Siapakah dia?
Justinus Darmoyuwono nama
lengkapnya. Djamin nama panggilannya (teman-teman sekolahnya memanggilnya, “Imin”).
Ia adalah seorang imam diosesan dari
Keuskupan Agung Semarang.
Dialah kardinal pertama di Indonesia, yang diangkat pada tanggal 29 Juni
1967. Ia sendiri lahir di Klewonan, Godean, Yogyakarta, pada
tanggal 2 November 1914,
kira-kira 13 kilometer sebelah barat Kota Yogyakarta.
Tidak jauh dari desa
kelahiran Pak Harto, mantan Presiden RI. Darmojuwono, Uskup Agung Semarang,
yang adalah alumnus Seminari Menengah Mertoyudan,Magelang, dan Universitas
Gregoriana, Roma, Italia ini, pernah mengatakan,
“Seumur-umur, saya tidak
pernah memimpikan menjadi uskup agung apalagi kardinal.Sejak pertama saya masuk
seminari, cita-cita saya hanya mau menjadi pastor biasa. Sinting apa, berpikir
untuk menjadi uskup, uskup agung, atau kardinal.” Dia menjadi imam selama 46 tahun 7
bulan, menjadi uskup selama 29 tahun 8 bulan, dan menjadi kardinal selama
26 tahun 6 bulan.
Apa cita-citanya?
Darmojuwono, yang pernah
menjadi pastor tentara pada 1950-an, sejak
kecil bercita-cita
menjadi guru. Oleh karena itu, setelah lulus dari sekolah
dasar Ongko Loro pada
1931, kemudian dia masuk di asrama sekolah guru
Normall School, Muntilan, Jawa
Tengah. Tapi, setelah lulus dari sekolah
guru dan melihat teladan
para pastor Belanda, ia malahan masuk asrama
seminari. Satu hal yang
diinginkannya hanyalah menjadi pastor biasa.
Baginya, menjadi pastor
biasa bisa lebih akrab dengan rakyat kecil. Inilah
juga yang mendorongnya
menetap di kompleks Perumnas, setelah pensiun
sebagai Uskup Agung
Semarang. ‘’Ingin hidup di tengah pergolakan hidup,’’
katanya. Memang benar,
sejak Desember 1981, ia tinggal di sebuah rumah
di Banyumanik, bagian
selatan Kota Semarang. Di situlah sebagai pastor
biasa, ia memimpin sebuah
paroki kecil, Gereja St. Maria Fatima, dengan
jemaat empat ribu orang.
Bagaimana hidup sehari-hari
dalam keluarganya?
Sebagai anak desa, ia
mengaku senang dan bangga. Keluarganya tidak kaya,
namun cukup, boleh
dikatakan harmonis. Disiplin dalam keluarganya sangat
terjaga. Katanya, “Kami
semuanya harus kerja keras. Di samping sekolah, saya,
kakak, dan adik saya
harus kerja di rumah. Setelah pulang sekolah, ada yang
kerja di sawah,
memelihara tanaman di kebun, atau mencarikan rumput untuk
makanan ternak. Karena
kami memelihara beberapa ekor kambing, kerbau,
dan sapi. Saya sendiri
mendapat tugas memelihara tiga ekor kerbau.”
Ayahnya, Surodikira adalah lurah desa, ibunya bernama Ngatinah. Seperti
juga pada
umumnya wanita Jawa di
masa itu, Ngatinah menangani pekerjaan rumah
dan ngopeni (mengasuh)
putra-putrinya. Dalam keluarga, mereka kerap
membuat macam-macam slametan
(kenduri). Jika ada anggota keluarga yang
meninggal, mereka
mengadakan slametan: membuat tumpeng, mengundang
orang dan santri untuk
berdoa bersama.
Seperti apa orang tuanya?
Kedua orang tuanya pada
awalnya bukan Katolik, tapi juga tidak sholat,
mungkin lebih tepat
disebut sebagai Islam abangan atau pengikut Kejawen.
