Selayang
Pandang
SANTO CAROLUS BORROMEUS (1538-1584) adalah pelindung konggregasi dan ELISABETH GRUYTERS adalah ibu pendiri (1789 – 1864). Elisabeth Gruyters Lahir di Leut- Belgia, 1 November 1789. Di dalam sikap kelepasbebasan dan penyerahan diri kepada Allah dan kehendak-NYA Bunda Elisabeth memulai Kongregasi pada tanggal 29 April 1837 di Maastricht –Nederland.
Ada dua arti “biara” bagi Bunda Elisabeth, yang pertama adalah tempat Tuhan diabdi dengan tulus hati dan sempurna dan kedua “biara”adalah Kerajaan Allah.
Situasi Maastricht pada masa Elisabeth Gruyters sangat dipengaruhi oleh Revolusi Perancis. Maastricht merupakan kota tertutup: rakyat miskin, banyak penderitaan, kemerosotan moral, gereja-gereja ditutup untuk dijadikan markas militer.Dalam situasi demikian Elisabeth Gruyters tergerak hatinya untuk memperjuangkan keselamatan orang-orang yang menderita baik secara rohani maupun jasmani.
Dalam perjalanan waktu, Bunda Elisabeth yang semula memiliki kerinduan besar untuk masuk biara, telah berubah menjadi Pendiri Kongregasi “Tuhan menggunakan aku sebagai alat-NYA untuk mendirikan biara ini.Dimuliakanlah nama-MU sampai kekal.Amin” (EG 44). Setelah beberapa waktu, jumlah suster bertambah dan jenis karya meluas. Bunda Elisabeth percaya setiap hari diberkati oleh tangan Tuhan yang tak kelihatan.Dalam proses mengajukan pengakuan dari Roma dan pembuatan Konstitusi, Roma meminta Bunda Elisabeth memilih antara menggabungkan diri dengan Tarekat yang sudah didirikan oleh St.Vincentius a Paulo atau menerima St.Carolus Borromeus sebagai Santo Pelindung.Bunda Elisabeth memilih yang kedua oleh karena itu, nama Kongregasi ini menjadi Kongregasi Suster-suster Cinta Kasih St.Carolus Borromeus.
SPIRITUALITAS KONGREGASI
Kharisma
Cinta tanpa syarat dan berbela rasa dari Yesus Kristus Yang Tersalib
Visi
Yang miskin, yang tersisih dan yang menderita diselamatkan dan dibebaskan dalam keutuhan Kerajaan Allah
Misi
Sadar akan persembahan hidup kita kepada Allah melalui hidup berkaul sesuai dengan konstitusi kita, dengan diilhami oleh Roh Kudus dan dijiwai oleh kharisma Bunda Elisabeth Gruyters, serta dalam kesetiaan kepada Gereja universal, kami, Suster-Suster Cintakasih St. Carolus Borromeus berserah diri untuk : Mengembangkan relasi yang mendalam dengan Kristus dalam sikap hidup komtemplatif dan terus-menerus berdiskresi.Kesaksian hidup sebagai “hamba Yahwe”. Pelayanan bagi keutuhan manusia agar semakin sesuai dengan citra Allah sebagai tanda kehadiran kerajaan-Nya; dan menanggapi tantangan jaman dalam kegembiraan dan kesederhanaan, keberpihakkan kepada mereka yang menderita karena ketidakadilan menderita dan berkesesakan hidup.
AWAL KEHADIRAN CB DI KAJ
Rumah Sakit Carolus adalah pintu masuk kehadiran Kongregasi CB ke Indonesia yang berpusat di Maastricht, Nederland. Kongregasi CB datang atas permintaan Mgr.Luypen, SJ Vikaris Apostolik Batavia yang pada waktu itu membawahi seluruh Nusantara. Pada tahun 1910, Mgr.Luypen dan tokoh-tokoh awam katolik mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah Rumah Sakit Katolik karena adanya tuntutan perkembangan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Gagasan tersebut dapat direalisasikan dengan didirikannya Perkumpulan St.Carolus pada tanggal 4 Juli 1915.
