Oleh-Oleh Refleksi
“Ambillah Tuhan, dan
terimalah seluruh kemerdekaanku,
ingatanku, pikiranku
dan segenap kehendakku,
segala kepunyaan dan
milikku.
Engkaulah yang
memberikan, padaMu Tuhan kukembalikan.
Semuanya milikMu,
pergunakanlah sekehendakMu.
Berilah aku cinta
dan rahmatMu, cukup itu bagiku”
(St.Ignatius Loyola,
LR no. 234)
Pengantar
Latihan Rohani adalah kumpulan doa dan meditasi serta “manual”
untuk membangun olah-alih hidup rohani yang disusun-rukun oleh St.Ignatius
Loyola, khususnya selama masa-masa formatif pembentukan hidup rohaninya (tahun
1522-1524). Buku ini sendiri ditulis dengan tujuan untuk memajukan dan memperkuat
pengalaman rohani melalui suatu jalan yang khas dengan unsur-unsur ajaran
Gereja Katolik Roma. Dalam latihan rohani selama 30 hari ini, ada berbagai permenungan
yang dilakukan setiap hari, terkait-paut dengan “Manusia dan Dunia”, “Psikologi
Hidup Manusia sebagaimana dipahami Santo Ignatius”, serta “Relasi Personal
dengan Tuhan”. Ada juga berbagai macam cara
berdoa, seperti: doa kehadiran, doa pernafasan, doa meditatif, doa kontemplasi, doa fantasi, pemeriksaan batin, doa
afektif tanpa kata, doa membaca Kitab Suci dan lain‑lain.
Nah, persis bersama
dengan program bina lanjut sebagai imam muda dan rasa syukur atas perjalanan
lima tahun rahmat sakramen imamat yang boleh saya terima pada 15 Agustus (Hari
Raya Maria Diangkat ke Surga), maka saya memberanikan diri “pergi ke padang
gurun” dengan segala kedosaan dan kerapuhan, kekuatan dan ketegaran untuk
membenam-larutkan diri dalam retret agung pribadi di pertapaan Trappist Rawaseneng.
Tentunya bukan sengaja
lari dari kenyataan dan masalah hidup yang pasti semua orang juga mengalami,
tetapi saya merasa harus menarik diri dari tegangan dan tekanan nyata dari roh
jahat, entah itu lewat orang lain, sesama rekan imam atau bahkan kemelut-kusut diri
saya sendiri, agar tidak dihanyut-larutkan oleh afeksi, emosi, friksi dan
ambisi serta terpaan dan gosipan, baik yang halus tak kentara maupun yang terang-terangan
terbuka. Disinilah, bersama dengan rasa syukur atas HUT tahbisan imamat yang
kelima, saya ingin mendekati teras hati, sebuah pusat kepribadian. Saya ingin
membawa relung hati untuk kembali disentuh, diraba dan dibelai oleh Allah
sendiri. Dan, bukankah itu menjadi lebih ranum dan harum dalam kesunyian?
“Segera sesudah itu Roh segera memimpin Dia ke gurun” (Mrk. 1,12). Yah, Yesus dibawa
ke gurun oleh Roh untuk menghadapi masalah besar hidup dan misiNya. Saya
juga memasuki “retret” untuk semakin berhati-hati menghadapi pelbagai gerak-polah
masalah hidup dan pikatan-pikatan jahat yang tercampur baur serta semakin peka
pada ajakan-ajakan Allah. Dalam keheningan “gurun” inilah, saya hendak berdaya-upaya
untuk semakin yakin menemu-kenangkan kejelasan serta kekokohan yang pastinya saya
butuhkan dalam kekacauan roda kehidupan yang sebenarnya. Bukankah seorang empu
pembuat keris, tidak hanya membuat pisau tajam berkelak-kelok belaka, tapi
harus ada pamor nya? Bukankah
seorang penari tidak hanya menari dengan baik, tapi harus memiliki greget nya? Harapannya: In nomine Dei feliciter, dalam nama
Tuhan semoga makin berbuah.
Doa
Sebelum Retret
Tuhan
Yesus Kristus, yang hadir disini,
aku
bersyukur kepadaMu atas kemuliaan kebangkitanMu;
aku
bersyukur kepadaMu karena Engkau telah memanggilku
untuk
berkumpul disini;
aku
bersyukur karena Engkau memuji Bapa
secara
sempurna
di
dalam diriku.
Aku
bersyukur kepadaMu karena di dalam diriku
Engkau
merupakan keadilan sempurna terhadap saudara-saudariku;
Engkau
yang ada di dalam dirikulah yang selalu
memperbaiki
ketidakadilanku,
memulihkan
ketidakpercayaanku,
dan
menyembuhkan ketakutanku.
Aku
bersyukur kepadaMu, Tuhan Yesus,
atas
kemuliaanMu yang besar,
dan
aku mempersembahkan kepadaMu
apa
yang segera akan kulakukan,
segala
yang kupikirkan,
segala
yang kulakukan,
segala
yang kualami selama hari-hari ini
dan
hari berikut
demi
keluhuranMu dan demi Engkau sendiri.
Aku
juga mempersembahkan keletihanku sore ini
karena
aku memang sedikit letih akibat berbagai hal
yang
kualami pada hari ini seperti yang juga
kualami
pada hari-hari lain.
Tuhan,
aku sungguh senang dapat mempersembahkan kepadaMu
keletihan
ini
karena
ini memang merupakan hiasan hidupku sehari-hari.
Selanjutnya,
perkenankanlah aku mohon agar
betapapun
letih dan capeknya diriku,
aku
dapat memulai retret ini
Dalam
nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin
(Carlo Maria
Martini, SJ, Uskup Agung Milan,
pernah menjadi
profesor Kitab Suci di Biblicum dan rektor Universitas Gregoriana, Roma)
01.
“Ya Allah, Engkaulah Allahku, aku
mencari Engkau, jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah
yang kering dan tandus, tiada berair.”
( Mz. 63:2)
Salve, Regine, Mater misericordiae!
Vita, Dulcedo, et Spes nostra! salve.
Ad te clamamus, exsules filii Evae.
Ad te suspiramus, gementes et flentes in hac
lacrymarum valle.
Eia ergo, Advocata nostra! illos tuos
misericordes oculos ad nos converte.
Et Jesum, benedictum Fructum ventris tui, nobis
post hoc exsilium ostende,
o clemens, o pia, o dulcis Virgo Maria!
Spes nostra! Salve. Maria, harapan kita! Doa completorium
dengan alunan lagu Salve Regina sebagai gong pamungkasnya mengawal-gawangi retret
latihan rohaniku pada malam pertama ini. Yah, di kapel Trappist Rawaseneng, persis jam 19.45 – 20.10 ini, aku sedikit melankolis, menangis haru. Dengan lampu yang
sedikit suram-temaram, hanya wajah Bunda Maria, sang pelindung pertapaan inilah
yang disinari cahaya lampu pada akhir ibadat penutup. Terasa jelas, Bunda Maria
sungguh dekat-akrab dan hangat-bersahabat. Dia seakan mengerti sesaknya hati
dan perihnya budi ketika merasa disakiti dan dihakimi, dan aku hanya ingin termenung
dan terpekur sendiri. Ada rasa kecewa, tak percaya, sakit, terluka bahkan
terhadap ocehan satu dua rekan imam dan segelintir umat yang asal omong mewarnai
rintihan hati insani ini: ”Ad te suspiramus, gementes et flentes in hoc lacrymarum valle: kepadamu kami berkeluh-kesah, meratap dan menangis, di lembah airmata ini.”
Perlahan, aku tak mau larut-hanyut pada melankolis picisan
ini. Aku merasakan sebuah keyakinan dasar bahwa imamat adalah sebuah proses
penuh kerendahan HATI. Itu nyata sekali ketika kuikuti langkah tenang para
rahib yang berbaris lurus-menunduk dan meminta percikan air suci dari abas
(pemimpin pertapaan) persis di depan tabernakel Rawaseneng. Asperges Me ! Malam ini, aku
menyadari diri sebagai pendosa, ya pendosa (sinner)
yang mau belajar menjadi pendoa (saint).
Malam di hari pertama ini, aku
juga mulai berniat belajar berdoa lagi. Yah, maunya sih 1 jam dengan frekuensi 3
kali sehari, jam 09-10, jam 13-14, jam 16-17, layaknya seperti meminum obat,
bukan? Ada tambahan bacaan rohani pada jam 19.00-19.30. Itu yang
kuharapkan. Itu juga yang seakan ditawarkanNya tanpa sengaja. Yang pasti sebuah
harapan iman yang kudapat-erat dari Luk 11:1-13 menceruat, “Tuhan ajarlah aku berdoa.”
Malam ini, tercandra bagiku juga bahwa Latihan Rohani
Ignasian seperti sebuah alat deteksi aneka tanda, mengajakku untuk lugas membuka
pintu hati dan jendela budi. Yah,
aku diajak untuk menjadi seperti sebuah nama suster Dominikan yang juga
berkarya di sekitar pertapaan Rawaseneng, yakni Sr. Diana – “Diam-Diam mempesona.” Aku diajak
belajar diam dalam Tuhan, mencecap dan merenungkannya dalam hati yang terpesona
pada kerahiman Tuhan dan kehangatan Bunda Maria. Aku diajak menjauhkan diri dari
lingkungan biasa, dimana aku merasa kerasan; menjauhkan diri dari semua orang
yang biasa menemaniku dengan pelbagai motivasi dan intensi; dari pekerjaan
rutin serta kesibukan yang kerap memenuhi
jadwal hidup harianku.
Sebaliknya, aku diajak mendekati diri pada wajah
Tuhan dan pasrah Bunda Maria, yang memberikan suasana hati serta rasa plong terbebas dari tekanan, ketegangan
dan kedukaan yang berlebihan. Aku mengalami semacam “istirahat” yang dikatakan
oleh Kitab Suci yakni istirahat Allah sendiri setelah mengadakan karya
penciptaan (Kej.2:1-3). Bagiku, pada refleksi malam pertama ini, saat ini adalah “sabat”, yang aku gunakan
untuk turut ambil bagian dalam hadirat hening Allah: “Bagi umat Allah tersedia hari istirahat, yakni hari ketujuh. Sebab barangsiapa telah masuk ke tempat
istirahatnya, ia sendiri telah berhenti dari segala pekerjaannya, sama seperti
Allah berhenti dari pekerjaan-Nya (Ibrani 4:9). Ini adalah istirahat yang diberikan Yesus
kepada murid-murid-Nya: “aku akan memberi
kamu istirahat” (Mat.11:28)
Ya
Tuhan Allah alam raya, ciptakan dalam diriku
kesetiaan
yang menggerakkan Engkau,
aku
pasti akan percaya selalu padaMu
dan
aku pasti mendambakan Engkau
seumur-umurku.
(Joseph Tetlow, SJ, guru besar teologi kerohanian)
02.
“Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah
pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar! Bersihkanlah aku seluruhnya dari
kesalahanku, dan tahirkanlah aku dari dosaku! Sebab aku sendiri sadar akan
pelanggaranku, aku senantiasa bergumul dengan dosaku. Terhadap Engkau, terhadap
Engkau sajalah aku telah berdosa dan melakukan apa yang Kauanggap jahat, supaya
ternyata Engkau adil dalam putusan-Mu, bersih dalam penghukuman-Mu.” (Mz. 51:3-6)
Ya Roh
Allah, aku mohon kepadaMu;
sudilah
Engkau membantuku mengarahkan
segala
ulah tindakanku
dengan
ilham-ilhamMu
serta
melaksanakannya
dengan
bantuan rahmatMu
agar
setiap doa dan karyaku
selalu
dimulai dari Dikau
berlangsung
lewat Dikau,
serta
berakhir selamat kepada Dikau.
Aku memasuki retret dengan kebulatan tekad untuk menerima “situasi gurun”:
kesunyi-heningan, sepi dan sendiri, konfrontasi dan intimasi dengan diri dan
segala yang ada dalam relung diri, serta kesediaan untuk sungguh membuat
komitmen penuh dan utuh kepada Allah. Hari ini adalah hariku di “padang gurun”: mencari oase Allah
bersama kemurahan hati Yesus dan kepasrahan diri Bunda Maria. Yah, inilah pagi hari pertamaku!
Kumulai minggu pertama LR Ignasian, bertema pokok tentang “pengalaman dicintai
dan kedosaan
yang menyertai”. Selama minggu pertama ini, aku diajak untuk menyadari bahwa
aku sungguh dicintai oleh Allah. Sejalan dengan itu, aku juga sekaligus diajak
untuk memahami bahwa aku kerap tidak benar-benar menanggapi cinta dan kebaikan
Allah itu. Oleh karena itulah, aku diajak menghadapi keberdosaan diriku dengan
tiga sikap seperti nama seorang frater dari Kentungan, yang sehabis berkarya pastoral
di Seminari Mertoyudan kutemui di pertapaan Rawaseneng dan suka meminjam novel Pramudya
Ananta Toer dari kamarku ini. Fr JOko namanya. “Jujur, Obyektif dan ber-KOmitmen” itu artinya.
Yah, dengan bermodal tiga sikap: “Jujur, Obyektif dan ber-KOmitmen”, kubuka
fajar hari
baru dengan mengikut-runtut untaian brevir dan perayaan misa pagi di kapel,
yang dipersembahkan oleh “three
musketter” dari Trappist Rawaseneng. Lewat brevir dan misa pagi inilah, aku
teringat sejenak sebuah kearifan dalam 1 Samuel 3:1-10, “Berbicaralah Tuhan, sebab hambaMu ini mendengarkan.” Seiring waktu
yang seakan membatu pada awalnya, kubaca “Catatan Pengantar” serta “Tujuan” sambil berjalan sendiri-sepi
di dekat kebun kopi dan “kamar baruku”. O res mirabilis!
Sebuah kesengajaan: Aku
memilih “kamar baruku” di sebuah tempat sederhana di kawasan yang jarang
dilewati, kurang diminati dan tak pernah ditempati para peziarah. Ia terletak
di atas kapel pertapaan, yah jalannya jejak-menanjak kalau dari kapel sekitar 200-an
meter. Sst…. katanya, konon sewaktu digali, di bawah ruanganku ini ada
tulang-tulang yang berserakan. Adapun nama tempat tinggalku ini: Wisma Nazareth. Aku sendirian di situ. Sunyi
sepi sendiri dan gelap-senyap sedikit pekat. Aku teringat sepenggal lagu musim Natal
bertajuk, “Malam Kudus”. Harapku, ada limpahan rahmat pun cucuran berkat dari
Keluarga Kudus Nazareth: Doa dan kepasrahan Bunda Maria, ketulusan hati Santo
Yosef serta kemurahan dan kelembutan kanak-kanak Yesus.
Lewat tempat baru
inilah, aku berharap boleh dilahirkan dan hidup kembali bersama dengan teladan
dan kesederhanaan tiga orang suci ini: Yesus, Maria dan Yosef. Tiba-tiba, aku
juga terkenang pesan bijak-bestari St. Arnoldus Janssen, seorang
imam diosesan Jerman dan pendiri tarekat SVD: “Permulaan yang sederhana ini
jangan mengecilkan hati kita. Pohon yang raksasa mulai dengan benih kecil dan orang yang paling
perkasa pada mulanya adalah seorang
bayi yang lemah dan tak berdaya.”
Di
Wisma Nazareth yang sederhana ini jugalah, aku
terfokus pada LR 21-22, tujuan dan korelasi antara pembimbing, yakni Tuhanku
sendiri dengan yang dibimbing, yakni aku sendiri, sebagai seorang imam muda dari
metropolit Jakarta yang merasa terkukung noda dan terkekang nestapa karena
dusta sesama. Satu penghiburanku, ternyata seorang
rahib Trappist dan suster Dominikan yang juga tinggal berdekatan dengan kamarku
pernah “mengenalku”. Yah, walaupun hanya dari tulisanku yang tersebar-pencar
dalam beberapa bukuku yang diterbitkan Kanisius. Dengan suaranya yang khas dan badannya
yang agak gembul, rahib berbadan pendek yang suka tersenyum, dan berasal dari
daerah asalnya Tan Malaka, yakni di Payakumbuh Sumatera Barat ini begitu antusias
bahkan tergopoh dan selalu “bersemangat 45 “ untuk meminta tanda tanganku bagi
beberapa koleksi buku yang dimilikinya. Kadang ketika berdoa completorium bersama
di kapel, dia malahan membawa buku itu: Entah dibacanya. Entah dicoret-moret
dengan pulpennya. Entah hanya dipegang saja sambil senyam-senyum - lirak-lirik,
seperti kuda andong yang baik hati di kawasan Malioboro. Yah, aku mengenal nama
lain hari ini, Blasius. “BLAjar kesederhanaan,
SIapkan pelayanan, USahakan pertobatan”.
03
“Banyak orang berkata: "Siapa yang akan memperlihatkan yang baik
kepada kita?" Biarlah cahaya wajah-Mu menyinari kami, ya TUHAN!” (Mz 4:7)
Yesus, semoga segala yang ada padaMu
tertuang ke dalam diriku.
Semoga tubuh dan darahMu menjadi
makanan dan minumanku.
Semoga sengsara dan wafatMu menjadi
kekuatan dan kehidupanku.
Yesus, jika Engkau ada di sisiku,
cukup sudahlah
apa yang diberikan kepadaku.
Semoga naungan yang aku cari
ialah bayang-bayang salibMu.
Semoga aku tidak lari dari cinta yang
Engkau tawarkan
dan Engkau anugerahkan kepadaku.
Dan semoga aku selalu Engkau bebaskan
dari kuasa jahat,
dan dalam detik-detik aku mendekati
kematianku
curahkanlah cahaya dan cintaMu.
Panggillah aku selalu sampai datang
saatnya
aku, bersama para suciMu, Engkau
perkenankan
memuji Dikau untuk selamanya.
Amin
(David L
Fleming, SJ, pernah menjadi provinsial Yesuit di Missouri
dan editor majalah
dwi-bulanan, “Review for Religious”)
Setelah kubuka dengan doa gubahan
David L Fleming, yang merupakan sebuah
parafrase kontemporer dari doa kesayangan St.Ignatius Loyola, “Anima Christi – Jiwa Kristus”, hari ini aku termenung-renung soal figur Nabi Musa yang bertemu dengan Allah
di semak yang terbakar api (Keluaran 3:1-12). Sungguh aneh,
semakin jauh Musa menggembalakan dombanya, semakin dekat ia pada tempat suci
Tuhan, yakni Gunung Horeb. Disanalah, Tuhan “menghancurkan” rutinitas hidup
Musa. Ia memanggilnya dari tengah-tengah semak menyala. Dari sejak jaman dulu, api adalah lambang Allah dengan kekuasaannya
yang membinasakan, bentuknya berubah-ubah serta kekuatannya yang tak dapat
dikuasai. Api ini tampaknya berlainan, api ini tidak merusak dan tidak
membinasakan, api ini menyala-nyala diantara cecabangan duri tapi tak ada yang
binasa. Ini adalah misteri Allah yang
harus dipelajari oleh diriku: Belajar menerangi tapi tidak menyakiti, tegar menghangatkan
tapi tidak membinasakan.
Satu kalimat imperatif yang kuingat dalam kisah ini, “lepaskan kasutmu!“. Yah, satu-satunya cara bagi Musa untuk mendekat kepada Tuhan adalah dengan “menanggalkan kasutnya”. Inilah sebuah tindakannya untuk mendekati Tuhan: Ia melepaskan diri dari kecemasan, rasa kuatir, egoisme dan ambisi pribadi yang menghalangi jalan untuk mendekati Tuhan. Bersama Musa, aku juga harus melepaskan diri dari kecemasan, dosa, egoisme dan pelbagai friksi, ambisi serta emosi. Aku harus semakin mau belajar menerima hidupku dalam sikap jujur sepenuh-seutuh dan seluruhnya. Di hadirat Allah, aku belajar “melepaskan kasut”: tidak ada gengsi, tidak ada status dan kebohongan, terbebas-lepas dari topeng kedosaan dan selubung kepalsuan yang kadang kubuat. Hari ini, aku bertemu muka dengan Allah seperti apa adanya: “Inilah aku”. Disinilah, aku teringat John Powell yang pernah mengatakan, “membeberkan diri secara terbuka dan tulus menuntut keberanian mendasar.“ Itu juga yang kurasa dan alami sekarang, bukan?
Bermenung-renung soal figur Nabi Musa lebih lanjut, aku juga melihat bahwa ia punya kebiasaan untuk pergi dan sendirian bersama Allah di tempat yang sunyi. Setiap kali kembali dari “persembunyiannya”, wajahnya menjadi bercahaya. Harus kuakui bahwa diriku pasti memerlukan kesendirian, yah hanya bersama Allah yang sangat mencintai aku saja, supaya “wajahku” juga bisa memancarkan cahaya Allah yang mendamaikan, menghangatkan sekaligus menyejukkan hati sesama.
Hari ini juga kubuka LR 23, dan aku
kembali tertegun-kagum pada Anggaran Dasar. Bagiku, inilah fundamen, semacam
dasar kokoh untuk “melepaskan kasut,“ untuk percaya seutuh-penuhnya pada Tuhan. Di hari inilah, aku diajak
untuk mengingat sekaligus mendalami lagi tujuan hidupku, yakni memuliakan
dan memuji, mengabdi Tuhan serta menyelamatkan jiwanya sendiri.
Dalam bahasa Ignatius
Loyola: “Manusia diciptakan untuk memuji,
menghormati, serta mengabdi Allah Tuhan kita dan dengan itu menyelamatkan jiwanya.