Setiap malam Jumat,
ayahnya selalu membakar kemenyan dan menyebar
kembang di tempat yang
dianggap keramat. Menurut pengakuan Djamin,
ketika ia bertanya untuk
apa ayahnya melakukan hal itu, jawabnya,
“Ya kanggo nyuwun marang ingkang murbeng jagad, supoyo olehe golek
sandang
pangan lancar. Supoyo
anggonmu podo sekolah ugo lancar.” (Ya untuk minta
kepada Tuhan agar mudah
mencari sandang pangan, supaya sekolahmu juga
lancar).
Upayanya bertingkah laku
yang baik ternyata menarik orang tuanya
sendiri. Jusup
Surodikira, ayahnya, akhirnya dipermandikan oleh
Darmojuwono sendiri
(1952). Pada saat usia tua dan sudah sakit-sakitan,
Surodikira minta untuk
dibaptis, “Aku ingin mengikuti jejakmu. Aku minta
dibaptis. Tapi, aku tidak
tahu apa-apa. Yang aku tahu cuma para nabi,”
ucapnya.
Setengah tahun kemudian
setelah dibaptis, bapaknya meninggal
dan dimakamkan dengan
tata cara agama Katolik: dimasukkan dalam peti
mati, dan diberi pakaian
yang bagus. Pada saat upacara pemakaman, ibunya,
Ngatinah berbisik kepada
Djasmin: “Kalau kelak aku meninggal, dandani
juga seperti ayahmu.
Dimasukkan peti, pakai baju segala.” Ibunya meninggal
tepat di hari Natal 1963
setelah dibaptis juga olehnya dengan nama baptis
Maria.
Gambaran masa kecilnya?
Djamin bersekolah di
Sekolah Dasar Desa Gedongan, waktu itu namanya
sekolah Ongko Loro,
kira-kira lima kilometer dari desa. Dia selalu berjalan
kaki bila pergi ke
sekolah. Melompat-lompat di atas balok rel lori tebu.
Jika pulang sekolah
bersama teman-temannya, dia memilih jalan terobosan
yang dekat. Melintasi galengan
(pematang) sawah dan ladang. Katanya lagi,
“Enaknya, kalau tebu
sudah mulai tua. saya dan teman-teman ngrampasi tebu,
ha ... ha ... Semua anak,
waktu itu, sama. Kalau pulang sekolah, pasti nyolong
tebu. Kami haus karena
jalan kaki jauh. Kalau mau beli minuman, dilarang
Ibu.”
Dia mengakui, waktu
bermain cuma sebentar, paling-paling ramairamai
mandi di kali pada sore
hari, katanya. Di sore hari, sebelum waktu
belajar, mereka biasa
makan bersama. Dia belajar di sebuah meja bundar,
diterangi lampu teplok.
Seusai belajar pribadi atau kadang bersama dengan
beberapa temannya, ibunya
pasti menyuguhkan segelas teh manis panas dan
pelbagai makanan kecil:
ketela, singkong, kimpul, semuanya hasil kebun
sendiri.
Mengapa Darmojuwono menjadi
Katolik?
Dia mengakui, pengaruh
kakaknya (bernama, Janis), yang kebetulan juga
bersekolah di Sekolah
Katolik, membuatnya jadi kerap membaca kisah
dalam Kitab Suci dan
buku-buku mengenai Yesus juga Gereja. Pada 1932,
ketika dia sedang belajar
di sekolah guru di Muntilan, dia dibaptis dengan
nama permandian Justinus.
Hal apa yang membuatnya
tertarik untuk menjadi pastor?
Menurut rohaniwan
kelahiran Yogyakarta itu, agama tidak ada gunanya
tanpa teladan. Tatkala di
sekolah guru Muntilan, dia selalu ikut Cembengan
(perayaan menjelang
giling) di pabrik-pabrik gula. Di situlah, dia
menyaksikan perbedaan
tingkah laku orang-orang Belanda yang bekerja
di pabrik- pabrik dengan
orang-orang Belanda yang menjadi pastor. Dia
melihat, orang Belanda
yang bekerja di pabrik itu punya banyak perempuan
(“gundik”). Selain itu,
mereka juga suka muring-muring (marah-marah)
kepada orang lain.
