A. DASAR KITAB SUCI
Teks dasar mengenai hidup miskin secara umum adalah Matius 5:1-12. Sedangkan yang secara khusus berbicara mengenai kaul kemiskinan adalah ayat 3, berbunyi: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya kerajaan Sorga”. Kemiskinan memang telah menjadi tema yang dibicarakan juga di dalam Perjanjian lama.
1. Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama (PL = yang memuat kisah sejarah Israel) kita kenal kaum “ANAWIM”. Kelompok ini disebut “orang milik Yahwe”, orang-orang yang miskin, lembut hati (artinya peka rohani), dan yang rendah hati. Mereka mempercayakan dirinya kepada penyeleng-garaan Tuhan, yang mencintainya. Orang-orang inilah yang terpilih menjadi pewaris janji Abraham. Meskipun kerap kali mereka ditindas oleh para kaya dan penguasa.
Dalam PL ada keyakinan primitif. Mereka berpendapat bahwa orang-orang kaya itu dicintai Allah dan orang-orang bersalah mendapatkan hukumannya dan menjadi miskin.
a. Menanggapi itu muncul pertanyaan besar: bagaimana orang-orang miskin justru hidup iman dan moralnya bagus, tetapi mereka malahan hidup dalam kemiskinan-kesengsaraan-ketertindasan-ketertelantaran, dll.
b. Para Nabi menjawab: “Kaum miskin yang baik hidupnya dan tertindas dilindungi oleh Yahweh dan pada suatu hari Yahweh akan datang dan memberikan dan menegakkan keadilan bagai mereka” (Amos 8:4-10; Yer. 20:11-12). Itulah keyakinan yang menguatkan mereka.
c. Dari keyakinan “orang miskin dilindungi dan dicintai Allah” muncul pengertian yang sebenarnya tentang hidup miskin:
1) Dalam arti materi: Semula kemiskinan hanya diartikan tidak punya apa-apa, sengsara dan frustrasi karena tidak punya apa-apa. Tak ada sesuatupun yang dapat diharapkan.
2) Kemudian dalam arti rohani: kemiskinan berarti berjiwa miskin, berhati baik, dicintai Allah. Mereka dilindungi oleh Allah walaupun dengan cara yang penuh misteri.
3) Orang yang menghayati kemiskinan rohani disebut para miskin Yahweh. Mereka itu setia pada hukum dan menantikan penebusan. Masmur 131 mengungkapkan doa-doa para miskin Yahweh. Sedangkan lawan dari para miskin Yahweh adalah orang sombong, penipu, penyembah berhala dan tak ber-Tuhan.
4) Kemiskinan Israel, tidak hanya berarti tidak punya apa-apa atau sengsara jasmani, tetapi lebih sebagai orang yang sadar bahwa ia dicintai dan dilindungi oleh Yahweh. Maka mereka bersikap: taat batin, baik, sederhana, rendah hati dan tenteram.
2. Perjanjian Baru
a. Sejak kehadiran Kristus: Faham kemiskinan dalam hidup religius mengalami perkembangan dan mencapai puncak kematangannya dalam sebutan: “sahabat-sahabat Allah”, orang yang dikasihi Allah dan tidak mengkhianati-Nya. Lukas 1:51-53 mengungkap-kan doa para miskin Allah ini.
b. Orang miskin Allah yang sesungguhnya adalah Maria, Yosef, Yohanes Pemandi, dan Rasul. Mereka itu orang-orang miskin Yahweh. Secara jasmani mereka miskin, namun kaya secara rohani. Mereka sungguh-sungguh berjiwa baik, rendah hati, tulus, tabah, dll. Mereka sungguh-sungguh orang sederhana, kurang berpendidikan, namun dicintai Allah dan mencintai Allah.
