Ads 468x60px

Filsafat dan Ketuhanan

Selayang Pandang

I. DEFINISI ISTILAH-ISTILAH:

1. Monisme:
Inggris: monism. Dari bahasa Yunani monos (tunggal, sendiri). Monisme adalah paham tentang segala yang ada bukan hanya merupakan suatu kesatuan, melainkan pada akhirnya segala-galanya adalah satu dan segenap kemajemukan atau berupa khayalan kosong (maya) atau perkembangan atau emanasi dari zat yang satu itu. 

Dualisme:
Paham bahwa dalam kehidupan ini ada dua prinsip yang saling bertentangan, tidak dapat direduksi, unik. Contoh: Adikodrati/Kodrati, Allah/Alam Semesta, Roh/Materi, kebaikan /kejahatan, terang/gelap, langit/bumi, keperempuanan dan kelaki-lakian, tubuh dan jiwa. Alam semesta dapat dijelaskan dengan kedua bidang (dunia) itu.

Panteisme:
Inggris: Panteism; dari Yunani pan (semua) theos (Allah). Paham bahwa Yang Ilahi bersemayam dalam segala-galanya. Alam raya dipenehui dengan Yang Ilahi dan semua kekuatan, baik alami maupun di antara manusia, merupakan penyataan diri Yang Ilahi. Panteisme sangat menegaskan imanensi Yang Ilahi.

Deisme:
Pandangan yang mengakui adanya Tuhan sebagai pencipta alam semesta tetapi tidak mengakui agama karena ajarannya didasarkan atas keyakinannya pada akal dan kenyataan hidup.

Carpe Diem 1

CARPE DIEM 1 - Reguk Hari Bersama Bunda Maria (Kanisius 2009)

Sed fugit interea,
fugit inreparabile tempus
Sementara waktu yang tak tergantikan lekas berlalu
(Kutipan dari karya Vergilius, Georgicon III:284).

Suatu ketika, Dalai Lama ditanya, “apa yang paling membingungkan di dunia ini?” Dia menjawab, ”manusia.” Yah, karena ketika muda, manusia mengorbankan kesehatannya hanya demi uang. Lalu ketika tua mengorbankan uangnya demi kesehatan, dan sangat kuatir akan masa depannya, sampai tidak sempat menikmati masa kini.” Yah, kadang orang kurang mensyukuri hari ini (hic) dan disini (nunc) bukan? Wajarlah, orang Romawi kerap mengatakan, “Diem perdidi” - Saya telah kehilangan satu hari! Kalimat ini diucapkan oleh Kaisar Titus, kala ia menyadari bahwa satu hari terlewatkan tanpa kesempatan untuk melakukan hal-hal yang baik/berguna.

Happines : A Simple Way

(XXX-FAMILY WAY, Kanisius)

1. Membuat mutu hari ini lebih baik: itulah seni hidup -To affect the quality of the day; that is the art of life.
Thoreau, Henry David

2. Kebahagiaan terletak pada sukacita pencapaian dan pada ketegangan usaha kreatif. -- Happiness lies in the joy of achievement and the thrill of creative effort.
Franklin D. Roosevelt

3. Mereka yang benar-benar mau bahagia, hanya mereka yang telah mencari dan menemukan bagaimana cara melayani. – The only ones among you who will be really happy are those who will have sought and found how to serve. Albert Schweitzer

Jurus Tingkat Pertama untuk Menghadapi Godaan Iblis

(Mimbar Altar Pasar, Kanisius)

1. Untuk mereka yang terus-menerus jatuh dari satu dosa ke dosa lainnya, iblis biasanya menyodorkan kesenangan-kesenangan palsu. Ia membuat mereka membayangkan kenikmatan dan kesenangan inderawi, supaya manusia tersebut tidak bertobat. Pada manusia yang sedang dalam kondisi seperti itu, roh baik memakai cara sebaliknya: yaitu menghantami dan menyesakkan hati nurani dengan teguran-teguran pada budi.