Dia membandingkannya
dengan para pastor Belanda.
Mereka memberikan
teladan: terkesan arif dan bijaksana, sopan dan tidak
pernah marah kepada orang
lain. Lalu, dia berpikir, daripada jadi guru, lebih
baik sekalian menjadi
pastor saja.
Adalah suatu kisah.
Setelah lulus sekolah guru di Muntilan, dia
mendaftarkan diri di
Seminari Menengah Mertoyudan. Mendengar bahwa
dia ingin menjadi pastor,
ayahnya keberatan. Ia menasihati Djamin. “Pastor
itu tidak kawin, tidak
punya anak, tidak digaji. Orang hidup tak memiliki
keturunan, dan tidak
makan jerih payah sendiri, itu tidak lumrah.” Djamin
tak berani membantah
langsung, meskipun waktu itu dia sudah berumur 21
tahun.
Satu hal yang dia ingat
betul, sehari sebelum keberangkatannya masuk
Seminari. Pada waktu itu,
30 Agustus 1935 malam, seluruh sanak saudara
dan keluarganya berkumpul
di rumahnya. Ternyata, semua orang-orang tua
yang hadir pada waktu itu
sudah dibujuk bapaknya untuk membatalkan niat
Djamin menjadi pastor.
Akan tetapi, karena keinginan Djamin sudah kuat,
akhirnya bapaknya
berkata, “Aku tidak akan menentang panggilan Tuhan.
Sebab, menentang Tuhan
itu besar dosanya. Sudah, berangkatlah, aku berkati.
Hanya, semoga menjadi
pastor itu bukan panggilan jiwamu.”
Bagaimana juga perjalanan
p anggilanny a?
Setelah lulus dari
seminari Mertoyudan, dia melanjutkan ke Seminari Tinggi
St. Paulus, Yogyakarta,
pada 1941. Ia ditahbiskan sebagai imam diosesan,
pada tanggal 25 Mei 1947
oleh Mgr. Soegijapranata di Gereja St. Antonius,
Kotabaru, Yogyakarta. Ia
sendiri ditahbiskan bersama 3 orang imam lainnya,
yaitu Romo Pusposoegondo,
Romo Pojohardoyo, dan Romo Hadisudarso.
Saat itu, Indonesia masih
dalam suasana prihatin, pertempuran dengan
tentara Belanda terjadi
di mana-mana sehingga tidak ada pesta besar dalam
tahbisan imam, bahkan
juga tidak dibuat foto untuk kenang-kenangan.
Sebagai pastor, pertama
kali dia ditugaskan di Gereja Kidul Loji, Yogyakarta
selama 35 hari. Kemudian
dia ditugaskan di Ganjuran, Bantul, kira-kira
15 kilometer sebelah
selatan Yogyakarta. Berhubung karena Seminari
Menengah di Ambarawa
cerai-berai karena perang, maka Vikariat Semarang
memutuskan untuk
mengumpulkan para seminaris di Ganjuran, Bantul. Di
situlah, dia dipercaya
untuk menangani mereka. Selain mengajar di seminari,
dia juga mendapat tugas
melayani umat Katolik di sekitar itu dan mengelola
rumah sakit di Ganjuran.
Pertengahan 1950, ia pindah tugas ke Klaten,
Jawa Tengah, menjadi pastor
paroki pada Gereja Maria Assumpta, Klaten,
merangkap sebagai pastor
pembantu militer. Pada waktu itu komandan
militernya dipegang Pak
Harto, mantan Presiden RI.
Dari Klaten, kemudian ia
berpindah ke Solo pada 1952. Hanya
beberapa bulan di Solo,
kemudian ia mendapatkan tugas belajar misiologi
di Universitas
Gregoriana, Roma. Sekembali dari Roma, ia menjadi pastor
pembantu di Purbayan,
Solo, merangkap pastor pembantu militer. Selain
itu, ia juga ditugasi
merintis berdirinya sebuah Gereja di Solo bagian
utara. Pertengahan 1961,
Gereja itu mulai ditempati, meskipun belum
selesai seluruhnya.