Ciptaan lain diatas permukaan bumi diciptakan bagi manusia untuk menolongnya
dalam mengejar tujuan ia diciptakan. Karena itu manusia harus mempergunakannya
sejauh itu menolong untuk mencapai tujuan tadi; dan harus melepaskan diri dari
barang-barang tersebut sejauh itu merintangi dirinya. Oleh karena itu kita
perlu mengambil sikap lepas bebas terhadap segala ciptaan tersebut, sejauh
pilihan merdeka ada pada kita dan tak ada larangan. Maka dari itu dari pihak
kita, kita tidak memilih kesehatan lebih daripada sakit, kekayaan
lebih daripada kemiskinan, kehormatan lebih daripada penghinaan, hidup panjang
lebih dari hidup pendek. Begitu seterusnya mengenai hal-hal lain yang kita
inginkan dan yang kita pilih ialah melulu yang lebih membawa ke tujuan kita
diciptakan.”Hal inilah yang terus menggema dan membahana dalam relung hatiku.
Malam
menjelang tidur, aku bertemu ingatan kecil akan perjumpaan tadi siang dengan
Sr. Lisa, OP yang selalu mengenakan tongkat ketika hendak menuju atau pulang
dari mengikuti misa pagi dan brevir di kapel Rawaseneng. Yah, dia mengajak dan
mengingatkanku untuk belajar “Lihat Indahnya Salib Allah”. Walau pastinya tidak
mudah, bukan?
04.
“Kasihanilah aku, TUHAN, sebab aku merana;
sembuhkanlah aku, TUHAN, sebab tulang-tulangku gemetar.” (Mz. 6:3)
“Dikau telah membuat diriku tak
terhingga, demikian itulah perkenan-Mu.
Bejana ringkih ini Engkau kosongkan
berkali-kali berulangkali,
dan senantiasa Engkau isi dengan
hidup baru.
Anugerah-Mu yang tak terbatas
datang padaku,
di tanganku yang amat mungil ini.
Abad demi abad berlalu,
dan masih saja Engkau menuangkan,
dan masih saja ada ruang yang dapat
diisi.“
(R.
Tagore)
Ketika aku merasa kecewa dan tak mudah percaya dengan segelintir orang yang
“bermuka dua”, aku jelas membutuhkan pertemuan pribadi dengan
Allah. Dalam bahasa pembimbingku, Rama
Marga, yang “geMAR mencari surGA”, ketika
orang yang seharusnya menjadi “payung”, tapi pada kenyataannya justru menjadi
“paku, maka hanya Allah yang dapat memberikan “payung yang sejati“.
Disinilah, aku mengalami dan memaknai sapaan Allah dalam doa. Ia menjadi
“payung“ yang sejatinya meneduhkan gundah dan resah hatiku pada awal retret ini.
Aku juga tersadar bahwa aku bukanlah seekor kupu-kupu di taman bunga yang
mencecap nikmatnya setiap bunga, tetapi tidak hinggap pada satu bunga. Yah, aku
bertekun dalam doa bukan untuk sekedar mencari manisnya Allah tetapi untuk
semakin menemukan Allah dan untuk semakin rela menyerahkan diri kepada-Nya
secara sungguh mendalam. Bukankah John Chapman pernah menulis dalam Spiritual Letters, "semakin engkau kurang berdoa, maka semakin buruk yang
terjadi"?
Aku juga membaca dan mendalami Mazmur 139, permenunganku ini sekaligus
mengajakku bertanya, seberapakah sebenarnya pengetahuanku tentang Allah? Sebagai
seorang imam yang banyak belajar ilmu tentang Dia, mungkin aku tahu banyak mengenai
Dia, tetapi apakah aku benar benar mengetahui dan mengalamiNya, menemukanNya
dan menyadari hadirat kuasaNya? Mungkin aku banyak berbicara tentang Dia, tapi apakah aku
juga banyak berbicara dengan
Dia? Aku mengamini apa yang diperjuangkan oleh St. Bonaventura untuk menjadikan
teologi sebagai bagian yang tidak terpisah dari spiritualitas. Bukankah teologi
yang hanya menekankan segi intelektual hanya menghasilkan orang yang tahu
bicara tentang Allah tetapi tidak pernah berbicara dengan Allah? Dan, itulah
sebenarnya yang kualami sendiri. Mea culpa, mea culpa, mea maxima culpa!
Tanpa sengaja, hari ini, Fr.Stefanus OCSO, salah seorang bekas muridku di
Seminari Menengah Wacana Bhakti Jakarta, yang sekarang menjadi salah satu rahib
di pertapaan Trappist ini, memberi-pinjam sebuah buku bacaan rohani ”APOPHTHEGMATA
PATRUM”, semacam antologi sabda dan renungan
para bapa padang gurun. Satu keyakinan dasarku menceruat, tidak ada sesuatu yang kebetulan, bukan? Hari ini lewat sabda dan renungan para bapa padang gurun, aku diyakinkan bahwa banyak
pengalaman rohani yang mendalam terjadi di “padang gurun”. Disinilah, aku
disadarkan sesungguhnya siapa yang mengendalikan hidupku. Disinilah, aku diajak
untuk lebih sering menyembah Allah, dengan mendaraskan mazmur dan turut dalam
persembahan ekaristi. Disinilah, aku juga belajar menyederhanakan diri bahwa tidak
ada gunanya membawa hal-hal yang tidak esensial karena bukankah disini, aku
ingin melihat pekerjaan Allah dan bukan pekerjaan manusia? Seperti kata Paulus
kepada jemaat di Efesus, “kita ini buatan
Allah!” (Efesus 2:10)
Di “padang gurun”
inilah, aku juga menyiapkan hati dalam
pergumulan, seperti Yakub dan Ayub yang bergumul dengan Allah. Bukankah pergumulan
akan menyingkapkan siapa diriku dan siapa Allah itu? Bukankah tepat kata
Anthony de Mello bahwa, “baik yang aku
jauhi maupun yang aku dambakan, ada semua dalam diriku?” Di dalam keheningan,
di mana aku berhenti berbicara, bukankah aku menemukan hal-hal yang tidak kutemukan
ketika banyak berbicara? Dan di “padang gurun” bukankah tempat yang tepat untuk
melakukan segala sesuatu dengan tidak tergesa-gesa? Aku meyakini bahwa Allah
berjalan bersamaku. Ia tidak berlari. Ketika kuberlari, mungkin aku sedang
berlari di depan Allah atau bahkan sedang menjauh dari Allah. Hari ini aku
diajak berpaling pada Yesus yang tergantung-katung di salib dan aku rindu
berbicara denganNya. Disinilah, tiga poros pertanyaan dasar yang juga
pernah dibuat St.Ignatius mengetuk ruang hatiku: “Apa yang telah kubuat bagi Kristus? Apa yang sedang kubuat bagi
Kristus? Apa yang harus dan akan kubuat bagi Kristus?” Aku dahaga
berbincang-jawab dengan Yesus sebagai seoramg sahabat dekat, dan aku akhiri
perbincangan ini dengan doa warisanNya, doa Bapa Kami. Sederhana tapi kaya
makna sebenarnya, bukan? Ssst... terima KASIH Fr. Stefanus. Gracias!
05.
“Sembunyikanlah wajah-Mu terhadap dosaku, hapuskanlah segala
kesalahanku! Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku
dengan roh yang teguh! Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah
mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!” (Mz 51:13-16)
Yesus,
Dalam diriku aku merasa ingin sekali
menyenangkan Dikau.
Namun, aku juga sekaligus merasa sama
sekali
tak mampu berbuat itu tanpa terang
dan bantuan khususMu,
yang dapat aku harapkan hanya dari
Engkau.
Laksanakanlah kehendakMu dalam diriku
bahkan kendati hanya dalam diriku
(St.Klaudius de
la Colombiere,
pembimbing
rohani St.Margaretha Maria Alacoque)
Pada permenungan hari ini, aku diingat-tegaskan bahwa noda
nestapa dosa bisa terjadi karena pikiran, perkataan dan terlebih karena perbuatan
(LR 33-42). Yah, sebagai seorang imam muda yang hidup di perkotaan, kata-kata
dan sapa-tawa bisa menjadi sangat berarti, seperti sebuah pedang tajam bermata
dua, bukan? Kuingat kenangan para rahib terhadap nasehat bijak bestari St. Bernardus:
“Bukankah ada tiga pahala yang bisa kita
dapatkan dengan kata-kata kita? Yah, ketika
kita mengaku dosa. Itu yang pertama, yakni: bertobat. Ketika kita setia memuji Tuhan. Itu yang kedua, yakni bersyukur.
Dan yang ketiga, ketika kita rela dan bahagia untuk mensupport orang lain. Itu
namanya, berbagi.”
Sebuah pesan tegas dari LR 41 bergema: jangan memfitnah
orang lain. Bagaimana dengan hatiku sendiri? Aku ingat, bahwa dosa itu seperti
cinta, datang dari hal-hal kecil, bukan? Jakarta kental dengan dosa ini, dosa
karena mulut! Dosa ini pun tidak pandang bulu, bisa melanda para pewarta,
karyawan gereja bahkan para pastornya juga. Ironis bukan? Aku jadi teringat
setiap wajah yang mendua dan bertopeng, seperti pepesan kosong, dangkal tapi
riuh. Ada rasa kecewa dan miris, sedih sekaligus perih. Tuhan
tahu bahwa bicara lebih mudah daripada mendengarkan, mungkin karena itulah, Ia
memberi manusia satu mulut dan dua telinga. Itu pun terlalu sering aku dan
sesamaku menjadi besar mulut, daripada lebar telinga. Kalau begitu, seperti
ratapan tokoh Wagiyo ketika mendaraskan doa Bapa Kami dalam novel “Malam Basah,
“patutkah Allah yang Mahakudus
dipersembahi sebutan Bapa“, oleh karakter orang-orang yang terlalu mudah
mendua dan hiruk-pikuk seperti pepesan kosong.
Yah keluarga, yah lembaga, yah gereja, yah nama baik
sesama bisa rusak dan tercemar karena ada orang-orang yang berkualitas buruk
seperti itu, bukan? Salah satu kenalanku, seorang pastor Jesuit mengatakan,
itulah orang-orang yang berbakat menjadi anggota “LIPI-Lembaga Intrik Penyebar Isu”. Dalam selorohan orang Jawa, “esuk dele sore tempe, lambe domble mencla
mencle. Sst, karena lidah tak bertulang, ini bahan instrospeksi juga buatku
pastinya! Berhati-hati dan selalu mawas diri, juga ketika melontar-gulirkan
kata-kata kepada sesama. Bukankah pepatah mengatakan bahwa kata itu
bisa lebih tajam daripada pedang bermata dua? Bukankah kata-kata dapat
mengangkat hati, tapi dapat juga membuat sakit hati? Yah, seperti nuklir: Ia
dapat menjadi bom pemusnah, atau ia dapat menjadi sumber energi yang luar
biasa. Ia bisa mematikan, tapi ia juga bisa menghidupkan.
Hari ini, aku
berpikir dan bermenung, mengapa kata-kata ini tidak kudaya-gunakan untuk
hal-hal yang positif? Kenapa tidak kumulai lagi dengan lebih sering memuji atau
mencari sisi positif orang lain? Aku berhasrat membuat kebiasaan baru, memilih
dan mengucapkan kata-kata berenergi: ucapan cinta, penghargaan dan kedamaian serta
mengata-wartakan tentang pelbagai sisi positif orang lain.
Seperti cukilan yang
kudapat dari Anthony de Mello, “Lihatlah
Allah yang memandang Engkau, dan Ia tersenyum,” kubaca injil Lukas 7:36-50
dan kulihat Yesus yang mengampuni wanita yang membasuh kakiNya. Lewat
permenungan hari inilah, aku
mengingat nama seorang rahib lain di Rawaseneng, Fr. Paulus yang juga suka
tersenyum. Ia yang setia menjaga toko, menyapa dan melayani para pembeli setiap
hari. Dari namanya, aku diajak menjadikan mulut dan lidah sebagai berkat. Yah,
aku diajak Fr. Paulus untuk belajar “menyaPA
dengan tULUS”.
06.
“Biarlah bergirang dan bersukacita karena Engkau semua orang yang
mencari Engkau; biarlah mereka yang mencintai keselamatan dari padaMu selalu
berkata: "Allah itu besar!" (Mz.70:5)
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah
penyelenggara
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah sang
pencipta
Ajarilah aku agar aku mampu mendengarkan, ya Allah Roh
Kudus,
Mendengarkan suaraMu,
Dalam kesibukan dan kebosanan,
Dalam situasi serba pasti dan serba ragu
Dalam kebisingan dan dalam keheningan.
Ajarilah aku Ya Tuhan, agar aku mampu mendengarkan.
(John Veltri, SJ, staf wisma Loyola
di Guelph Ontario)
“Le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”. Hati punya alasan yang tidak dikenal
akal, bukan? Itu kata Blaise Pascal. Itu juga kataku. Hari ini, aku diajak
untuk semakin rutin menyapa hati, dan tidak melulu mengasah budi. Aku
mengadakan pemeriksaan batin (LR 66). Examen
Conscientiae nama
kerennya. Examen
atau pemeriksaan batin adalah refleksi dalam suasana doa. Tradisi doa yang
kuambil dari tradisi para Jesuit ini sangat membantuku dalam menumbuhkan
kepekaan dan relasi personal dengan Tuhan sendiri untuk menemukan gerak roh
dalam hidup harian. Bahkan St Ignatius menganggap bahwa examen atau pemeriksaan
batin ini sebagai sebuah latihan dasar yang paling penting untuk dilakukan. Aktivitas
ini kulakukan kadang setelah makan siang di refter,
di kapel, di seputaran kebun kopi, di kamar atau di tempat lainnya. Biasanya
pemeriksaan batin ini kulakukan dua kali sehari: satu kali pada saat sesudah
makan siang dan satu lagi ketika menjelang tidur di malam hari.
Sepenggal
lagu Aa Gym terngiang, “jagalah hati
jangan kau nodai, jagalah hati lentera hidup ini.” Jelasnya, hari ini aku
diajak untuk semakin mengembangkan kepekaan akan suara atau bisikan Roh Kudus
di dalam hidup sehari-hari. Aku disadarkan untuk terbiasa melakukan pemeriksaan batin setiap hari.
Terkenang juga, apa yang ditulis oleh Rasul Paulus kepada umat di Galatia: “Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia
telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau
kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah
kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki”
(Gal 5:24 -26).
Aku sadari bahwa keseharian
hidup dan panggilan imamatku dapat dipimpin oleh Roh Baik atau Roh Jahat. Adapun
buah-buah kalau dipimpin oleh Roh Jahat adalah “percabulan, kecemaran, hawa
nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah,
kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan,
pesta pora dan sebagainya.”(Gal 5:19-21), sedangkan jika dipimpin oleh Roh Baik,
akan menghasilkan buah-buah :”kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran,
kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri” (Gal 5:22
-23). Dengan jujur, aku mengakui bahwa hidupku tidak sepenuhnya dan tidak seluruhnya
dipimpin oleh Roh Baik. Dalam hidup ini,
banyak kemungkinan, yang tidak melulu putih atau tidak melulu hitam melainkan
abu-abu, maka menjadi penting kebiasaanku untuk melakukan pemeriksaan batin
setiap hari, dengan harapan dan dambaan agar hidup dan pilihanku yang kadang abu-abu
karena sarat kepentingan diri, dapat menjadi semakin putih bersih, cerah dan
penuh gairah.
Hari
ini aku juga sempat membayangkan seandainya aku akan meninggal. Aku coba menyendiri
dan membayangkan suasananya. Begitu banyak orang yang dekat, yang baik, yang
berharga serta yang kukasihi berseliweran di benakku. Aku banyak tidak
menghargai dan tidak mensyukuri kehadiran mereka selama ini. Hari ini kucoba susun-rukun
sebuah “wasiat” untuk mereka. Inti pokoknya, aku ingin senantiasa mengasihi,
menghargai dan berdamai dengan mereka. Kukatakan tiga hal pokok untuk setiap
pribadi yang kuhadirkan: “I love you”,
“Thank you” dan “I am sorry.” Bukankah
aku kerap lupa mensyukuri setiap perjumpaan, sehingga akhirnya rahmat itu pun
hilang tergilas roda bernama waktu yang tidak sudi untuk mundur?
Di
lain segi, ketika examen kulakukan,
kadang muncul kuasa kegelapan dosa dan kuasa perusak, luka hatiku muncul dengan
kekuatan baru, kepahitan dan sakit hati terhadap kebodohanku dan terhadap beberapa
orang yang berbuat jahat dan bertindak salah kepadaku. Ada juga perasaan
kosong, frustrasi, emosi dan penolakan karena ingatan akan pelbagai dosa yang
kubuat. Malu dan merasa kecewa, menyesal dan merasa tawar jiwa. Kusadari nafsu dan fantasi semu yang timbul karena emosi yang labil membanjiri budi
dan isi hati.
Pastinya,
dengan latihan examen ini, aku diajak belajar melacak kembali
peristiwa-peristiwa hidup harian dari sudut pandang Tuhan. Aku mengucap syukur
dan memuji-Nya karena menanggapi kehendak Tuhan yang berkarya. Aku juga
menyesal dan memohon ampun atas kegagalan karya Tuhan dalam hidupku dan sekaligus memohon rahmat
untuk semakin tanggap terhadapNya. Yang pasti, seorang suster yang mengajar di
sekolah Dasar St Maria Fatima di dekat pertapaan, bernama: Sr. Karina, OP,
kurekam hari ini. Walaupun kadang aku kecewa dan terluka dengan segelintir
orang lain yang tidak tulus dan lurus hatinya, dari penggalan namanya, aku
diajak tetap setia dan bahagia untuk belajar, “berKARya dengan RIang dan sederhaNA.”
07.
“Lindungilah aku terhadap katupan jerat yang mereka pasang terhadap aku,
dan dari perangkap orang-orang yang melakukan kejahatan.” (Mz. 141:9)
Ya Yesus-ku, walau aku seorang yang malang dalam
begitu banyak hal dan begitu bodoh,
aku telah Engkau pilih sebagai gembala dari kawanan
domba-Mu.
Anugerahkanlah kepadaku kasih yang bertambah-tambah
bagi jiwa-jiwa yang telah Engkau tebus dengan
Darah-Mu yang Mahasuci,
sehingga aku dapat berkarya demi keselamatan mereka
dengan kebijaksanaan, kesabaran dan kekudusan.
Janganlah kiranya satu pun dari mereka yang telah
Engkau percayakan kepadaku
hilang akibat kesalahanku. Ya Yesus-ku,
bantulah aku menguduskan mereka yang Engkau serahkan
ke dalam pemeliharaanku.
Ya Bunda Allah yang tersuci,
sudi doakanlah aku dan mereka semua yang ada dalam
kebun anggurku.
Para malaikat pelindung yang kudus dari jiwa-jiwa
terkasih,
ajarilah aku bagaimana bersikap terhadap mereka
sehingga aku dapat menanamkan ke dalam hati mereka
pokok-pokok iman dan kasih sejati Allah. Tuhan, ajarilah aku bagaimana hidup
dan jika perlu mati,
sehingga semuanya dapat diselamatkan,
sehingga semuanya dapat mengasihi dan memuliakan
Engkau sepanjang kekekalan masa;
agar semuanya dapat pula mengasihi dan menghormati
BundaMu terkasih.
Amin.
Udara
di sekitar Rawaseneng, pada pertengahan tahun ini sangat dingin, apalagi ketika
aku hendak menuju kapel untuk sesekali mengikuti ibadat bacaan jam 03.30 dan pastinya
menutup hari dengan doa malam bersama para rahib pada jam 19.45. Sebuah kenangan
akan “a quality time”, waktu yang
berharga buatku, yakni ketika aku selesai berdoa malam di kapel dan hendak
kembali sendiri ke Wisma Nazaret: Gelap dan menanjak, dingin dan sangat sepi.
Tak ada lampu di kiri-kanan. Kadang hanya terpaan suara angin yang semilir membelai
serta goyangan manja ranting pinus yang tersapa dinginnya udara malam dan kicauan
jangkrik dan serangga hutan. Pada waktu seperti inilah, seperti biasa aku
berjalan sendiri dan sepi, bermodal senter kecil yang kudapat dari bilangan ITC
Mangga Dua dan selembar jaket hijau tua yang pernah kubeli dulu di daerah Pasar
Ular Tanjung Priok. Kadang anginnya begitu dingin, kadang jalannya begitu sunyi
dan kadang hatiku juga pedih. Bagiku, setiap kali berjalan, berjejak-pijak dan
menanjak-tapak, jajah-menjelajah dari kapel menuju kamar yang tersamar, inilah sebuah
jalan salib kecilku, via dolorosa,
sebuah jalan yang pernah juga dilewati olehNya. Bukankah ini bagian kehidupan
yang harus dilewati dan dimaknai terus? Bukankah untuk mencapai “Nazareth” dan
mengalami kehangatan Keluarga Kudus, aku harus rela melewat-gulati ratapan jalan
salib sebagai jembatan perantara rahmat? Bukankah tidak ada kemuliaan tanpa
pergulatan? Bukankah tidak ada kebangkitan dan kebahagiaan tanpa kematian dan
penyaliban?
