Pengantar
Sajian pada bagian ini menjadi semacam bantuan untuk materi KPP. Isinya secara mendasar berkaitan erat dengan materi-materi sebelumnya. Hanya saja akan diperlihatkan secara khusus kehidupan keluarga, kehidupan suami-isteri dalam suka-duka perkawinan. Karena itu, para peserta diajak untuk melihat apa itu spiritualitas perkawinan dan bagaimana spiritualitas perkawinan itu dihidupi.
Tujuan
Bagian ini bermaksud untuk:
1. Mengajak peserta untuk memahami apa itu spiritualitas perkawinan.
2. Bagaimana spiritualitas perkawinan dihidupi dalam kenyataan suka-duka hidup perkawinan dalam rangka mewujudkan sakramen perkawinan.
3. Melihat betapa pentingnya sikap dasar berkorban di dalam perkawinan dan hidup berkeluarga.
Sajian pada bagian ini menjadi semacam bantuan untuk materi KPP. Isinya secara mendasar berkaitan erat dengan materi-materi sebelumnya. Hanya saja akan diperlihatkan secara khusus kehidupan keluarga, kehidupan suami-isteri dalam suka-duka perkawinan. Karena itu, para peserta diajak untuk melihat apa itu spiritualitas perkawinan dan bagaimana spiritualitas perkawinan itu dihidupi.
Tujuan
Bagian ini bermaksud untuk:
1. Mengajak peserta untuk memahami apa itu spiritualitas perkawinan.
2. Bagaimana spiritualitas perkawinan dihidupi dalam kenyataan suka-duka hidup perkawinan dalam rangka mewujudkan sakramen perkawinan.
3. Melihat betapa pentingnya sikap dasar berkorban di dalam perkawinan dan hidup berkeluarga.
Pemberi
Imam dan pasangan suami-isteri. Selain itu ada pasutri yang diharapkan bisa menjadi pemandu dalam sharing, tanya-jawab atau diskusi kelompok kalau perlu dan waktu memungkinkan.
Metode
Ceramah, sharing pasangan suami-isteri, diskusi dalam kelompok, bisa juga memperlihatkan film tentang kehidupan keluarga yang kurang lebih mengungkapkan kenyataan bahwa pasangan suami-isteri satu sama lain harus berjuang hidup dalam spiritualitas perkawinan guna mewujudkan sakramen perkawinan. Supaya apa yang disharingkan pasutri sesuai dengan apa yang disajikan imam mengenai spiritualitas perkawinan, maka pasutri baik kalau konsultasi dengan imam terlebih dahulu.
Waktu: 120 menit (untuk memberi waktu cukup untuk sharing dalam kelompok)
SPIRITUALITAS PERKAWINAN
I. Pengertian
Spiritualitas (Latin: spiritus, spirit)
• Hidup nyata orang Kristen sejauh dikuasai oleh Roh Kudus. Pangkal tolak spiritualitas ialah kasih Allah sendiri. Singkatnya: Spiritualitas adalah hidup nyata sejauh dikuasai oleh kasih ilahi sebagai dinamika penyelamatan.
• Maka spiritualitas menyangkut seluruh dimensi kehidupan manusia. Semua segi kehidupan manusia termasuk di dalamnya. Jasmani dan rohani, personal dan sosial, moral dan afektif-emosional merupakan segi-segi yang tak terpisahkan dari spiritualitas. Sebab spiritualitas mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia.
II. Spiritualitas Perkawinan.
• Spiritualitas perkawinan merupakan bentuk konkret dari spiritualitas kaum awam. Spiritualitas perkawinan merupakan cara mereka yang membangun perkawinan dan hidup berkeluarga untuk mewujudkan dirinya sebagai orang kristiani. Oleh sebab itu, mereka menghidupi perkawinan sebagaimana perkawinan dimengerti oleh segenap umat beriman.
• Dengan demikian, spiritualitas perkawinan berarti menghayati atau mewujudkan perkawinan sebagai sakramen. Simbol hubungan penyelamatan antara Kristus dengan Gereja-Nya.
• Spiritualitas perkawinan berarti secara pribadi membuat sakramen perkawinan berperan dalam kehidupan sebagai suami-isteri. Sakramen perkawinan terletak dalam relasi timbal balik antara suami-isteri. Hanya perwujudan suami-isteri sebagai ikatan yang monogam dan tidak terceraikan menjadi tempat sakramen dan spiritualitas perkawinan berperan.
