Ads 468x60px

“Natal: Back To Basic..…




Suatu ketika di Plaza Senayan……….

Pada suatu masa dan tempat bernama Jakarta, semarak aneka hotel-apartamen, mall-plaza, bank, café-lounge, tempat cuci mata dan nongkrong 24 jam yang ngetrend terilhami kawasan belanja Bugis Junction Singapura. Pelbagai fragmen ruang fisik ini menandai fisiogonomi metropolisnya. Di Jakarta bagian atas inilah, orang asyik masyuk menikmati arus dunia kontemporer hic et nunc dengan handphone, farfume dan life style ala barat. Mereka bisa menikmati saat-saat non Jakarta atau Jakarta yang lain dalam ruang art-deco penuh relief, setengah terbuka ber-AC, dijaga satpam sambil menikmati musik jazz, MTV sampai dangdut kontemporer ataupun hidangan lintas bangsa. Banyak dari mereka berpakaian in mode di atas ratusan ribuan rupiah, seperti kelakar Umberto Eco, “Aku berbicara melalui pakaianku”. Di tengah geliat business, multimedia, pop culture pun indie labels, Jakarta seakan menjadi pembiakan globalisasi budaya barat, sebuah kosmopolit made-in USA dengan segala macam entertainmentnya. Kesan the west is the best semakin marak bergerak.

In Memoriam


“Yesus Sang Tersalib dan Si Muda....”

“…Di puncak Golgota, massa telah beranjak.
Adegan maut penyaliban usai sudah.
Tiada lagi serdadu Romawi, tiada lagi orang-orang Yahudi.
Tinggal cadas dan onak duri yang coba nyanyikan lagu duka
bagi tiga anak manusia yang tergantung di palang.
Matahari adalah laknat,
kutuk bumi dengan silau dan hujan arus panasnya.
Suara angin gurun berhembus.
Derunya seperti suara hantu beku yang membuat iman jadi layu.
Di sini, kesunyian adalah jubah malaikat maut,
pelumat semua yang hidup dan bermakna...........”




Suara batu beradu memecah sunyi: ‘tak-tak-tak....’ aku melangkah pelan menuju ke tiga palang. Aku hindari jumbai jubah putihku tersangkut onak duri dengan mengangkat kedua sisinya. Mataku nyalang, menatap tubuh telanjang yang tergantung di palang tengah yang cukup panjang melintang garang. Luapan perasaanku panas. Sampai di bawah palang tengah, aku tengadah; tatap tubuh telanjang penuh darah dan luka merah. Jantungku berdegub keras: Duk...duk..duk. Mataku menatap keras dan pedas, Tak tahan membendung rasa, aku berteriak:

“Ahhh....mengapa Engkau disalib, wahai Yesus bin Yusup.
Mengapa Engkau disalib kalau Engkau benar, hai ‘raja’ Nazaret?
Mengapa Engkau tidak menang. Engkau tidak lebih dari orang terpidana.
Bahkan....Engkau jauh lebih hina.

Ibu, Riwayatmu Dulu, Kini dan Nanti

Lihat blogVia Veritas Vita
@Romo Jost Kokoh

Tumbuk Ageng Ibu
15 Mei 1948 – 15 Mei 2012



Seperti yang pernah saya tulis dalam buku “XXX-Family Way”, secara historis-kultural, kita semestinya mengetahui betapa menentukannya peranan seorang ibu. Beberapa guliran sketsa: Mengapa bintang rock n roll sekaliber Elvis Presley menjadi ‘kacau’ kehidupannya setelah ditinggal oleh ibu tercintanya? Mengapa penyanyi pop legendaris,  Michael Jackson menjadi ‘aneh’ dan gagal menemukan makna hidup sejak ibunya tidak bertegur sapa lagi dengan dia atas larangan ayahnya yang kecewa? Mengapa musikus klasik kelas dunia, Ludwig Van Beethoven menjadi setengah gila selepas ditinggal mati oleh ibunya? Mengapa pentolan The Beatles, John Lennon masih selamat meski ditinggal ibu tercintanya setelah menemukan sosok ibu pengganti pada diri Yoko Ono? Mengapa Kaisar Calligulla menjadi sangat bengis dan membantai siapa saja setelah membantai ibu dan saudara perempuannya sendiri?

Bapak: Rindu Kami Padamu!


”...Hidup itu bagaikan garis lurus tak pernah kembali ke masa yang lalu.
Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung tiada pangkal.
Hidup melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir.
Pesan nabi: jangan takut mati karena mati pasti terjadi.
Setiap insan pasti mati hanya soal waktu kapan terjadinya.
Pesan nabi tentang mati: janganlah minta mati datang kepadamu.
Janganlah engkau berbuat yang menyebabkan mati.
Pesan nabi: jangan takut mati, meski kau sembunyi, dia menghampiri.
Takutlah akan kehidupan sesudah kau mati.
Renungkanlah itu…..”


 Dum spiro, spero. Selama saya masih bernafas, saya tetap berharap. Kalimat ini jugalah yang kuucapkan sebagai seorang rama muda ketika melihat bapak semakin lemah tak berdaya pada pertengahan tahun 2007 yang lalu. Ia terkulai pasrah-lemah di kursi rodanya, kadang dikerumuni oleh teman-teman sebayanya, para lanjut usia yang mungkin juga sedang merenda kekhawatiran masa tua dalam diri mereka sendiri. Benarlah bahwa hidup manusia bagaikan jam yang berdentang. Sekali per-nya diputar, suatu saat akan berhenti berdetak. Mungkin ditengah malam, rembang petang, sore, siang, atau bahkan pagi hari. 

Semenjak didera sakit stroke dari tahun 2003, Bapak memang tidak pernah berbicara banyak kalau tidak mau dikatakan tidak berbicara sama sekali, tapi diamnya bapak ternyata mengungkapkan banyak sekali kearifan, yang hanya hati yang jernih yang dapat lebih memahaminya. Yah, hati memang selalu  punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, “le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”