Bersama Ignatius, hari ini juga aku
diingatkan tentang tiga ciri karakter iblis. Ia seperti perempuan. Ia seperti
playboy. Ia seperti panglima. Iblis bersikap seperti perempuan,
yaitu lemah bila dilawan dan kuat bila dibiarkan. Iblis
juga bersikap seperti playboy atau
buaya darat, yaitu ingin agar segala usaha penipuannya tetap dirahasiakan dan
tak dibukakan kepada orang yang bijak. Iblis juga bersikap seperti panglima
atau komandan tentara dalam usahanya untuk menundukkan serta merebut apa yang
diinginkannya. Ia mengelilingi benteng pertahananku dan kemudian menyerang dan
mencoba menguasaiku lewat bidang-bidang dimana aku kedapatan paling lemah dan
rapuh dalam mempertahankan iman. Disinilah, aku tersadar begitu banyak terhasut-larut oleh rayuan, ajakan dan
godaan si “perempuan”, “playboy” dan “panglima” ini. Itulah sebabnya, aku
terkenang mitos kisah cinta segitiga
Roro Mendut-Pronocitro-Wiroguno: walaupun diketahui bahwa Roro Mendut
sudah punya pacar, yakni: Pronocitro, Wiroguno sebagai panglima terus menempuh
segala macam cara untuk menaklukkan kuda binal “Roro Mendut. Bukankah itu juga
yang diperbuat oleh iblis/setan di tengah hidup dan penghayatan imamatku? Ia terus-menerus
berupaya memperdaya dan menyeretku ke jalan kegelapan. Disinilah, aku diajak
semakin ber-compotio loci, mengacu
pada Kitab Wahyu 12:7-10, tentang adanya sebuah “pertempuran” Mikael versus Naga besar alias si Ular tua, alias Iblis atau Setan (Luciver). Aku harus jelas-jelas tegas-cerdas-bernas
memiih kebaikan dan bukan kejahatan. Aku harus tegas memilih Mikael dan bukan
Luciver.
Tak sengaja, hari ini, aku berjumpa
dengan seorang lain, bernama Ester. Seorang peziarah dari Jakarta yang nyantrik di pertapaan Rawaseneng. Ester
sendiri bisa dibaca dan dimaknai sebagai “East-star”
– “Bintang Timur”. Kebetulan juga, setiap malam, langit di atas kapel dan
kamarku selalu bersih sehingga ditaburi oleh pelbagai bintang yang tak jemu
untuk terus berkelip bagi dunia. Yah, aku terpana: Bukankah aku juga diajak
untuk tetap bersinar walau kecil, jauh, kadang redup dan tidak seterang
matahari? Bukankah aku bisa belajar dari sebuah bintang timur, yang tetap mau
belajar menghangatkan, mendamaikan dan mencerahkan?
Hari ini, kuterkenang-riang sebuah
lagu yang kadang kunyanyikan ketika memberi session pencerahan, “Lilin Lilin Kecil”. Lewat lagu itulah, aku
ditantang-garang untuk menanggalkan “gelap” dan mengenakan “terang”. Yah, terang
benderang sebuah bintang kecil yang tak mau diperdaya tapi berani terus menerus
berdaya: berdaya guna, berdaya makna dan pastinya tetap berdaya tahan, karena
bukankah tepat kata Yeremia bahwa, aku ini berharga di mataNya? (Bdk: Yer
29:11-14).
08.
“TUHAN itu penopang bagi semua orang yang jatuh dan penegak bagi semua
orang yang tertunduk.” (Mz. 145:14)
Ya Allahku, aku cinta padaMu melampaui segala sesuatu
Dan aku dengan seutuh jiwa membenci dosa-dosa
karena
dengan dosa, Engkau telah kuhina,
karena
Engkau memang tidak berkenan ada dosa di hadirat
Dikau
yang mahabaik dan pantas dicinta.
Aku
akui, aku harus mencintai Engkau
dengan
cinta yang melampaui segala
dan
aku harus mencoba membuktikan cintaku padaMu.
Aku
terima Engkau di hati dan pikiranku sebagai
yang
jauh tak terhingga lebih besar
daripada
segala yang ada di dunia
tak
peduli betapapun bernilai dan indahnya.
Oleh
karenanya, dengan tekad bulat aku berketetapan
Tak
pernah aku akan setuju Engkau terhina
atau
melakukan sesuatu yang tak berkenan di hatiMu
yang
baik dan berkuasa
ataupun
menempatkan diri dalam bahaya
akan
jatuh dari rahmatMu yang suci.
Sekuat
daya yang ada padaku,
aku
bertekad untuk tetap dalam rahmat sampai hembusan nafas terakhir
pada
saat aku mati. Amin.
(St Fransiskus
Xaverius, 1506-1552 adalah salah satu teman awal Ignatius,
Ia menghabiskan masa
hidupnya sebagai misionaris di India, Indonesia, Malaya dan Jepang)
Hari ini, lewat
pertanyaan Yesus dalam Yohanes 5:1-9, “Maukah
engkau sembuh?” secara spontan memunculkan terus kesadaranku akan jati diri
sebagai ciptaan yang berharga. Tuhan sekaligus menumbuhkan kebahagiaan dan rasa
syukur pada identitas diriku (sense of
identity) sebagai seorang imam, dan
hari inilah aku berniat mengadakan pengakuan dosa pribadi pada
sesama imam. Mengacu pada Mat 18 :12-14, aku merasa seperti domba yang hilang,
tersesat dan sendirian sekaligus seorang ”gembala” (imam) yang berlumur dosa
dan samsara. Aku membutuhkan ”correctio
fraterna” sekaligus ”rekonsiliasi” dari Tuhan, Sang Gembala Baikku, juga dari
sesama, dan pastinya dari diriku sendiri. Lewat sakramen pertobatan hari ini:
aku ingin dimurnikan sehingga jiwaku
selalu berada dalam semangat lepas-bebas dan tidak tercekam oleh kelekatan
tidak teratur (via
purgativa); aku ingin dicerahkan, selalu terbuka akan turunnya
inspirasi, aspirasi dan insight
kontemplasi dari sang Gembala Baik (via illuminativa); dan aku juga ingin
disatukan, mampu mengatur hidup
dan karyaku secara arif, selaras sehati sepikir dengan kehendak dan rencana
Allah sendiri (via
unitiva). Satu nama lain lagi kukenal hari ini di pertapaan Rawaseneng, pak
Hidayat, seorang peziarah dari Surabaya. Yah, lewat dialah, aku diajak
terus-menerus berjuang untuk”HIlangkan
noDA sampai akhir haYAT.”
Perlahan tapi pasti, setelah sakramen
pertobatan dan kesadaran sebagai seorang imam, ada keunikan yang semakin kutangkap dengan menjadi seorang imam diosesan,
yaitu bahwa dengan mempersembahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan,
imam diosesan adalah imam yang jiwa raganya untuk keuskupan, hidup untuk
keuskupan, mati untuk keuskupan. Dalam bahasa Oscar Romero, “sentire cum ecclesia, sehati dengan
Gereja.” Untuk menghayati panggilan seperti ini, bukankah dituntut
kehidupan rohani yang kerap kali dalam pelbagai perjumpaan, dibahasakan oleh
Mgr Sunarko: “mengakar, membatang, menyabang, mendaun, berbunga dan berbuah”
dalam dan bagi keuskupan?
Hari ini, aku juga mengingat-kenang
teman-temanku, sesama imam diosesan yang kadang terlupa dan terluputkan entah karena
kesibukan dan kesombonganku sendiri ataupun karena memang perjumpaan yang tidak
terlalu mendalam. Aku disadarkan lagi bahwa mengembangkan nilai komunio (kebersamaan) dan kooperatio (kerja-sama) adalah dua hal
yang mendasar dalam hidupku sebagai seorang imam. Disinilah, aku panjatkan doa untuk
kesatuan budi dan hati terlebih sebagai seorang imam dalam kesatuan Unio KAJ:
·
Agar di
dalam ketersebaran perutusan yang luas dan di dalam perbedaan sosial dan
kultural, kami menjaga kesatuan hati dan budi dengan uskup dan di antara kami
sendiri.
·
Agar
saling kesatuan kami didasarkan pada kesatuan masing-masing dan bersama dengan
Allah di dalam Kristus, agar masing-masing dari kami, merelakan diri dibimbing
lewat sebuah proses penjernihan berkelanjutan dari semua kepentingan pribadi
dan kesombongan supaya terbuka terhadap semua orang dan semua karya, dalam kerendahan hati dan kasih, agar persahabatan
kami didasarkan pada jawaban kami kepada panggilan Tuhan.
·
Agar
dalam krisis rohani zaman sekarang, kami boleh memperoleh kembali dan
memperdalam keakraban dengan Allah dalam doa dan karya sebagai dasar yang
mutlak untuk keberadaan persahabatan imamat kami.
·
Agar
cinta bakti kami kepada Allah boleh meluap lewat cinta dan karya kepada sesama,
agar kami terus menerus dibersihkan dari semua cinta diri dan cinta kedagingan
dan cinta duniawi yang menghalangi kami menjadi alat indah di dalam tangan
Allah dalam membangun suatu kerajaan cinta kasih dan persaudaraan di tengah
dunia.
Dalam doa-berdoa
inilah, aku kembali diyakinkan bahwa mewartakan kabar gembira dan menyelamatkan jiwa-jiwa lewat kerja bersama– satu kata, satu tindakan – selalu akan memberikan buah
yang lebih melimpah, bukan? Kesatuan mendalam dari seluruh anggota – unión de los
ánimos – menjadi sikap penting yang mesti kuusahakan dari diri sendiri bagi Unio. Hari inilah, aku terkenang wajah Unio dan terngiang-kenang
sosok “Rasul Paulus kedua”, yakni: Fransiskus Xaverius.
Lebih dari sepuluh tahun, ‘Sang FX” melanglang-buana. Ia bekerja dan berjalan
sendiri, tanpa rekan anggota serikatnya yang secara fisik dekat dengannya. Ia membawa nama-nama rekan kerjanya,
yang juga berada tersebar-pencar. Ia senantiasa
mendoakan mereka. Dalam surat-suratnya, ia merasakan kesatuan spiritual
mendalam dengan mereka. Theopile Verbist bilang, “cor unum et anima una – sehati dan sejiwa”. Ia juga yakin bahwa mereka terus mendoakan dirinya dan apa yang
dikerjakannya di negeri yang sangat jauh itu. Dari “Sang FX” lah, aku meyakini
bahwa ikatan yang menyatukan semuanya tidak lain adalah “saling
mencintai” dan “saling menghargai”, dengan sikap dan perasaan mencintai Allah sebagai pondasi dasarnya. Ssst, bukankah pimpinan ikut berperanan untuk
mewujudkan iklim positif seperti ini?
09.
“Ajarlah kami menghitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh
hati yang bijaksana.” (Mz.90:12)
Lihatlah ya Allah Maharahim, apa gerangan
balasan hambaMu yang tak tahu terimakasih
terhadap anugerah-anugerahMu yang tak terhitung banyaknya,
dan betapa menakjubkan cinta yang Engkau perlihatkan
kepadaku!
Betapa banyak kesalahan yang aku perbuat!
Betapa banyak kebaikan yang tak terselesaikan!
Aku mohon, basuhlah kesalahan dan noda-noda ini
dengan darahMu yang tak ternilai harganya
ya Penebus yang amat baik hati
dan menutup kepapaanku dengan jasa-jasaMu
Berilah aku perlindungan yang aku perlukan
untuk memperbaiki hidupku.
Aku menyerahkan diriku sepenuhnya kepadaMu
dan aku menghaturkan kepadaMu
semua yang kumiliki, dengan permohonan
semoga Engkau menganugerahkan rahmat kepadaku
sehingga aku dapat membaktikan
dan memanfaatkan seluruh daya pikir budiku
serta kekuatan tubuhku untuk pengabdian suci kepada Dikau.
Dikau Allah terberkati untuk selama-lamanya.
(St.Petrus
Kanisius, 1521-1597, konsultan teologi di Konsili Trenete dan provinsial Yesuit
di Jerman).
Intersisi! Aku menjalani intersisi
seharian. Aku mau sendirian berjalan, ber-peregrinatio
pro Christi. Aku memilih lima tempat
untuk kudatangi, dengan tema besar, “Requeim”. Kelima tempat itu adalah
sebuah kompleks pemakaman: Kentungan, Muntilan, Girisonta, Gejayan dan
Ambarawa.
Di Kentungan, ada lima makam yang hendak
kudatangi: Makam Rama Mangun “sang Burung
Manyar” yang banyak menginspirasi dan mengaspirasiku. Makam Rama Darmawijaya
pembimbing rohaniku, sang begawan kitab suci yang bijak lagi bersahaja, yang
selalu berkirim surat jika aku menulis dan menerbitkan buku baru. Makam Rama
Purwo, ahli moral, seksualitas dan pembimbing tingkatku di awal tahun studi di
Yogyakarta yang pernah meminjamkan sequel film “Thorn Bird” kesayangannya. Makam Rama Eko Wijayanto, salah satu teman
dekatku di Seminari Tinggi, yang baru saja meninggal karena kecelakaan motor di
pagi hari. Dulu, dia sering menemaniku menjajah dan menjelajah bakmi godog dan
tempat-tempat seni budaya di seputaran kota Yogya dan Magelang. Tak terluputkan
juga, makam Rama Krismanto, kolega unio di Projo Jakarta, seorang imam yang
aktif dan reflektif, yang meninggal karena kecelakaan mobil pada tahun 1998.
Di Muntilan, ada empat makam yang
kukunjungi secara khusus: Ada makam Rama Van Lith, Kardinal Darmayuwana, Mgr.
Willkens dan pastinya makam Rama Sandjaya. Di Girisonta, “rumah masa depan”
para Jesuit di Indonesia, ada tiga makam yang ingin “kusapa”: “Menteri Pendidikan” Rama Drost, Mgr.
Leo Soekoto dan Rama Kurris alias “Sukri
Kaslan”. Di Gejayan, persisnya di daerah pemakaman para suster CB, ada dua
makam yang kudatangi. Disanalah, aku “menyapa” dua budeku, Sr. Ignatia dan Sr.
Luisi, CB yang sudah beristirahat dalam damai. Dan terakhir, aku pergi ke kerkof di Ambarawa. Kutengok makam eyangku
yang paling muda, Sr. Clarisa OSF yang baru saja meninggal pada medio November
2011. Dialah pribadi yang sangat dekat dalam hidup dan riwayat panggilanku
sebenarnya.
Mungkin intersisi ini terasa
menghamburkan waktuku, tapi kuingat Leo Rock, SJ, seorang imam Jesuit di
California yang mengatakan, “Yesus tidak
menghamburkan waktu. Ia memberikan kehidupanNya kepada waktu, yakni
kehidupanNya sendiri.” Pada intersisi pertama inilah, aku juga berkenalan
dengan seorang bapak tua di buskota menuju Ambarawa. Dia mengaku bekerja sebagai
dosen FISIP di Universitas Diponegoro dan ternyata sorang umat Katolik.
Heribertus namanya, seorang umat dari paroki Bongsari Semarang. Tentunya, dia
tak mengenaliku sebagai imam, tapi aku terkesan karena dia yang malahan
membayar ongkos buskotaku dan menunjukkan jalan dan rute yang harus kutempuh.
Bagiku, dari namanya itu, aku diajak untuk terus, “HEbat membeRI BERsama KrisTUS”. Yah, dengan intersisi minggu pertama bertema “Requiem”
ini, aku berharap bahwa Tuhan juga berkenan memberi limpahan berkatNya untuk
membantuku menguburkan dosa-dosa manusia lamaku dan semakin bangkit dari kubangan
kubur secara utuh, penuh dan menyeluruh.
Aku mohon kepadaMu, ya Tuhan,
agar Engkau menyingkirkan segala sesuatu
yang memisahkan aku dari Engkau
dan Engkau dari aku.
Singkirkan segala sesuatu yang membuat aku tak pantas
Engkau pandang
Engkau kuasai
Engkau cela
Engkau bicarakan
Engkau baiki
Engkau cintai
Buanglah dari diriku setiap kejahatan
yang menghalangi aku untuk melihat Engkau,
mendengar, mengecap, menikmati,
dan menyembah Engkau,
takut dan memperhatikan Engkau;
mengenal, percaya,mencintai dan memiliki Engkau,
sadar akan hadiratMu, dan sedapat mungkin
mengenyam Engkau
Ini adalah apa yang aku minta untuk diriku
dan yang aku inginkan sekali dari Engkau
(B.Petrus Faber,
1506-1546, salah satu sahabat awal Ignatius.
Ignatius
menganggap Faber sebagai orang yang paling berbakat dalam membimbing Latihan
Rohani)
10.
“Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel! Sebab pada TUHAN ada kasih setia,
dan Ia banyak kali mengadakan pembebasan.” (Mz.130:7)
Hanya dalam cinta aku
dapat menemukan Engkau,ya Allahku
Dalam cinta,
pintu-pintu jiwaku terbuka sehingga aku dapat bernafas
menghirup udara segar,
udara kebebasan dan melupakan diri kerdilku.
Dalam cinta seluruh apa
adaku mengalir terbebas dari kungkungan kepicikan
dan keinginan untuk
mengungkapkan diri,
yang membuat diriku
menjadi penjara kemiskinan dan kehampaanku sendiri.
Dalam cinta, semua
kekuatan dan daya jiwaku mengalir keluar menuju Engkau,
tak mau lagi kembali,
tetapi melebur diri sepenuhnya dalam Engkau,
karena dengan cintaMu,
Engkau adalah pusat teras hatiku,
yang lebih dekat dengan
Engkau daripada aku dengan diriku sendiri.
Tapi apabila aku
mencintai Engkau,
apabila aku dapat
mendobrak keluar dari diriku yang picik
dan meninggalkan
kegelisahan serta remuk redamnya hati
akibat berbagai
pertanyaan yang tak dapat dijawab,
apabila mataku yang
kesilauan tak lagi hanya melihat dari jauh dan dari luar
kecerahan-Mu yang tak
terhampiri, dan lebih-lebih apabila Engkau sendiri,
ya Allah yang tak dapat
kutangkap dengan budiku,
lewat cinta telah
menjadi pusat teras kehidupanku,
maka aku dapat mengubur
seluruh diriku dalam Dikau, Ya Allah Maha gaib,
dan dengan mengubur
diriku terkubur pula pertanyaan-pertanyaan satu-persatu.
(Karl Rahner, SJ, Yesuit Jerman
yang memberikan banyak kosakata pada teologi pasca Konsili Vatikan II)
Setapak
demi setapak, aku diajak untuk mendalami keadaan hidup dan tujuan hidupku lewat
proses pemurnian diri dari dosa dan nestapa pada latihan di minggu pertama. Selagi
aku mengalami kesedih-perihan yang semakin besar dan mendalam terhadap dosaku,
aku dihibur karena dibukakan kepada kerahiman, kebaikan dan cinta Allah.
Itulah sebabnya permenungan minggu
pertama kuakhiri dengan pengakuan dosa. Aku seakan didorong untuk memohon
rahmat kebebasan yang cukup untuk menjawab kehendak Allah dan menghayatinya
dengan sepenuh kebesaran hati.
Yang pasti, setelah
intersisi pertama bertema “Requiem” kulakukan, kubuka minggu kedua Latihan
Rohani, dengan mendalami tema seputar “Misteri Hidup Yesus”.
Tahap demi tahap, aku diajak dan dikenalkan tentang misteri kehidupan Yesus
Kristus. Aku berkontemplasi mengenai Yesus pada saat penjelmaanNya, kemudian
mengenai kelahiranNya, mengenai kehidupan Yesus di rumah orangtuaNya,
pembaptisanNya di sungai Yordan dan pelbagai saat lain yang sesuai dengan
karya-pelayananNya bagi orang banyak.
Yah, pada minggu kedua ini aku memasuki proses pembaruan
hidup dengan merenung-menungkan hidup, warta dan karya Kristus secara utuh,
penuh dan menyeluruh. Dengan kata lain: aku diajak semakin masuk ke dalam
proses penyerahan hidup untuk diubah agar belajar mengikuti dan menyerupai
Kristus. Tujuan perjalanan seperti itu dapatlah kurumuskan, mengikuti pandangan
Ignasius: "Untuk memuji, menghormati serta mengabdi Allah (LR 23), seperti Kristus atau sejalan dengan teladan
Kristus (LR 95‑98), di dalam Gereja,
sesuai dengan panggilan serta pilihan panggilanku (LR 171, 177).
Hari
ini, aku juga disadarkan bahwa Latihan Rohani pada minggu kedua erat berhubungan
dengan hidup kesadaranku, yang dibangun oleh pengertian afektif maupun oleh
pengertian kognitif diriku. Pintu masuk yang membawaku ke dunia itu ialah daya
jiwa manusia, yang kusebut: “ingatan” (eling), dengan segala daya-daya dinamis,
seperti imajinasi-fantasi, kreativitas, menghadirkan dan menghidupkan
pengalaman. Bagiku, ingatan juga merupakan daya yang menghantarku ke pengenalan
akan keadaan secara lebih jernih dan jelas. Ingatan juga mampu membawaku kepada
pengambilan sikap yang benar, seperti syukur, pujian, rasa sesal dan lain
sebagainya.
Berkaitan
dengan ingatan itu, pada minggu kedua ini, aku menggunakan daya imajinasi
serta fantasiku yang kerap disebut oleh St.Ignatius sebagai ‘kontemplasi’. Bukankah
fantasi serta imajinasi merupakan titik temu antara rasa manusia dan kebenaran
obyektif yang kurenungkan? Bukankah dengan
daya ingatan serta imajinasi itu, aku bisa lebih masuk dalam dunia inkarnasi,
yaitu bagaimana karya Allah itu mewujud-nyata dalam hidupku setiap hari? Maka berkaitan dengan ini, aku bisa
jadi dihadapkan pada dunia bawah sadarku, dunia simbol pengalaman, yang juga
merupakan tempat Allah berkarya. Bukankah Allah juga berkarya dalam alam bawah
sadarku?
11.