B. MENJADI ORANG MISKIN ALLAH
1. Syarat-syarat Kemiskinan
a. Kunci untuk masuk ke dalam misteri hidup miskin Injili dan lembaga hidup bakti diungkapkan dalam Injil. Matius menekankan bahwa dalam diri orang yang miskin ada Kenyataan bahwa mereka memiliki Kerajaan Allah dan Memiliki pengalaman hidup dalam semangat Kerajaan Allah.
b. Kita hanya bisa menghayati kemiskinan atau berjiwa miskin Injili apabila memiliki dan mengalami Kerajaan Allah dalam dirinya (bdk.: personal exsperinces). Kerajaan Allah yang hadir dan dihadirkan di dunia dalam Kristus, memungkinkan kita meng-hayati kemiskinan Injili. Kita memiliki Kristus dalam diri kita dan mengalami kehidupan jita ada dalam diri Yesus.
2. Miskin berarti memiliki Yesus Kristus
Bagaimana menyadari bahwa pribadi Yesus Kristus itu menjadi kenyataan hidup kita? Dan bagaimana kita dapat menanamkan nilai-nilai Yesus Kristus itu sebagai realisasi Kerajaan Allah dalam kehidupan kita. Kita perlu meneliti kesadaran dan pengalaman-pengalaman sendiri.
a. Kesadaran akan kenyataan pribadi Yesus Kristus diperoleh antara lain melalui:
1) Mengembangkan “pengertian rohani” (internal knowledge) dan “pengenalan pribadi” (personal understanding) akan Yesus Kristus.
2) Mengembangkan rasa tertarik kepada Yesus Kristus, sehingga ia memiliki keyakinan bahwa Yesus sungguh mempunyai arti bagi pribadiku, bagi hidupku dan karyaku.
3) Meningkatkan proses identifikasi dengan pribadi Yesus Kristus, sehingga kita semakin menjadi sehati dan sebudi dengan Yesus Kristus sendiri.
b. Nilai-nilai pribadi Yesus Kristus dapat semakin disadari antara lain dalam pengalaman-pengalaman hidup konkret. Misalnya dengan:
1) Permenungan meditatif dan konsideratif setiap hari men-dorong kita untuk menemukan jalan pikiran Yesus dalam diri kita. Maka hidup dan karya kita juga semakin tidak dapat dipisahkan dari hidup dan karyaNya (cara: meditasi, konsi-derasi dan lectio divina);
2) Permenungan kontemplatif, melatih kita untuk menemu-kan rasa-perasaan Yesus dalam diri kita, sehingga kita semakin dapat merasakan cita-cita, keprihatinan, dan semangat apos-tolik-Nya. Sebab hal itu semua semakin tertanam dalam diriku (Cara: doa kontempaltif).;
3) Pewujudnyataan ajaran itu tampat dalam semangat, kehendak, dan cara Yesus dalam terang dan bantuan Roh Kudus (cara: refleksi dan pengendapan);
4) Pembersihan diri terus-menerus (pertobatan) dilakukan dengan cara Examen dan pemeriksaan hati nurani serta penerimaan sakramen dan ibadat (cara: keterlibatan).
5) Bantuan visual dan mengunjungi tempat-tempat yang pernah disentuh Yesus dan pendalaman Kitab Suci (cara: perigrinasi dan ziarah ke tempat suci).
3. Penjelasan: Penyadaran dan Kepemilikan Pengalaman ini.
a. Usaha mendalami keberadaan Kristus, khususnya dalam hidup dan karya Tarekat, akan menumbuhkan rasa ketertarikan pada Kristus secara konkret. Kemudian makin lama, kecintaan kepada Kristus semakin kuat. Memang proses ini bisa menuntut waktu puluhan tahun, bahkan sampai manusia mati. Pada prinsipnya Allah selalu menarik manusia untuk semakin mencintai Kristus. Namun usaha merdeka manusia perlu adanya.
b. Kalau kecintaan pada pribadi Yesus Kristus sudah muncul, walaupun hanya kecil, hal itu sudah merupakan pengalaman Kerajaan Allah. Kecintaan pada pribadi Yesus Kristus (Allah) semakin berkembang, sehingga orang itu semakin mampu melepaskan keterikatannya pada hal-hal duniawi dan atau hal-hal lain tercipta.