Kemudian dia diangkat menjadi bouwpastoor, semacam
pastor kepala, di gereja
itu. Gereja itu kelak bernama Gereja Maria Regina
Purbawardayan. Pada 1962,
dia berpindah ke Semarang, menjadi pastor
kepala di Paroki Katedral
Randusari, Semarang, merangkap Vikaris Jenderal
Keuskupan Agung Semarang.
Kemudian, Uskup Agung Semarang, Mgr.
Soegijapranoto meninggal
dalam perjalanan ketika menghadiri Sidang
Konsili Vatikan II di
tahun 1962.
Oleh karena itu, dia
ditahbiskan menjadi Uskup Agung Semarang pada
tanggal 6 April 1964, oleh Mgr. Ottavio De Liva, Internuntius (Duta
Besar Vatikan) di Indonesia saat itu. Dia diangkat menjadi kardinal oleh
Paus Paulus VI pada 26 Juni 1967.
Pengalaman y ng dia ingat
ketika menjadi
p astor paroki?
Tatkala Bantul mulai
diduduki Belanda, banyak tentara RI yang mengungsi
di rumah sakit Ganjuran,
Bantul. Kepada tentara yang tinggal di rumah
sakit, dia menyarankan
memakai sarung dan berpura-pura menjadi orang
sakit. Oleh karena itu,
ketika Belanda datang, dia katakan pada mereka
bahwa yang tinggal
semuanya orang sakit, kecuali dirinya dan suster-suster.
Segerombolan tentara
Belanda datang, memeriksa, menggeledah dan
mencari tentara RI. Dalam
situasi itulah, ia berkata, “Ini rumah sakit, yang
ada orang sakit. Semua
yang ada menjadi tanggung jawab saya. Kalau kamu
akan mengganggu
orang-orang di sini, saya akan laporkan pada atasanmu.”
Pada masa perang itu,
bahan makanan sulit didapat. Uang ORI
dinyatakan tak berlaku,
yang berlaku hanya uang gulden, mata uang
Belanda. Dia berkeliling
dengan sepeda ontel ke berbagai tempat meminta
sumbangan apa saja, untuk
membiayai para korban perang di rumah sakit,
juga untuk memberi makan
para seminaris, dan pengelola rumah sakit juga
Gereja. Dia juga mencari
kayu bakar untuk memasak. Ketika ia bertugas
menjadi pastor paroki di
Gereja Maria Assumpta, Klaten, ia ingat menjelang
Natal 1950, pabrik gula
Klaten dibumihanguskan. Siang malam orang-orang
mengangkuti gula dari
pabrik itu. Bahkan sampai ada yang mati tertimbun
gula. Siang malam
orang-orang terus menjarah gula sampai habis. Tidak
hanya barang-barang yang
ada di pabrik gula yang dijarah rakyat, barangbarang
yang ada di sekolah pun
mereka angkuti. Bangku, kursi, bahkan
dinding pun dicopoti.
Kesibukannya sebagai Kardinal
sekaligus Uskup
Agung Semarang?
Dia tidak tahu mengapa
dia diangkat menjadi Kardinal. Yang jelas, sejak
ditahbiskan menjadi Uskup
Agung Semarang pada tahun 1963, ia sibuk
mengadakan pelbagai
kunjungan ke paroki-paroki, peresmian juga
pemberkatan pelbagai
paroki dan Gua Maria baru di wilayah Jawa Tengah.
Pada tahun 1964 ia juga
dipercaya menjadi Ketua MAWI (Majelis Agung
Wali Gereja Indonesia
(sekarang KWI, Konferensi Wali Gereja Indonesia).
Dia pernah mengatakan, “Setelah
saya menjadi kardinal, pekerjaan
saya lalu banyaknya tidak
karuan. Dalam setahun, 180 hari saya tidak di
rumah, seratus hari di
antaranya berada di luar negeri. Saya keliling dunia
untuk urusan Gereja.