“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku
dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala
jalanku Kaumaklumi.” (Mz.139:2-3)
Tuhan anugerahkanlah kepadaku
agar aku mendapatkan pengertian yang lebih mendalam
mengenai Engkau,
lebih mencintai Engkau,
dan mengikuti Engkau lebih dkat lagi
(LR. 104)
Kuawali hari ini dengan membaca isi kitab suci seputar
penjelmaan dan kehidupan awal Yesus. Kubaca juga Luk 1:26-38, pemberitahuan
tentang kelahiran Yesus, lalu beranjak ke Luk 2:1-20 tentang kelahiran Yesus serta Mat 2:1-12 tentang penyembahan oleh para
majus dan Luk 2:2238 ketika Yesus dipersembahkan di Bait Allah. Hari-hari awal dalam
minggu kedua ini kujalani dan kumaknai sebuah proses yang dialami Yesus sendiri yang hidup dalam asuhan bapak Yosef dan ibu Maria di Nazareth,
bahwasannya suasana dan nuansa keluarga sungguh berperan besar (Luk 2:39-40, 51-52).
Disinilah, aku seakan kembali diajak melihat dan mengingat “akar”, semacam indikasi awali sebuah panggilan, yang bermula dari sebuah tempat hangat dan bersahabat bernama,
“keluarga”, yang kadang disebut Paus Yohanes Paulus II sebagai “gereja mini”.
Aku mengingat suasana keluarga “Nazareth” yang aku
jalani bersama orangtua dan kedua adikku seperti ‘seminari dasar’. Aku bersyukur boleh lahir dalam keluarga
Katolik yang sederhana dengan budaya Jawa yang bersahaja. Lewat hidup bersama dalam keluarga, khususnya lewat kasih Bapak yang kuat dan
kesederhanaan Ibu yang tabah itu, sungguh aku mengalami eccelesia domestica,
rumah bagaikan sebuah gereja, di mana masih ada tradisi berdoa malam bersama,
misa harian, makan bersama dan pastinya ikut terlibat di lingkungan/kring, mengenal para romo paroki serta seluk-beluk lingkungan paroki dsbnya. Dan semuanya memang memberikan kesan yang indah mengenai figur sebuah keluarga.
Yah, aku mensyukuri bahwa keluargaku adalah Gratia Domini, anugerah dari Tuhan.
Lebih lanjut, kuingat dan fantasikan pelbagai wajah
keluargaku, bapak, ibu, kedua adikku, para kerabat, sahabat dan keluarga
besarku: Ada yang tua, muda, kristiani, muslim, kaya terpelajar, ada juga yang
bersahaja dan tetap dermawan. Setiap kuingat tentang keluarga, pelbagai bunga
dan romansa syukur berlimpah ruah dalam relung hati. Disinilah, aku mengingat
seorang warga di lingkungan Rawaseneng, yang kerap mengikuti misa pagi di kapel
dengan motor bebeknya. Ari namanya. Konon kabarnya, almarhum ayahnya adalah
supir kepercayaan para rahib di Rawaseneng. Dari nama “Ari” inilah, aku diajak
untuk setia mensyukuri keluargaku yang “Ada
untuk membeRI”. Yah, mereka memberi banyak penghiburan, peneguhan dan
kehangatan bersahaja lewat pelbagai hal sederhana dan biasa-biasa dalam
perjalanan panggilan imamatku selama ini.
12.
“Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; yang tetap
setia untuk selama-lamanya, yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang
diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan
orang-orang yang terkurung.“ (Mz. 146:6)
“…Tuhan tunjukkanlah cara-caraMu!”
(St.Alfonsus Rodriguez)
Hari ini kubuka dengan pembacaan
kisah tentang pembaptisan Yesus pada Mat 3:13-17, dimana Allah Bapa memaklumkan
sebuah “proklamasi”: ‘Inilah AnakKu yang
Aku kasihi, kepadaNya Aku berkenan.’ Lebih daripada itu, lewat LR minggu
kedua ini, aku diajak mengenal panji-panji. Yang pasti, ada dua panji: Panji Kristus dan Panji Luciver: Ada pertarungan. Ada pergulat-geliatan. Ada pergumulan.
Semuanya punya kepentingan. Yang aneh, kadang masing-masing panji tidak kukenal
secara jeli, kadang tertukar dan salah memilah dan memilih. Sebuah hal yang
tiba-tiba muncul, mengapa kadang orang yang seharusnya sepanji denganku,
malahan asyik “melempar batu dari belakang”. Mengapa mereka lagi-lagi tidak
menjadi “payung” tempatku berteduh, tapi malahan menjadi “paku” yang begitu
menyakitkan hati? Atau jangan-jangan, apakah ada jenis panji ketiga, sebuah
panji yang “setengah-setengah’, yang berkarakter seperti bunglon: kadang
menjadi Panji Kristus, tapi kadang
juga menjadi Panji
Luciver, tergantung kebutuhan, kepentingan dan keadaan yang ada.
Hari ini, tercandra juga pelbagai godaan iman yang
dialami Yesus
dalam masa “nyepi”nya. Satu hal yang kumaknai bahwa kisah “nyepi” 40 hari di padang gurun dan godaan yang menyertainya (Mat.4:1-11, Luk.4:1-13)
menandai peralihan dari hidup yang tersembunyi ke hidup yang tersingkap. Ia
mulai go-public - memberikan
pelayanan di depan umum, dan Ia juga harus siap menerima pelbagai kemungkinan
konflik dan intrik pebagai orang dengan pebagai karakter dan parameternya. Satu
peneguhan kudapatkan ketika merenung-kenangkan sebuah kisah dalam Luk 4:14-22: “Roh Tuhan ada padaku.”
Berangkat dari figur Yesus yang mulai go-public inilah, sebuah slogan pedagogis yang pernah kudengar dari
Rama Sigit, SJ, “reflekSInya menggiGIT”,
ketika menjalani tahun pastoral di Kolese Gonzaga, yakni “3C”: “Competence-Conscience-Compassion”
terkenang di benakku. Aku seakan diajak menjadi murid Yesus yang punya
kecakapan, kesadaran sekaligus juga kedalaman perasaan di tengah peradaban dan
pergulatan sesama. Yah, kesediaan untuk
menerima tugas-tugas apapun atau sekurang-kurangnya keinginan untuk selalu
bersedia untuk itu, merupakan salah satu ciri khas orang yang memiliki ”3C”. Hari
inilah, dengan bangga aku turut mempersembahkan diriku di
bawah panji-panji salib Kritus, “yang
menghampakan diri dengan mengambil rupa hamba, taat sampai mati, bahkan mati
disalib.” Satu nama rahib lainnya kukenal hari ini di pertapaan
Rawaseneng, Fr.Albert(us). Yah, lewat dialah, aku diajak memaknai semua hidup,
karya dan warta dengan cara: “ALami semua
BERsama krisTUS.”
13.
“TUHAN, siapa yang boleh menumpang dalam kemah-Mu? Siapa yang boleh diam
di gunung-Mu yang kudus? Yaitu dia yang berlaku tidak bercela, yang melakukan
apa yang adil dan yang mengatakan kebenaran dengan segenap hatinya, yang tidak
menyebarkan fitnah dengan lidahnya, yang tidak berbuat jahat terhadap temannya
dan yang tidak menimpakan cela kepada tetangganya.” (Mz. 15:1-3)
Tuhan,
berilah aku rahmat agar dapat
berkarya bersamaMu
tanpa mencari diriku sendiri
tetapi menghayati kerajaanMu
sepenuhnya
(John Futrell, SJ, pengarang dan dosen kerohanian
Ignasian)
Hari ini kudapatkan penegasan bahwa tugas seorang murid (“disciple”
dan bukan “student”) adalah memaklumkan Kerajaan
Allah.
Seorang murid bukan sekedar tukang
misa, seperti yang kadang juga menggoda
kualitas seorang imam di kota besar, bukan? Aku diyakinkan bersama dengan teks Kotbah
Bahagia dalam Mat 5:1-12 yang merupakan semacam “tata nilai Yesus”, bahwa aku jelas dipanggil menjadi loudspeaker bagi setiap pesan Tuhan, walau kadang kurang halus dan
kurang jelas suaranya.
Yah corong ilahi bagi manusia insani,
yang dalam bahasa Rama Mangun pada novel “Burung-Burung Rantau”nya, disebut ‘generasi
pasca-Indonesia’ di tengah konteks dan era globalisasi.
Satu keyakinan kembali kudapatkan: Bukankah sejak awal, pesan
kristiani yang harus disebar-wartakan adalah kabar gembira? Bukankah malaikat
Gabriel datang kepada Maria dengan salam gembira: “Salam, hai engkau yang dikaruniai, Tuhan menyertai engkau” (Luk.
1:28)? Bukankah bagi Elisabeth,
kedatangan Maria merupakan salam kegembiraan yang unik sekaligus menarik? Lihat saja penggalan kalimatnya: “Sebab sesungguhnya, ketika salammu sampai
kepada telingaku, anak yang didalam rahimku melonjak kegirangan” (Luk. 1:44).
Bukankah Maria juga menyanyikan magnificat,
semacam kidung lagu pujian dan kegembiraan karena keajaiban Allah yang boleh
dialaminya (Luk. 1:46)? Ketika Yesus lahir, gembala gembala di padang Betlehem menerima
pesan: “Jangan takut, sebab sesungguhnya
aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa” (Lk. 2:10). Bahkan, Yesus mengawali
misi-Nya dengan pesan kegembiraan,
bukan? “Waktunya telah genap. Kerajaan
Allah sudah dekat.“ (Mrk.1:14). Ketika Ia berbicara
kepada kerumunan orang banyak, sabda-Nya jelas membangkitkan kegembiraan orang
banyak: “Berbahagialah hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya
Kerajaan Allah“ (Lukas 6:20). Bahkan, ketika bayangan kematian menimpa
hidupNya dan kekuatiran mencekam hati para murid, sekali lagi Ia memberikan
jaminan hidup dan sukacita kepada mereka:
“Semuanya itu, Aku katakan
kepadamu supaya sukacita-Ku ada didalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh“.
(Yoh.15:11).
Yah, hari ini aku semakin diyakinkan
bahwa pesan keselamatan yang
dipercayakan dan diwartakan kepada Gereja dan kepadaku sekarang ini juga
adalah pesan kegembiraan bagi seluruh dunia, untuk membangkitkan banyak orang
dari sikap menyerah pada nasib dan sikap berputus-asa atau bermuram-durja.
Intinya: pesan Yesus adalah pesan
Kerajaan Allah, yakni memberi harapan, terlebih bagi orang kecil, seperti yang
pernah dipapar-ujarkan oleh Rama Mangun dalam “Balada Becak“ nya, yang menampil-wakili potret indah banyak
masyarakat kelas bawah yang kerap terbingung-linglung dalam pelbagai
khayalannya, yang jauh dari realitas.
Memang walaupun pada kenyataannya, aku juga kadang
menghadapi beberapa pribadi yang malahan mematahkan harapan orang lain, seperti
mentalitas tak pantas golongan “Farisi“ dan “Saduki“ yang merasa lebih baik
tapi sesungguhnya hanya karena iri hati
dan sentimen belaka. Disinilah aku mengingat seorang karyawan pertapaa yang
setia menyiapkan makanan di refter. Pak Samuji namanya. Dari dialah, aku
belajar segar dan tegar menyampakan kabar gembira dengan cara: “SAbar dan suka meMUJI.“Yah, kesabaran
dan kebiasaan untuk melihat orang lain dari kacamata positif sehingga mudah terkagum
pada keunikan setiap sesama adalah awal dari sebuah usaha menyebarkan kabar
gembira juga, bukan?
14.
“Mudah-mudahan Engkau berkenan akan ucapan mulutku dan renungan hatiku,
ya TUHAN, gunung batuku dan penebusku.” (Mz. 19:15).
Ya Tuhan, tunjukkanlah kepadaku jalan-jalanMu
Dan ajarilah aku menapaki jalan-jalanMu
Bimbinglah aku dalam kebenaranMu
dan ajarilah aku – karena Engkau adalah Allah sang Juru Selamatku
(B.Petrus Faber)
Hari
ini kubaca dan renungkan isi dari Mrk.10:28-31, bahwa: “Setiap orang yang karena Aku dan karena Injil meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki
atau perempuan,
ibunya atau bapanya, anak-anaknya atau ladangnya, ia akan mendapat upahnya
100 kali lipat!” Janji Yesus kepada para murid seakan menggemakan janji Yahwe kepada
Abraham: Abraham meninggalkan segalanya demi tanah yang akan ditunjukkan Tuhan dan para murid Yesus melepaskan
segalanya demi Yesus dan Injil Suci. Aku bermenung renung apa yang dijanjikan
Yesus bagi orang yang meninggalkan
segalanya? Seratus kali lipat! Seorang yang menyerahkan hidupnya demi Kerajaan Allah tidak hanya memperoleh
kebahagiaan tetapi juga persahabatan dan berkat
yang berlimpah dan tak terduga, benarkah? Bagaimanapun jawabannya, panggilan imamat yang kujalani ini adalah suatu
tanggapan dan komitmen hidupku kepada tawaran Yesus: “Ikutlah Aku.” (Bdk: Mark 1:16-20).
Hari ini, aku juga menyadari bahwa kadang aku mengalami
pengertian yang keliru serta penafsiran subyektif
yang terjadi dalam perjalanan panggilanku, yaitu:
a. Pengertian yang keliru tentang diriku sendiri: Aku kadang merasa
seluruh diriku negatif dan merasa begitu tidak pantas, menderita, malang,
seakan berjuang sendiri dan tak ada siapa-siapa.
b. Pengertian yang keliru tentang sesama: Aku mudah menilai, menyelidik, kadang
menolak sesama secara spontan atas dasar pengandaian apakah sesama mampu
memuaskan kebutuhan psikologisku atau tidak, melihat sesama sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan psikologis atau bahkan kadang sebagai saingan dan batu
sandungan. Aku menyadarai bahwa hal inilah yang malahan menjadi penghambat
pertumbuhan penghayatan hidupku dalam berkomunitas.
c. Pengertian yang keliru tentang Tuhan: Aku kadang menggambarkan Tuhan
hanya sebagai proyeksi dari kelemahan pribadiku, ketika aku merasa gagal,
kecewa dan terpuruk.
d. Pengertian yang keliru tentang kenyataan dan situasi: Aku kadang keliru mengartikan maksud hidup panggilan
imamat dan sarana-sarana rohani yang disediakan, keliru menangkap Sabda Allah,
tidak mampu sepenuhnya memahami dan menghayati perayaan liturgi dan doa-doa
ofisi atau doa-doa devotif dengan mendalam. Aku menyadari bahwa kekeliruan ini kerap
mewarnai pengalaman hidupku: hatiku tidak mudah peka, mudah terluka atau tersinggung
kalau ditegur, kadang tertutup dan tidak mampu menghargai orang lain dengan
sesungguhnya.
Dari keempat pengertian keliru yang kadang kuperbuat ini
dan berangkat dari sebuah kesadaran bahwa imamat adalah anugerah, maka hari ini
aku sungguh memohon rahmat kebebasan yang dewasa dan kepekaan yang bijaksana
dalam penghayatan panggilan imamatku setiap harinya, sehingga harapannya: nama
Tuhan semakin dimuliakan dan keselamatan sesama semakin diwujudnyatakan. Sebuah
ajakan Yesus yang kudapatkan dalam Luk 5:1-11, “bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk
menangkap ikan” teringat sungguh dalam benakku. Berkenaan dengan kesadaran
diri bahwa imamat yang terus harus dimaknai secara mendalam adalah sebuah
rahmat, sebuah nama seorang karyawan lain di pertapaan kukenal hari ini kuingat.
Pak Suwi namanya. Dia mengajakku untuk semakin memiliki, “SUkacita yang manusiaWI” dalam keseharian hidup imamatku.
15.
“Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!
Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.” (Mz.8:2)
Viva Cristo Rey
Hidup Kristus Raja
(St.Miguel Augustin Pro, )
Bahan permenungan hari ini kubuka
dengan “Panggilan Raja”, yang tertulis demikian: “KehendakKu ialah
menaklukkan seluruh dunia serta semua musuh, dan dengan demikian masuk ke dalam
kemuliaan Bapa. Barangsiapa mau ikut Aku dalam usaha itu, harus bersusah payah
bersama Aku, supaya karena ikut Aku dalam penderitaan, kelak dapat ikut pula
dalam kemuliaan” (St.Ignatius Loyola, LR no 95). Disinilah, aku semakin
mendapatkan penegasan bahwa menjadi murid-murid atau sahabat Yesus memang harus
meneladan dan mengenakan cara hidupNya, “yang walaupun dalam rupa Allah,
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil
rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai
manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati
di kayu salib”(Fil 2:6-8).
Aku ditantang untuk semakin
mengenal Yesus secara pribadi, terlebih
lewat pertanyaanNya dalam Mat 16:13-20, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? “ Yesus adalah Rajaku, dan
aku harus belajar seperti Dia: rela hidup ‘miskin, sederhana, menyatukan diri
dengan yang dilayani, mau turun ke bawah, rendah hati dan menyerahkan diri pada
yang dilayani maupun pada yang mengutus’, tentunya dengan rasa bahagia, walau
kadang ada terselip rasa sakit dan nylekit.
Di lain segi, aku
juga melihat dan mengingat pelbagai karya Yesus sang Raja. Markus 7:31-37, Ia
menyembuhkan orang tuli. Lukas 5:17-26, Ia menyembuhkan orang lumpuh dan
Yohanes 9:1-41, Ia menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya. Sebuah kekuatan
mendalam kudapat ketika Yesus berkata kepadaku, “Kamu bukan lagi hamba, melainkan sahabat, dan kamu adalah
sahabatku.....” (Yoh 15:15-17)
Hari ini juga, aku
berjumpa dengan seorang frater muda dari Keuskupan Medan yang sedang menjalani retret
di Rawaseneng. Adapun namanya, Fr.Antonius Sinaga. Lewat marga Batak (“Bersama Allah Tambah Aku Kuat”)
inilah, aku juga diajak untuk berani mengikuti panggilan Raja, sehingga aku
bisa menjadi orang yang Sinaga, “SIap
NAik ke surGA.” Bukankah aku siap
naik ke surga jika aku mau lebih mencintai dan menjadi unggul dalam hal pengabdian
kepada Tuhan sebagai Raja? Disinilah, aku tidak hanya mempersembahkan diriku
seutuhnya untuk berjuang, tetapi lebih lanjut dengan bertindak melawan hawa
nafsu, cinta kedagingan dan duniawi dalam diri. Aku ingin memberi persembahan
yang lebih luhur dan lebih berharga dengan berdoa demikian:
“O Tuhan semesta
abadi, dengan karunia pertolongan-Mu
kuhaturkan
persembahanku di hadapan kebaikanMu yang tak terhingga,
di hadapanMu teramat
mulia dan semua santo santa di istana surgawi,
aku
berkehendak berhasrat dan bertekat bulat
asal menjadi lebih
besarnya pujian dan pengabdian bagiMu,
akan meneladan
Engkau tuk menanggung segala kelaliman,
segala penghinaan
dan segala kemiskinan
baik lahir maupun batin,
bila keagunganMu
yang Mahakudus
berkenan memilih dan
menerima diriku untuk hidup sedemikian itu.
Amin.
16.
“Tetapi Engkau, TUHAN, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah
kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku.” (Mz 3:4)
Bagaimanakah pandanganMu tentang diriku ya Tuhan?
Apakah perasaan hatiMu terhadap diriku?
(John Eagan, SJ, 1925-1987, dosen di
Universitas Marquette)
Hari ini kubaca kisah dalam Mat
8:23-27 tentang badai di telaga. Sebuah pertanyaan Yesus meneguhkan hatiku: “Mengapa kamu takut?” Disinilah, aku diajak
untuk menyerahkan semua rasa takut, ragu dan kekuatiranku pada Yesus semata.
Aku juga diajak kembali mengenal pembedaan
roh sebagai salah satu pedoman dasar LR
Ignasian. Bukankah setiap hari aku dihadapkan
pada suatu pilihan dan aku harus merumus-putuskan sesuatu? Pergi ke “padang
gurun” Rawaseneng juga adalah sebuah pilihan bebas yang kutawarkan kepada Bapak
Uskup dan beliau menerimanya.
Berangkat dari sebuah kesadaran sederhana bahwa saat ini
aku hidup di dunia yang sangat materialistik. Senang atau tidak senang, hidup
dan dunia karyaku di Jakarta banyak dipengaruhi oleh imbas globalisasi,
mobilisasi dan transportasi komunikasi di pebagai sisi. Segala sesuatu kini
menjadi sangat komersial sekaligus banal (dangkal): Uang menjadi seakan ”hosti”,
mall menjadi seakan “gereja”, komputer dan televisi menjadi seakan
“tabernakel”, bahkan ego-diri seakan menjadi “Tuhan” bagi sesamanya, terlebih
sesama yang lebih kecil, lemah, miskin dan tersingkir.
Di
tengah carut-marut dunia yang tunggang langgang inilah, diri dan panggilan
imamatku kadang turut masuk dalam pusaran dan lingkaran kebingungan. Hidup dan
karya menjadi seolah seperti komedi putar, makin cepat dan makin cepat, namun
tidak bisa keluar dari putaran itu sendiri. Nah, untuk menjaga keseimbangan
dalam perputaran yang semakin cepat itu, bukankah aku perlu memelihara
kehidupan rohani melalui waktu sendirian dengan Allah (Alone with God)?