1) Akibatnya: Orang akan melihat bahwa keanekaragaman ciptaan Allah ini adalah penjelmaan (inkarnasi) keindahan, kemuliaan, dan keagungan Allah.
2) Kemudian orang itu akan mencintai segala ciptaan, sebab setiap ciptaan berbicara tentang Allah pencipta dan penyelamatnya. (Lihat: Yohanes dari Salib {Spiritual Canticles XIII} dan Francis Assisi {Canticle Brothers Sun.}).
3) Puncak penghayatan kemiskinan memungkinkan “orang menjadi mampu menemukan kehadiran kekuasaan, keindahan, dan kecintaan Allah dalam segala ciptaan”. Namun seperti telah dikemukakan di atas, kemiskinan rohani hanya bisa dialami, bila orang telah memiliki cinta pribadi dan kecintaan komunal kepada Allah.
c. Bagaimana menumbuhkan rasa cinta kepada Allah?
Cara yang biasa terjadi adalah mendengarkan, memahami dan mengerti sabda-sabda Allah.
1) pencecapan misteri-misteri Allah itu lewat meditasi dan kontemplasi;
2) penyangkalan-penyangkalan diri (ab negatio) terhadap segala macam dosa;
3) askese-askese atau pematiragaan diri, dsm.
Pendek kata kesuburan penghayatan kemiskinan harus berdasar-kan pada “kecintaan mendalam pada Allah, baik secara pribadi maupun komunal”. Namun perlu disadari pula, betapa pentingnya kondisi hati manusiawi yang terdidik untuk mencintai dan dicintai.
4. Referensi Dokumen Konsili Vatikan II
Tentang kemiskinan Konsili Vatikan II, memang tidak berbicara panjang lebar, sebab halnya telah jelas dan ada dalam tradisi Gereja. Tradisi-tradisi itu menyatakan bahwa “persahabatan dengan Allah dalam kaul kemurnian” mendasari hidup sederhana sebagai penghayatan kemiskinan. Artinya:
a. Semakin dalam penghayatan cinta kepada Allah semakin membuat orang tidak diperbudak oleh benda ciptaan. Tetapi benda ciptaan tersebut merupakan inkarnasi (penjelmaan) cinta Allah sendiri.
b. Demikian pula, orang semakin dapat melihat betapa seluruh dunia, terlebih-lebih setiap priabdi manusia yang lapar atau bahkan rindu akan Allah, tanpa sadar mengharapkan Kerajaan dan dirinya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan Allah.
c. Semakin orang berhubungan intim dengan Allah, semakin ia menyucikan diri, semakin ia melihat lebih jelas bahwa demikian banyak orang yang mengharapkan Kerajaan Allah.
Semangat rasuli kemiskinan yang benar muncul dari pengalaman bersatu intim dengan Allah dan berkobar menjalankan tugas pengutusan-Nya. Oleh karena itu:
a. Semakin dalam hubungan intim dengan Allah semakin besarlah cinta bijaksana (discreta caritatis) kepada sesamanya. Akhirnya mereka bisa bersatu intim pula dengan Allah.
b. Semakin dalam orang bersahabat dengan Allah, semakin ia mampu “bersahabat” dengan sesama manusia. (Bdk. Filipi 1:21-26: bukan paradoks, tetapi begitulah pengalaman rohani mendalam St. Paulus).
c. Bagimana Ordo/Komunitas tarekat memahami dan menghayati semangat kemiskinan?
1) Meningkatkan kecintaan kepada Allah menjadi cara hidup yang paling tepat. Sebab semakin dalam hubungan intim dengan Allah dalam Yesus Kristus, semakin besar kemampuan untuk melepaskan keterikatan dirinya dengan hal-hal yang membelenggu.
