masing tersusun-rukun dengan lima sub-bab pada setiap bab utamanya (Maksudnya sih, Otak atik gathuk, sesuai dengan jumlah tahun yang saya syukuri dalam imamat) plus dua bab tambahan (varia dan galeri), saya semakin meyakini sebuah premis iman yang secara kebetulan saya dapatkan juga di atas pusara nisan makam almarhum bapak saya, bahwa di balik semua isi buku yang sarat kata ini, Yesus adalah sang “Jalan (Via), Kebenaran (Veritas) dan Hidup (Vita)”: Ketika tak jelas jalan mana yang saya harus ditempuh. Ketika tak cerdas kebenaran mana yang harus saya pilih dan ketika tak lugas hidup seperti apa yang harus saya maknai, saya diajak kembali ke dasar iman yang bernas, ke pokok anggur yang benar, “back to basic”. Saya sebagai “imam kecil” diajak kembali kepada “Imam” dengan huruf besar, yakni Yesus sendiri. Dalam carut-marut perjuangan sebagai yesus-yesus kecil, saya merasa indah dan menggugah ketika bisa kembali kepada Yesus besar setiap hati dahaga dan haus akan arti sebuah “jalan”, “kebenaran” dan “kehidupan”.
Satu hal yang pasti, Ignatius Loyola dalam LR. 189b menyebutkan: “Dalam segala-galanya dan di mana-mana jangan sampai menginginkan atau mencari sesuatu apapun kecuali bertambah besarnya pujian dan kemuliaan Allah. Tiap-tiap orang harus beranggapan bahwa ia hanya akan maju dalam perkara rohani sejauh ia telah meninggalkan cinta diri, kehendak sendiri dan kepentingan sendiri”. Sepakat dengan itu, semoga dengan hadir-munculnya buku sederhana ini di pertengahan tahun ini, nama Tuhan sang Via Veritas Vita semakin dimuliakan dan keselamatan jiwa semakin diteguhkan.
XXX – FAMILY WAY (Kanisius, 2010)
Kami sebagai Koordinator Nasional Marriage Encounter - Indonesia sangat senang dan menyambut baik hasil karya Rm Jost Kokoh, Pr. Buku ini ditulis dalam gaya bahasa yang “tidak biasa”, namun justru membuat pembaca secara “luar biasa” terbawa oleh cara penuturan yang sederhana, dinamis dan tidak membuat orang menjadi jenuh. Judul dari permenungan setiap bab merupakan jembatan keledai dari hal-hal yang dibahas-tuntas dalam topik tersebut, sehingga memudahkan pembaca untuk mengingatnya. Misalnya: Suami: SUAra yang mengayoMI, Istri: ISilah dengan teladan, TRImalah dengan iman. Mertua: MERasakan TUhan Ada, Menantu: MENANti untuk bersaTU. Pria: Prajurit Idaman Allah, Wanita: WAjah iNdah Ini penuh cinTA.Ada juga singkatan dan pemaknaan untuk Oma-Opa, Papa-Mama-Anak, Paman-Teman, Pernikahan sampai Perselingkuhan dst. (Kornas ME-Indonesia, J. Widajaka Pranata, CM & Pas. Riana-Suarno)
Buku “XXX-Family Way” ini bukan hanya buku teori untuk menjelaskan persoalan keluarga secara akademis dan mendalam; buku ini merupakan kumpulan insight-insight, hasil permenungan dan membaca banyak tempat dan aneka sumber; sumbernya bukan perpustakaan yang rapih dan ketat, tetapi perpustakaan lapangan di pinggir jalan, di toko buku, di seminar, diskusi di sana-sini, dalam kesempatan kotbah (karena penulisnya, Jost Kokoh juga seorang Pastor yang setidaknya harus berkotbah setiap hari Minggu). Oleh karena itu, buku ini menjadi unik sekaligus menarik. (Greg Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP).
"TTM - TRIBUTE TO
MARY"
@ Rm Jost Kokoh
Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
Ya Yesus-ku, walau aku seorang yang malang dalam begitu banyak hal dan begitu
bodoh,
aku telah Engkau pilih sebagai gembala dari kawanan domba-Mu.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan Darah-Mu yang Mahasuci,
sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka
dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku. Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan ke dalam pemeliharaanku.
aku telah Engkau pilih sebagai gembala dari kawanan domba-Mu.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan Darah-Mu yang Mahasuci,
sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka
dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku. Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan ke dalam pemeliharaanku.
"TRILOGI CARPE DIEM"
- Pantun Rohani.
- Pepatah Latin
- Puncta Bestari
@ Rm Jost Kokoh Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
- Pantun Rohani.
- Pepatah Latin
- Puncta Bestari
@ Rm Jost Kokoh Prihatanto
15 Agustus 2007 - 15 Agustus 2013
(Penerbit "Pohon Cahaya", Yogyakarta, 15 Agustus 2013)
Ya Bunda Allah yang tersuci,
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka
sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah. Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati BundaMu terkasih.
Amin.
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka
sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah. Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati BundaMu terkasih.
Amin.
"MPK - Merah darahku, Putih tulangku,
Katolik imanku"
Buku
Twitterature: Tricks and Tracks:
(Pohon
Cahaya Press, Yogyakarta, 2013).
@
Rm Jost Kokoh Prihatanto, Pr.
"FX" - Family Fraternity Faith
Sketsa
Walikota Surakarta.
@ Romo Jost Kokoh
Prihatanto, Pr.
(Pohon Cahaya Press, Yogyakarta, 2013).
”Bagi
saya tidak penting berkantor di manapun. Yang penting bekerja!” Inilah
sepenggal kalimat dari “FX”, Sang Walikota Solo yang kerap berperan
sebagai Gatotkaca dalam kirab budaya itu dan kini menjadi ikon sekaligus idola baru
warga pengunjung Car Free Day (CFD) di kota Solo. Pastinya: Selamat datang di
“Spirit Of Loving Others”, sebuah era blusukan, yakni era horisontal yang
selalu mendengar dan memperhatikan sekaligus mencintai dan membela, karena
ruang dan uang seharusnya memang dibangun dengan “bahasa kemanusiaan, bahasa
kasih dan bahasa kejujuran”. Inilah sebuah era bahasa yang mengurangi instruksi
tapi banyak mendelegasi, yang mengurangi perintah tapi banyak berkomunikasi.
Sebuah era dimana pemimpinnya: Ketika ada masalah – dia ada di paling depan,
ketika ada kerja - dia ada di tengah-tengahnya, dan ketika ada kemakmuran - dia
ada di paling belakang, karena sejatinya pemimpin harusnya menderita dan bukan
menikmati, harusnya penuh cinta dan bukan sekedar kata kata hampa, karena cinta
akan menghasilkan sesuatu, sementara kata - kata kerap hanya menghasilkan
alasan. Tolle et legge. Ambil dan bacalah!
0 komentar:
Posting Komentar