Ads 468x60px

Ego Mitto Vos!!



Dimana Pastorku?


Suatu hari di terminal….., matahari lurus-terik menjulurkan lidahnya, hiruk-pikuk berbaur-campur dengan kemacetan yang padat merayap serta kebanjiran yg melumat- laknat. Aneka fragmentasi sosial terus menggerus serta menggeliat jelas-lugas: Seorang ibu berbedak debu jalanan tergopoh-payah menarik anaknya mengejar sebuah angkot. Seorang renta duduk dalam siang terpanggang-seperti penari kecak, menengadah menjemput rejeki pada mobil yang lewat. Disini nyata adanya korban (Ignatio Ellacuria: the crucified people): anak jalanan, waria, pemulung, asongan-kaki lima juga para penganggur dan bromocorah.
“Dimana pastorku?”


 Mengartikan Teks
Menyitir pernyataan para uskup se-Asia (FABC), yang dikutip oleh Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia: “Gereja tak dapat menunaikan misinya tanpa bersifat lokal. Gereja hanya menjadi Gereja jika mendarah daging, di tempat yang khusus dan waktu yang khusus pula.“ (Gereja yang Mendengarkan), maka tepatlah pepatah latin: “gaudere cum gaudentibus, et fiere cum fientibus” (bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah dengan yang menangis). Tapi kini ketika banyak orang menangis, apakah para pastor juga ikut bersolider.
“Dimana pastorku?”  

Berdasarkan data Yayasan Gembala Utama, diperkirakan bahwa di masa depan akan mudah terjadi potensi konflik khususnya di grassroot level, karena begitu cepatnya perubahan: Suatu waktu kita mendadak menjadi amat peduli pada goyang sepasang pinggul empunya Inul. Suatu lain-ketika banjir, penggusuran dan kampanye melanda, tiba-tiba begitu hiruk-pikuk. Saat lain-ketika ada tragedi, kita begitu lengang. Saat lain lagi, kita menjadi begitu biadab ketika banyak bom meledak di mall dan gereja. Disinilah seorang pastor dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik bila ia merupakan tokoh yang diterima oleh pelbagai kelompok dalam masyarakat akar rumput.
“Dimana pastorku?”  

Pertanyaan kritisnya: Seringkah seorang pastor mau pro-aktif ikutserta dalam pelbagai peristiwa sosial: kendurian, kematian, agustusan, halal-bihalal, tahun baruan sampai aksi-aksi sosial-dan tidak melulu asyik-masyuk termanjakan dalam kemapanan dinding pastoran? Bukankah lewat perjumpaan dalam ruang publik ini, dialog dan partisipasi dalam membangun masyarakat dapat lebih dibina? Mengacu pada Karl Rahner, Bukankah Gereja akan hadir secara nyata kalau membaharui diri terus menerus - a church in permanent genesis? Bukankah merupakan sebuah kewajaran jika seorang pastor kini kerap menghayati kepastorannya lewat pelbagai benturan, entah  kognitif maupun afektif: benturan realitas real versus ideal, benturan dengan konkupisensi, dengan klaim-klaim kebenaran agama lain, dengan vested interests dsbnya? Bukankah benturan kerap merupakan cara efektif memperluas wawasan, karena lewat benturan, mereka juga bisa terlatih menjadi figur in-between ala Mangunwijaya, serta lebih peka membaca lagi tanggap-jeli terhadap tanda-tanda jaman kan?

Di tengah maraknya budaya instant (throw-away society) ini bisa jadi menjadi pastor adalah “a troubled commitmen”, sebuah komitmen yang menggelisahkan. Ketika orang sibuk bicara tentang pentingnya panutan, orang semua tahu bahwa panutan terbaik adalah dirinya sendiri-panutan lain penting sejauh bisa dimanfaatkan. Ini adalah zaman dimana segala nilai telah di-demistifikasi-kan. Tak ada nilai dan otoritas yang sungguh dianggap sakral. Modernitas dengan roh sekular, konsumerisme dan liberalismenya adalah sesuatu yang amat sulit dielakkan. Bukan karena ia merupakan roda raksasa yang otoriter menggilas segala pola kultural, tapi karena ia tampil lihai justru sebagai ideal yang memikat, centil menggoda dan elegan-piawai menjanjikan ekstase kenikmatan di tengah riuh kebebasan arus kontemporer. Dan, lucunya ketika seorang pastor masih kebingungan menyusun tata nilai dan pontang-panting dalam tata hidupnya kerap ia sudah digelayuti begitu banyak umat yang sama bingungnya dan bertanya:
“Dimana pastorku?“

Melihat Konteks

Memang benar bahwa ajaran telah dinyatakan, jalan sudah juga dibentangkan, tujuan telah dicanangkan, harapan sudah ditaburkan. Tapi kini ajaran kerap kehilangan daya, jalan yang terbentang terasa lengang, tujuan menjadi tidak karuan, harapan yang bertunas bernas, berangsur-angsur layu-lanas. De facto (tanpa melupakan para pastor yang sungguh menghayati imamatnya), hari pesta seorang pastor (HUT pribadi, HUT Tahbisan) bisa merupakan hari dimana ia menjadi ‘OKB-Orang Kaya Baru’. Ada banyak tawaran indah yang menggiurkan: romo butuh apa? hand-phone/komputer/video yang sedang booming? pakaian-farfume yang trendy? jamuan makan di resto-lounge yang mewah berteman dengan kelas menengah dan elite? Seperti kata Cicero, tak ada benteng yang demikian kuat, di mana uang tak dapat memasukinya. Belum lagi ramainya previllege lainnya yang meninabobokan profetisme seorang pastor. Kerap pastor lebih tampak sebagai figur domicus-tuan, dan bukan socius-sahabat, apalagi amicus-hamba).