2) Sebagai contoh: Semakin seorang Religius mampu melepas-kan diri dari keterikatan akan barang ciptaan (yang dimiliki maupun yang akan dimiliki), atau semakin mampu melepas-kan diri gagasan pribadi, status sosial atau jabatan yang dipegang, dari kecantikan diri atau kekayaan dan pengetahuan, dari kenikmatan dan kemapanan diri, kehebatan diri, dsm. Semakin membawa orang jauh dari pendewaan harga diri dan pemuliaan diri sendiri.
C. MISKIN: HIDUP ATAS DERMA
1. Kemiskinan berarti hidup atas derma orang lain
Orang miskin berarti dimiliki oleh Allah dan merasa menjadi milik Allah. Ia tidak berarti sudah menjadi sempurna. Sebab adalah suatu misteri bahwa Allah sangat mencintai orang-orang yang tidak sempurna, yang berdosa, dan yang lemah. Orang tersebut hidup atas dasar pemberian-pemberian orang lain dan melepaskan segala yang dimiliki bagi kepentingan Allah. Ia bersandar pada kebaikan-kebaikan orang lain, namun ia tidak mengumpulkan sebagai miliknya sendiri (Bdk: Fransis Assisi). Kemiskinan mempunyai dua gerak sekaligus, yaitu: menerima dan memberi.
a. Orang miskin hidup atas dasar pemberian dan derma. Para Religius yang menghayati kemis-kinan akan merasa bahagia menemukan kenyataan ini.
1) Orang kristiani mengakui bahwa dirinya itu orang miskin, dalam arti sangat tergantung pada pemberian, kekuatan dan pribadi Allah (Kerajaan Allah). Mereka menghayati bahwa segala-galanya tergantung pada Allah, tanpa Dia kita tidak bisa berbuat apa-apa; kita hidup atas dasar belas kasih Allah.
2) Adalah suatu anugerah bahwa orang miskin memahami kemalangan sesamanya. Orang miskin kristiani itu penuh pengertian. Jika orang hidup atas dasar derma-derma, ia tidak pernah akan memandang rendah sesama yang tidak menerima pemberian yang sama.
3) Yang memandang rendah pendosa: bersikap tidak bersahabat atau bersikap kasar terhadap pendosa dan kasar terhadap sesama rekan yang miskin.
b. Orang yang berjiwa miskin di hadapan Roh berarti orang yang sadar akan kebutuhan adikodrati (ke arah dan tujuan hidup);
1) Sadar akan kebutuhan kodrati (=yang ada sebagai anugerah). Sehingga membuatnya bersikap selalu siap-sedia mengulurkan tangan setiap hari untuk meminta bantuan dan derma dan menyalurkan kepada mereka yang membutuh-kannya;
2) Selalu terbuka untuk menerima nasehat, teguran, kritik dari orang lain (semua orang) untuk bisa mengembangkan diri dalam pelayanan bagi sesama.
3) Menjunjung tinggi kehendak dan perintah Allah.
D. KEMISKINAN BERARTI MEMBERI
St. Fransiskus Assisi menonjol dalam kemiskinannya, dalam menerima pemberian dan melepaskan apa yang dimilikinya. Penting bahwa orang yang mampu menerima, tetapi lebih penting untuk mampu memberi …. Yang terbaik ialah memberikan dirinya sendiri secara utuh.
Kemiskinan dalam Roh secara real berarti tidak menjadi pemilik atas dirinya sendiri, tetapi menjadi milik Allah, milik Gereja, menjadi milik setiap anggota Gereja, bahkan menjadi milik setiap manusia di bumi ini yang membutuhkannya. Jiwa kemiskinan ialah melepaskan diri sendiri. Beberapa contoh:
1. “Tidak kikir terhadap diri sendiri”.