2. Untuk mereka yang dengan tekun terus maju dalam pertobatannya, iblis akan menyesakkan, menyedihkan, dan menghalang-halangi dengan alasan-alasan palsu, supaya orang tidak maju lebih lanjut. Sementara roh baik akan memberi semangat dan kekuatan, hiburan, air mata sukacita, inspirasi serta ketenangan, mempermudah cara pandang orang terhadap masalah, supaya orang semakin maju dalam pertobatannya.

Something coming …

Something coming …
Viens.
Something unforeseeable and incomprehensible
Viens.
Tout autre …
Let every one say,
Viens
To every gift,
Viens, oui, oui.
Amen
“Sesuatu datang …
Datanglah!
Sesuatu yang tak teramalkan dan tak terpahamkan
Datanglah!
Yang Sama Sekali Lain
Biarkan setiap orang berkata,
Datanglah!
Kepada setiap pemberian,
Datanglah! Ya, ya.
Amin.”
(The Prayers and Tears of Jacques Derrida)

Ber-Metamorfosis

Kupu-kupu yang lucu
kemana engkau terbang
Hilir-mudik mencari
Bunga-bunga yang kembang
Berayun-ayun
Pada tangkai yang lemah
Tidakkah sayapmu
Merasa lelah
Kupu-kupu yang elok
Bolehkah saya serta
Mencium bunga-bunga
Yang semerbak baunya
Sambil bersenda-senda
Semua kuhampiri
Bolehkah kuturut
(Ibu Sud)


Adalah seseorang menemukan kepompong seekor kupu-kupu. Suatu hari lubang kecil muncul dari kepompong. Orang itu duduk dan mengamati selama beberapa jam bagaimana si kupu-kupu berjuang memaksa dirinya melewati lubang kecil itu. Kemudian kupu-kupu itu berhenti membuat kemajuan. Kelihatannya dia telah berusaha semampunya dan dia tidak bisa lebih jauh lagi. Akhirnya orang tersebut memutuskan untuk membantunya, dia ambil sebuah gunting dan memotong sisa kekangan dari kepompong itu. Kupu-kupu tersebut keluar dengan mudahnya.

“Las Mariposas” - "The Butterflies"

“.....Kupu-kupu jangan pergi
Terbang dan tetaplah di sini
Bunga-bunga menantimu
Rindu warna indah dunia
Anak kecil tersenyum manis
Pandang tarianmu indah
Bahagia dalam nyanyian
Kupu-kupu jangan pergi....”
(Melly Goeslaw)


“The Time of Butterflies” adalah judul sebuah film historis yang digarap-serap dari novel Julia Alvarez, dimana kupu-kupu menjadi inspirasi dan aspirasi perjuangan sejati para aktivis. Dan, bersama dengan segelontor orang yang suka membuat tato kupu-kupu (entah pada pinggul, dada, punggung atau bagian tubuhnya yang lain), banyak seniwan-seniwati kita juga ter-inspirasi dengan kupu-kupu. Sebut saja: Ebiet G.Ade dengan “Kupu-kupu Kertas” nya; Titiek Puspa dan Ariel Noah dengan “Kupu-kupu Malam” nya, Iwan Fals dengan “Kupu-kupu Hitam Putih” nya, bahkan kelompok musik Slank dengan Gank Potlotnya juga menaruh-luruh kupu-kupu sebagai simbol komunitas mereka.

Pasar

"Ecclesia semper reformanda-Gereja harus senantiasa diperbarui". Itulah jawaban iman mengapa Yesus "membersihkan" Bait Allah hari ini. Novelis Katolik, Ayu Utami mlukiskan Yesus yg marah: mataNya melotot+rambut brdiri berkibar-kibar dg tangan yg menunjuk berang (Buku "PASAR", RJK, Kanisius).