Mgr.Luypen memberi wewenang kepada Badan Pengurus untuk membuat persetujuan/ kontrak dengan sebuah Kongregasi Suster di Belanda yang bertujuan menyelenggarakan perawatan orang sakit. Kongregasi yang disarankan adalah Suster-Suster Cinta Kasih St.Carolus Borromeus di Maastricht yang telah mulai dihubungi oleh Pastor Sondaal, SJ. Vikaris Apostolik Batavia memberikan kepastian kepada Badan Pengurus bahwa beliaulah yang akan menanggung beban biaya rumah selama satu tahun, karena Mgr.Luypen sungguh-sunguh berniat mengundang Suster-suster CB. Pada tanggal 2 September 1915 kontrak antara Badan Pengurus Perkumpulan St.Carolus dengan Kongregasi yang diwakili Mdr.Lucia Nolet (Pemimpin Umum Kongregasi) disahkan oleh Mgr.Luypen dan Mgr.Jan Schrijnen (Uskup Roermond – yang membawahi Kongregasi CB di Maastricht).
Untuk mengawali karya di tanah misi diutus sepuluh suster yang menyerahkan diri dengan penuh cinta. Karena alasan Perang Dunia I, keberangkatan para suster yang semula direncanakan pada tahun 1916 baru terlaksana pada tanggal 22 Juni 1918. Sesudah perjalanan panjang selama 107 hari dengan kapal laut berkeliling mengarungi samudera Atlantik ke New York, lalu ke Yokohama (Jepang), melewati bahaya-bahaya ranjau yang dipasang di lautan, menghindari bom, menghadapi badai, tibalah para suster pada tanggal 7 Oktober 1918 di Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan berbekal ”spiritualitas Bunda Pendiri”, percaya pada Penyelenggaraan Ilahi dan cintanya kepada Yesus, para suster berani menghadapi tantangan dan penderitaan selama perjalanan. Setelah sampai di Indonesia, para suster tinggal di biara Ursulin Jl.Pos-Jakarta Pusat selama 3 bulan. Para suster Ursulin dengan keterbukaan dan kebaikan hati menerima 10 suster CB. Pada tanggal 25 Oktober 1918 para suster CB pindah ke biara Carolus Jl.Salemba no 37. Inilah sepuluh suster misionaris pertama:
Rumah Sakit Carolus adalah pintu masuk kehadiran Kongregasi CB ke Indonesia yang berpusat di Maastricht, Nederland. Kongregasi CB datang atas permintaan Mgr.Luypen, SJ Vikaris Apostolik Batavia yang pada waktu itu membawahi seluruh Nusantara. Pada tahun 1910, Mgr.Luypen dan tokoh-tokoh awam katolik mempunyai gagasan untuk mendirikan sebuah Rumah Sakit Katolik karena adanya tuntutan perkembangan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan. Gagasan tersebut dapat direalisasikan dengan didirikannya Perkumpulan St.Carolus pada tanggal 4 Juli 1915.
Mgr.Luypen memberi wewenang kepada Badan Pengurus untuk membuat persetujuan/ kontrak dengan sebuah Kongregasi Suster di Belanda yang bertujuan menyelenggarakan perawatan orang sakit. Kongregasi yang disarankan adalah Suster-Suster Cinta Kasih St.Carolus Borromeus di Maastricht yang telah mulai dihubungi oleh Pastor Sondaal, SJ. Vikaris Apostolik Batavia memberikan kepastian kepada Badan Pengurus bahwa beliaulah yang akan menanggung beban biaya rumah selama satu tahun, karena Mgr.Luypen sungguh-sunguh berniat mengundang Suster-suster CB. Pada tanggal 2 September 1915 kontrak antara Badan Pengurus Perkumpulan St.Carolus dengan Kongregasi yang diwakili Mdr.Lucia Nolet (Pemimpin Umum Kongregasi) disahkan oleh Mgr.Luypen dan Mgr.Jan Schrijnen (Uskup Roermond – yang membawahi Kongregasi CB di Maastricht).