Kadang-kadang di negara Asia, Amerika Latin, Eropa.
Bahkan setahun dua kali
harus pergi ke Roma.“ Tatkala kunjungan Paus ke
Manila pada tahun 1970,
dia mengadakan lobi ke mana-mana, bersama
Uskup Labayen dari
Fipilina dan Kardinal Kim dari Korea untuk merintis
terbentuknya Konferensi
Para Uskup Asia (FABC, Federation of Asian Bishops
Conferences).
Dia juga beberapa kali
bertemu Bung Karno, di kediamannya maupun
di Jalan Merdeka. Pada
suatu pagi, dia ditanya oleh Bung Karno, “Romo
Agung, bagaimana, apakah
orang yang menjadi duta besar di Vatikan itu
harus orang yang tidak
menikah?” Jawabannya tentu saja tidak; duta besar
di Vatikan itu juga boleh
menikah. Orang-orang pada waktu itu, termasuk
Bung Karno, sering
memanggilnya dengan sebutan Romo Agung, walaupun
ia mengaku sebenarnya
lebih suka dipanggil romo saja.
Apa yang dia kenang dari
tanah Vatikan?
Pelantikannya sebagai
kardinal. Ia dilantik di Kapel Sistina, sebuah kapel
indah di dalam kompleks
Basilika St. Petrus, Roma. Pengangkatannya
menjadi kardinal
berbarengan dengan pengangkatan beberapa kardinal
lainnya, di antaranya
Kardinal Karol Wojtyla dari Polandia, (yang kelak
menjadi Paus Yohanes
Paulus II).
Satu hal yang lain lagi,
pada tahun 1978,
ketika berlangsung
konklaf, untuk memilih pengganti Paus Yohanes Paulus
I (yang hanya bertakhta
selama satu bulan), Kardinal Darmojuwono duduk
persis di samping
Kardinal Karol Woytilla. Sejarah kemudian mencatat
bahwa Wojtyla yang orang
Polandia itu akhirnya terpilih sebagai Paus baru
dengan nama Yohanes
Paulus II. Pada 25 Agustus 1978, dia juga hadir dan
ikut dalam pemilihan
serta penobatan Paus Yohanes Paulus I. Kemudian,
16 Oktober 1978, dia juga
hadir dan ikut dalam pemilihan dan penobatan
Paus Yohanes Paulus II.
Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Inkulturasi Liturgi dan
Departemen Non-Kristiani yang membidangi
agama-agama
non-Kristiani. Dia juga pernah menjadi anggota Departemen
Sakramen. Setiap kardinal
juga memperoleh sebuah gereja khusus di Roma,
yang sering disebut
Gereja Titel Kardinal. Dengan demikian, semua kardinal
mempunyai ikatan khusus
dengan Dioses Roma. Gereja Titelnya sendiri
terletak di salah satu
jalan yang ramai, yakni Via Del Carso No. 45.
Bagaimana kehidupan dan
kesibukan di masa
pensiunnya?
Setelah enam belas
tahun menjadi
Uskup Agung Semarang, Darmojuwono
meminta mengundurkan diri
kepada Tahta Suci Vatikan pada Januari 1980.
Alasannya, keadaan
kesehatannya tidak lagi mengizinkan dirinya mengurus
keuskupan yang semakin
berkembang itu.
Permintaan itu baru
dikabulkan Paus setahun kemudian. ‘’Saya
tidak ingin tergolek begitu saja, seperti dalam museum. Saya tidak bisa
menganggur,’’ Begitu pengakuannya. Oleh karena itu, lepas dari jabatan
sebagai uskup agung, rohaniwan sederhana ini tetap
menyibukkan diri. Ia
bangun pagi-pagi, membaca surat kabar Kompas, Suara
Merdeka, dan majalah Time.
Itulah caranya mengatasi kesepian. ‘’Kalau
tidak ada kerja, saya
merenung, bersemadi, kadang berkorespondensi, atau
mengunjungi umat dengan
berjalan kaki, hitung-hitung sambil berolah raga.”