Terlebih lagi adanya kesadaranku bahwa dunia
yang kutinggali adalah dunia yang instan: ambil uang tinggal tekan tombol,
ingin makan tinggal pesan di KFC atau
Mc D, malas mencuci pakaian-langsung
bawa ke laundry. Pelbagai hal yang serba instan kerap mengajarkanku untuk ingin
serba cepat juga. Nah, bukankah dengan “AWG” inilah, ketrampilan dan sekaligus kesabaran untuk mengambil
keputusan secara tepat, bijaksana dan tenang lebih bisa dimungkinkan? Aku juga
sadar, setiap pembelajaran membaca kehendak Allah, tentunya
dengan memperhatikan empat keadaan dasar yang kusebut “metode 4 S”, yang kadang
kuabaikan di tengah hiruk-pikuk hidup karya, yakni: "solitude” (kesendirian), "silence” (keheningan); "stillness” (ketenangan), serta "simplicity” (kesederhanaan).
Hari inilah,
bersama dengan “metode 4 S” tadi, aku juga seakan diajak melihat
dua unsur utama sebuah proses discernment,
yakni: mempertimbangkan secara matang serta memutuskan secara tepat. Aku
pertimbangkan secara matang pelbagai karya dan wartaku selama ini serta
memutuskan dengan tegas dan jelas bahwa menjadi imam adalah sebuah komitmen
yang harus diperbarui terus-menerus sepanjang hayat dikandung badan. Yah, keberpihakan dan komitmen sebagai imam
Kristus itu tidak berhenti menjadi slogan, jargon dan program belaka, tetapi
sesuatu yang real, aktual dan operasional, sesuatu yang bersifat action. Walaupun untuk mewujudkannya,
aku mesti tekun mengadakan pembedaan roh, kadang bahkan menderita dan
disalahkan, harus kehilangan segala-galanya, bahkan kehilangan diri sendiri.
Sulit, tapi bukankah untuk itu aku ditahbiskan? Untuk itulah, aku mengingat
nama seorang rahib lain lagi di Rawaseneng. Fr. Anton namanya. Ia mengajakku
untuk: “ANdalkan Tuhan dan OmonganNya.”
17.
“Berilah telinga kepada perkataanku, ya TUHAN, indahkanlah keluh
kesahku. Perhatikanlah teriakku minta tolong, ya Rajaku dan Allahku, sebab
kepada-Mulah aku berdoa.” (Mz.5:2)
Tuhan, perkenankanlah Aku mengetahui Dikau,
Perkenankanlah aku mengetahui diriku.
Tuhan, laksanakanlah kehendakMu,
dan bukan kehendakku.
Sebentar, sebentar, aku segera datang menyambut Dikau
Ya Tuhan
(St.Alfonsus Rodriguez, bruder
penjaga pintu pada Kolese Yesuit di Mayorka, Laut Tengah)
Kusadari kadang aku ragu akan sesama,
akan nilai dan bahkan akan keberadaan diriku sendiri. Karena “keragu-raguan
adalah sebentuk penghormatan kepada kebenaran” itulah yang pernah kubaca dalam
novel “Romo Rahadi”nyaMangunwidjaya, maka hari ini aku menegas-tegaskan LR sebagai sebuah eleksi, proses
pemilihan dalam tiga waktu. Waktu pertama
adalah proses pemantapan. Waktu kedua
adalah proses pengalaman. Waktu
ketiga adalah semacam proses pro-kontra, dimana kognisi atau budiku turut ambil bagian, bukan hanya emosi dan perasaanku.
Disinilah aku mengenal-ulang tiga macam
kerendahan hati, yang membawaku ke tujuan hakiki,
yang kurenungkan pada hari-hari pertama yang lalu dalam Asas
dan Dasar:
Tujuan hidupku apa?
Adapun dalam LR St. Ignatius, tiga macam kerendahan hati
tersebut, yakni: Kerendahan hati I; Syarat mutlak untuk memperoleh
keselamatan kekal. Ini tercapai bila aku sudah menundukkan dan merendahkan
diriku sedapat mungkin sampai dalam segala hal aku taat kepada Hukum Tuhan. Kerendahan
hati II : lebih sempurna daripada yang pertama, yakni bila aku sudah ada
pada suatu taraf jiwa tertentu, sampai tak mencari-cari atau menginginkan
kekayaan melebihi kemiskinan, tak menghendaki kehormatan melebihi penghinaan,
atau mengharap-harapkan hidup hidup panjang melebihi hidup pendek, asalkan
semua itu sama artinya bagi pengabdian kepada Allah dan keselamatan jiwaku
sendiri; sekalipun aku akan diberi segala barang ciptaan atau ada
bahaya aku akan kehilangan nyawa, tak akan terjadi aku sampai mempertimbangkan
mau melakukan dosa ringan saja. Kerendahan hati III : Paling sempurna :
setelah kerendahan I dan II tercapai, asalkan sama artinya bagi kehormatan dan
kemuliaan Allah yang Maha Agung, supaya dapat meneladan dan lebih Kristus Tuhan
kita dalam kenyataan, aku menghendaki dan memilih kemiskinan bersama Kristus
yang miskin melebihi kekayaan; lebih memilih penghinaan bersama Kristus yang
dihina melebihi penghormatan; aku memilih dianggap bodoh dan gila demi
Kristus yang lebih dahulu dianggap begitu daripada dianggap pandai dan
bijaksana di dunia ini.
Aku merasa inilah waktu pemilihan yang tepat: aku sungguh digerakkan Tuhan, aku juga mendapat terang
karena mengalami pelbagai hiburan rohani yang sederhana, dan di saat –saat
seperti inilah, aku lebih tenang memikirkan alasan dan pertimbangan secara lebih
mendalam. Satu pilihan dan keputusanku adalah menjadi
imam sebagai sebuah cara untuk berusaha menjadi link, semacam pontifex/jembatan
– ex officio – antara manusia dan Tuhan dan antar manusia sendiri.
Sebagai seorang imam, aku harus menyuarakan hati nurani kolektif, sabda, wahyu
ilahi, kemanusiaan, dan jawaban manusia, sehingga apa yang diharapkan Yesus dan
Gerejanya sungguh menjadi kenyataan bagi dunia: “gaudere cum gaudentibus, et
fiere cum fientibus” (Bersukacitalah dengan yang bersukacita, dan menangislah
dengan yang menangis).
Hari ini, aku juga terkesan lagi dengan kata “magis”.
”Magis” itu tidak hanya salah satu ciri, tetapi seharusnya menyangkut
keseluruhan hidupku sebagai seorang imam yang berhasrat untuk menjadi pontifex atau jembatan – ex officio – antara manusia dan Tuhan. Aku melihat lebih dalam, dari waktu ke waktu, kehidupan Yesus juga merupakan
dinamika peziarahan mencari dan menemukan, menjalani arah kehidupan yang Magis,
kemuliaan Allah Bapa yang selalu lebih besar, pelayanan kepada sesama yang
makin purna, usaha-usaha yang makin umum, dan sarana-sarana pewartaan Kerajaan
Allah yang lebih efektif sekaligus lebih afektif. Sifat dan karakter,
sikap dan parameter yang cenderung mediocritas
(yang setengah-setengah) tidak nampak dalam laku hidup Yesus. Inilah juga yang
ingin kudapatkan, belajar terus menjadi imam yang total, sepenuh dan seutuhnya.
Bukankah seorang imam yang ingin bersemangat magis terus menerus rela dibimbing
bahkan kadang dibentur-hancurkan untuk menemukan dan meneruskan kembali apa
yang lebih dan apa yang magis dalam karya dan wartanya?
Aku terkenang lagi untuk bertanya tentang arti seorang
imam, yang kadang diharapkan menjadi manusia setengah dewa. Ya Tuhan, inikah
imamMu? ”Inikah Manusia Andalan Mu?”Kuingat
sebuah nama seorang anak muda dari daerah Parakan yang berziarah beberapa hari
di pertapaan. Adi namanya. ”Andal mengabDI”
artinya. Semoga aku juga semakin andal mengabdi Tuhan selamanya.
18.
“Kasihanilah aku, ya TUHAN; lihatlah sengsaraku, disebabkan oleh
orang-orang yang membenci aku, ya Engkau, yang mengangkat aku dari pintu
gerbang maut.” (Mz.9:14).
Anugerahkanlah kepadaku ya Tuhan,
kemampuan untuk dapat melihat segala sesuatu
kini dengan mata baru;
untuk memilah-milah, memilih-milih lalu
menguji roh yang dapat membantu diriku
membaca tanda-tanda jaman;
untuk mencecap nikmat segala hal yang menjadi milikMu
dan untuk mewartakan segala ini kepada pribadi-pribadi
di luar diriku
Berilah aku kejernihan pemahaman yang Engkau berikan
kepada Ignatius
(Pedro Arrupe, 1907-1991, pemimpin
umum/Jenderal Serikat Yesus pada 1965-1983)
Sejarah. “SEtia JAbarkan anugeRAH.” Itulah kata
yang terkenang ulang di hari ini. Dari Injil Lukas, hari ini aku mencoba
mengenang sejarah panggilan. Dari Lukas
18:15-17: aku belajar dari seorang anak kecil: "Biarkanlah anak-anak itu
datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang
yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.” Lukas 18:18-27: orang kaya juga mengajarkanku banyak hal: "Masih tinggal satu hal
lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah
itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga,
kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." (Luk 18:22). Berlanjut ke Lukas 18:28-30, aku
diingatkan kembali tentang upah
mengikuti Yesus: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang
yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumahnya, isterinya atau saudaranya,
orang tuanya atau anak-anaknya, akan menerima kembali lipat ganda pada masa ini
juga, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal." Dari janji Yesus yang kembali kurenung-menungkan pada
dua hari ini, aku diajak bertanya bersama Yohanes 12:24-36, maukah aku juga ikut sengsara dan mati bersama Yesus?
Berkaca dari sejarah panggilanku
sendiri, aku ingin mewartakan Injil dalam “kerendahan hati”: Aku,
sebagai orang yang terpanggil, sadar bahwa ada banyak karya dan usaha, besar
artinya dan sangat penting dalam Gereja dan dunia, tapi tak dapat
kujalankan sendiri. Pun pula dalam karya-karya yang dapat dan harus
kulayani, aku sadar bahwa aku harus bekerja sama dengan rekan-rekan lain :
dengan sesama saudara seimam, seiman bahkan dengan penganut agama-agama lain
yang tidak seiman. Intinya: aku harus bekerjasama dengan semua orang yang
berkehendak baik, bukan? Kadang aku harus sedia memainkan peranan kedua, atau
sebagai pembantu, bukan sebagai orang tanpa nama; dari mereka yang ingin
kulayani, aku harus bersedia belajar bagaimana cara mereka melayani. Yang pasti, aku tercerahkan bahwa hidup seseorang dikategorikan magis, kalau ia tak henti-hentinya mohon
rahmat untuk menjadi lebih baik. Perwujudannya terjadi dalam proses tentunya,
bukan?
Menceruat juga sebuah pertanyaan
kecil, mengapa kadang aku kurang bisa sungguh melayani dengan rendah hati? Kubaca
teks
dari Lukas 9,43-62. Ada beberapa kemungkinannya: Kadang
aku sulit untuk memahami jalan dan ajaran Yesus karena
seakan-akan tersembunyi dan penuh misteri (ayat 45). Kesulitan itu juga
timbul karena aku dan sesama imamku kadang masih “bertengkar” soal siapa yang
paling besar (ayat 46-48). Kesulitan juga muncul ketika aku bersikap tertutup:
seakan-akan berbuat baik itu hanya hak seorang imam (ayat 49-50). Kadang terselip juga semangat
keras hati dan ingin membalas, semangat yang setengah-setengah dan tidak mantap (ayat 57-62), bahkan semangat tawar-menawar
dengan Tuhan. Akhirnya, permenungan hari ini membawaku ingat akan nama seekor
sapi di pertapaan bernama, “Santi”. Yah dia mengajakku belajar untuk “berSANdar sepenuh haTI” pada Tuhan
dalam pelbagai karya dan warta pelayananku.
19.
“Engkau memberitahukan kepadaku jalan kehidupan; di hadapan-Mu ada
sukacita berlimpah-limpah, di tangan kanan-Mu ada nikmat senantiasa.” (Mz.16:11).
Ya Allah, berikanlah kepadaku
keberanian dan kekuatan
untuk pantas disebut orang kristiani
(Karl Rahner, SJ)
Aku membaca sepenggal injil Luk 9:22-27. Sebuah perikop tentang pemberitahuan pertama seputar derita dan syarat-syarat mengikuti Yesus. Berlanjut
pada Luk 9:28-36: mengenangkan peristiwa transfigurasi: Yesus yang mengajakku bersukacita sebelum
berdukacita. Dia mengajakku meyakini bahwa jalan sengsara
adalah sesuatu yang memang menjadi konsekuensi yang secara sadar dipilih dan
bahkan bayangan seperti itu telah sejak awal Ia nyatakan. Itulah mungkin
sebabnya Yesus menolak dengan tegas ketika murid-murid, termasuk aku menjadi malas untuk “turun gunung”. Aku berupaya untuk
mengurung Yesus dalam tenda di gunung kemuliaan: kemapanan, kenyamanan dan
kemakmuran. Tapi hari inilah, aku melihat Yesus justru sungguh turun dan
meninggalkan gunung kemuliaan itu untuk dengan rela hati “kotor”: menempuh
lembah penderitaan di Yerusalem. “Turun
gunung” sendiri tidak selalu menyenangkan. Aku harus menghadapi realitas.
“Panas dan berdebunya” dunia harus kurasakan ketika aku mau menghidupi
“impian-impian” saleh seperti yang kurasakan di “Gunung Tabor”. Kerinduan akan
nostalgia di tengah umat dan sahabat, kesepian batin, sampai akhirnya keinginan
untuk lari, acuh serta mendendam kadang muncul. Satu hal pokok kudapatkan,
ternyata keinginan untuk hidup baik, mewujudkan impian serta mewujudkan harapan
dan tekad dalam doa-doa bukanlah sesuatu yang mudah dalam realitas harian
ketika aku “turun gunung”.
Setelah pemaknaan transfigurasi dan
kekuasaan Yesus
yang dengan gagah perkasa bisa
mengusir roh ayan (pada Luk 9:38-43), pada ayat 46-48, aku juga melihat figur anak kecil
yang berbicara banyak soal pelayanan: "Barangsiapa menyambut anak ini dalam nama-Ku, ia menyambut Aku;
dan barangsiapa menyambut Aku, ia menyambut Dia, yang mengutus Aku. Karena yang
terkecil di antara kamu sekalian, dialah yang terbesar." (Luk 9:48). Terbersit sepenggal sindiran
dari Rama Mangun yang teringat di benakku: “Kelakar adalah kelakar, tak perlu diambil serius. Namun,
setiap rohaniwan gereja Katolik (yang notabene terkenal sebagai agama yang kaya
raya dan kuasa) sedikit banyak telah “terperangkap” dalam suatu sistem yang
memang memberinya kesempatan dan fasilitas besar untuk memberi kepada kaum
miskin, tetapi sangat menghalangi dia untuk menjadi kaum miskin.”
Yah, aku
semakin tersadar bahwa di satu pihak, aku ingin mengikuti Kristus
dengan setia, di lain pihak aku hanya mau mengikuti diriku, kehendakku dan
kepentingan diriku sendiri (LR: 135-148; 313-336). Dalam istilah Rama Mangun, aku seperti “Puteri
Duyung yang mendamba.“ Disinilah lewat
pengalaman “turun gunung” bersama Yesus, aku semakin diajak untuk berani berjuang
terus menjadi seperti nama seorang rahib lainnya di pertapaan, yakni, Fr.Johan,
“JOdohnya TuHAN.”
20.
“Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu;
janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku.” (Mz. 25:2)
Semoga kemahabaikan Allah Mahaagung
memberikan kepada kita
segala rahmat berlimpah untuk senantiasa
mengetahui kehendakNya yang paling suci
dan menjalankannya
dengan sempurna.
(St.Ignatius Loyola)
Intersisi. Aku
diingatkan oleh nasehat bijak bestari Rm Purwa di tahun awal studiku di Yogya, “Seandainya kamu terlalu sibuk dalam hidup
karya, paling tidak milikilah sebuah devosi yang melekat-erat dalam hidup
harianmu.” Sejak itulah, aku semakin meyakini untuk menjadikan devosi
kepada Bunda Maria sebagai gerak polah hidup rohani dan imamatku. Aku yakin
bahwa devosi yang benar mampu menumbuhkan niat dan tekat untuk semakin berbakti
kepada Tuhan. Oleh karena itulah, maka intersisi
keduaku bertema, “Maria Way”. Aku
berniat “menjajah” dan “menjalajah” lima goa Maria: di Kerep-Ambarawa.
Sendangsono. Pakem. Jatiningsih dan Sriningsih.
Dari
lima tempat yang kukunjungi pada intersisi kedua ini, aku mengangkat profil seputar Goa Maria Sendangsono. Adapun
asal usul devosi Marianya bermula pada tahun 1903. Waktu itu, Rama Van Lith
dikunjungi katekisnya, yang membawa seorang bekas pengikut Kyai Sadrach dengan
empat bekel (Kepala Desa) dari daerah
Kalibawang. Tanggal 20 Mei 1904, semua orang itu dibaptis oleh Rama Van Lith.
Kemudian mereka mengajar agama bagi umat di sekitar daerah Sendangsono. Tanggal
14 Desember 1904, terjadi peristiwa besar: sekitar 173 orang dibaptis di mata
air Sendangsono. Kenyataan sejarah itu menjadi awal dan pembuka pewartaan Injil
bagi orang-orang Jawa. Lalu, pada tanggal 8 Desember 1929, diadakanlah perayaan
ekaristi dan prosesi sebagai ucapan syukur atas dibaptisnya sejumlah orang Jawa
di Sendangsono 25 tahun yang lalu. Sendangsono diberkati dan diresmikan sebagai
tempat perziarahan umat beriman. Kemudian ditegaskan pula oleh Rama Prentheler
waktu itu bahwa peran Yesus dan Maria jauh mengatasi peran “Den Rara
Lantangsari” dan “Den Bagus Samijo”, yang dipandang oleh masyarakat sekitar
sebagai “pepunden masyarakat”
(pribadi yang dihormati dan dijunjung tinggi). Yesus dan Maria tidak jauh
tetapi tetap dekat pada umat dan masuk ke dalam hati mereka.
Pada intersisi kedua
inilah, dengan berziarah ke lima goa Maria, aku berniat untuk senantiasa membawa
hati dan diriku lebih dekat lagi pada hati dan diri Bunda Maria: Ad te clamanus, exsules
filii Evae - kepadamu
aku berseru, anak-anak Hawa yang malang dan terbuang. Sebuah permenungan
kembali terkenang: di Taman Eden, di kaki pohon,
ada seorang wanita “wajah indah penuh dusta”,
yakni Hawa (bdk. Kejadian 3). Oleh bujuk rayu Si Jahat, ia mengambil apa yang
ia pikir adalah kehidupan ilahi. Sebaliknya, yang diambilnya adalah benih maut
yang kemudian masuk ke dalam dunia melaluinya (bdk. Yakobus 1:15; Roma 6:23). Sedangkan,
di Kalvari, di kaki pohon salib, ada seorang wanita
lain “wajah indah penuh cinta”, yakni
Maria (bdk. Yohanes 19:25-27). Dengan menerima rencana Allah, ia ikut ambil
bagian secara intim dalam pemberian diri Putra kepada Bapa demi hidup dunia
dan, dengan menerima amanat Yesus yang mempercayakannya kepada Yohanes Rasul,
ia menjadi Bunda segenap umat manusia. Harapanku, semoga
lewat intersisi dan ziarah ini, Bunda Maria senantiasa menjadi Bundaku yang
senantiaa setia mendengarkan dan meneguhkan peziarahan diri serta hidup imamatku
untuk seterusnya, sehingga perbuatan-perbuatan dari Yang Maha Kuasa juga bisa
terjadi dalam hidupku. Di intersisi inilah, kuingat seorang suster tua di
Rawaseneng yang rajin merebuskan telor ayam kampung dan bakwan goreng untukku.
Sr.Marta, OP namanya. Dia mengajakku untuk mengingat, “MARia itu penuh cinTA”
Santa Maria, Ratu junjunganku, aku menyerahkan diriku
kepada perlindunganMu yang suci dan pemeliharaan
khususmu
serta pangkuan belas kasihmu, hari ini dan setiap hari
serta pada saat aku mati.
Aku serahkan jiwa ragaku kepadamu. Aku percayakan
kepadamu harapan dan hiburanku, kesedihan dan kesengsaraanku, seuruh hidup dan
akhir hayatku.
Melalui perantaraanmu yang paing suci dan melalui
jasa-jasamu, semoga segala tindakanku diarahkan sesuai dengan arah kehendakmu
dan kehendak Puteramu.
(St.Aloysius Gonzaga, 1568-1591,
berasal dari keluarga bangsawan dan menjadi Jesuit)
21.
“Janganlah menyembunyikan wajah-Mu kepadaku, janganlah menolak hamba-Mu
ini dengan murka; Engkaulah pertolonganku, janganlah membuang aku dan janganlah
meninggalkan aku, ya Allah penyelamatku!” (Mz. 27:9)
Ya Tuhan,
aku berharap
agar
dari sekarang ini juga
aku menjadi orang pertama yang sadar
akan segala yang dicintai, dicari, didamba,
dan dibela oleh dunia;
agar aku menjadi orang pertama yang mencari Engkau,
bersimpati, sanggup menderita,
menjadi orang pertama yang membuka diri
dan mengorbankan diri;
agar aku menjadi lebih manusiawi,
menjadi berbangga
daripada segala abdi dunia
(Pierre Teilhard de Chardin, SJ, 1881-1955,
paleontolog Prancis
yang banyak memadukan relasi ilmu dan agama dalam
tulisan-tulisannya)
Dalam Minggu II yang
baru saja kulewati, aku mengalami buah dan penerangan rohani dari meditasi “Panggilan
Raja dan Dua Panji”. Pada awalnya, pengalaman begitu berat dan melelahkan
terjadi saat eleksi atau proses pemilihan.