Padahal di sekitar kita api dan banjir kerap datang dan pergi, membakar pun menghanyutkan harta, tubuh dan sejarah sosial. Di sekitar kita nyata jerit kaum tertindas yang tak bisa menjerit. Di sekitar kita: siapa lemah-mudah disepak. Di sekitar kita, entah berapa sudah rumah ditebang, nyawa orang ditebas, harga diri orang ditembak, hak asasi warga diterjang, tanpa banyak yang berkomentar. Di sekitar kita tampak penjarahan pun permainan kotor elit keprabon, bunglonisasi kriminalitas pun sandiwara politik. Uang dan waktu menjadi opium masyarakat yang memacu eskalasi kegelisahan massa. Pemeo lama bahwa ‘semua manusia sama dihadapan Tuhan’ kini sama benarnya dengan ‘semua manusia sama di hadapan uang.’ Pasar dirancang hanya untuk mereka yang mampu. Sementara mereka yang ada di luar jangkauan pasar, kerap menjadi sasaran penertiban-kontrol sosial (Zygmunt Bauman). Implikasinya: mereka menjalani hidup sebagai via dolorosa, jalan kesengsaraan-dukha. Dkl: masyarakat kita lebih akrab dengan nuansa jumat agung daripada pesta natal atau paskah. Lalu:
“Dimana pastorku?”   

Kerap pertanyaan yang muncul di sekitar kita, bukan adakah atau siapakah yang dapat disangka bersalah dalam sekian ratus kebakaran, kebanjiran, kemiskinan, penggusuran, ketidakadilan sosial. Tapi pertanyaannya adalah: siapa yang peduli, apa bedanya diusut atau tidak? Apa bedanya seratus atau seribu kampung terbakar, tergusur atau terkena banjir jika yang menjadi korban adalah kaum miskin?  Hemang Ike Vikirin! Padahal mereka tak boleh dianggap in-absentia, sebab mereka adalah guru istimewa lagi teruji dalam membimbing kita untuk mengenal siapa sesungguhnya Allah. Kita bisa belajar menghayati nilai Kerajaan Allah dari “rakyat yang tersalib”:kecil-lemah-miskin-tersingkir, karena merekalah yang empunya Kerajaan Allah. (Mat 5:3).

Seorang teolog pembebasan, Jon Sobrino menegaskan bahwa tanpa memperhitungkan kenyataan dasar dunia para korban ini…, iman berada dalam bahaya menjadi tidak nyata, jatuh pada docetisme realitas. Maka, gambaran Allah sebagai “Pembebas” (Luk 4:18-19) yang berbela rasa terhadap orang tersingkir seharusnya menjadi religious imagination dalam keseharian seorang pastor hic et nunc. Seperti seruan Mgr. Oscar Romero kepada orang-orang miskin di El Salvador:”...Engkaulah gambaran Sang Penyelamat yang ditusuk tombak oleh serdadu romawi…”

Bagi para pastor, jelaslah terdapat tantangan untuk suatu pengendalian diri. Karena kerap kebenaran jati diri hanya didapat lewat pengendalian diri: Hanya dengan kemampuan menolak sesuatu, kita dapat menerima sesuatu yang lainnya (only by ‘standing against’ somethings, can one ‘stand for’ anything). Jika seorang pastor berani berkata tidak kepada pelbagai tawaran masyarakat, sang pastor akan lebih bebas-lugas untuk mengkritik masyarakat yang buta-tuli-bisu terhadap ratap kaum miskin-a voice of voiceless. Dia mampu menjadi seperti Nathan yang berani menegur raja Daud atau Amos, yang tak gentar mengecam ‘lembu-lembu Bassan’. Sehingga tak lagi orang banyak berkeluh-tanya:
“Dimana pastorku?”

Epilog: Sebuah Panggilan
Menyitir Seneca, ‘Manusia lebih percaya pada mata mereka, daripada pada telinga mereka!”, maka sebenarnya buat apa kesana kemari mengenakan jubah putih, lambang kesucian, simbol pemihakan terhadap kebenaran, kalau buta dan tuli terhadap kebenaran itu sendiri? Atas nama rakyat yang kecil-tertindas, dengan segenap empati dan preferensi terhadap dan bersama mereka, seorang pastor sebagai homo religiosus semestinya memberikan kesaksian iman yang hidup, karena berada di dalam dan untuk dunia tidak berarti menjadi milik dunia. Ego Mitto Vos!! (Aku sekarang mengutus kamu).  

0 komentar:

Posting Komentar