Sesekali, ia juga memberi
konferensi bagi para suster-suster Fransiskanes
(OSF), yang sudah berusia
senja, 70-80 tahun. Jelasnya, bangun pagi adalah
kebiasaan rutinnya,
karena pukul 05.00 dia harus mempersiapkan misa
untuk umat. Setelah
selesai, lalu dia membaca koran dan buku-buku, sampai
makan siang. Setelah
makan siang, dia beristirahat sebentar. Pukul 14.30 dia
sudah siap menerima tamu
lagi dan menyelesaikan pekerjaan yang belum
rampung. Pada malam hari,
biasanya dia habiskan dengan membaca buku
sampai pukul 21.00, lalu
menonton siaran “Dunia dalam Berita” TVRI.
Kemudian istirahat.
Memang, tatkala memasuki
masa pensiun dan berpindah ke Banyumanik, dia tidak
membawa apa-apa. Semuanya masih ditinggal di keuskupan. Bahkan
pakaian kardinal juga masih tersimpan di sana.Selama tinggal di
Banyumanik, dia sering menjadi langganan orang-orang yang minta sumbangan dan
bantuan. Katanya,
“Yang rutin saja, setiap bulannya, ada lima organisasi sosial yang datang. Saya memang
tidak bisa memberi sumbangan banyak.
Paling-paling cuma Rp 2 ribu sampai Rp 3 ribu
per organisasi. Karena
memang saya tidak kaya. Selain itu, ada juga orangorang
yang secara pribadi
datang kepada saya, meminta bantuan. Ada yang
minta bantuan untuk
membayar uang sekolah anaknya, ada yang terdampar
lalu minta sangu untuk
ongkos pulang. Kalau cuma minta sangu atau minta
sumbangan, kalau memang
itu sungguh-sungguh, ya saya beri.
Pernah datang seseorang yang mengaku anggota DPR. Pada saya, ia mengaku mobilnya
rusak menabrak pohon,
kehilangan barang ini dan itu, dan kehabisan uang. Dia
minta uang bensin untuk
perjalanan dari sini ke Cirebon. Lalu saya suruh
menghitung berapa liter
habisnya bensin buat perjalanan dari sini ke Cirebon,
dan berapa uang yang
dibutuhkan untuk sangu. Waktu itu dia minta duit
sekian puluh ribu. Ya,
saya kasih saja. Eee, ternyata dia itu penipu. Tapi kan
tidak semua orang yang
datang kepada saya itu menipu? Andaikata ada yang
menipu, toh tidak banyak
juga. Kan lebih baik ditipu, daripada menipu?”
Saat memasuki masa
pensiun, waktunya juga lebih banyak terpakai
untuk membaca buku. Ia
membeli buku sendiri dari toko. Setiap ada buku
baru yang bagus, dia
pasti membelinya. Ruang pribadinya merupakan ruang
kerja sekaligus
perpustakaan. Dia senang membaca buku-buku masalah
sosial, buku tentang
pergerakan suatu bangsa, juga tentang pergerakan agama
seperti DI/TII. Untuk
menulis buku, dia mengakui sudah tidak sanggup
lagi. Dia dari dulu juga
lebih sering menulis naskah pidato atau makalah-makalah
untuk seminar. Biasanya
mengenai masalah pendidikan, sosial,
agama, dan kependudukan.
Kardinal Justinus
Darmojuwono sendiri wafat pada tanggal 3 Februari
1994, dan dimakamkan di Makam Muntilan.
Beberapa pernyataan dari Kardinal
Darmojuwono yang baik
untuk kita ingat?
Menurut Rm. Sumaryo,
ketika menjadi Ekonom KAS, dia belajar banyak
soal kejujuran dalam
pengurusan atau pengelolaan harta benda dari sosok
seorang Justinus Kardinal
Darmojuwono, Pr. Ketika kardinal meninggal,
dan ia diminta membongkar
kamar almarhum, ia terkesan dengan ketertiban
dan pengelolaan uang yang
dilakukan Bapak Kardinal, antara lain semua
pemasukan dan pengeluaran
uang dicatat setiap hari, misalnya biaya cukur,
biaya bayar jalan tol,
biaya membeli obat nyamuk, penerimaan stipendium,
“dana pensiun” sebagai
Uskup, dan seterusnya. Bahwa hal itu dikerjakan
setiap hari tampak
terlihat dalam tulisan tangan.