Aku kerap merasakan bahwa roh buruk menggunakan segala cara untuk menjauhkan
diriku dari Tuhan dan menghilangkan panggilan imamatku. Tapi, akhirnya dengan
memperhatikan pengalaman konsolasi dan desolasi juga diskresi, hatiku mulai
terarah dan teratur lagi.
Hari ini, perjalanan retretku memasuki minggu
ketiga dalam Latihan Rohani, bertema pokok: “Kisah Sengsara Yesus”.
Renungan mengenai kehidupan Yesus tetap dilangsungkan tapi sekarang lebih
terpusat pada kontemplasi sengsara
dan wafat Yesus. Tidak
mudahlah bersama seseorang yang sedang menderita, bukan? Tetapi jika yang
sedang menderita itu adalah seorang sahabat, kerabat dan bahkan anggota
keluarga terdekat, bukankah bagiku tidak ada tempat yang lain yang menjadi
pusat perhatianku selain berada dekat di sisinya?
Sebagai orang yang mencintai
Yesus dan yang telah menginginkan hidup bersama Yesus, aku amat merindukan hidup
bersama Yesus, dimanapun Dia berada. Oleh karena itu, bila Dia yang telah lama
aku cintai ini sedang menderita sengsara, aku tahu bahwa aku harus berada di
dekat Dia juga. Walau kusadari ada rasa takut, sakit, berat dan hati terasa
sesak. Rahmat yang kuminta selama minggu ketiga ini adalah anugerah agar dapat
merasakan “kesedihan, rasa belas-kasih dan malu” karena Tuhan bersedia
menderita demi silih atas dosa dan dustaku.
Perlahan tapi pasti, aku mulai masuk dalam adeganNya dan melihat apa yang muncul-timbul dalam hatiku ketika kubaca
Luk 22:1-6, sebuah rencana untuk membunuh Yesus. Aku
terkenang, bukankah aku juga harus siap untuk mengalami “pembunuhan”. Bukankah
dunia yang carut marut ini juga didiami oleh orang-orang yang munafik dan “suka
membunuh”? Mungkin tidak berarti membunuh secara fisik, tapi bisa jadi membunuh
karakter dan parameter orang lain. Di
pasar ini terjadi, wajar. Tapi bisa jadi merambah ke mimbar bahkan ke altar.
Ironis! Aku mungkin pernah mengalaminya dan ada juga orang lain yang mungkin sedang
mengalaminya. Secara manusiawi, aku merasa kecewa dan menyesal mengapa mengenal
orang-orang seperti itu. Tapi di lain segi, aku juga merasa ada baiknya
mengenal orang-orang bermental seperti itu untuk memurnikan jiwa dan hidupku
sendiri, supaya tidak seperti itu. Kuusahakan berpikir positif model
Stefanus: "Tuhan ampunilah mereka
sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan!" Hal ini jugalah yang
kuingat dikatakan Yesus sebagai wasiat pertamanya di atas kayu salib (Luk
23:34).
Berangkat dari
permenungan hari inilah, sebuah kalimat sederhana menceruat di awal minggu
ketiga ini; “Tinggalkan munafik dan
gantikan dengan munajat”. Munafik diwakili oleh segerombolan imam Farisi
dan Saduki. Munajat diwakili oleh Maria dan para perempuan dari kaum anawim.
Munajat sendiri berarti: doa sepenuh hati kepada Tuhan. Sedangkan munafik,
sebuah sifat buruk dan palsu, yang menurut saya terindikasi dengan tiga hal
nyata: “MUlutnya pedas, NAlurinya iri dan
FIKirannya negatif?”
Mengacu pada Matius,
Yesus pernah mengkaitkan kemunafikan dengan rumah ibadat. Aku yakin bukanlah
maksud Yesus untuk mengatakan bahwa di rumah ibadat itulah sumber kemunafikan
manusia - walaupun, kebetulan kadang benar adanya. Yah, karena di tempat-tempat
seperti itu, bukankah banyak kesempatan
untuk bermunafik ria? Cara dan gaya berdoa yang sok khusuk. Cara maju ketika memberi atau menyambut komuni,
atau saat tampil di mimbar atau di panti imam, bahkan ketika berkotbah atau
menghunjukkan persembahan di altar.
Satu hal baik yang meneguhkan
hati, kubaca Injil Yoh 16:1-33, dan kuingat ada sebuah kata
dalam bahasa Yunani, parakleitos, semacam
roh penghibur, penyegar yang hadir untuk menyertai dan mengiringi,
menemani dan melindungi: Roh Bapa yang mencipta-lahirkan kebaikan, Roh Putra yang
menawarkan penyelamatan dan penebusan, dan terlebih Roh Kudus yang setia
menyertaiku dalam ruwet renteng dunia. Sebuah nama kenalan
baruku, seorang imam dari tarekat MSF yang berkarya di Gereja Temanggung kuingat
di hari ini. Rama Santosa namanya.
Namanya seakan mengajakku untuk, “berSANdar
pada cinta, berTObat dari doSA.” Yah lewat nama inilah, aku diingatkan
tentang pesan Rasul Paulus, “mencintailah
seperti Yesus telah mencintaimu.” (Ef 5:1-2)
Buatlah agar aku menghayati sengsara-Mu, ya Yesus.
Sengsara-Mu memisahkan aku dari dunia
dan mengangkat aku ke surga.
Sengsara-Mu menjelaskan hidup,
mendorong aku untuk menjadi kurban,
mengajar pengampunan,
dan menjadikan manis setiap penderitaan.
Buatlah agar aku menghayati sengsara-Mu, ya Yesus,
dan mengenal keindahan kebenaran serta kasih abadi
agar iman kepercayaanku penuh tanpa keraguan.
Buatlah pada saat terakhir hidupku di dunia ini,
aku semakin menghayati sengsara-Mu,
agar aku dekat pada-Mu, ya Yesus,
dan dengan demikian memperoleh kedamaian yang Engkau
janjikan.
22.
“Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai
kita! Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus
kita percaya. Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami
berharap kepada-Mu.” (Mz. 33:20-22)
Ya Yesus Kristus,
Semoga berkat wafatMu aku peroleh hidup,
Berkat jerih payah karyaMu aku peroleh istirahat,
Berkat kelemahanMu sebagai manusia aku peroleh
kekuatan,
Berkat Engkau dicemooh, aku peroleh keluhuran.
(B.Petrus Faber)
Aku terkenang-menang sebuah kisah dalam
injil tentang pembasuhan kaki di saat Perjamuan Terakhir. Inilah sebuah bukti
kerendahan hati sekaligus “permintaan maaf”. Terkenang, ketika Sri Paus membasuh kaki para
imamnya dan ketika para imam membasuh kaki para umatnya. Semoga bukan sekedar
ritus yang menjadi kultus, tapi sungguh menjadi sebuah kenyataan harian.
Aku berjuang memaafkan beberapa
pribadi yang pernah menyakiti dan menghancurkan hidup dan panggilanku: Ada
seseorang yang dengan sengaja membuat pelbagai iklan fiktif (jual rumah, jual
tanah, jual mobil, jual sex toys
bahkan jual diri) memakai namaku di “toko bagus” internet. Dia juga membuat
berita-berita palsu dan kontroversial memakai namaku di dunia maya lewat
pelbagai situs dan kaskus. Bahkan dia
juga sempat-sempatnya membuat akun
facebook palsu, email, twitter bahkan
Yahoo Messenger dan bahkan alamat dan
keterangan palsu memakai namaku, demi satu tujuan: menghancurkan nama baik. Ada
banyak orang yang tertipu, wajarlah karena konteks dunia sekarang membuat
banyak hal menjadi tidak jelas lagi, bukan? Yang salah bisa benar, yang benar
bisa salah. Diriku dibuat “geleng-geleng dengkul” saking tidak habis pikir, kog
ada orang sejahat, senekat dan se-psikopat ini.
Belum lagi, seseorang yang tanpa
kejelasan masalah yang utuh, begitu saja lalu “membabi buta” melaporkan,
memperguncingkan bahkan menjadi “hakim” yang ber-asas dasar “EGP”: Emang Gue
Pikirin tanpa berani untuk bertemu langsung empat mata dan berbicara dengan
baik baik, dewasa serta terbuka. Ada saja juga orang lain dengan motifnya
masing-masing, yang sering “mengambil keuntungan”, dan yang hobinya
melebar-luaskan berita miring atau gosipan picisan, “bad news is a news”, yang biasanya dilebih-lebihkan, bernuansa
buruk dan lepas dari konteks utuhnya membuatku juga belajar untuk lebih berlapang
dada, ber-instrospeksi: mengambil segi baiknya dan bersikap lebih hati-hati dan
tidak ingin menjadi orang seperti itu, yang “bahagia” kalau berbicara melulu
tentang orang lain dan melulu hanya tentang pelbagai keburukannya yang memang
ada atau yang memang seakan dicari-cari. Yah dalam bahasa Rama Mangun,
“keganasan” mulut mereka seperti “ikan
homa, ido dan ikan hiu” yang saling mengincar dan tega menghabisi lawannya
tanpa ampun.
Seperti penyelesaian yang
tergerak-tampak dalam novel “BBM – Burung
Burung Manyar“, aku meyakini bahwa akhir dari “teror dan horor” ini adalah adanya campur tangan Tuhan, deus ex machina. Satu keyakinanku, aku tak pernah bermaksud
jahat terhadap orang lain, aku tak punya intrik, taktik tiktak, apalagi konfik
dan maksud politik yang tersembunyi. Aku mengingat wajah segelintir orang ini
satu-persatu, wajah manusia yang seakan bahagia ketika membuat orang lain tidak
bahagia, yang tertawa penuh cibir ketika membuat sesamanya terpuruk. Seolah
mereka lebih baik, lebih suci dan lebih
bijaksana. Padahal, bukankah Yesus pernah berkata, ‘tidak semua kalian bersih?” Bukankah Yesus juga pernah
mengatakan, “Barangsiapa tidak berdosa,
silahkan melempar batu terlebih dahulu.”
Masalahnya, kecenderungan orang untuk melihat keburukan sesamanya
dan malas meng-instrospeksi dirinya sendiri begitu menceruat pada jaman
sekarang, bukan? Semua seakan mau menjadi “hakim”, tanpa mau membaca “naskah pleidoi” dan “BAP” - nya secara arif dan bijaksana.
Lepas dari semua gejolak
rasa-perasaan itu, kutampil-kenangkan segelintir wajah manusia yang seakan
kubenci tapi berusaha sebisa-mungkin kuampuni. Secara manusiawi, aku sangat
ingin bertemu satu-persatu, empat mata dan melihat bagaimana sebuah fairness dihargai. Tapi, secara ilahi,
aku diajak walau kadang begitu berat untuk mengakui bahwa aku harus menerima
ini sebagai sebuah kenyataan dan pengalaman hidup dan sangat mungkin, hal ini
terjadi karena salah sikap dan perilakuku juga secara tidak langsung. Yang
pasti: hanya rahmat pengampunan dan hati yang besar kuminta dariNya pada
permenungan ini.
Oh ya, hari ini, aku teringat seorang
eks muridku di kampus UI Depok yang kebetulan tak sengaja bertemu lagi ketika
makan siang di pertapaan Rawaseneng. Ternyata, dia sedang menyiapkan hati dan
melegakan budi untuk berpasrah diri menjadi seorang suster di kongregasi BKK
(Biarawati Karya Kesehatan), yang didiri-bentuk-rintis oleh Ibu Anna Dengel.
Nama panggilan calon suster ini: Ida. Darinya, aku belajar mengampuni dan
memaknai sebuah proses, “Indahnya Damai
Allah.”
Satu kekuatan lain kudapatkan
ketika kulihat Yesus membasuh kaki para muridnya: Petrus yang “kuman-kurang
beriman”: pengecut dan menyangkal tiga kali, Yudas yang “kutu-kurang bersatu”:
laknat-berkhianat, Thomas yang “kuper-kurang percaya”: skeptis, sinis dan tidak
mudah percaya, Yakobus dan Yohanes yang “kudis-kurang disiplin”: tertidur
ketika diminta berjaga dan berdoa di Taman Getsemani, dan gerombolan para murid
lainnya yang “kuli-kurang peduli”, “kurap-kurang berharap” dan “kutang-kurang
tanggungjawab”: mudah lari dan kabur tanpa empati ketika Gurunya harus
menghadapi penderitaan dan penolakan, disakiti dan dilukai. Bagiku, pada moment
inilah, Yesus tidak sekedar menjadi guru yang menunjukkan dan mengajarkan
sesuatu tapi Ia sekaligus menjalani dan mempraktekkan apa yang diajarkanNya
itu: Ia tetap mencintai walau disakiti. Ia terus menghargai walau dikhianati.”
Ia mengajarkan sekaligus melaksanakan pengampunan, kasih dan kesetiaan yang
penuh komitmen. Tidak ada ambivalensi dan dikotomi antara perkataan dan
tindakan Yesus; tak ada paradoks; artinya keduanya bersifat integral. Apa yang
Ia ajarkan, itu juga yang Ia lakukan. Di sinilah keunggulan dan kekuatan Yesus.
Dia bukan tipe “Nato: No Action Talk
Only”. Dia tipe: “Just do it”. Dari
sinilah, terkenang sebuah kalimat latin: “verba
movent exempla trahunt, kata kata itu menguap tapi teladan hidup itu menyentuh
hati.”
Walaupun pada
awalnya, ratapan-pemazmur (Mz. 22) sekaligus ratapan Yesus juga menjadi
ratapanku, “Ya Allah, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?” tapi persis pada hari ini jugalah, aku seakan ditantang
seperti bunyi sebuah ikan rokok,
“Tunjukin Rasa Loe! Yah, rasa hati yang tangguh dan jiwa yang besar untuk
berani menerima penyaliban dan rela memberi pengampunan. Satu pengharapanku, semoga rasa sakit yang kusatukan bersama Yesus ini memiliki
sumbangan berarti agar mereka yang menyakitiku dapat menjadi orang yang lebih baik
dan lebih benar. Dalam hal ini, aku yakin pharmakos dapat diubah menjadi
pharmakon (racun telah menjadi obat). Ada efek samping yang mendatangkan
kebaikan, beneficial effect, dalam
lakon ini, bahwa hal yang chaos
ditransformasikan menjadi hal yang kosmos karena pengorbanan dan
pemaknaan salib bersama Yesus sendiri, karena keyakinanku: ”aku telah disalib bersama Kristus.” (Gal 2:19-20)
23.
“Cukup lama aku tinggal bersama-sama dengan orang-orang yang membenci
perdamaian. Aku ini suka perdamaian, tetapi apabila aku berbicara, maka mereka
menghendaki perang.” (Mz. 120:6)
Tuhan,
liputlah aku dalam lubuk hatiMu.
dan dalam lubukMu
peganglah aku,
murnikan aku,
bersihkan aku,
bakarlah aku,
angkatlah aku,
sampai
yang aku sebut diriku
luluh lebur
(Pierre Teilhard de Chardin, SJ)
Kukenangkan lebih dalam lagi kisah sengsara Yesus, sebuah hari biasa yang membuat relung hati sedih luar biasa. Sinisme,
hujatan, kecaman, olok-olok dan cemooh sembarangan dari banyak orang yang
seharusnya menjadi panutan mewarnai saat-saat Yesus menjalani penderitaan dan
kesendirian di kayu salib. Mahkota duri dipajang di atas kepala-Nya, sebatang
buluh diletakkan pada tangan kanan-Nya, lalu orang-orang mengejek-Nya,
meludahi-Nya, membuang undi atas jubahNya, memukul kepala-Nya dengan buluh,
mencambuk, memaku tangan dan kakinya, menusukkan tombak dan menyalibkannya. Ia
mengalami secara aktual sebuah “trilogi penyaliban”: dicap buruk (stigmatisasi), disingkirkan (marginalisasi), serta dikorbankan (viktimisasi).
Hari ini, hatiku
diajak bertanya: sadarkah aku, bahwa
yang menyalibkan Yesus dulu adalah para pemuka agama dan pemuka ibadat,
para tua-tua, imam dan ahli kitab suci? Bisa jadi karena agama lebih diwartakan
daripada iman! Padahal jelaslah bahwa yang dilakukan Yesus adalah pendidikan
iman, bukan agama. Itulah sebabnya, dengan jelas dan tegas Yesus mengkritik
'agama' dan seluruh perangkatnya, bukan? Sungguh lekat dalam benakku, Yesus
ditolak oleh para ahli taurat, imam dan tua-tua, para pemuka agama dan ibadat,
andalan 'agama' Yahudi yang seharusnya lebih mengenal Yesus. Bisa jadi, bukan
karena mereka adalah orang jahat, tapi mungkin mereka tidak bisa melihat Tuhan
yang datang dalam diri Yesus. Hatinya tumpul, telinganya tuli dan matanya buta
karena tertutup kebisingan dan kepentingan pribadi atau kelompok. Jangan-jangan
di jaman sekarang, banyak orang
beragama, termasuk aku dan rekan imam juga tak sanggup melihat Tuhan yang datang
dalam sesama yang kecil, lemah, miskin dan menderita, yang kerap dianggap buruk
dan jahat di tengah ruwet renteng keseharian di sebuah kota bernama Jakarta?
Aku ingat penggalan kata Goenawan
Mohammad, “Gereja Katolik memiliki
mistik, tapi juga politik dan intrik”.
Sebuah kesadaran bahwa institusi ilahi ini masih diurus oleh orang-orang yang
insani, dan bisa jadi mungkin pernah salah urus, bukan? Paus Yohanes Paulus II
pun pernah mengatakan bahwa Gereja juga pernah salah dan itulah sebabnya sang
paus dari tanah Polandia ini dengan rendah hati berani meminta maaf: Ketika Gereja
menghukum Galileo Galilei. Ketika Gereja tidak banyak bicara dalam holocaust-nya Hitler terhadap ribuan
orang Yahudi. Ketika Gereja membakar hidup-hidup orang yang senyatanya baik,
tapi yang dianggap bidaah. Ketika Gereja
marak oleh praktek ‘simoni’: menjual surat pengakuan dosa kepada para umatnya.
Ketika praktek kumpul kebo dan nepotisme serta perebutan tahta kepausan terjadi
semarak diantara para kaum berjubahnya. Ketika pelecehan seksual terhadap
perempuan dan penyimpangan seksual terhadap anak-anak terbuka di ruang publik
dan lain sebagainya.
Hari ini, kucoba membangun sebuah rekonstruksi
dari Luk 20:1-8, pertanyaan mengenai kuasa Yesus: "Katakanlah
kepada kami dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu, dan siapa yang
memberikan kuasa itu kepada-Mu!"
Ada saja orang yang mudah menyangsikan sesamanya, bahkan menghakimi tanpa tahu
duduk permasalahan secara utuh dan menyeluruh. Ada banyak kepentingan,
manipulasi dan sarat sikap ketidaktulusan yang tidak adil kerap terjadi di
balik gembar-gembornya semangat suci mewartakan Kerajaan Allah. Kadang dibuat
oleh kami, para imamnya. Kadang juga dibuat oleh para umat yang mengaku
pengikutNya. Padahal, bukankah tujuan Kerajaan Allah adalah mendirikan kebenaran dan keadilan yang menyeluruh?
Hari inilah, lewat pembacaan ulang
teks Luk 20:1-8, aku semakin terkenang bahwa Yesus pastilah seorang pribadi yang memiliki
pelbagai pengalaman konflik, dengan batinnya maupun dengan orang lain, tentunya
dengan pelbagai macam intensi, motivasi dan friksi. Itu juga yang kualami. Konflik disini lebih kuartikan sebagai sebuah perjuangan. Kulihat ternyata seluruh hidup Yesus adalah sebuah
konflik, suatu perjuangan tak kenal lelah melawan kuasa kegelapan, melawan kuasa kejahatan yang berurat-berakar di
tengah hidup manusia dan yang sekutunya menetap di setiap hati manusia. Dalam situasi
konflik inilah, Yesus nampaknya mengalah serta kalah, dan kendati demikian semua
konflik itu berakhir dalam kemuliaan Paska.
Artinya apa buatku? Aku yang ingin berjuang sebagai murid
Yesus yang sejati harus ambil bagian dalam konflik ini, sehingga tetap akan
beserta Dia dalam kemenangan akhir-Nya: “Barangsiapa
menang, ia akan Aku dudukkan bersama Aku diatas tahtaku, sebagaimana Akupun
telah menang dan duduk bersama Bapa-Ku diatas tahta-Nya.“ (Wahyu 3,21).
Disinilah persis teologi salib
mendapatkan ruang aktualisasinya. Salib yang diwartakan oleh Yesus tidak boleh
kutafsirkan secara negatif, karena salib termasuk dimensi pokok dari panggilanku
sebagai imam. Aku diyakinkan bahwa Yesus mewartakan salib sebagai tanda cinta
(simbol progresif kedewasaan) dan bukan tanda ketakutan (simbol regresif
kekanak-kanakan). Dengan kata lain, salib menjadi tanda cinta terbesar dan
menjadi jaminan cinta yang benar, dan ini merupakan simbol khas bagi usaha
hidup imamatku untuk mencintai Allah secara radikal dengan hati yang tidak
terbagi. Karena salib, menjadi jelaslah betapa otentik dan mendalam pemberian
diri Yesus. Hal ini perlu dikonfrontasikan dengan panggilan imamatku sendiri. Bukankah
aku harus berani juga mengalami proses “tri-DI”:
dipilih, dipecah dan dibagi-bagi?