Bagi Yesus, Bait Allah/Gereja adalah rumah damai ("domus pacis"), dimana tidak ada intrik taktik konflik+olak-alik kpentingan. Tapi secara real, seperti kata Goenawan Mohamad, Gereja yang mistik juga sekaligus Gereja yang kadang punya banyak politik+intrik. Hal ini berarti bahwa Gereja tidak selalu tulus+murni tapi kadang malahan dijadikan "kendaraan duniawi/instrumen bisnis" bagi kepentingan pribadi/"proyek" sekelompok orang: Ketika para umat saling berselisih dan para imamnya tak lagi punya welaskasih. Ketika para aktivisnya malah menjadi "LIPI-Lembaga Intrik Penyebar Isu". Ketika karyanya jauh dari kedekatan dengan orang kecil dan melulu sibuk pada urusan dunia dan rapat aktualisasi diri. Ketika Gereja asyik mencari profit dna sibuk menjual "kambing", "domba" "bandot"+"burung surgawi" sehingga malahan melupakan tugas pemeliharaan jiwa-jiwa. Gereja jelasnya hanya hadir sebagai "pabrik kata-kata". Hampa dan tak berjiwa.

Hari inilah, ketika "pasar" lebih cerdik daripada ular dan berlagak sok tulus seperti merpati, Yesus mengajak Gereja dan terlebih diri kita masing-masing untuk senantiasa ber-"reformatio vitae": membersihkan hati dari pelbagai dosa dan nista, karnu bukankah Ia juga menjadikan diri kita sebaga Bait Allah? (1Kor 3:16). Disinilah Yesus menghadirkan Gereja sebagai "locus fides": tempat untuk mengakui iman/lex credendi, merayakan iman/lex celebrandi sekaligus mewujudkan iman dengan doa dan karya/lex orandi et vivendi dengan budi yang tulus dan hati yg murni.

"Jatuh hati 3xsehari, bersihkanlah hati stiap hari."
Selamat pagi. Tuhan memberkati+Bunda mrestui. Fiat Lux! (RJK)

Merpati

Mengapa merpati sering digunakan dalam perumpamaan oleh Tuhan? Matius 10:16

1. Merpati burung yg gak pernah mendua hati. Coba perhatikan, apakah ada merpati yg suka berganti pasangan? Jawabannya adalah TIDAK
Pasangannya cukup 1 seumur hidupnya.

2. Merpati burung yg tahu kemana dia harus pulang. Betapapun merpati terbang jauh, dia tidak pernah tersesat untuk pulang. Pernahkah ada merpati yg pulang ketmp lain? Jawabannya adalah TIDAK

Qui habet aures audiendi audiat

Kematian kerap menjadi saat pelepasan, seperti kupu kupu yang terbang. Cinta sejati tak pernah lapuk oleh kekejaman, atau kekerasan, oleh tanah atau kuburan. Cinta itu akan terbang, seperti sepasang kupu-kupu, hilang dan lepas ke langit tinggi, bebas dan abadi. (Sebuah penggalan novel cinta Tingkok kuno, Sam Pek Eng Tay.)


Qui dormit non peccet/peccat
Barang siapa tidur, dia tidak berdosa.
Qui habet aures audiendi audiat
Barang siapa yang bertelinga, hendaklah dia mendengar.
Qui rogat, non errat.
Barang siapa bertanya, dia tidak akan melakukan kesalahan.
Qui tacet consentit
Barang siapa diam, berarti ia setuju
Qui scribit, bis legit
Barang siapa menulis, ia membaca dua kali

Ars Longa Vita Brevis

PADA MULANYA ADALAH SENI (n)
Jangan tanggung jangan kepalang,
Bercipta mencipta,
Bekerja memuja,
Berangan mengawan….