Atau juga, ketika
Kardinal hendak berpindah ke Banyumanik dan Keuskupan
Agung Semarang berniat memberikannya mobil, dia malahan dengan
lembut menolaknya. Katanya,“Kalau saya mau ke
Semarang, bisa jalan kaki lalu naik angkutan umum.”
Masih banyak lagi hal
baik, yang bisa dipetik, tapi kali ini saya hanya
mengangkat empat
pernyataan beliau sebagai berikut.
Pernyataan yang pertama,
“Sesungguhnya, baptis itu
tidak dapat menjamin seseorang untuk
naik surga. Tatkala saya masih belajar di Seminari, dilaksanakan Natalan yang
bagus sekali. Kalau ibu saya (waktu itu belum dibaptis), menyaksikan
peristiwa itu, tentu saja, tidak akan bisa merasakan
dan menghayatinya.
Karena, ya, dunianya lain. Tapi, kalau ada surga, tentu,
ayah dan ibu saya naik
surga. Tidak hanya saya yang mengatakan bahwa ayah ibu
itu orang baik. Para
tentangga, dulu, menyanjung ayah-ibu saya memang
orang baik. Hampir semua
tetangga saya beranggapan demikian.
Jadi, bagi saya, Kerajaan Allah bukan hanya ikut Gereja. Kerajaan Allah
adalah untuk
siapa saja yang melakukan
kehendak Allah. Kalau orang itu baik dan berbudi
luhur, tentu, akan masuk
Kerajaan Allah. Yang dilihat Tuhan itu bukan yang
sorbanan, bukan pula yang
jubahan, tapi hati yang berkenan. Kerajaan Allah
lebih luas dari agama
Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan lainnya.
Karena Tuhan tidak bisa
diukur dengan semua itu. Apakah semua orang yang
ke gereja masuk surga?
Kok, enak. Kok koyo ono karcis neng suwargo! (Kok, enak.
Kok, seperti ada tiket
masuk surga!)
Artinya, ya, semua itu,
yang penting hati.
Jika orang sungguh
berbudi luhur, berbuat baik, sudah melaksanakan kehendak
Tuhan, itu berarti sudah
“dipermandikan” secara batin. Ia juga berhak masuk
surga. Sebaliknya yang
secara formal beragama dibaptis segala macam, pakai
atribut ini itu segala
macam. Namun, praktiknya sehari-hari menyeleweng dari
nilai-nilai susila. Lha,
yang demikian, apa ya, berhak masuk surga?”
Pernyataan pertama ini
mungkin tak lepas dari konteks waktu
Darmojuwono menjadi
Kardinal. Adanya fakta bahwa Peristiwa G30S
baru saja terlewati dan adanya
ketentuan pemerintah RI bahwa semua
orang harus memeluk salah
satu dari lima agama yang diakui pemerintah.
Juga gencar-gencarnya
pembangunan dijalankan.
Di sinilah Justinus Kardinal Darmojuwono memiliki kepedulian yang sangat besar
terhadap
kemanusiaan. Kepedulian
tersebut ia ungkapkan dengan melarang orang
Katolik untuk
terprovokasi atau ikut bertindak dalam pembunuhan massal
yang kemudian terjadi.
Beliau juga meminta Presiden (saat itu Soeharto)
untuk memperlakukan para
keluarga orang yang disebut komunis dengan adil.
Selain itu, ia juga
disibukkan dengan gelombang perpindahan
masuk agama menyusul
ketentuan yang dibuat pemerintah. Justinus
Kardinal Darmojuwono
ingin umatnya memeluk agama Katolik dengan
sesungguhnya, dan ini
menjadi bagian penting dari programnya terlebih lagi
karena generasi itu
adalah generasi Katolik Indonesia pertama yang akan
menentukan generasi
Katolik di Jawa ke depannya.