“Sama seperti Musa meninggikan ular di padang
gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang
percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:14-15), demikian sabda Yesus. Jadi, apakah gerangan yang
kulihat ketika aku memandang kepada salib di mana Yesus ditinggikan (bdk.
Yohanes 19:37)? Aku merenungkan tanda kasih Allah yang tak terhingga kepada
hidupku, bahwa ia mengajar aku tentang cinta dan dengan cinta. (Bdk. 1 Yoh 3:16, “Demikianlah kita ketahui
kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita
pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”)
Injil St. Yohanes juga menceritakan bahwa 'dekat
salib Yesus berdiri ibu-Nya dan saudara ibu-Nya, Maria, isteri Klopas dan Maria
Magdalena, dan murid yang dikasihi-Nya.' (Yoh 19:25-26). Bukankah aku harus
juga berani berdiri tegar di bawah kaki salib Yesus seperti Bunda Maria, Maria
istri Klopas, Maria dari Magdala dan Yohanes rasul (sebagai lambang Gereja)? Oh ya, hari ini, aku mendapat teman baru dari Bali, yang
kebetulan singgah di pertapaan Rawaseneng ini. David nama panggilannya. Yah,
aku diajak memiliki semangatnya, “DAmai
walau terjeVID.”
24.
“TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN menegakkan orang yang
tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar.” (Mz.146:8)
Pada hari Jumat,
(kita menyebutnya “Agung”)
Yesus dipakukan
pada kayu yang kaku keras.
Di bawah salib-Nya,
Bunda-Nya berdiri
menangis melihat apa yang
telah mereka lakukan.
“Oh, andai aku dapat
memeluk-Nya,” katanya pilu,
“Memeluk Putraku
satu-satunya!”
“Bapa, terimalah Aku,” kata
Yesus,
“Terimalah Aku dalam
tangan-Mu.”
Allah Bapa membungkuk
lalu menerima-Nya,
dan memeluk Putra
Tunggal-Nya itu.
“Aku Allah yang
membangkitkan,
“hidup-Mu baru saja dimulai.
“Aku Allah dari yang hidup,
tak ada makam yang boleh
menahan Putra-Ku.”
O Crux, ave spes unica! Salam, ya Salib, satu-satunya pengharapan kami! Hari ini
aku mengingat Yesus yang tidak menyerah kalah oleh sinisme, cemooh, olok-olok dan
hujatan massa. Ia tetap tegar dan konsisten. Pilihannya joss, kokoh dan tidak berubah: jalan kematian mesti ditempuh,
supaya manusia dapat merengkuh kehidupan. Penderitaan dan kematian Yesus adalah
kematian yang real dan faktual, bukan maya tapi sungguh nyata terjadi. Hari
ini, ingatanku melayang pada sebuah nama, Ignacio Martin Baro, salah satu dari
enam imam yang dibunuh bersama koki dan anaknya di Universitas San Salvador,
Amerika Tengah pada pagi hari tanggal 16 November 1989. Ia pernah mengatakan, “ada kebenaran-kebenaran yang hanya dapat
ditemukan lewat penderitaan atau titik krisis dari pelbagai situasi gawat.”
Persis lewat
pengalaman salib yang dialami oleh Yesus dan Ignacio Martin Baro bersama
teman-temannya, aku kembali disadarkan bahwa menjadi imam berarti juga berani menghadir-nyatakan Yesus, termasuk
Yesus yang siap dan rela menderita disalib: diperguncingkan, disingkirkan dan
dikorbankan. Kebetulan selama retret ini, aku membawa sebuah patung Pieta, sebuah patung yang aslinya
merupakan karya tersohor Michaelangelo, yang menggambar-kenangkan perasaan Maria
yang berduka-hati memangku jenazah Yesus yang wafat. Adapun patung “pieta”
kecil yang kubawa ini adalah sebuah hasil karya sederhana anak-anak “SOCIUS”,
rumah singgah untuk para mantan narapidana yang kudampingi selama tiga tahun
terakhir ini bersama dua sahabatku, Ferry dan Bambang. Lewat pemaknaan terhadap
patung Pieta inilah, aku diajak untuk berani tegar memangku penderitaan salib,
seperti Bunda Maria sendiri. Aku diyakinkan bahwa aku tidak berjalan sendirian,
terkenang sebuah lagu yang biasa kuputar ketika memberi retret untuk anak-anak
sekolahan: “I will never forget u my
people. I will never forget you my son…”.
Kubaca juga Yohanes 19:16-42, Yesus rela
disalibkan walaupun dia tak bersalah. Spontan kuterkenang tujuh wasiat Yesus di atas
kayu salib. Sebuah wasiat pertamaNya kubenamkan dalam-dalam di relung hatiku: “Ya Bapa ampunilah mereka sebab mereka tak
tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23:34). Dendam tak berlaku bagi
Yesus, malah Ia berdoa bagi mereka yang menyalibkannya. Bukankah membalas kejahatan
dengan kebaikan lebih besar peluang
bagi musuh untuk bertobat daripada membalas dengan kejahatan yang sama akan
mempertajam permusuhan? Sulit!
Aku juga diajar untuk sadar bahwa aku tidak bisa hadir di bawah salib dengan teori-teori teologi atau psikologi belaka. Aku mesti mengalami penyaliban itu sendiri.
Itulah memang sakit dan perih, banyak pertentangan dan konflik batin. Kontemplasiku berkembang pada sebuah kisah ketika Yesus ditangkap dan dianggap
jahat. Banyak muridnya yang kabur, tapi indahnya justru para perempuanlah yang
setia. Bukan dengan budi, tapi dengan hati, tidak efektif memang karena tidak
membawa banyak pengaruh, tapi sungguh afektif karena membawa ketulusan hati
yang luruh. Kuterkenang beberapa novel Rama Mangun yang mengangkat-kenang hebat
dan kuatnya afeksi perempuan: figur menawan gadis bule Prancis Hildegard dan kecerdas-bernasan
dokter Rosi dalam “Romo Rahadi”,
eloknya Larasati dalam “Burung-Burung
Manyar”, cekatan dan piawainya Loema Dara dan Mioti Lamo dalam “Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa”, serta
pastinya keluwes-gesitannya Roro Mendut, Ni Semongko, Nyai Ageng Permaisuri
Wiroguno, Nyai Singobarong, Duku, Lusi Lindri, dan Kanjeng Ratu Ibu dalam Trilogi
“Roro Mendut-Genduk Duku-Lusi Lindri”.
Belum lagi tokoh penuh karakter bernama Iin Sulinda Pertiwi Nusamusbida dalam “Durga Umayi”, kesederhanaan Riri dan Bu
Dullah dalam “Balada Becak”, modernitas
serta semangat menyala-nyala dari Neti-Agata dan Anggi dalam “Burung-Burung Rantau”, kebijakan Eyang
Dwidjosudarmo, keteguhan Rukmi dan kehangatan Sr Pancratia dalam “Balada Dara-Dara Mendut” serta kepolosan
Lusi Kisminingsih dalam “Pohon-Pohon
Sesawi” dan pastinya juga gerak-polah si pelacur miskin Ruyem dalam cerpen “Tak Ada Jalan Lain.”
Yah, semua figur perempuan dalam pelbagai
novel dan cerpen Rama Mangun yang tersebar-pencar itu adalah wajah-wajah pejuang
kehidupan yang penuh ide dan trampil, penuh afeksi dan intimasi, dan pastinya berhati
tangguh serta berjiwa besar. Hari ini juga, sebuah nama biarawati dari tarekat
SSpS yang berkarya di Lombok dan kebetulan berziarah di pertapaan Rawaseneng kuingat
lagi: Sr Magdalena, SSpS. Lena panggilannya.
“LEmah lembut dan sederhaNA” artinya.
Kristus,
sengsaraMu yang pahit
Ditatap mantap dari jauh oleh para perempuan
Mampukan kami mengikuti teladan mereka
Dan mengasihi dengan tekun
Bertahan di hadapan siksa
Agar kami pun boleh
Mengenal kebangkitan-Mu
Demi namaMu
Amin.
Ditatap mantap dari jauh oleh para perempuan
Mampukan kami mengikuti teladan mereka
Dan mengasihi dengan tekun
Bertahan di hadapan siksa
Agar kami pun boleh
Mengenal kebangkitan-Mu
Demi namaMu
Amin.
25.
“Jika aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku;
terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu, dan tangan kanan-Mu
menyelamatkan aku. TUHAN akan menyelesaikannya bagiku! Ya TUHAN, kasih setia-Mu
untuk selama-lamanya; janganlah Kautinggalkan perbuatan tangan-Mu!” (Mz. 138:7-8).
Belum
pernahlah selama ini aku merasakan diriku
Ada
ditangan Allah.
Inilah
yang aku dambakan sepajang hayat
sejak
masa mudaku.
Tetapi
sekarang ini ada perbedaan memang –
yakni
inisiatif seluruhnya berasal dari Tuhan
Sungguh
merupakan pengalaman rohani yang dalam –
dapat
mengetahui dan merasakan diriku
sedemikian
penuh
ada
di tangan Allah
(Pedro Arrupe, doa
ini disusun setelah ia menderita lumpuh yang melemahkan, yang membuatnya
menderita dengan sabar selama 10 tahun akhir hidupnya).
Jalan penderitaan, jalan
sengsara, duka dan air mata, tak pernah menjadi cita-citaku. Aku yakin banyak
orang juga merindukan hari-hari bahagia, penuh canda dan tawa-ria. Setiap orang
pada level apapun, obsesinya tak lain, kecuali dalam hidupnya ia berhadapan dan
berpadanan dengan kisah sukses, lorong kebahagiaan dan jalan penuh sukacita,
bukan? Tapi, hari ini, permenunganku lebih lanjut tentang kisah sengsara Yesus di
akhir minggu ketiga ini mau tidak mau membawaku untuk menempatkan diri pada
disposisi “dimanakah tempat bagi Tuhan dalam diriku, terlebih ketika derita
nestapa menimpa?”.
Pertanyaan ini
secara lebih mendalam mengajakku untuk melihat sedalam apa peran dan karya
Allah benar-benar kusadari dalam hidup dan panggilan imamatku ini: Apakah aku cukup berserah kepada Allah?
Apakah aku sungguh mempersembahkan diriku kepada Allah, segala suka duka,
tangis dan tawa juga aku bawa kepadaNya? Apakah benar bahwa Allah adalah
penyelamatku satu-satunya? Bukankah disposisi penyerahan diri inilah yang
memampukan Yesus untuk bergerak maju menuju Yerusalem, yang adalah salib berat
dan sengsaraNya? Aku sepintas-kilas teringat-kenang wasiat Yesus yang ketiga di
atas salib, “Ya Bapa ke dalam tanganMu,
Kuserahkan nyawaKu.” (Luk 23:46). Apakah hatiku tidak tergerak dan tersulut
oleh cinta dan penyerahan Yesus yang begitu mendalam ini? Dalam Ekaristi yang
setiap pagi kurayakan di kapel bersama para rahib, aku diajak untuk semakin
mendalam membenamkan diri terus menerus dalam misteri penyerahan diri dan kasih
Allah dalam diriku.
Hari ini
juga kutemukan empat makna dari sebuah pengalaman salib dalam kisah sengsara
Yesus pada akhir minggu ketiga ini, yaitu:
1. Makna keberadaan
(eksistensial), yaitu sesuatu yang tidak dapat kuhindari oleh karena memang terlekat pada hakekat
pilihan hidupku dan mengingat kondisi diriku sendiri yang kadang memang lemah.
Ini analog dengan penderitaan dan salib Kristus yang pada hakekatnya merupakan
keharusan dari Bapa yang diterima Yesus dengan sukarela justru bukan agar "kehendakKu yang terjadi melainkan
kehendakMu".
2. Makna
penebusan, seperti penderitaan Kristus yang menghasilkan penebusan bagi banyak
orang, maka beratnya hidup imamat kulihat sebagai ikut ambil bagian dalam memanggul
salibNya.
3. Makna
pertumbuhan, yaitu semakin meningkatkan dan menumbuhkan kebebasan batinku untuk
mencintai Kristus lebih mendalam lagi. Penderitaan dan kesulitan hidup dapat
menjadi berkat kalau dilihat dalam dimensi iman, tetapi akan menjadi kutukan
kalau dilepaskan dari iman, bukan?
4. Sumber
kegembiraan, di mana penderitaanku ini mampu menyiapkan hatiku untuk menyambut
kegembiraan yang telah dijanjikan oleh Kebangkitan Kristus nantinya.
Keempat segi pemaknaan dari salib ini, yakni
“keberadaan-penebusan-pertumbuhan dan kegembiraan”, menumbuhkan keyakinan pribadiku
yang tak tergoyahkan bahwa Allah selalu membantu diri dan hidup imamatku dalam
rahmatNya dan bahwa kesetiaan Allah dalam Kristus itu menjadi kekuatan terdalam
bagi hidup iman dan sekaligus perjuangan idealisme imamatku untuk terus menjadi
seperti nama seorang karyawan yang mengurusi perkebunan kopi disini, Sugimin, “SUkacita dan GIat bilang aMIN.”
“Tahta-Nya bukan sebuah singgasana yang indah dan megah
tetapi sebuah SALIB yang hina.
Pakaian-Nya bukan dari bahan halus berkilau-kilau
tetapi tubuh telanjang berlumur darah.
Mahkota-Nya bukan dari emas tetapi duri.
Tongkat pemerintahan-Nya adalah sebatang buluh
dan minum-Nya cuka dan empedu-asam.”
26.
“Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut
jalan yang ditunjukkan-Nya!” (Mz. 128:1)
Tuhan, aku tak berbalik,
Semua yang aku miliki sekarang
Aku berikan kepadaMu.
Mintalah apa saja dariku
Aku tak pernah akan mau mengkhianatiMu
(Carlo Maria Martini, SJ).
Hari
ini aku memasuki minggu keempat, sebuah
minggu terakhir dan terpendek dalam Latihan Rohani. Adapun temanya seputar kebangkitan
Yesus. Ignatius mengarahkan pandanganku pada suatu kegembiraan Kristus. Aku
telah merenung-menungkan pengorbanan diri Kristus secara total dalam kisah
sengsaranya selama minggu ketiga. Dalam minggu keempat inilah, aku merenungkan
Yesus yang berbagi kegembiraan kepada para muridNya berkat kebangkitanNya. Aku
diajak membiarkan kenyataan kebangkitanNya meresapi kehidupan harianku sendiri.
Kubaca 1 Kor 15:1-58, tentang kebangkitan orang mati. Kubaca juga Markus 16:1-20, tentang kebangkitan Yesus,
yang mengajakku pergi kembali ke
Galilea, juga kubaca Mat 28:1-20, Luk 24:1-12 serta Yoh 20:1-31. Tak ada yang dangkal mengenai
kegembiraan ini. Apa yang kumulai dengan kejujuran dan “ketelanjanganku” pada
minggu pertama bertumbuh dan bertambah matang lewat perjalananku bersama Yesus
dalam minggu kedua dan terlebih dalam minggu ketiga dan kini memuncak dalam
peristiwa kegembiraan yang mendalam, yakni: kebangkitan: “yang lama sudah pergi, yang baru sedang datang, yang mati hidup dan
bangkit kembali dengan jaya!” Disinilah, aku juga disadarkan untuk bersedia
“mati”, yah mati dari dosa, supaya sungguh bangkit dalam kehidupan yang baru. 'Scimus Christum surrexisse a mortuis vere.' Ya, aku tahu dengan pasti bahwa Kristus sungguh
telah bangkit dari antara orang mati: Engkau, Raja Pemenang, kasihanilah kami.
Amin! Alleluia!
Kontemplasiku
pada awal minggu keempat juga mengarah ke penghayatan hidup selibat, ketika Yesus bertemu Maria Magdalena dan mengatakan, “Noli
Me Tangere”- “Jangan Sentuh Aku”. Ia mengajakku memiliki keterpesonaan hanya pada dan bagi Kerajaan Allah (Mat 19:12c). Hari ini, aku semakin
menyadari bahwa menjadi seorang imam tidaklah membuat segalanya mudah
dan baik bagi dirinya sendiri pun tidak berarti terpisah dari berbagai macam
ancaman dan godaan, bukan? Hal tersebut tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari situasi dunia global-mondial saat ini yang semakin menawarkan pelbagai “keindahan”. Artinya bahwa
dunia yang semakin menekankan nilai-nilai yang positif tentang cinta antara laki-laki dan perempuan sekaligus memurnikan hatiku untuk terus
menjaga kesucian diri dengan semakin menghayati dan mencintai hidup imamat secara sehat dan dewasa. Panggilan ini sendiri bermuara kepada kesempurnaan, “Karena itu haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna."
(Matius 5:48).
Untuk sampai kepada
kesana tentu saja hanya ada satu jalan, ialah jalan cinta kasih sebab di
sinilah ajaran Kristus yang paling tinggi. Oleh karena itu, hidup imamatku hanya bisa kumengerti dalam kerangka cinta, yah
cinta kepada Kristus sendiri. Jawabanku
merupakan pemberian diri seutuhnya sebagaimana Kristus sendiri sudah memberikan
diri seutuhnya kepadaku. Pemberian diri seutuhnya ini adalah cinta itu sendiri. Singkat kata: hidup imamatku hanya bisa
dimengerti oleh karena dan hanya karena cinta yang total kepada Allah, kesetiaan
untuk terus menerus menyerahkan diri secara total pada Allah, dan pastinya berjuang hidup di dalam Allah, dalam bahasa Thomas A Kempis: semakin ber-“imitatio
Christi”. Semoga ini terus kubatinkan, seperti nama seorang rahib lain, Fr.Domi.
Dia mengajakku mengingat dua bantuan dasar untuk semakin menginternalisasikan
paham imamatku, yakni: “DOa dan MIsa”.
Pada hari Minggu,
ketika pekan telah berakhir,
Yesus bangkit dari antara
orang mati.
“Puji Tuhan! Alleluia!”
Bangkitlah sang Putra
Tunggal Allah.
Terima kasih, Tuhan atas
Terang,
karena memberi kami terang
untuk melihat.
Terima kasih, Tuhan atas
Hidup
karena memberikan Yesus
untukku.
27.
“Langit menceritakan kemuliaan
Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya; hari meneruskan berita
itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam”. (Mz. 19:2-3).
Bapa Abadi, kuatkanlah aku;
Putra Abadi, kuatkanlah aku;
Roh Kudus, kuatkanlah aku
Tritunggal kudus, kuatkanlah aku
Tuhanku yang Maha Esa, kuatkanlah aku.
(buku harian St. Ignatius Loyola)
Arus dasar yang menggerakkan hatiku pada hari ini ialah
semakin bertumbuh-mekarnya hidupku dalam kesadaran afektif, bahwa segala
sesuatu itu datang dari Allah dan menuju kepada Allah karena adanya "cinta ilahi". Dalam
kesadaran itulah, aku semakin dalam mengalami betapa Allah sungguh mencintai
diriku, dan karena itulah aku merasa terdorong untuk membalas cintaNya
tersebut. Membalas cinta ini
tidak sekedar secara manusiawi belaka, seperti menjadi orang yang baik, ramah, terhormat
dalam tutur kata dan perilaku, tetapi seperti Kristus dengan pilihan jalan salib‑Nya,
dengan kerendahan hati dan kemiskinan salib. Seperti harapan Carlo Martini, “Tuhan, bantulah aku untuk memasuki
kedamaian yang terdiri dalam meletakkan kehidupanku di dalam tanganMu,”
begitu jugalah harapan hatiku berkata hari ini.
Kubaca pula Luk
24:15-53, tentang kisah perjalanan dua murid
di Emaus. Hatiku
berkobar-kobar, terlebih ketika mengenangkan
kisah ini, bahwa Yesus sungguh “tampak” juga setiap kali aku merayakan ekaristi
dan membaca
kitab suci. Bukankah mereka mengenali Dia pada waktu “memecah-mecah roti”? Aku
juga menyadari kelesuan para murid Emaus pada awalnya. Dari merekalah, aku
mendapatkan sebuah pemahaman bahwa iman tidak
pernah menutup kemungkinan untuk ragu-ragu, bukan? Hari
inilah, aku mengenali
perjalanan rohaniku dengan bercermin pada dua murid Emaus: Aku diajak berani berhadapan dengan
tantangan dan ketidakpastian, sebagai tanda kesiap-sediaan diri dan bahwa aku
ingin semakin mengarah kepada Yesus dan berani dengan mantap berharap: “Mane Nobiscum Domine”- “Tuhan tinggallah bersama kami”.
Hari ini, aku juga mengingat karunia Roh Kudus: minyak yang menguatkan, angin yang
menyegarkan, merpati yang melembutkan serta api yang menghangatkan. Aku mencandra
bahwa tugas Gereja
dan para imam sejatinya digerakkan oleh kuasa Roh Kudus sendiri, yang menghasilkan damai, kesabaran, kegembiraan, kebaikan, percaya kepada
Tuhan, lemah lembut dan penguasaan diri (Gal 5:22). Disinilah, aku
semakin merasa diajak untuk masuk dan hidup dalam pengabdian
kepada Kristus, juga di saat‑saat yang sulit dan penuh derita, yang kadang
menyesakkan tapi aku yakin akhirnya melegakan, seperti kata Anthony de Mello, “sesal mencapai titik puncak apabila aku
diangkat ke tingkat syukur berkat dosa-dosaku.”