• Spiritualitas perkawinan merupakan suatu panggilan berdasakan pada iman. Dengan bermacam-macam pertimbangan yang tentu saja juga bersifat manusiawi, Allah turut bekerja dan membimbing manusia dalam menentukan pilihan termasuk memilih untuk membangun perkawinan dan hidup berkeluarga.
• Perwujudan iman kristiani di dalam perkawinan merupakan panggilan yang juga luhur dan mulia.
(Pasutri memberikan kesaksian tentang pemahaman mereka mengenai spiritualitas perkawinan. Isinya mengenai pengalaman konkret mereka bagaimana menghidupi perkawinan sebagai perwujudan iman kristiani berdasarkan pada kasih Allah)
111. Panggilan untuk mewujudkan Sakramen Perkawinan
1. Pandangan HUKUM SIPIL (UU Perkawinan 1974)
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
2. Pandangan HUKUM GEREJA (KHK k. 1055 1):
“Dengan perjanjian perkawinan pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen.”
3. Perkawinan sebagai sakramen
. Perkawinan merupakan sebuah proses yang semestinya berlangsung seumur hidup. Jadi bukan sebuah kenyataan yang sudah berhenti dan selesai. Penyerahan diri timbal balik suami-isteri, cinta kasih dan kebersamaan seluruh hidup terus menerus diperdalam, diperluas, dinyatakan dalam kehidupan.
. Sakramen perkawinan tidak lain dari perkawinan itu sendiri. Oleh sebab itu sakramen perkawinan akan mengalami jatuh bangun sebagaimana perkawinan sendiri mengalami jatuh bangun.
. Sakramen perkawinan tidak hanya terletak pada awal perkawinan melainkan tetapi juga dalam perjalanan perkawinan. Maka sakramen perkawinan pun merupaka sebuah proses.
. Pola hidup suami-isteri mewujudkan sakramen sejauh hidup mereka sebagai suami-isteri sesuai dengan apa yang disimbolkan oleh sakramen itu. Yaitu hubungan antara Kristus dengan Gereja-Nya, relasi kasih dari pihak Kristus (bdk. Ef 5:25) dan relasi kasih berupa ketaatan dari pihak umat-Nya.
. Suami-itsri mewujudkan simbol itu dengan mewujudkan perkawinannya secara kristiani. Suami-isteri lah yang membuat simbol itu menjadi tampak jelas. Dalam hal ini, bobot simbol sakramen perkawinan tergantung pada suami-isteri.
. Kekhasan perkawinan Katolik justeru terletak dalam sifat sakramennya. Sakramen berarti bahwa suami-isteri menjadi tanda dan sarana kehadiran Kristus dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami-isteri.
. Cinta kasih suami-isteri menjadi lambang dan tanda nyata kehadiran Kristus yang setia kepada Gereja-Nya dan menjadi saluran rahmat bagi hidup suami-isteri.
. Maka rahmat yang diterima suami-isteri ialah rahmat yang menyempurnakan cinta kasih mereka, rahmat yang membantu mereka dalam menjalani perkawinan, rahmat yang menyucikan mereka. Itu berarti Allah sendiri hadir dalam keluarga mereka.
4. Perkawinan: Panggilan untuk hidup dalam iman dan kasih.
. Suami-isteri ikut serta secara aktif dalam terbentuknya sakramen. Itu merupakan tugas khusus mereka. Maka juga disitulah letaknya spiritualitas perkawinan. Spiritualitas perkawinan merupakan kenyataan dimana Roh Kudus, Roh Kristus, iman, harapan dan kasih meresap ke dalam relasi suami-isteri.
. Iman menentukan sejauh mana perkawinan sebagai sakramen bermakna bagi suami-isteri. Dengan demikian, perkawinan bukan hanya urusan dua orang saja yaitu suami-isteri dengan masyarakat, melainkan ada hubungan yang tak terpisahkan dengan Allah di dalam Kristus. Allah dan Kristus, penyelamatan Allah hadir dan terlibat dalam perkawinan mereka. Singkatnya: Suami-isteri tidak hanya berdua melainkan selalu bertiga. Suami, isteri dan Allah di dalam Kristus. Sebagai suami-isteri, mereka ada dalam dunia ilahi karena hubungan mereka sebagai suamu-isteri menjadi tanda hubungan Kristus dengan Gereja-Nya, Allah dengan umat manusia.
. Iman membuat penyerahan diri timbal balik suami-isteri makin mendalam. Cinta kasih suami-isteri yang berciri manusiawi selalu mengandung tantangan-tantangan yang kadang tak selalu mudah. Suami atau isteri yang dipilih tak mampu memberikan apa yang secara manusiawi diharapkan pasangan, misalnya karena suatu penyakit atau alasan lain. Tetapi demi simboliknya yang khas sakramen dalam situasi semacam itu perkawinan berjalan terus. Kesetiaan tetap ekslusif dan abadi, monogam dan tak terceraikan.