Misalnya memberikan waktuku, jadwalku, dan rencanaku dengan murah hati. Ini sukar, sebab biasanya program-programku sudah ketat terencana. Letak kemiskinannya ialah aku membiarkan rencanaku terkacaukan, impianku yang terencana buyar oleh interupsi anak-anak Allah, kecuali jika ada hal-hal yang lebih besar dan lebih penting. Jadi yang terpenting ialah pribadi-pribadi anak-anak Allah yang datang untuk minta tolong, minta dukungan, dll. Bukan bisnis minded.
Kita sering terjerat oleh urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan kurang perhatian pada pribadi-pribadi counselee yang datang mungkin bukan untuk pemecahan kesulitan, melainkan sekedar memohon waktu untuk didengarkan, untuk dipahami, dll. Seorang yang miskin akan mampu memberikan waktu untuk mendengarkan, memberikan tenaganya untuk membantu, walaupun dirinya sudah punya rencana-rencana. Namun kebijaksanaan yang diterangi oleh Roh tetap perlu ditemukan (perlu pembedaan gerakan-gerakan roh).
2. “Memberikan diri sendiri bagi orang lain”.
Memberikan diri untuk dinikmati oleh orang lain, tetap memerlukan pembedaan roh-roh, sehingga tercapailah kebijaksaan yang seimbang dan tepat. Dengan begitu tugas-tugas yang harus didahulukan, dilaksanakan, karena memang menduduki prioritas tertinggi. Namun juga masih dapat “minus malum” (kurang lebih) membantu cukup banyak orang-orang lain. Contoh keseimbangan tersebut misalnya: Mt. 4: 23-24; Mt. 9: 35 dan 2 Kor 11: 26-29.
Perlu kita maklumi bahwa ada godaan-godaan cukup besar untuk tetap memiliki apa-apa yang kita miliki, karena dorongan menemukan keamanan dan keinginan tetap berada dalam kekayaan material. Bahkan tanpa disadari seorang religius dapat bersikap kikir secara batin ( = sikap terlalu possesif, sikap batin yang sukar untuk bermurah hati). Orang yang berjiwa kemiskinan dalam Roh tidak mengenal “kekikiran batin”.
E. KEMISKINAN LAHIR BERARTI PENGORBANAN
1. Berjiwa miskin dalam Roh
Orang yang memberikan diri kepada Allah, Gereja dan sesamanya – menemukan hakikat kemiskinan dan tidak akan mengalami kesukaran menghayati kemiskinan secara lahir dan untuk menemukan kesimbangan dalam melaksanakan kemiskinan lahiriah.
2. Perbedaan Religius dan kaum awam
Letak perbedaan semangat/jiwa kemiskinan para religius dengan para awam Kristiani yang penuh pengabdian terdapat pada ungkapan lahiriah kemiskinan.
a. Arti rohani: Jiwa kemiskinan tidak ada perbedaan untuk religius dan untuk kaum awam yang penuh semangat pengabdian. Sabda bahagia di bukit berlaku umum, baik untuk para religius maupun bagi kaum awam Katolik.
b. Secara lahiriah: kaum religius menolak haknya yang sah secara hukum atas pemilikan barang barang atau kekayaan duniawinya. Mereka menyatakan kemerdekaan dirinya dari kelekatan hak tersebut, dari kesibukan mengurus hak-hak miliknya, dari keter-libatan pemilikan dan administrasi atas barang-barang yang menjadi haknya. Dengan begitu mereka menjadi manusia merdeka, dapat mengikuti Kristus secara lebih penuh, sehingga menjadi sahabat-sahabat Yesus, dan secara khusus pengikut St. Fransiskus.
c. Lepas dari persoalan penolakan radikal atas hak milik duniawi dan kemiskinan lahiriah, ada soal keseimbangan antara disposisi (sikap batin) semangat kemiskinan dengan wujud/ ungkapan kemiskinan lahiriahnya.
d. Terdapat variasi perbedaan di antara lembaga-lembaga Hidup bhakti. Hal ini disebabkan antara lain:
1) Perbedaan lingkungan tempat berkarya (di tempat yang kaya, di tempat yang miskin, atau di tempat yang tidak kaya dan tidak miskin).