Untuk mengawali karya di tanah misi diutus sepuluh suster yang menyerahkan diri dengan penuh cinta. Karena alasan Perang Dunia I, keberangkatan para suster yang semula direncanakan pada tahun 1916 baru terlaksana pada tanggal 22 Juni 1918. Sesudah perjalanan panjang selama 107 hari dengan kapal laut berkeliling mengarungi samudera Atlantik ke New York, lalu ke Yokohama (Jepang), melewati bahaya-bahaya ranjau yang dipasang di lautan, menghindari bom, menghadapi badai, tibalah para suster pada tanggal 7 Oktober 1918 di Pelabuhan Tanjung Priok. Dengan berbekal ”spiritualitas Bunda Pendiri”, percaya pada Penyelenggaraan Ilahi dan cintanya kepada Yesus, para suster berani menghadapi tantangan dan penderitaan selama perjalanan. Setelah sampai di Indonesia, para suster tinggal di biara Ursulin Jl.Pos-Jakarta Pusat selama 3 bulan. Para suster Ursulin dengan keterbukaan dan kebaikan hati menerima 10 suster CB. Pada tanggal 25 Oktober 1918 para suster CB pindah ke biara Carolus Jl.Salemba no 37. Inilah sepuluh suster misionaris pertama:
Pimpinan :
Mdr. Alphonsa Groot
Mdr. Alphonsa Groot
Asisten :
Sr. Lina Leenen
Sr. Lina Leenen
Penasehat:
Sr. Ambrosine Steenvoorden
Sr. Ambrosine Steenvoorden
Penasehat Kedua:
Sr. Hermana Linder
Sr. Ignatio Hermans,
Sr. Justa Niekerk,
Sr. Gratiana Eskens,
Sr. Chrispine Bosman
Sr. Isabella Noordman,
Sr. Judith de Laat
AWAL KARYA DAN PERKEMBANGANNYA KARYA PELAYANAN KESEHATAN
RS St.Carolus sebagai awal karya pelayanan diberkati tanggal 22 Januari 1919 dengan kapasitas 40 tempat tidur yang telah terisi 36 orang penderita karena wabah flu berat. Rumah Sakit semakin berkembang dari waktu ke waktu dan pada tahun 1920 dibuka pendidikan perawat dan kebidanan. Para suster misionaris semakin banyak didatangkan, meskipun ada yang meninggal, sakit dan harus kembali ke Nederland. Pada tahun 1940, suster yang berkarya di rumah sakit berjumlah 30 dan dibantu 30 siswa perawat serta 4 dokter. Pada waktu meletus Perang Dunia II tahun 1940, suster-suster misionaris ditahan, rumah sakit diambil alih oleh Pemerintah Jepang, dan baru dikembalikan pada tanggal 20 Agustus 1948.
Perkembangan rumah sakit saat ini terus bertumbuh sehingga menjadi tempat pelayanan kesehatan yang “tidak menakutkan” bagi banyak orang. Sesuai dengan Spiritualitas Bunda Pendiri yang menghormati hidup dan martabat manusia, pasien adalah anggota tubuh mistik Yesus Kristus yang menderita ( bdk.EG 108 ), maka para suster CB bersama mitra kerasulan melayani pasien dengan penuh hormat bahkan bila pasien harus menyerahkan diri menghadap Tuhan pada akhir kehidupannya.
Pada tahun 1966 pelayanan kesehatan berkembang ke Tanjung Priok. Preferential option for the poor sebagai perwujudan semangat Bunda Elisabeth sungguh-sungguh dapat terlaksana, karena masyarakat yang dilayani sungguh miskin dan menderita dan membutuhkan kehadiran suster-suster CB.
Rumah Sakit Atma Jaya
Perluasan pelayanan kesehatan Kongregasi CB terjadi pada tahun 1976 dengan kehadiran di RS Katolik Atma Jaya. Peristiwa yang semula kebetulan merupakan cara Tuhan menuntun Kongregasi untuk hadir di lingkungan RS Katolik Atma Jaya. Peristiwa yang dimaksud tersebut adalah terpenuhinya syarat yang dituntut oleh donatur Belanda dalam membangun Rumah Sakit yakni kehadiran suster CB sebagai Direktur Keperawatan.
Sr. Hermana Linder
Sr. Ignatio Hermans,
Sr. Justa Niekerk,
Sr. Gratiana Eskens,
Sr. Chrispine Bosman
Sr. Isabella Noordman,
Sr. Judith de Laat
AWAL KARYA DAN PERKEMBANGANNYA KARYA PELAYANAN KESEHATAN
RS St.Carolus sebagai awal karya pelayanan diberkati tanggal 22 Januari 1919 dengan kapasitas 40 tempat tidur yang telah terisi 36 orang penderita karena wabah flu berat. Rumah Sakit semakin berkembang dari waktu ke waktu dan pada tahun 1920 dibuka pendidikan perawat dan kebidanan. Para suster misionaris semakin banyak didatangkan, meskipun ada yang meninggal, sakit dan harus kembali ke Nederland. Pada tahun 1940, suster yang berkarya di rumah sakit berjumlah 30 dan dibantu 30 siswa perawat serta 4 dokter. Pada waktu meletus Perang Dunia II tahun 1940, suster-suster misionaris ditahan, rumah sakit diambil alih oleh Pemerintah Jepang, dan baru dikembalikan pada tanggal 20 Agustus 1948.