Ya, pada mulanya adalah hari Senin malam, 29 Oktober 2012, kami berkumpul bersama di ruang tengah pastoran St Maria Fatima Sragen dengan segelintir orang, bersama-sama mencoba urun-rembug mengumpul-tampilkan ide spontan tentang sebuah acara kultural pada awal bulan di akhir tahun 2012 ini. Selain berada dalam bingkai besar Tahun Iman dan HUT Gereja St Maria Fatima Sragen yang ke-55, adapun urun-rembug ini bisa jadi berangkat dari pertanyaan: Jika karya seni budaya, yang dianggap sebagai ekpresi dari persepsi imanik serta impresi estetik, bertugas menjelaskan apa yang ada dalam diri manusia dan alam secara universal di sepanjang waktu dan di semua tempat (pandangan Aristoteles), merupakan cermin realitas sekaligus rekaman cita masyarakat (pandangan William Philip), dan juga merupakan sarana manusia untuk kesadaran diri (pandangan Marxian), mengapa dunia seni budaya tetap saja merupakan dunia yang terpencil dan diabaikan? Mengapa ia seakan-akan nampak sebagai dunia yang tidak berhubungan dengan orang banyak? Mengapa ia seolah-olah nampak sebagai makhluk yang “la yamutu wa la yahya” (tidak mati tetapi tidak nampak sebagai makhluk yang “giras“)?[1]
Seiring waktu dan sejumput pertanyaan di hari Senin malam itu, tertulislah beberapa usulan tema yang coba kami lempar-gempar di forum: “SIM-Sragen In Motion, SAF-Sragen Art Festival, GBS-Gelar Budaya Sragen, PBS-Pekan Budaya Sragen, MAF-Marfati Art Festival, FSS-Festival Seni Sragen”, dan satu usulan dari orang muda, “Start-Sragen fesTival ART.” Dari ketujuh usulan tema itu, terlontarlah sebuah masukan supaya tidak disalah artikan pihak lain, alangkah lebih baik jika tidak mengatas-namakan wilayah Sragen.
Eureka!!!……di hari Senin malam itulah, tiba-tiba kami teringat-kenang sebuah ungkapan latin, “Ars longa vita brevis,” yang kalau diartikan secara harafiah, “Hidup manusia begitu singkat, namun karya seni yang dihasilkannya akan abadi.” Dalam bahasa Sragenan: “–SENI TAN WINATES, GESANG MENIKA RINGKES”. Itulah tema umum Gelar Budaya yang akhirnya disepakati forum urun-rembug pada sebuah malam di hari Senin, penghujung bulan Oktober kemarin.[2]  Satu hal yang pasti: bukankah hidup keseharian dan hidup beriman juga mesti dihadapi dengan common sense, dan wujud seni (lukis, tari, teater, cerpen, film dsbnya) adalah refleksi kehidupan dan keberimanan dengan akal sehat dalam pelbagai kewajaran dan sikap yang rileks?
Ungkapan atau semacam aforisma “Ars longa vita brevis” yang menjadi tema Gelar Budaya ini sendiri ditulis oleh Hippocrates, seorang dokter Yunani kuno yang hidup di sekitar abad ke 5 SM. Hippocrates sering dianggap sebagai Bapak Kedokteran karena aneka pemikirannya mengenai kedokteran yang cukup maju untuk jamannya: Ia menganggap bahwa penyakit disebabkan oleh gabungan berbagai faktor seperti lingkungan, makanan, dan gaya hidup yang buruk dan bukan karena hukuman tuhan atau dewa-dewa; Ia juga meyakini proses penyembuhan alamiah seperti istirahat yang baik, makan yang sehat, udara segar, dan kebersihan; Ia juga mengamati bahwa derajat parahnya suatu penyakit berbeda-beda dari orang ke orang dan seseorang dapat menghadapinya lebih baik dari yang lain.