2) Perbedaan semangat kemiskinan yang dihayati oleh pendiri Ordo/kongregasi.
3) Perbedaan kesadaran akan kemiskinan sebagai sarana pelayanan Tarekat.
Sesungguhnya ada unsur-unsur yang sama dalam semangat kemiskinan antara lain:
1) Adanya semangat: penyangkalan diri, matiraga dan semangat kemerdekaan. Kaum religius dengan kesungguhan penyang-kalan diri, menggunakan segala ciptaan untuk pelayanan injil.
2) Yesus sendiri juga menggunakan penyangkalan diri dan pematiragaan, namun tidak selalu sama dalam segala waktu, tempat dan lingkungan.
3) Sewaktu di keluarga Kudus Nasaret, nampaknya keluarga itu tidak kaya dan tidak miskin: “Tuhan, jangan biarkan kami dibawa ke hidup berlimpah. Berilah kepada kami apa yang perlu untuk hidup kami hari ini”.
4) Banyak Ordo kontemplatif secara kurang sadar mengikuti jejak kemiskinan Keluarga Kudus Nazaret (Lihat: Ordo Cartusian, 1 rumah, 4 kamar, dan 1 taman).
Yesus sendiri mengerti bahwa tuntutan kemiskinan hidup religius lebih berat ketika mewartakan Injil Kerajaan Allah.
1) Namun jangan dibayangkan, bahwa hidup Yesus selalu dalam kemiskinan yang luar biasa (Lihat Lukas 8:1-3).
2) Yesus sangat mempercayakan diri-Nya penuh-penuh kepada penyelenggaraan ilahi Allah BapaNya: “Serigala mempunyai liang, burung mempunyai sarang, tetapi putera Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalanya” (Lihat: Mat 8:20).
3. Ciri khas Ordo/Kongregasi
Ada beberapa Ordo/Kongregasi yang bertujuan untuk mengikuti Yesus, dengan memiliki kemiskinan rasuli yang kuat. Pada dasarnya, kita harus menghormati kekhususan semangat masing-masing Ordo/ Kongregasi, dengan sikap: tidak saling memandang rendah, tidak saling memaksakan semangatnya satu terhadap yang lain dst.
a. Perbedaan semangat kemiskinan antar ordo/Kongregasi itu wajar selayaknya.
1) Misalnya wujud kemiskinan para anggota Kartusian dalam bentuk: keheningan, kesendirian dan bermatiraga keras.
2) Wujud kemiskinan Ordo/Kongregasi kontemplatif-aktif: tidak berpuasa keras, tidak dalam kesendirian, makan mungkin hanya 5 menit karena acara-acara berikut sudah menunggunya.
3) Adalah tidak fair mengajarkan tipe kemiskinan yang sama untuk seluruh Gereja. Juga salah bila tidak mengajarkan unsur pematiragaan atau pengurbanan dalam kemiskinan lahiriah dengan kekurangan-kekurangan kebutuhan material.
4) Contoh: “seorang imam yang mempunyai rumah teratur dan perpustakaan yang baik, namun masih juga memberikan seluruh dirinya, waktunya dan apa yang dipunyainya untuk pelayanan umat Allah”
5) Mungkin dia ini jauh lebih miskin, bahkan juga secara lahiriah, dari pada orang lain yang hidup dalam tembok-tembok putih dan tanpa buku, tambahan lagi kurang siap sedia untuk pelayanan umat Allah yang perlu.
b. Unsur pengurbanan mutlak harus ada dalam kemsikinan Religius. Dan hendaknya nampak jelas, baik dalam hidup komunitas, maupun dalam hidup pribadi.
1) Dalam komunitas: semua harta milik komunitas hendaknya mencerminkan kemiskinan Kristus. Itu hukum umumnya, penerapannya dalam kasus-kasus konkret tidak mudah. Universitas dan Rumah-Sakit besar, hendaknya di bawah managemen para miskin Allah.