Perkembangan rumah sakit saat ini terus bertumbuh sehingga menjadi tempat pelayanan kesehatan yang “tidak menakutkan” bagi banyak orang. Sesuai dengan Spiritualitas Bunda Pendiri yang menghormati hidup dan martabat manusia, pasien adalah anggota tubuh mistik Yesus Kristus yang menderita ( bdk.EG 108 ), maka para suster CB bersama mitra kerasulan melayani pasien dengan penuh hormat bahkan bila pasien harus menyerahkan diri menghadap Tuhan pada akhir kehidupannya.
Pada tahun 1966 pelayanan kesehatan berkembang ke Tanjung Priok. Preferential option for the poor sebagai perwujudan semangat Bunda Elisabeth sungguh-sungguh dapat terlaksana, karena masyarakat yang dilayani sungguh miskin dan menderita dan membutuhkan kehadiran suster-suster CB.
Rumah Sakit Atma Jaya
Perluasan pelayanan kesehatan Kongregasi CB terjadi pada tahun 1976 dengan kehadiran di RS Katolik Atma Jaya. Peristiwa yang semula kebetulan merupakan cara Tuhan menuntun Kongregasi untuk hadir di lingkungan RS Katolik Atma Jaya. Peristiwa yang dimaksud tersebut adalah terpenuhinya syarat yang dituntut oleh donatur Belanda dalam membangun Rumah Sakit yakni kehadiran suster CB sebagai Direktur Keperawatan.
Novisiat pertama dan perkembangan karya pendidikan
Kehadiran suster-suster CB menggerakkan hati gadis-gadis Indonesia (pribumi) untuk bergabung dalam Kongregasi. Untuk itu dibukalah Novisiat di Jakarta pada tahun 1933 bertempat di kompleks RS St. Carolus. Pada tahun 1934 Novisiat pindah ke Yogyakarta karena disadari bahwa Jakarta bukanlah tempat yang cocok untuk pendidikan calon biarawati CB.
Seiring dengan perjalanan waktu muncul kebutuhan untuk dibuka kembali Novisiat di Jakarta (Novisiat II) pada tahun 1953-1964 bertempat di Jalan Sungai Sambas III /17- Kebayoran Baru Jakarta selatan. Tanah yang digunakan untuk Novisiat tersebut milik Keuskupan, boleh digunakan apabila Kongregasi CB bersedia memulai karya pendidikan yang telah diminta oleh Mgr Willekens SJ beberapa tahun sebelumnya.
Bersamaan dibukanya Novisiat di Kebayoran Baru, karya pendidikan dimulai dengan ditugaskannya dua novis untuk mengajar di SD Strada milik paroki di Blok B dan SD & SMP di Blok Q.
Pada tahun 1957 Kongregasi ditawari untuk mengambil alih sekolah-sekolah tersebut, tetapi baru terlaksana pada tahun 1959 dibawah naungan Yayasan Tarakanita, kemudian nama-nama Sekolah tersebut berubah nama menjadi SD Tarakanita 1 dan 2 serta SMP Tarakanita 1.
Memenuhi harapan Bapak Uskup Djajasepoetra SJ yang menghendaki ada sekolah SD sampai SMA di Kebayoran Baru, maka pada tahun 1962 dibukalah SMA Tarakanita 1 oleh Suster Emmanuela Jansen di Jalan Wolter Monginsidi dan pada tahun 1970 pindah ke Pulo Raya.
Pada tanggal 10 Januari tahun 1968 didirikan sekolah kejuruan ( SMEA ) di kompleks Pulo Raya, untuk melayani murid-murid yang berasal dari keluarga kurang mampu. Di kompleks yang sama pada sore hari digunakan LPK Tarakanita dengan tujuan membantu kaum wanita agar berkembang sebagai wanita yang mandiri dan berkepribadian kuat. Pada tahun 1972 LPK berubah menjadi Aksek/LPK Tarakanita dan pada tahun 1990 pindah ke Kompleks Billy & Moon Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Pada tahun 1968 Paroki Yohanes Penginjil memiliki gagasan untuk mendirikan SD di Simprug. Pada tanggal 24 September 1969 dibeli sebidang tanah dan mulai dibangun gedung sekolah atas biaya umat. Pada tahun ajaran baru tanggal 19 Januari 1970 Sekolah Dasar disiapkan untuk dimulai, Sr.Lucie Sumarni mengawali sekolah ini namun pada tanggal 23 Januari 1970 sekolah dibakar oleh segerombolan orang. Pada tanggal 15 Maret 1971 sekolah dibangun kembali oleh Pemerintah DKI Jakarta dan diserahkan kepada pengurus Yayasan Johanes Penginjil oleh Gubernur Ali Sadikin. Pada tanggal 1 Januari 1973 Yayasan Johanes Penginjil menyerahkan pengelolaan sekolah kepada Yayasan Tarakanita cabang Jakarta di jalan Salemba 41. Pada tanggal 1 Januari 1970 di kompleks yang sama didirikan TK Tarakanita III dan pada tanggal 21 Januari 1976 didirikan SMP Tarakanita III dengan bantuan dari Pemerintah DKI dan orang tua murid.