Sebenarnya, “Ars longa vita brevis” yang adalah pembuka dari buku kompilasi ungkapan Hippocrates, kalau dilihat lebih mendalam, tidak ada hubungan kait-pautnya dengan keabadian karya seni dan umur manusia.  Aforisme “Ars longa vita brevis” lebih dimaksudkannya dalam konteks bahwa luasnya ilmu pengetahuan (yakni:teknik kedokteran) tak cukup dibandingkan dengan umur manusia yang terlalu pendek untuk menguasainya (“Ars” yang berarti seni, sebenarnya  merupakan terjemahan dari bahasa  Yunani, yakni: τέχνη (techne) yang berarti “teknik” atau “kriya,” dan bukan “seni” yang mengacu pada seni murni. Bila kita membaca aforisme ini secara lebih lengkap, makna yang ingin disampaikan Hippocrates akan lebih jelas:
Ars longa,
vita brevis,
occasio praeceps,
experimentum periculosum,
iudicium difficile.

Teknik luas,
Hidup singkat,
Kesempatan pendek,
Pengalaman penuh bahaya,
Penilaian sulit.

Dalam empat baris dan 10 kata ini, Hippocrates ingin mengatakan bahwa “Umur manusia sangat pendek namun teknik [kedokteran] begitu luas; waktu yang tersedia demikian singkat dan banyak rintangan untuk memperoleh pengalaman; sulit untuk memperoleh penilaian yang objektif di atas prasangka.”
Lepas dari penjabaran aforisme “Ars longa vita brevis” di atas, satu hal yang perlu diperHATIkan bahwasannya, tidak seperti motto sebuah perusahaan film Metro Goldwin Mayer, Ars gratia artis – Seni untuk seni”, Gelar Budaya dalam rangka Tahun Iman dan HUT Gereja St Maria Fatima Sragen, yang berlangsung selama sepekan di pelataran Gereja dan sekolahan ini juga hadir untuk melibat-kembangkan semakin banyak potensi budaya lokal sekaligus mengajak umat beriman semakin berbudi-daya (berbudi sekaligus berbudaya) dalam membangun dinamika dan semangat iman umat, serta secara khusus dalam membangun-kembangkan Taman Doa dan Goa Maria Ngrawoh. Tak lupa, terimaKASIH juga pada para panitia urun-rembug, rekan penampil dan pekerja seni serta para undangan dan pastinya semua umat beriman di Paroki St Maria Fatima Sragen.
Tuhan memberkati dan Bunda merestui. Fiat Lux! Jadilah Terang (Kejadian 1:3)
Sragen, 10 Nov 2012
Salam interupsi
Rm.Jost Kokoh Prihatanto Pr

[1] Keadaan seperti ini, mengutip Goenawan Muhammad dalam esei “Dengan Minoritas Yang Tak Tepermanai” , nampaknya tidak hanya berlaku bagi dunia sastra, tetapi juga terjadi pada dunia seni rupa, seni pertunjukan, seni lukis, musik dan dunia seni lainnya. Dalam esei tersebut Goenawan Muhammad, dengan sedikit menghibur, mengatakan bahwa: jumlah bukanlah perkara penting. Ia mengambil contoh Juan Ramon Jimenez yang mempersembahkan sebuah kumpulan puisinya bagi “minoritas yang tak tepermanai”.
[2] Apa itu budaya? Dari kata Latin cultura, kultur atau budaya yang awal mulanya menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman atau ternak, dalam perjalanan waktu istilah ini berevolusi menjadi aneka macam gagasan yang berporos pada hal-ihwal keunikan adat kebiasaan, cara hidup suatu masyarakat. Menurut Raymond Williams, ada tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu: 1) Yang mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat. 2) Yang mencoba memetakan khazanah kegiatan intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan (film, benda-benda seni, teater). Dalam penggunaan ini, budaya kerap diidentikkan dengan istilah “Kesenian” (the Arts) dan 3) Untuk menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat-kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat. Fredric Jameson dalam Postmodernism or, The Cultural Logic of Late Capitalism (1991), melihat budaya sebagai ranah yang mulai kehilangan otonominya karena dihancurkan oleh logika kapitalisme fase akhir. Budaya tidak dengan sendirinya menghilang saat otonominya digugat atau diintervensi daya-daya kapitalis. Sebaliknya, ia malah meledak. Maksudnya, budaya menyebar dan merambah alam sosial, sampai pada titik di mana segala sesuatu dalam hidup sosial kita – dari nilai ekonomi dan kekuasaan negara sampai pada praktek dan struktur paling dasar dari kejiwaan itu sendiri- bisa dikatakan telah dibaptis dalam nama ‘budaya’.