. Berkat iman dan kasih ilahi, perkawinan sebagai sakramen menjadi berarti bagi suami-isteri. Berkat harapan yang berdasar pada iman dan kasih itu, perkawinan yang manusiawi itu terarah ke masa depan, mengarahkan suami-isteri kepada kehidupan bersama dengan Allah (bdk. Why 19:7-9).
. Doa suami-isteri, doa di dalam keluarga, doa-doa liturgis memupuk iman, harapan dan kasih itu. Hal ini menciptakan suasana batin dan lahir yang terbuka bagi daya penyelamatan Allah. Maka perkawinan dipandang sebagai jalan pengudusan, jalan penyelamatan. Bagi suami-isteri. perkawinannya merupakan jalan penyelamatan utama yang lebih penting dari apa pun juga.
5. Pentingnya askese alam perkawinan.
. Suami-isteri memegang peran yang menentukan dalam rangka mewujudkan perkawinan dan sakramen. Tetapi suami-isteri sebagai manusia tetaplah manusia yang terbatas dan berdosa. Seksualitas misalnya tetap mengandung segi kreatif dan juga segi-segi yang menghancurkan. Perkawinan juga sesuatu yang suci, tetapi suami-isteri yang hidup dalam perkawinan tetaplah manusia yang terbatas dan berdosa.
. Oleh sebab itu, pentinglah askese di dalam perkawinan. Askese berarti dengan seksama berusaha dan melatih diri. Suami-isteri harus berusaha agar perkawinannya benar-benar menjadi sakramen yang tentu juga berdasar pada kepercayaan bahwa Allah hadir dan menyempurnakan usaha suami-istri, usaha manusia dalam mewujudkan perkawinan sebagai sakramen.
. Askese dalam perkawinan berarti: dengan tekun dan sabar membina relasi timbal balik suami-isteri. Kalau hubungan terganggu karena konflik, orang berusaha memulihkannya lagi. Setiap hari suami-isteri berusaha untuk saling memaafkan dan saling mengampuni. Suatu relasi selalu melibatkan dua orang. Kalau hubungan keduanya terganggu bahkan menemui kebuntuan, maka satu diantara keduanya berusaha untuk mulai membangunnya kembali, berinisiatif untuk mengulurkan tangan dan mengampuni tanpa dendam. Maka suami-isteri belajar satu sama lain dalam hal ini.
. Askese berarti berjuang agar cinta Kristus makin meresap dalam hidup suami-isteri. Mengutamakan yang lain yaitu dia yang dikasihi. Kasih selalu berarti mematikan diri sendiri, melepaskan diri secara sukarela. Relasi suami-isteri menjadi simbol relasi Kristus dengan jemaat-Nya. Kristus menyerahkan diri-Nya dan mati di salib karena mencintai jemaat-Nya.
. Askese, latihan dalam cinta kasih berati membiarkan pasangan tetap menjadi dirinya sendiri. Suami-isteri tidak bisa hidup bersama dengan pola tuan-budak yang saling memaksa satu sama lain.
. Bagi orang beriman, perkawinannya jangan sampai benar-benar gagal. Sebab Allah dalam Kristus adalah Allah yang setiakawan dengan mereka yang gagal, menderita dan berdosa. Maka kesukaran yang dihadapi dalam perkawinan mendapat makna positif berkat kasih Allah dan sikap orang yang mengalami kesukaran itu. Pengalaman yang bisa jadi menyakitkan dalam perkawinan jangan lalu menjadi dasar putusya sebuah relasi suami-isteri dalam perkawinan.
(Pasutri memberikan kesaksian tentang suka-duka yang dialami dalam kehidupan perkawinan. Isinya: pengalaman akan kekecewaan terhadap pasangan dan sikap-sikap yang menyertainya sampai perkawinan dapat bertahan, pengalaman akan kegagalan dan kesusahan kemudian sikap-sikap di dalam kegagalan atau kesusahan itu sampai perkawinan berlanjut terus? Apa yang dialami dan (juga dirasakan) setelah pengalaman akan kekecewaan akhirnya terlewati?
6. Perkawinan dalam Rencana Allah
• Alkitab mulai dengan kisah penciptaan manusia, wanita dan pria, menurut gambar Allah sendiri (Kej 1:25-27)
• Alkitab diakhiri dengan dengan “Perjamuan Kawin Anak Domba” (Why 19:7-9).