Pernyataan yang kedua,
“Sering saya katakan,
dalam berbagai kesempatan, jangan sampai
ada kejadian seperti zaman dulu, sewaktu sebuah gereja dibangun oleh para
imam sendiri, bahkan oleh para imam asing. Jangan sampai ada “gereja
tiban”: tanpa berbuat apa-apa jadi gereja besar. Akibatnya, nanti kalau ada atapnya
yang bocor, kalian tidak bisa naik membetulkannya.
Buatlah gereja dari
usahamu sendiri. Gereja berbentuk rumah biasa, itu juga
baik. Supaya nanti kalau
rusak, kalian bisa memperbaiki sendiri. Ini lebih
bermanfaat karena keluar
dari keringat sendiri, bukan?”
Pernyataan yang ketiga,
“Masalah kawin campur
bisa terjadi asal dengan cara yang baik. Artinya,
kelak bisa menjadi keluarga yang baik. Jangan sampai nanti cerai, dan
sebagainya. Toh, dalam kehidupan, masyarakat itu campur. Jadi, kawin
campur itu sangat mungkin terjadi. Sangat bisa terjadi,
orang Katolik kawin
dengan orang Islam, tapi hanya satu untuk selamanya.
Tidak boleh berpoligami.
Tidak boleh ada istri kedua, ketiga, apalagi cerai.
Bagaimanapun, perceraian
itu tidak akan membahagiakan. Ini sungguh sungguh
sangat perlu dipertimbangkan
dan diteliti dahulu, supaya nantinya
tidak terjadi perceraian.
Saya bisa memberi dispensasi kawin campur sehingga
kawin campur bisa
dilaksanakan di Gereja. Tidak ada kewajiban membaca
“syahadat” Katolik,
apalagi masuk agama Katolik, bagi calon istri atau suami
yang bukan Katolik itu.
Kalau dia mau masuk Katolik, ya harus belajar dulu.
Setahun dua tahun, itu
baru bisa. Kalau hanya datang, terus masuk, itu tidak
ada artinya. Agama harus
sungguh-sungguh dihayati. Meskipun tidak punya
agama, kalau memang
hatinya baik, mati, masuk surga. Kerajaan Allah lebih
luas daripada agama.”
Pernyataan yang keempat,
“Saya pernah mensinyalir
adanya dua kelompok manusia yang berbeda
mencolok dari latar belakang sosial ekonominya, tetapi bisa sama-sama melupakan
Tuhan.
Golongan pertama:
orang-orang yang kaya, mereka sibuk
memikirkan harta sehingga kerap melupakan Tuhannya dan lupa kepada sesama
manusia.
Golongan kedua:
orang-orang yang miskin, mereka sibuk memikirkan
perut sehingga lupa berdoa, lupa kepada Tuhan dan sesamanya.”
Ssst, bagaimana dengan
kita? Semoga berguna!
Peristiwa-peristiwa dalam
hidupny a :
Penanggalan Usia
Peristiwa
2 Nov 1914 0 lahir di
Godean, Yogyakarta
25 May 1947 32.6
Ditahbiskan sebagai Imam Keuskupan Agung Semarang
10 Dec 1963 49.1
Ditetapkan sebagai Uskup Agung Semarang
6 Apr 1964 49.4
Ditahbiskan sebagai Uskup Agung Semarang
8 Jul 1964 49.7
Ditetapkan sebagai Uskup Militer di Indonesia
26 Jun 1967 52.6 Diangkat
menjadi Kardinal
26 Jun 1967 52.6
Ditetapkan sebagai Kardinal-Imam dari SS. Nome di Gesu e Maria
in Via Lata
3 Jul 1981 66.7 Pensiun
sebagai Uskup Agung Semarang
1982 67.2 Pensiun sebagai
Uskup Militer
3 Feb 1994 79.3 Wafat
0 komentar:
Posting Komentar