Ubi fumus, ibi ignis.
Di mana ada asap, di sana ada api.
Ubi mel ibi apes.
Di mana ada madu, di sana ada lebah.
Ubi bene, ibi patria.
Di mana seseorang merasa betah, di sana tanah airnya.
Ubi concordia, ibi victoria.
Di mana ada keselarasan, di sana ada kemenangan.
Ubi dubium, ibi libertas.
Di mana ada keraguan, di sana ada kebebasan

"Cinta dan teman-temannya....

Tempora mutantur et nos mutamur in illis.
Waktu berubah dan kita pun berubah seiring dengannya.
(Kutipan dari drama karya Edward Forsett, Pedantius babak I adegan 3)

Alkisah di suatu pulau kecil, tinggallah berbagai macam benda-benda abstrak, yaitu : ada CINTA, KEKAYAAN, KECANTIKAN, KESEDIHAN, KEGEMBIRAAN dan sebagainya. Awalnya mereka hidup baik, berdampingan dan saling melengkapi.

Namun suatu ketika, datang badai menghempas pulau kecil itu dan air laut tiba-tiba naik semakin tinggi dan akan menenggelamkan pulau itu. Semua penghuni pulau cepat-cepat berusaha menyelamatkan diri. CINTA sangat kebingungan sebab ia tidak dapat berenang dan tak mempunyai perahu. Ia berdiri di tepi pantai mencoba mencari pertolongan. Sementara itu air makin naik membasahi kaki CINTA. tak lama CINTA melihat KEKAYAAN sedang mengayuh perahu. "KEKAYAAN! KEKAYAAN! Tolong aku!" teriak CINTA. Lalu apa jawab KEKAYAAN, "Aduh! Maaf,CINTA!" kata KEKAYAAN. "Perahuku telah penuh dengan harta bendaku. Aku tak dapat membawamu serta, nanti perahu ini tenggelam. Lagipula tak ada tempat lagi bagimu di perahuku ini." Lalu KEKAYAAN cepat-cepat mengayuh perahunya, ia pergi meninggalkan CINTA tenggelam dan sendirian merana dalam derita.

HER STORY : Sekilas Pintas

Sudahkah kita juga membaca riwayat hidup mereka dalam Kitab Suci?

1. Anna Yang berdoa di kenisah seumur hidupnya Luk 2:37.

2. Deborah Hakim sekaligus imam dan panglima perang Hakim-Hakim 4; 5.

3. Dorcas, Ibu yang bijak, sigap membantu para rasul. Kisah 9:36

4. Elisabeth, sepupu Maria Percaya bahwa Tuhan pasti menolong. Orang pertama yang terpesona dengan ‘Salam Maria’ Luk 1:6,41-45

5. Esther Setia pada iman Ester. 4:15-17.

Pastor(al) Menembus Batas

“....panggilan kita adalah menjelajah dunia dan tinggal dimanapun.
Sekali pun kita bekerja di sebuah tempat yang paling tersudut di dunia,
kita harus tetap membuka dan terbuka terhadap aneka perjuangan global...”

.

A. Globalisasi sebagai Teks
Bicara soal zaman global, ada empat pilar dasar yang mesti ditilik-ulang terlebih dulu: Apa itu globalisasi? Bagaimana faktor-faktor globalisasi? Siapakah aktor-aktor globalisasi? Serta apa saja masalah dan dampak globalisasi?