Kehadiran suster-suster CB menggerakkan hati gadis-gadis Indonesia (pribumi) untuk bergabung dalam Kongregasi. Untuk itu dibukalah Novisiat di Jakarta pada tahun 1933 bertempat di kompleks RS St. Carolus. Pada tahun 1934 Novisiat pindah ke Yogyakarta karena disadari bahwa Jakarta bukanlah tempat yang cocok untuk pendidikan calon biarawati CB.
Seiring dengan perjalanan waktu muncul kebutuhan untuk dibuka kembali Novisiat di Jakarta (Novisiat II) pada tahun 1953-1964 bertempat di Jalan Sungai Sambas III /17- Kebayoran Baru Jakarta selatan. Tanah yang digunakan untuk Novisiat tersebut milik Keuskupan, boleh digunakan apabila Kongregasi CB bersedia memulai karya pendidikan yang telah diminta oleh Mgr Willekens SJ beberapa tahun sebelumnya.
Bersamaan dibukanya Novisiat di Kebayoran Baru, karya pendidikan dimulai dengan ditugaskannya dua novis untuk mengajar di SD Strada milik paroki di Blok B dan SD & SMP di Blok Q.
Pada tahun 1957 Kongregasi ditawari untuk mengambil alih sekolah-sekolah tersebut, tetapi baru terlaksana pada tahun 1959 dibawah naungan Yayasan Tarakanita, kemudian nama-nama Sekolah tersebut berubah nama menjadi SD Tarakanita 1 dan 2 serta SMP Tarakanita 1.
Memenuhi harapan Bapak Uskup Djajasepoetra SJ yang menghendaki ada sekolah SD sampai SMA di Kebayoran Baru, maka pada tahun 1962 dibukalah SMA Tarakanita 1 oleh Suster Emmanuela Jansen di Jalan Wolter Monginsidi dan pada tahun 1970 pindah ke Pulo Raya.
Pada tanggal 10 Januari tahun 1968 didirikan sekolah kejuruan ( SMEA ) di kompleks Pulo Raya, untuk melayani murid-murid yang berasal dari keluarga kurang mampu. Di kompleks yang sama pada sore hari digunakan LPK Tarakanita dengan tujuan membantu kaum wanita agar berkembang sebagai wanita yang mandiri dan berkepribadian kuat. Pada tahun 1972 LPK berubah menjadi Aksek/LPK Tarakanita dan pada tahun 1990 pindah ke Kompleks Billy & Moon Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Pada tahun 1968 Paroki Yohanes Penginjil memiliki gagasan untuk mendirikan SD di Simprug. Pada tanggal 24 September 1969 dibeli sebidang tanah dan mulai dibangun gedung sekolah atas biaya umat. Pada tahun ajaran baru tanggal 19 Januari 1970 Sekolah Dasar disiapkan untuk dimulai, Sr.Lucie Sumarni mengawali sekolah ini namun pada tanggal 23 Januari 1970 sekolah dibakar oleh segerombolan orang. Pada tanggal 15 Maret 1971 sekolah dibangun kembali oleh Pemerintah DKI Jakarta dan diserahkan kepada pengurus Yayasan Johanes Penginjil oleh Gubernur Ali Sadikin. Pada tanggal 1 Januari 1973 Yayasan Johanes Penginjil menyerahkan pengelolaan sekolah kepada Yayasan Tarakanita cabang Jakarta di jalan Salemba 41. Pada tanggal 1 Januari 1970 di kompleks yang sama didirikan TK Tarakanita III dan pada tanggal 21 Januari 1976 didirikan SMP Tarakanita III dengan bantuan dari Pemerintah DKI dan orang tua murid.