• Di sepanjang Alkitab, sering disebutkan bahwa perkawinan menjadi lambang hubungan Allah dengan umat-Nya
• Dalam Perjanjian Baru, perkawinan menjadi lambang perjanjian Kristus dengan Gereja (1Kor 7:39; lih Ef 5:31-32)
7. Perkawinan di bawah Kuasa Dosa
• Segala ciptaan Allah adalah baik.”Allah melihat bahwa semuanya itu baik” (Kej 1:10.13.19.21.25).
• Setelah manusia diciptakan “Allah melihat… sungguh amat baik.” (Kej 1:31)
• Kejahatan di dunia ini bukan berasal dari Allah, melainkan dari sikap manusia sendiri yang melawan rencana Allah (Kej 3:1-7)
• Hubungan kacau antara Suami-Istri disembuhkan oleh rahmat Allah yang Maharahim (Kej 3:15.21)
Pasutri memberikan kesaksian bagaimana mereka berusaha untuk setia satu sama lain meskipun hubungan mereka rusak akhibat dosa atau ketidaksetiaan pasangan? Bagaimana pasutri mengembangkan sikap saling mengampuni ketika ada konflik?
4. M O R A L PERKAWINAN
Moral ( mos - moris -Latin) adalah:
• Pedoman tentang baik-buruk, halal-haram, wajib-dosa, benar salah.
• Pedoman bagaimana kita mengatur hidup supaya menjadi baik, yaitu sesuai dengan maksud Tuhan Pencipta, dan dengan demikian kita menjadi ‘bahagia’.
Ada dua tolok ukur baik-buruknya sikap dan tindakan manusia:
1. Hati Nurani: Berasal dari dalam diri sendiri.
2. Dari luar: pedoman, perintah, larangan, (yang baik harus dilakukan dan yang tidak baik harus dihindari).
Maka ada perbedaan antara salah dengan dosa.
1. Salah: perbuatan yang secara objektif tidak sesuai dengan norma menjadi pedoman, perintah, melarang.
2. Dosa: Perbuatan yang dengan sengaja melanggar norma yang sudah diketahui.
Sumber Moral Katolik:
• Kitab Suci dan Ajaran Gereja: Prinsip hidup kristiani yang berasal “dari atas”. Pedoman umumnya ialah: KASIH.
• Penalaran akal budi manusia dan Ilmu Pengetahuan: berasal “dari bawah”.
Moral perkawinan dimaksudkan untuk memberi pedoman mengenai apa yang harus dilakukan supaya perkawinan benar-benar sesuai dengan maksud Allah pencipta dan menghindari apa yang menyebabkan perkawinan tidak sesuai dengan maksud Allah pensipta itu.
Maka ada dua pertanyaan mendasar:
1. Apa pedoman yang kita temukan dalam Kitab Suci dan Ajaran Gereja mengenai tujuan perkawinan?
2. Apa yang dapat kita pelajari dari pengalaman dan juga ilmu pengetahuan mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga?
Beberapa pokok Ajaran Kitab Suci dan Ajaran Gereja Katolik
1. Allah mempunyai maksud terhadap manusia dan dunia. Dunia dan manusia diciptakan dalam keadaan baik adanya. Kasih Allah merupakan awal juga menjadi sumber kehidupan. (bdk. Kej 1).
2. Seks dan seksulitas manusia merupakan sesuatu yang pada dasarnya positif, sebab Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri (bdk. Kej 1:27-28). Persatuan laki-laki dan perempuan dalam hubungan seks berasal dari Allah, dimaksudkan untuk terbuka terhadap keturunan dan demi kebahagiaan manusia.
3. Laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling melengkapi. Laki-laki dan perempuan sama dan sederajad di hadapan Allah. (bdk. Kej 2:4).
4. Tuhan menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan, agar mereka menjadi satu dalam perkawinan dan membangun keluarga (bdk. Kej 2:24; Mat 19:5; Mrk 10:7-8; Ef 5:31).
5. Maksud Tuhan terhadap perkawinan ialah: agar laki-laki dan perempuan sebagai suami-isteri menjadi satu dalam ikatan lahir batin yang bersifat tetap dan tidak terceraikan berdasar pada kasih setia (menjadi satu daging).
6. Tujuan pokok perkawinan menurut Kitab Suci ialah: kesatuan dan kebahagiaan suami-isteri dalam suka-duka. (bdk 1 Kor 13).
7. Kristus menolak dengan tegas persinahan dan perceraian. Kesetiaan adalah sesuatu yang mutlak. Apa yang dipersatukan Allah tidak bisa diceraikan manusia. Maka janji setia dalam suka dan duka dalam untung dan malang merupakan intisari dari sakramen perkawinan.