Pilar pertama, apa itu “globalisasi”?
Globalisasi ”not just internet, not merely “economic”, tapi globalisasi itu sebuah INTERCONNECTIVITY (keterhubungan). Atau bahasanya Nokia, ”...connecting people...” Globalisasi juga adalah sebuah historiografi, semacam fakta sejarah, bukan hanya barang seperti Mac Book Air dari Apple atau teve plasma Sony atau tas Gucci - Hermes dan Louis Vuitton yang begitu saja bisa diterima atau ditolak. Justru, karena ia merupakan kondisi sejarah, perdebatan pro dan kontra menjadi mandul. Globalisasi juga bukan gejala alami, seperti musim semi atau gempa bumi. Ia adalah gejala yang muncul dari praktek dan konteks pemikiran manusia. Seperti halnya gejala lain dalam hidup manusia, globalisasi juga mengandung ambivalensi. Sebagai contoh analogi: HP bisa dipakai seorang “pastor” untuk karya pastor(al)nya, tetapi bisa juga dipakai untuk bermesraan entah dengan siapa. Dan jelas, bahwa ambivalensi globalisasi itu tidak akan lenyap. Sejarah ke depan akan ditandai dengan semakin banyaknya ambivalensi. Dalam bahasa Paulo Coelho, penulis novel The Alchemist yang tersohor itu, "that is our human condition".

Brothers of The Faith


In Christ there is no east nor west,
In Him no south or north;
But one great fellowship of love
Throughout the whole wide earth.

In Him shall true heart everywhere
Their high communion find;
His service is the golden cord
Close binding all mankind.

Join hands, then, brothers of the faith,
Whate'er your race may be.
Who serves my Father as a son
Is surely kin to me.

In Christ now meet both east and west,
In Him meet south and north;
All Christly souls are one in Him
Throughout the whole wide earth.

Apa artinya sebuah janji?


William Shakespeare tidak hanya bertanya, apa artinya sebuah nama. Dalam drama tragedinya Hamlet, Pangeran Denmark, dia juga bertanya: Apa artinya sebuah janji? Apa artinya sebuah janji yang pernah diucapkan ibunya kepada ayahnya untuk tidak akan menikah lagi kalau ayah, sang raja itu, meninggal, apabila janji itu dengan sangat mudah dan cepat ditarik kembali, ketika ibunya merasa tak sanggup lagi menolak rayuan saudara ayahnya, yang sebenarnya adalah pembunuh ayahnya itu? Apakah artinya sebuah janji? Pertanyaan yang pasti juga dilontarkan Hamlet, walaupun tidak ditulis Shakespeare, ketika mesti menerima kenyataan, bahwa ikrar cinta yang dipersembahkannya kepada Ophelia sepertinya menguap di bawah sikap ayah Ophelia yang tak merestui hubungan itu. Apalah artinya sebuah janji?

"No future without for - get ness - No mature without for - giveness"


Selayang Pandang...

Sebuah kenyataan yang terjadi, kadang sebuah keluarga atau komunitas menjadi tidak rukun dan tidak memiliki hikmah ketika salah satu pihak terus menuntut untuk dipenuhi semua kebutuhan psikologisnya, tanpa berusaha untuk berempati dengan yang lainnya. Tentunya, pihak yang dirugikan pasti menghasilkan suatu reaksi tidak rukun dan tidak berhikmah, diakibatkan adanya sakit hati atau kecewa. Reaksinya bisa dua macam: mengampuni atau mendendam. Secara ideal, dalam kacamata iman, setiap anggota keluarga yang ingin belajar hidup rukun dan penuh hikmah, diajak untuk mengampuni dan tidak mendendam, mengingat sebuah pesan Yesus dalam Kotbah di Bukit, “yang murah hati, akan memperoleh kemurahan Allah.” (Mat 5:7).