Adapun Karya pendidikan Tarakanita di Blok B, Blok Q, Pulo Raya dan Patal Senayan dilayani oleh para suster komunitas biara Immaculata Jl.sungai Sambas III /17 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Pada tahun 1971 Yayasan Tarakanita mengembangkan sayapnya ke Jakarta Utara dengan menerima pelimpahan karya pendidikan Strada yang sebelumnya dikelola Suster OSF dan suster OP. Suster Marie Redempta CB ditunjuk sebagai penanggung jawab pengembangan karya tersebut dan nama sekolah berubah menjadi sekolah Tarakanita. Pada tahun 1974 sekolah yang pada mulanya terletak di Jl.Jembatan III terkena pelebaran jalan. Berkat jasa Gubernur Ali Sadikin Kongregasi CB mendapat tanah untuk memindahkan sekolah ke Pluit. Pada saat ini di kompleks yang sama para suster melayani TK Tarakanita 4, SD Tarakanita 4, SMP Tarakanita 2, dan SMA Tarakanita 2.
Pada tahun 1971 Kongregasi membuka komunitas Balai Pustaka Rawamangun dengan tujuan untuk rumah studi para suster. Supaya ada karya kerasulan maka didirikan TK Tarakanita 5 di kompleks biara.Demi kelanjutan TK tersebut maka didirikan SD Tarakanita 5 pada tahun 1974 dan SMP Tarakanita 4 pada tahun 1977, keduanya berlokasi di Jl.Pemuda. Pada tahun 1986 Yayasan Tarakanita menerima hibah SD dan SMP Yayasan Keluarga milik Kongregasi MSF yang berlokasi di Jl.Balai Pustaka Baru I. Pada tahun 2000 komunitas Rawamangun berkembang dengan bertambahnya biara Rawamangun Muka Timur.
Pelayanan pendidikan berkembang ke Gading Serpong, Tangerang
Menanggapi kebutuhan keluarga muda yang tinggal di daerah pinggiran maka pada tahun 1993, Kongregasi melalui Yayasan Tarakanita mengembangkan pelayanan pendidikan di wilayah Provinsi Banten tepatnya di Gading Serpong dan pada tahun 1995 memperluas pelayanan ke Citra Raya. Pada awalnya didirikan TK dan SD Tarakanita Gading Serpong dan Citra Raya menempati Ruko. Pada tahun 1997 dimulai pendidikan SMP Tarakanita Gading Serpong dan sudah menempati gedung baru. Sedangkan SD dan SMP Citra Raya baru menempati gedungnya sendiri pada tahun 2004. Pada tahun 2001 dimulai pendidikan SMA Tarakanita Gading Serpong dengan menumpang gedung SMP. Para suster yang melayani karya pendidikan di Gading Serpong dan Citra Raya hingga saat ini masih menempati asrama guru di kompleks sekolah Gading Serpong.
Perkembangan Yayasan Tarakanita
Untuk lebih dapat melayani karya pendidikan secara optimal sesuai dengan tuntutan zaman maka Yayasan Tarakanita dikhususkan mengelola pendidikan TK – SMA / SMK sedangkan Aksek/LPK Tarakanita dikelola oleh Yayasan baru yaitu Yayasan Pendidikan Tinggi Tarakanita yang didirikan pada tanggal 4 November 2000, hal ini merupakan pengembangan dari Yayasan Tarakanita.
Karya pastoral dan sosial
Komunitas Tanjung Priok
Melalui Pater F.Broos SJ pastor paroki St.Fransiskus Tanjung Priok, Mgr Djajasepoetra SJ meminta bantuan suster-suster CB agar bersedia membantu karya kesehatan, sosial dan pastoral. Kongregasi menyetujui permintaan tersebut dan pada tanggal 4 Nopember 1966 Sr.Iris dan Sr.Bellina Timers datang di Tanjung Priok. Pada tanggal 31 Mei 1969 biara dan Poliklinik St.Yusup diberkati oleh Mgr Pappalrado, Duta besar Vatikan untuk Indonesia. Kehadiran para suster sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan umat paroki. Karya pelayanan para suster yaitu mengajar agama, terlibat di dewan paroki dalam bidang liturgi dan mengajar di sekolah serta pelayanan bagi orang miskin. Selain itu para suster terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat melalui kunjungan yang teratur dan mereka mengenal para suster dengan baik. Hingga saat ini para suster masih terlibat dalam karya pastoral paroki, pelayanan bagi orang-orang miskin melalui karya di Yayasan Pelita Kasih, serta pelayanan kesehatan bagi orang-orang yang tidak mampu.