Yah, meski kadang lelah,
cemar, takut, pelan-pelan tapi aku tetap kokoh berjalan sebagai abdi Tuhan,
menghadapi masalah kehidupan dengan keyakinan, ketekunan dan tentu ketahanan
sebagai seorang abdi. Seperti nama seorang rekan pastorku yang dulu berkarya
bersama di Gereja Pasar Minggu dan pernah menjengukku, Rama Hadiwijoyo, Rama
Hadi panggilannya, “HAdir untuk mengabDI.
28
“Dia yang menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya; yang tetap
setia untuk selama-lamanya, yang menegakkan keadilan untuk orang-orang yang
diperas, yang memberi roti kepada orang-orang yang lapar. TUHAN membebaskan
orang-orang yang terkurung. TUHAN membuka mata orang-orang buta, TUHAN
menegakkan orang yang tertunduk, TUHAN mengasihi orang-orang benar. TUHAN
menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi
jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. TUHAN itu Raja untuk selama-lamanya,
Allahmu, ya Sion, turun-temurun! Haleluya!”
(Mz.146:6-10)
Jika kita mencari Allah dalam segala hal,
kita akan mendadak terhenyak menyadari
Allah ternyata ada di samping kita!
(St.Petrus Claver, berkarya di Kartagena sekarang
Kolumbia,
mengajar dan melayani budak belian Afrika. Konon, ia
membaptis 300.000 orang).
Menjelang hari-hari terakhir retret, aku sadar, aku
bukanlah seperti Batari Umayi yang dikutuk menjadi Durga. Aku adalah aku yang
lahir baru dan dipenuhi rahmatNya. Hari inilah, aku merasa semakin diajak
keluar dari "hidup dalam semangat kegelapan" seperti rasa benci, keinginan
pembalasan, hidup dalam kekerasan, kelicikan, kebohongan dan lain sebagainya. Aku juga semakin
diajak keluar dari hidup yang hanya mengikuti "kenikmatan daging", seperti mencari enak
sendiri, mudah kompromi dan hanya berpusat pada diri sendiri, kurang peduli akan keadaan dan
kesulitan serta nasib orang lain. Aku juga merasa diajak untuk keluar dari hidup yang hanya
berlandaskan "manusiawi" belaka, yang kerap diwarnai oleh individualisme
yang pada akhirnya hanya menguntungkan diriku sendiri. Inikah efek Roh Kudus, semacam karunia Roh Kudus? Aku baca nats Yesaya 11:2, tentang karunia Roh: “Roh TUHAN akan ada padanya, roh
hikmat dan pengertian, roh nasihat dan keperkasaan, roh pengenalan dan takut
akan TUHAN.” Kubaca lagi teks Galatia 5:22, tentang buah-buah Roh serta 1 Kor 12:1-31 tentang rupa-rupa karunia.
Dari ketiga bacaan inilah, hatiku
bertanya: “Bukankah kebangkitanNya terarah bagi semua umat manusia, bukan
hanya untuk sekelompok orang? Bukankah kebangkitanNya melintasi batas-batas
ikatan primordial? Bukankah sikap
seperti ini yang seharusnya menjadi nada dasar serta gaya hidup pelbagai komunitas kristiani, bahkan
masyarakat dan bangsa dalam sebuah masyarakat majemuk bernama Indonesia? Yah, dalam
semangat inklusif itulah, aku diajak berjuang terus untuk membangun rumah besar
bernama Gereja Indonesia yang di dalamnya semua orang dari berbagai suku,
agama, ras dan golongan dapat tinggal bersama dengan penuh persaudaraan dan
saling menghargai, tentunya tanpa ada rasa takut, curiga dan was-was. Seperti
nama salah satu makanan kesukaanku disini, maka sebuah semangat iman kubatinkan
lagi pada hari ini, yaitu: lotis, “LOving-mencintai,
TransformIng-mengubah dan Serving-melayani”.
Lewat permenungan hari ini juga, aku dimutlakkan untuk
memiliki semangat kerendahan hati yang utuh. St. Yohanes Salib
pernah mengatakan bahwa: “lebih banyak
orang yang jatuh dan salah arah, dari pada mereka yang berkembang. Untuk sampai
pada kesempurnaan hidup rohani, orang yang demikian harus mengalami proses
'dark night of the soul'. Satu sikap yang paling utama untuk bisa berkembang
mengatasi situasi itu adalah 'humility', kerendahan hati.” Maka, hari
inilah aku memohon rahmatNya. kalau aku mau belajar dari Bunda Maria, segala
permintaan ini kusimpulkan dengan: “Fiat
voluntas Tua - fiat mihi secundum verbum Tuum: Aku ini hamba Tuhan, jadilah
padaku menurut kehendakMu”. Aku ingat, Yesus pun meniru Bunda Maria, ketika
berharap dengan rendah hati: “Ya Bapa,
jika mungkin singkirkanlah piala ini,
namun jika itu kehendakMu, jadilah kehendakMu!” Santo Ignasius Loyola lain
lagi modelnya. Ia mengajarkanku untuk mengharapkan dua hal saja: “cinta dan rahmatNya”.
“Tuhan memang tinggi sekali,
namun ia melihat ke bawah,
ke tempat yang rendah.
Sebab itu janganlah mencari
gunung yang tinggi
untuk bertemu dengan Tuhan.
Bila engkau meninggikan
dirimu setinggi-tingginya,
Tuhan akan menarik Diri-Nya
sejauh-jauhnya darimu.
Namun jika engkau
merendahkan diri serendah-rendahnya,
Ia akan tunduk mendekatimu
sedekat-dekatnya.”
Kalau kita datang kepada
Tuhan karena cinta,
kalau kita hidup saling
mengasihi, maka Tuhan hadir bersama dengan kita,
karena di mana orang saling
mengasihi di sana Allah hadir.
Mari kita hadirkan Allah di
tengah dunia ini
dengan mengasihi - mengasihi
- dan mengasihi dengan lebih sungguh.”
(St.
Agustinus)
29.
“Besarlah Tuhan kita dan berlimpah kekuatan, kebijaksanaan-Nya tak
terhingga. TUHAN menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi
merendahkan orang-orang fasik sampai ke bumi. Bernyanyilah bagi TUHAN dengan
nyanyian syukur, bermazmurlah bagi Allah kita dengan kecapi!” (Mz. 147:5-7)
KepadaMu ya Allah Bapa kerahiman,
Cahaya dan Sumber segala kebaikan,
Tuhan penguasa sejarah dan alam semesta
Paran seluruh perjalanan insani,
Kami panjatkan puji.
KepadaMu, Bapa, puji di gereja dan di jagat raya
Dalam sejarah bumi dan dalam surga.
Semoga Maria, Bunda Yesus memuji Engkau;
Semoga malaikat memuji Engkau;
Semoga jiwa-jiwa orang meninggal memuji Engkau;
Semoga kita semua dapat bersatu dalam madah
Mengakui penuhnya kemuliaan
Yang disampaikan PutraMu kepada kami
Dalam rahmat Roh yang menjiwai hati kami
(Carlo Maria Martini, SJ)
John F Kennedy, seorang umat Katolik keturunan Irlandia, yang menjadi presiden termuda di Amerika Serikat, ketika dadanya ditembus
peluru dan jantungnya hampir berhenti berdetak, dia memegang tangan isterinya, Jackie dan berkata, “Saya cinta”. Bernadette Soubiroes,
gadis yang mengalami penampakan Bunda Maria di Lourdes, ketika menghadapi
ajalnya masih bergumam, “Saya cinta”.
Maria Goretti setelah ditikam dengan pisau oleh Alexandro, masih dapat berkata, “Jangan ada dendam padanya”. Andreas
ketika dipilih menjadi rasul hanya punya cita-cita “berkorban agar semakin banyak orang bertemu dengan Yesus”. Bunda Teresa
dari Kalkuta bersolider dengan melayani “Orang-orang
termiskin di antara orang-orang miskin”.
Masih ada banyak pribadi lain yang bisa kukenang
dengan ungkapan kasih mereka yang sangat mendalam dan terkenal. Tetapi pada
hematku, semua kata-kata itu mau mengungkapkan keyakinan cinta kasih mereka
yang sedemikian tinggi. Dan keyakinan cinta kasih yang sedemikian tinggi itu
hanya bisa dimiliki oleh orang yang dalam dirinya mengalir semangat kasih yang
sejati, bukan?
Pada hari inilah, Ignatius membimbingku dengan apa yang disebut: “contemplation ad amorem” - sebuah kontemplasi untuk mendapatkan cinta. Yah, sebuah usaha iman untuk
semakin membenamkan diri dalam kenyataan luar biasa bahwa Allah sungguh sangat
mencintai diriku yang biasa-biasa ini.
Aku teringat sebuah kalimat dari St.Theresia
Kanak-kanak Yesus , bahwa “cinta hanya dapat dibalas dengan cinta.” Aku berhasrat membalas
dan semakin menanggapi cinta kasih Tuhan. Aku bertanya terlebih di hari ini, sebenarnya kekayaan apa yang tersimpan dalam sebuah kata “cinta”? Bukankah cinta pada Tuhan tidak pernah berdiri sendiri? Bicara
soal cinta, aku menangkap dua esensi dalam LR
(230-231). Pertama, cinta
harus diungkapkan dalam tindakan; kedua, cinta diperagakan lewat saling memberi: “kebebasan, ingatan,
pengertian dan kehendak, serta seluruh apa yang aku miliki” (LR 234). Satu hal yang pasti, cinta ini
adalah rahmat, gratia yang gratis, cuma-cuma diberikan kepadaku. Sebuah contoh
yang paling jelas kualami ialah pengalaman
keterlemparanku dalam indahnya kehidupan di dunia, lahir dan akhirnya nanti mati.
Bukankah dunia
adalah media komunikasi Allah dan bukankah di dalam dunia, Allah juga mengekspresikan diri? Seperti St Ignatius yang berkata dalam LR 233, aku juga
berharap kepada Tuhan: “untuk memberikan
kepadaku pengetahuan yang mendalam atas banyak anugerah yang telah kau terima,
supaya dengan adanya kesadaran penuh syukur atas hal itu, aku dapat mencintai
dan mengabdi Yang Maha Agung dalam segalanya.”
Lewat 2 Kor 1:3-5: “Demikian
pula oleh Kristus, kami menerima penghiburan berlimpah-limpah,” hari ini
aku sungguh disadarkan betapa banyak kelimpahan cinta yang boleh kucecap dan
kualami selama ini. Aku melihat bahwa
keanekaragaman ciptaan Allah sekaligus adalah penjelmaan (inkarnasi) dari keindahan,
kemuliaan, dan keagungan Allah. Aku mencintai segala ciptaan, sebab setiap
ciptaan berbicara tentang Allah pencipta dan penyelamatnya. Kesadaran akan rasa dicintai ini menyadarkanku: “aku hanyalah sinar dari matahari. Aku
hanyalah air yang mengalir dari sumbernya.”
Yah, hari ini aku juga bertemu dengan Rama Vikjen KAS, Rama Riana Prabdi, bakal Uskup Ketapang yang
akan dilantik-tahbiskan pada awal September 2012 nanti menjadi Mgr Riana. Dari pribadi
dan namanya yang bersahaja, aku mendapatkan tiga keutamaan di hari-hari
terakhir retret ini: “RIang, Andal dan
tetap sederhaNA.”
30.
“Haleluya! Nyanyikanlah bagi TUHAN nyanyian baru! Pujilah Dia dalam
jemaah orang-orang saleh.” (Mz.149:1)
Intersisi. Aku berniat mengunjungi lima gereja
di intersisi terakhirku ini. Bicara soal gereja, orang Yahudi
menyebutnya sebagai Bait
Allah, yakni sebutan untuk pusat
peribadahan Yahudi di Yerusalem kuno. Dalam bahasa Ibrani, tempat ini disebut Bait Suci/Beit HaMikdash בית המקדש. Bangunan ini digunakan untuk beribadah dan
mempunyai fungsi utama untuk mempersembahkan kurban. Sebenarnya, semua
gereja mempunyai arti yang sama, yakni:
kumpulan umat Allah yang beriman (Portugis: Igreja, Latin: Ecclesia,
Ibrani: qahal, Bdk: Mat.16:18 dan
Mat.18:17-18). Kali inilah, saya kembali
mau mengangkat pandangan St.Paulus tentang gereja. Baginya, gereja adalah “Bait Allah”, yaitu yang tidak
dibuat dengan tangan manusia (1 Korintus 3:16, 17; Kisah Rasul 7:48).
Gereja itu adalah rumah tetapi bukanlah bangunan. Gereja adalah rumah tempat
Allah bertahta. Gereja itu adalah sebuah keluarga Allah yang dibangun atas
landasan batu penjuru yaitu Yesus Kristus dan batu-batu yang hidup yaitu kita. Maka,
bagiku, gereja sendiri bisa berarti sebuah usaha terus menerus untuk, “GEmakan Tuhan (dengan karya), REsapkan iman
(dengan cinta) dan JAuhkan setan.
(dengan doa)”.
(dengan doa)”.
Ada lima gereja yang sengaja kukunjungi,
yakni: “Gereja Bintaran”, sebuah gereja tua dan pastinya menyimpan banyak
kenangan sejarah bagi banyak orang Jawa, dimana aku juga pernah kesana ketika
masih studi teologi dan kerap membantu penulisan di majalah PRABA yang
kebetulan berkantor disana. “Gereja Ganjuran” dengan Candi Hati Kudus Yesusnya
seolah sayang untuk kulewatkan begitu saja. Disanalah aku mengenal sebuah
praktek inkulturasi yang mengena, dari segi bangunan sampai pemahaman iman
umatnya. “Gereja Antonius Kotabaru, Yogyakarta” yang bersebelahan dengan Kolese
St Ignatius milik para Yesuit, di gereja inilah dulu aku terkesima betapa
banyak orang muda Katolik datang dengan pelbagai antusiasmenya dari pelbagai
penjuru kota Yogya dan tumpah ruah untuk mengikuti misa setiap minggu sore. Ada
“roh” apa di gereja tengah kota ini?
Selain itu, “gereja” atau semacam kapel sangat kecil di rumah Rama Mangun di
gang Kuwera”, yang membuatku sering membayangkan ketika Rama Mangun
mempersembahkan misa kudus dengan duduk lesehan dan menimba inspirasi dan
aspirasi dalam pelbagai karya dan wartanya, kadang mungkin ia merayakan misa sendirian,
kadang mungkin dengan beberapa sahabat dan relawan dekatnya. Yah, tempat
sederhana ini juga menjadi tempat kunjunganku di intersisi kali ini. Dan yang terakhir, aku juga mengunjungi
sebuah “kapel indah para trapistin di pertapaan Gedono, Salatiga”. Disanalah,
aku merasakan sebuah kekuatan dan keteguhan hati dan budi untuk semakin
mensyukuri rahmat imamat. Lewat pelbagai lantunan doa, kidung mazmur dari para
rubiah dan perjumpaan dengan tempat yang begitu mengena dan menggema bagiku
seakan menambah aura kesucian kapel di pertapaan Gedono ini.
Itulah lima “gereja” yang kusinggahi pada
intersisi terakhirku ini, yang mengajakku lagi-lagi belajar “GEmakan Tuhan, REsapkan iman dan pastinya
JAuhkan setan,” sehingga aku sungguh bisa menjadi seperti nama seorang
kenalanku di kota Temanggung yang mempunyai banyak kambing dan kebun tembakau,
dan pernah mengajakku ikut berburu celeng
(babi hutan) di daerah Dieng dan Pegunungan Wonosobo dengan mobil Land Rover kesayangannya. Agus, “Andalan GUSti Yesus!” Agus juga adalah
sebuah nama yang kutemukan diantara para rahib sederhana yang tinggal di
pertapaan Rawaseneng ini.
“Saya sangat percaya
bahwa tahun-tahun kita yang singkat di bumi
ini
merupakan bagian dari suatu peristiwa yang
jauh lebih besar,
yang membentang melewati segala batas
kelahiran maupun kematian.
Saya memikirkan hidup saya sebagai sebuah
misi di dalam waktu,
sebuah misi yang sangat menyegarkan dan
menggairahkan,
meskipun diselingi ketakutan,
terutama karena Dia yang mengutus saya ke
dalam misi,
sesungguhnya tengah menanti saya untuk
pulang
dan menceritakan tentang apa yang telah saya
alami.”
(Henri Nouwen)
31.
“Biarlah
semuanya memuji-muji TUHAN, sebab hanya nama-Nya saja yang tinggi luhur,
keagungan-Nya mengatasi bumi dan langit.”
(Mz. 148:13)
Tuhan Yesus, kini aku mohon kepadaMu:
bantulah aku
agar tetap bersamaMu selalu,
agar tetap dekat padaMu dengan hati
berkobar,
agar tetap gembira mengemban perutusan
yang
Engkau percayakan kepadaku, yakni:
melanjutkan kehadiranMu,
dan menyebarkan berita gembira –
Engkau telah bangkit!
(Carlo
Maria Martini)
Ketika Kristus yang bangkit mengatakan: 'Jangan
takut', Ia hendak menjawab sumber ketakutanku yang terdalam. Yang Ia maksudkan
adalah jangan takut akan “kejahatan”, karena lewat kebangkitan-Nya, kebaikan
telah menyatakan diri lebih kuat daripada kejahatan. Injil-Nya adalah
kemenangan kebenaran dan kebaikan, bukan? Beberapa
kalimat maklumat juga terkenang dibenakku, pada hari terakhir retret ini: “Pikirkanlah perkara yang diatas, bukan yang
di bumi” (Kol 3:1-2). “Kamu telah
menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam
Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah
kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah
hatimu melimpah dengan syukur” (Kol 2:6-7). Kristuslah yang akhirnya menjadi
satu-satunya dasar bangunan hidup dan
cara berpikirku, cara merasa dan cara bertindakku.
Hari inilah, aku
diajak “back to
reality”, turun gunung bahwa perihal hidup
rohani itu sesuatu yang nyata dalam hidup sehari‑hari. Maka pengalaman retret
ini aku maksudkan untuk semakin menghayat-maknai hidup sehari‑hari terlebih
sebagai seorang imam. Aku semakin diajak untuk menemukan Tuhan dalam segala
kata Ignatius atau dalam bahasanya Jerónimo Nadal: Contemplatio In Actione,
yang memperlihatkan relasi antara kontemplasi mendapatkan cinta di dalam
LR (230-237) dengan soal menemukan Allah di dalam segala. Oleh karena itulah,
aku perlu terus-menerus menerjemahkan dan mengartikulasikan pengalaman rohani
selama retret agung ini ke dalam hidup sehari‑hari, baik yang sifatnya pribadi
(hidup personal dalam hubungan dengan Allah), bersama (hidup persaudaraan dalam
sebuah “komunitas”, keluarga, gereja dan keuskupan), serta pelbagai karya kerasulan (hidup
pengabdian, yakni karya pelayanan bagi sesama).
Hari terakhir retret ini, kuterkenang riang seorang
tukang bangunan di sekitar pertapaan, yang seringkali jujur berbagi cerita
kasih dan kisah sederhananya, dan kemana-mana selalu menaiki motor
kesayangannya. Namanya: Jendul: “JENdela
yang tidak amburaDUL”. Mas Jendul inilah juga yang pernah sekilas-pintas
bercerita padaku soal indah dan gagahnya berburu celeng (babi hutan) di daerah pegunungan sekitar Temanggung.
Harapanku, semoga olah rohani selama retret agung ini, membuat hidup dan penghayatan
imamatku menjadi “JENdela yang tidak
amburaDUL” tapi semakin mau dan mampu ber-aggiornamento: menjadi “jendelanya Tuhan”, dalam bahasanya Rama
Mangun: “mengangkat manusia dan memuliakan Tuhan.” Yah, bersama dengan
permenungan dari Mat 28:16-20, dimana kutemukan Yesus yang berkata, “Pergilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai
kepada akhir jaman”, aku sungguh diajak untuk siap terlahir dengan semangat
baru, seperti nama seorang suster dari tarekat SPC yang berkarya pada sebuah sekolah di Banjarmasin yang juga
sedang menjalani retret di pertapaan Rawaseneng. Sr Yosinta namanya, “aYO SIap menciNTA” itu artinya.
Akhirullalam, bukankah tepat nubuat Yesaya bahwa, “TUHAN
Yang Mahatinggi mengajar aku berbicara, supaya perkataanku menguatkan orang
yang lesu. Setiap pagi Ia membangkitkan hasratku untuk mendengarkan ajaran-Nya
bagiku. Sebab TUHAN Allah menolong aku, maka aku tidak dipermalukan. Aku
menguatkan hatiku supaya tabah; aku tahu aku tak akan dipermalukan” (Yesaya
50:4,7). Deo Gratias!
A
HOLLOWED SPACE TO BE FILLED
A cup must be empty before it can be filled.
If it is already full, it can't be filled again
except by emptying it out.
In order to fill anything, there must be
a hollowed-out space.
Otherwise it can't receive.
This is especially true of God's word.
In order to receive it, we must be hollowed out.
We must be capable of receiving it,
emptied of the false self and its endless demands.
When Christ came, there was no room in the inn.
It was full.
The inn is a symbol of the heart.
God's word, Christ, can take root only in a hollow.
(William Breault)
A cup must be empty before it can be filled.
If it is already full, it can't be filled again
except by emptying it out.
In order to fill anything, there must be
a hollowed-out space.
Otherwise it can't receive.
This is especially true of God's word.
In order to receive it, we must be hollowed out.
We must be capable of receiving it,
emptied of the false self and its endless demands.
When Christ came, there was no room in the inn.
It was full.
The inn is a symbol of the heart.
God's word, Christ, can take root only in a hollow.
(William Breault)
0 komentar:
Posting Komentar