8. Hubungan seks dalam perkawinan merupakan sesuatu yang baik, suci, dan halal. Hubungan seks di luar nikah merusak rencana Allah berkaitan dengan perkawinan (bdk 1 Kor 7). Maka dari itu dikategorikan dalam tindakan dosa.
9. Seks dalam arti hubungan kelamin merupakan salah satu segi dari keseluruhan pribadi manusia. Maka hubungan seks tak pernah boleh dipisahkan dari segi-segi lain seperti: psikologis, emosional, spiritual, tanggungjawab, budaya, dan ekspresi cinta.Kitab Suci menyebut tubuh sebagai anggota Tubuh Kristus dan bait Roh Kudus yang akan dibangkitkan bersama Kristus.
10. Hubungan seks dalam perkawinan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis, melainkan keikutsertaan suami-isteri dalam karya penciptaan Allah. Maka disertai kesediaan untuk menyambut kahadiran anak.
11. Tanggungjawab suami-isteri menurut Kitab Suci dipadatkan dalam dua kata yaitu: Memimpin/ Melayani (Mat 20:20-28; Yoh 13:1-15). Memperhatikan keselamatan orang yang menjadi tanggungannya. Pria disebut kepala isterinya, kepala keluarga sama seperti Kristus kepala umat-Nya (Ef 5:23). Mengasihi isteri haruslah seperti dirinya sendiri sebagaimana Kristus mengasihi jemaat-Nya. Kasih seperti itu adalah kasih tanpa sayarat, rela berkorban, setia sampai mati.
12. Tanggungjawab isteri terhadap suaminya berdasarkan Kitab Suci adalah: Tunduk kepada suaminya dan menolong dia artinya menjadi pendamping yang sepadan dengan dia, menghormati dan melengkapi suaminya, bekerjasama dengan suami demi kebaikan keluarga, dan dibawah pimpinan suami sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan (Kej 2: 18-25; Ams 31: 10-31; Ef 5:22-33; Tit 2:4-5; 1 Ptr 3:1-6).
13. Di dalam perkawinan, pasti ada juga godaan seperti: kekayaan, kekuasaan, kedudukan dan kenikmatan seks. Tetapi, dalam iman tentu ada suatu keyakinan akan bantuan dan rahmat Tuhan.
14. Abortus atau pengguguran yang disengaja dilarang keras tak hanya oleh hukum agama tetapi juga oleh undang-undang negara.
15. Hidup bersama suami-isteri juga berarti membangun komunikasi.
(Pasutri mensharingkan pengalaman mereka di dalam menghidupi moral perkawinan Katolik. Isinya: perjuangan, tantangan, hambatan dalam menghayati moral perkawinan Katolik. Bagaimana akhirnya perkawinan benar-benar menjadi sakramen kehadiran Allah sendiri di dalam kehidupan? Bagaimana suami berjuang menjadi sakramen, tanda kehadiran Allah bagi isteri dan sebaliknya? Dan bagaimana akhirnya perkawinan dan hidup berkeluarga menjadi sakrame, tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan?
Sesi ini memberi tekanan yang pada sharing kelompok. Peserta KPP dibagi dalam kelompok kemudian dipandu oleh Pasutri. Bahan sharing berdasarkan bahan-bahan yang sudah disharingkan pasutri dalam sesi ini. Kalau dirasa perlu dan waktu memungkinkan, maka bahan sharing bisa diambil dari bahan-bahan dari keseluruhan sesi. Hal ini dimaksudkan agar sesi ini benar-benar menjadi semacam kesimpulan dari seluruh kursus ini. Dengan demikian, peserta KPP juga terlibat dalam interaksi satu sama lain. Berikut ini beberapa pertanyaan pembantu yang tentu saja sekedar memancing diskusi. Dinamika sangat tergantung pada pemandu dan juga situasi peserta KPP.
Pertanyaan-pertanyaan untuk interaksi dalam kelompok misalnya:
1. Apa yang anda ketahui mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga dalam ajaran Gereja Katolik?
2. Apakah sifat-sifat dan ciri khas perkawinan Katolik?
3. Apa dasar dari moralitas perkawinan Katolik?
4. Bagaimana Anda berjuang nantinya, agar perkawinan Anda benar-benar dibangun berdasarkan iman Katolik?
5. ..............................(Pertanyaan-pertanyaan lain sangat terbuka sejauh dinamika dalam kelompok memberi kemungkinan untuk itu).
0 komentar:
Posting Komentar