Komunitas Wisma Samadi Klender
Memenuhi harapan dan cita-cita Mgr.A Djajasepoetra SJ, agar terlaksana pelayanan kesehatan dan pastoral, maka Kongregasi CB diundang untuk hadir dan berkarya di wisma Samadi Klender. Pada tanggal 3 Juli 1967 diutus dua suster CB yaitu Sr.Theodoro Van Thienen dan Sr.Afra Soeyarni. Para suster langsung melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan seperti : Kasebul, Kolpim, LKG, aneka macam retret dan masih banyak kegiatan pendalaman hidup lainnya. Selain itu para suster juga terlibat mengajar agama untuk anak-anak dan orang dewasa serta mengajar di SD Inpres sampai dengan tahun 1982. Saat ini para suster terlibat dalam pelayanan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh wisma Samadi Klender, khususnya pada pengelolaan Wisma dan pembinaan karyawan.
Komunitas Muarakarang
Pada tanggal 1 Mei 1977 para suster pindah dari kompleks RS Atma Jaya ke rumah yang baru di Muarakarang. Selain berkarya di bidang kesehatan, para suster juga berkarya di bidang sosial dan pastoral antara lain : mengembangkan pastoral keluarga di lingkungan termasuk keluarga non katholik, mengajar calon komuni I, penguatan, Sekolah Minggu, pendalaman Kitab Suci serta terlibat dalam seksi katekese paroki, gerakan kharismatik dan kegiatan pastoral lainnya. Di bidang sosial para suster turut merintis Usaha Kesehatan Masyarakat di kelurahan Penjaringan. Kegiatan tersebut merupakan perpanjangan kegiatan rutin RS Atma Jaya yang meliputi : kunjungan rumah untuk memberikan perhatian dan sapaan kepada warga yang sakit, kurang mampu, kurang gizi dan pemberian makanan tambahan. Selain itu para suster juga merintis adanya suatu koperasi. Saat ini para suster masih terlibat dalam karya sosial dan pastoral antara lain : mengunjungi orang-orang sakit, mengantar komuni, mendampingi calon komuni I, krisma, katekumen, Legio Mariae dan di dewan paroki. Di bidang sosial yaitu : memperhatikan orang-orang sekitar yang miskin : pemulung, sopir bajaj dengan memberikan perhatian baik sapaan maupun materi seadanya.
Komunitas Civita
Sejak tahun 1974 atas undangan Mgr. Leo Soekoto SJ, Kongregasi CB mengutus Sr.Carolie Hartatie bekerjasama dengan pastor Zahnweh SJ menangani pembinaan kaum muda melalui retret- retret. Pada tahun 1976 rumah retret Civita yang diberi nama Civita Youth Camp ini dibuka secara resmi, namun sebagai komunitas CB baru dimulai pada tanggal 1 Januari 1983. Karya kerasulan para suster saat ini yaitu sebagai tim bekerjasama dengan pastor yang ditugaskan oleh KAJ dan dibantu para frater dan tim lainnya untuk menangani pembinaan kaum muda Keuskupan Agung Jakarta, melalui retret dan pendalaman iman lainnya. Selain itu para suster juga melaksanakan tugas untuk urusan kerumahtanggaan.
MENILAI KONDISI INTERNAL KONGREGASI BERHADAPAN DENGAN TANTANGAN EKSTERNAL
Melalui berbagai pertemuan intern Kongregasi baik kategorial sesuai bidang karya pelayanan: pertemuan berdasarkan tahun prasetia/ kaul, pertemuan pimpinan komunitas, serta Kapitel 2005, Kongregasi telah mengajak para anggotanya untuk merefleksikan kondisi Kongregasi saat ini dan ke depan. Dalam refleksi tersebut disadari bahwa jaman emas dalam arti jumlah anggota yang berlimpah sudah berlalu. Sebagian besar anggota usianya sudah semakin bertambah, sementara pertambahan anggota yang baru “berjalan dengan tersendat-sendat”. Situasi dan kondisi ini dihadapkan pada jumlah karya yang tetap banyak, bahkan masih terus ada permintaan agar suster CB bersedia menanggapi berbagai bidang karya di berbagai tempat. Meski demikian, tantangan situasi tersebut tidak melemahkan, melainkan justru mendorong untuk memperdalam kualitas hidup dan kehadiran dalam berbagai bidang pelayanan.
Kecuali itu, dalam rangka peringatan 200 tahun KAJ suster-suster CB se KAJ juga mengadakan pertemuan untuk menerima masukan ( evaluasi sederhana ) dari wakil-wakil mitra kerasulan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan dan umat di paroki-paroki dimana para suster CB hadir dan berkarya. Dari berbagai masukan tersebut hal yang menjadi kekuatan CB adalah dipercaya Uskup dan umat, karya CB ikut mempersiapkan generasi baru yang sehat dan cerdas, memiliki jaringan luas, suster-suster mengikuti perkembangan jaman, ada kemandirian dan pendidikan yang memadai, menghayati spiritualitas secara mendalam, pengalaman karya, memperhatikan pelayanan bagi orang miskin dan menderita, meskipun perempuan mampu mengelola sekolah-sekolah dan akademi dengan jumlah siswa/mahasiswa yang banyak, terbuka bagi umat, kesiapsediaan dalam melayani, tanggap dan terbuka bagi kaum muda, kehadiran CB yang positif memberi warna bagi umat, wajah Gereja dikenal.