Di lain matra, Etika Kristiani memang selalu menekankan hubungan timbal balik. Kita ingin dihormati orang lain? Hormatilah orang lain! Kita minta dilayani? Jadilah pelayan! Begitupula bila kita mengharapkan pengampunan. Tiket yang mesti kita bayar adalah, tiket kesediaan untuk mengampuni: ”Penghakiman yang tak berbelas-kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas-kasihan” (Yakobus 2:13). Atau juga pesan Yesus yang bangkit: Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada' (Yoh 20:22-23). Yah, inilah modal dasar membangun sebuah “rumah – rukun dan penuh hikmah,” yakni pengampunan.

Jurus Tingkat Pertama St. Ignasius Loyola


1. Untuk mereka yang terus-menerus jatuh dari satu dosa ke dosa lainnya, iblis biasanya menyodorkan kesenangan-kesenangan palsu. Ia membuat mereka membayangkan kenikmatan dan kesenangan inderawi, supaya manusia tersebut tidak bertobat. Pada manusia yang sedang dalam kondisi seperti itu, roh baik memakai cara sebaliknya: yaitu menghantami dan menyesakkan hati nurani dengan teguran-teguran pada budi.

2. Untuk mereka yang dengan tekun terus maju dalam pertobatannya, iblis akan menyesakkan, menyedihkan, dan menghalang-halangi dengan alasan-alasan palsu, supaya orang tidak maju lebih lanjut. Sementara roh baik akan memberi semangat dan kekuatan, hiburan, air mata sukacita, inspirasi serta ketenangan, mempermudah cara pandang orang terhadap masalah, supaya orang semakin maju dalam pertobatannya.

3. Orang yang berada dalam keadaan konsolasi adalah orang yang batinnya sedang mengalami perasaan yang berkobar-kobar, bersemangat tinggi dalam melakukan sesuatu demi cinta kepada Allah Tuhannya. Orang yang bertobat dan merasa sedih atas dosa-dosanya sehingga mencucurkan air mata juga disebut sebagai konsolasi. Jadi konsolasi pada dasarnya adalah setiap keadaan dimana iman, harapan, dan kasih semakin dirasakan bertambah dalam diri seseorang.

Va’ dove ti porta il cuore.....


Dan kelak, di saat begitu banyak jalan terbentang di hadapanmu
dan kau tak tahu jalan mana yang harus diambil,
janganlah memilihnya dengan asal saja,
tetapi duduklah dan tunggulah sesaat.
Tariklah nafas dalam-dalam, dengan penuh kepercayaan,
seperti saat kau bernafas di hari pertamamu di dunia ini.
Jangan biarkan apapun mengalihkan perhatianmu,
tunggulah dan tunggu lebih lama lagi.
Berdiam dirilah, tetap hening, dan dengarkanlah hatimu.
Lalu ketika hati itu berbicara,
beranjaklah, dan pergilah ke mana hati membawamu….Va’ dove ti porta il cuore.....

"Puisi Kusni Kasdut"


Haru – biru kehidupan adalah perlawanan tanpa penyesalan
Kesalahan hanyalah lawan kata kebenaran
Selanjutnya engkau pasti tahu
Tahun 1976 ku bertobat
Semua yang ada tak selalu terlihat
Jarak antar saat begitu dekat
Situasilah yang memaksa dan membuat kuberlari
Rindukan terang pada pekat malam kuterjang
Serpihan paku, kaca dan kawat berduri
Bulan tak peduli, turuti kata hati
Hati menderu-deru, belenggu memburu
Beradu cepat dengan peluru
Kusadari hidupku hanya menunggu suara 12 senapan dalam satu letupan
Satu aba-aba pada satu sasaran yaitu ajalku…

Sayap burung berkepak,
menembus embun pagi,
terbang menerjang keheningan gerbang dini,
terperanjat mendengar derap langkahnya yang begitu tenang ,
melangkah menuju keabadian.

Tuhan memberkati dan Bunda merestui.
Fiat Lux!