2) Walaupun demikian jangan pernah mengurbankan kemiskinan demi effisiensi kerasulan. Keseimbangan yang bisa variatif, harus ditemukan bersama dalam bimbingan Roh Tuhan.
3) Bangunan-bangunan lahiriah kita hendaknya serta merta memancarkan kemiskinan Kristus tanpa menghancurkan pelayanan kualitas tingginya.
c. Komunitas hendaknya memancarkan kemiskinan Kristus dalam wujud pergaulan sosialnya secara nyata dan tidak berbeda dalam hukum dan prinsip-prinsipnya yang dipeluk bersama.
1) Anggota komunitas dapat terjadi bergaul dengan banyak miskin. Kalau mereka hanya bergaul dengan satu kelompok status sosial (misalnya: kelompok orang kaya atau orang miskin) saja, bisa berakibat ia terlepas dari kesatuan rasul-rasul dalam komunitas.
2) Unsur pengurbanan hendaknya juga meresapi anggota-anggota komunitas. Caranya berbeda, keluasannya berbeda, namun sama dalam kerangka hukumnya.
3) Hendaknya ada kemiskinan nyata dalam makan dan berpakaian, namun dalam cara yang seimbang. Dalam kemiskinan lahiriah hendaknya tetap memberi tekanan pokok pada pemberian diri sendiri kepada sesama.
F. PERTANYAAN REFLEKTIF
a. Apakah ketertarikanku itu pertama-tama terhadap Kerajaan Allah, ataukah pada hal-hal lain? Apakah saya telah mencoba menemukan pengalaman cinta Tuhan, dan apakah saya membangun kemiskinan Religius atas dasar pengalaman tersebut?
b. Apakah saya telah menerima undangan Allah untuk memalingkan diri dari dunia dan mengarahkan diri kepadaNya? Ketika saya telah menemukan Dia dan diperkaya oleh persahabatan dengan-Nya, apakah saya sebenarnya kembali kepada dunia, ataukan tetap tinggal dalam hubungan persahabatan yang artifisial tersebut?
c. Allah telah mencintai dunia sedemikian besarnya sampai Ia memberikan AnakNya sendiri bagi dunia. Jika saya tidak mencintai dunia, saya bukan orang yang berjiwa kemiskinan.
Pertanyaan:
1) Apakah saya mencintai dunia? Dan segala yang baik di dunia ini tanpa pembedaan?
2) Apakah saya mencintai semua itu dan mengarahkannya kepada nilai-nilai ilahi?
d. Seorang religius yang berjiwa miskin mencintai setiap ciptaan, berjiwa atau tak berjiwa, tetapi cintanya tidak pernah eksklusif. Tanda cinta diri yang eksklusif: terpusat pada seseorang, pada suatu objek, pada jadwal acara, pada cara hidup tertentu. Apakah saya memiliki cinta kasih kristiani, ataukah saya tenggelam dalam cinta diri saja?
e. Apakah saya memiliki jiwa miskin, yaitu hidup atas dasar pemberian-pemberian atau derma-derma? Apakah saya mau menerima nasehat dan bantuan dari orang-orang lain? Apakah saya mampu berdialog yang merupakan saling tukar gagasan di antara orang-orang miskin?
f. Apakah saya siap untuk memberikan diri anda sendiri, orang-orang saya, waktu saya, program saya, buku-buku saya. Segala sesuatu?
g. Apakah secara lahir saya miskin menurut cara saya sendiri dalam kemiskinan? Apakah ada unsur pengurbanan di dalamnya? Apakah kemiskinan lahiriah saya menjadi tanda bagi sesama saya, bahwa kerajaan Allah hadir di sini bersama dengan kita?
h. Dalam menggunakan barang-barang ciptaan, apakah saya memiliki kemerdekaan anak-anak Allah? Apakah saya effisien dalam mengabdi Allah? Apakah saya berani ambil resiko-resiko, bahkan sampai berani menerima kegagalan?
0 komentar:
Posting Komentar