Sedangkan kelemahan-kelemahan yang diakui dan diterima sebagai perhatian yang positif dari umat dan mitra kerasulan yang memacu para suster untuk berbenah diri agar kehadiran suster yang mewakili Kongregasi CB tidak menjadi batu sandungan yang dapat melemahkan umat. Masukan yang paling menonjol adalah bahwa suster-suster kurang “meng-umat”, memasyarakat mengunjungi lingkungan-lingkungan.
Peluang-peluang yang ditawarkan untuk menjadikan eksistensi Kongregasi CB tetap kuat, bermakna, berdaya pikat dan berkembang adalah perlunya merelevansikan karya sesuai tuntutan jaman, profesionalitas Suster-suster CB yaitu keseimbangan kualitas spiritual dan intelektual serta kematangan kepribadian yang religius, adanya upaya untuk kaderisasi, adanya pelayanan-pelayanan non formal/pendampingan kelompok-kelompok kategorial, peningkatan kehadiran di lingkungan/gereja dan masyarakat, karya pendidikan dan kesehatan supaya diteruskan dengan tetap memperhatikan semangat Option for the poor, membangun jejaring demi pelayanan yang lebih baik, lebih optimal, kerasulan melalui gerakan prolife dalam berbagai bentuknya.
MENATAP MASA DEPAN DI KAJ
Berdasarkan arah pastoral KAJ dan masukan dari umat, Kongregasi akan mengupayakan beberapa hal sebagai berikut : komunitas CB mau memberi kesaksian hidup dalam wujud kunjungan keluarga/umat, meningkatkan keterlibatan dalam hidup menggereja, menyapa umat serta melibatkan diri dalam kehidupan bermasyarakat, pemberdayaan umat basis dalam berbagai karya: pertemuan kelompok-kelompok kecil di rumah sakit maupun di sekolah-sekolah, membangun komunitas yang inklusif, penyebarluasan habitus baru: Spiritualitas keuangan (menata sistem keuangan yang bisa dipertanggungjawabkan), sosialisasi gerakan Keadilan perdamaian dan keutuhan ciptaan (KPKC), penyadaran spiritualitas CB di dalam karya kesehatan melalui Forum Komunikasi Aktualisasi Spiritualitas (KAS) dan Dialog Aktualisasi Spiritualitas (DIAS) CB, disebarluaskan Guiding Principles CB baik di bidang kesehatan maupun pendidikan, mengembangkan budaya dialog, membangun jejaring, meningkatkan kerjasama dengan pihak luar (yang bukan CB), mengembangkan kaderisasi awam dalam kepemimpinan dengan dasar Spiritualitas Kongregasi, mengevaluasi karya dan penataan kembali karya-karya sesuai dengan Spiritualitas Kongregasi namun juga mengikuti/menyesuaikan dengan perkembangan jaman, ikut membangun citra/wajah gereja KAJ yang terbuka, ramah serta berpihak pada orang-orang miskin, lemah dan menderita, dan menyebarkan budaya kasih, rela memberikan waktu, menyapa umat (tidak menjadi suster “sok sibuk “), menerima tamu yang datang ke biara dengan ramah, memberi ruang di biara untuk kegiatan lingkungan.
Kehadiran CB di KAJ yang berusia 89 tahun saat KAJ merayakan pesta HUT ke 200, sudah sepantasnya untuk diadakan refleksi secara mendalam. Dalam rangka melibatkan diri dalam peringatan tersebut, Kongregasi sungguh terpacu untuk berefleksi dan berbenah diri dalam kebersamaan dengan umat dan para mitra kerasulan. Semoga dengan demikian meski dihadapkan pada derasnya arus informasi, globalisasi dan kemajuan tehnologi tidak menyurutkan semangat namun sebaliknya, menjadi penyemangat untuk maju, berkembang dan senantiasa menjadi terang di dalam masyarakat. Dengan dan dalam kepercayaan”Allah yang mahabaik senantiasa berkarya secara diam-diam dengan tanganNya yang tak kelihatan” (EG 63) dengan keinginan besar untuk maju” (EG 53).
0 komentar:
Posting Komentar