Film
dan novel “The Name of the Rose” sering dianggap serius dan sulit. Akibatnya ia
sering ditilik bukan semata-mata sebagai film dan novel pada umumnya, melainkan
disertai embel-embel yang berpotensi “menakutkan” calon pembaca. Disebut-sebut
film dan Novel “The Name of the Rose” ini bernuansa filsafat, penuh konsep
semiotika, dan menggugat keimanan, sampai-sampai membuat sebagian orang ragu
untuk mulai menikmatinya. Hal ini mungkin terjadi gara-gara nama besar penulis
awalnya, Umberto Eco adalah seorang profesor doktor sastra, filsuf, ahli
semiotika di Universitas Bologna, dan pakar Abad
Pertengahan. Beberapa karyanya yang lain adalah: “Foucault’s Pendulum, The Island of the Day
Before, dan tiga kumpulan esai populer Travels in Hyperreality, Misreadings,
dan How to Travel with a Salmon and Other
Essays.
The Name of the Rose,
sebuah film yang berangkat dari novel karya Umberto Eco ini, pada awalnya mengisah-kenangkan
pengalaman “nyantrik” seorang bernama Adso dari Melk selama satu Minggu pada
bulan November 1327 pada sebuah biara
Benediktin di tengah pegunungan Apenina. Ia yang waktu itu masih sebagai
seorang novis muda, menyertai William dari Baskerville yang ditugaskan menjadi
penengah antara delegasi Paus Yohanes XXII dan Michael dari Cesena.
Lebih lanjut lagi, film ini bercerita
tentang misteri pembunuhan di biara tersebut. Biara yang biasanya tenang dan
damai oleh keheningan serta doa ofisi para rahib itu dikejutkan oleh
serangkaian kematian yang misterius. Disinilah, William
juga mendapat tugas dari kepala biara untuk menyelidiki kematian misterius
Adelmo, yang jasadnya baru saja ditemukan di luar tembok biara. Misteri belum
sempat terpecahkan, dua anggota biara lain ditemukan tewas mengenaskan dan satu
demi satu menyusul kematian anggota biara yang lain.
William dibantu Adso berusaha keras memecahkan persoalan ini,
ada apa dibalik tragedi tragis di biara yang megah ini. Petunjuk
yang William peroleh mengarah kepada penghuni biara. Tetapi siapa? Bagaimana
mungkin para rahib yang hari-harinya diisi dengan berdoa dan melakukan
kebaikan, bisa melakukan tindakan sekeji itu? Apa pula tujuan pembunuh para
rahib itu? Setelah melewati
pelbagai penyelidikan yang rumit, akhirnya mereka sampai juga pada Jorge
yang berada dibalik semua tragedi yang terjadi.
Film yang berangkat dari novel Umberto Eco ini
sebenarnya tidak hanya menyuguhkan cerita pembunuhan biasa. Dengan sangat
bernas, Eco menghadirkan kehidupan biara yang puritan lengkap dengan tradisi
pemikiran gereja Abad Pertengahan. Novel ini menarik karena
kita seakan diajak masuk ke dalam konteks dunia abad ke-14 dengan segala kemegahan dan kekelamannya.
Dunia yang tersaji memiliki pusat yang amat kokoh serta mempunyai struktur inti
yang ketat.
Setting kisah ini adalah sebuah biara Abad Pertengahan, yang
memiliki sebuah perpustakaan dan
dilukiskan dengan sangat cermat dalam kata-kata dan gambar-gambar. Kisahnya
terungkap selama tujuh hari, berkaitan dengan tujuh pembunuhan, dan hari-hari
serta teksnya dibagi ke dalam berbagai periode yang terkait dengan waktu-waktu
liturgi dalam ritus Gereja Katolik. Komposisi kisah yang demikian ini ditambah dengan kiasannya
terhadap Kitab Kejadian dan Kitab Wahyu memberi kesan akan adanya suatu tatanan
religius yang kokoh.
Adegan-adegannya juga dipenuhi frase-frase
berbahasa latin, pelbagai matra sastra, sejarah dan paham teologi Abad
Pertengahan serta teori dekonstruksi dan semiotika. Latar belakang historis
membantu memperjelas plot kisahnya,
namun juga mengungkap bagaimana sejarah senantiasa berulang.
Keahlian Semiotik Eco sangat tampak juga dalam film ini. Kita
diajak menelusuri tanda-tanda yang begitu rumit dengan harapan dapat memecahkan
misteri yang ada. Sayang, harapan ini tidak terwujud karena semua tanda-tanda
yang diikuti hanyalah peristiwa kebetulan yang kemudian diinterpretasikan
secara keliru oleh William. Tanda-tanda itu memang akhirnya membawa pemecahan
misteri, namun bukan semata-mata karena tanda-tanda itu misteri ini
terpecahkan. Ini hanya kebetulan saja, sebab dalang misteri akhirnya mengikuti
juga interpretasi yang di buat William.
Lalu kita belajar apa? Memang dalam hidup ada begitu banyak
hal yang bisa menjadi tanda bukan? Namun kita bisa saja keliru membuat
interpretasi atas tanda-tanda itu juga karena tanda-tanda itu tidak selalu
menandakan kebenaran. Selain itu, bagaimana kita menafsirkan tanda-tanda yang
ada juga tidak bisa dilepaskan dari latar belakang yang telah kita miliki,
seperti halnya dengan William yang mengkaitkan peristiwa yang terjadi dengan
Kitab Wahyu. Pembaca novel ini pun akan memberi penafsiran yang berbeda-beda
sesuai dengan latar belakang yang dimilikinya.
William (juga Eco) tidak mengingkari bahwa kebenaran itu ada,
tidak pula ia menolak bahwa seseorang terkadang dapat membaca tanda dengan
tepat untuk mencapai kebenaran itu. Mungkin yang perlu disadari terutama dalam
sejarah manusia yaitu bahwa berkat
penelitian yang cermat terhadap fakta-fakta, meski secara kebetulan, seringkali
mengarah pada kebenaran universal. Maka butuh ketekunan dan ketelatenan membaca
film ini agar kita bisa memetik “sesuatu yang lebih dalam” darinya. Dan yang
perlu diingat yakni “satu-satunya
kebenaran terletak dalam belajar untuk membebaskan diri dari hasrat tak waras
akan kebenaran”.
Selain itu, film yang berangkat dari novel ini bisa ditonton
sebagai cerita detektif, cerita sejarah, permainan semiotik, parodi petualangan
filosofis yang mencari kebenaran, atau apa saja sesuai dengan latar belakang
pembacanya. Satu hal lain yang menarik, dalam sejarah, seperti diungkapkan sendiri
oleh Umberto Eco, memang benar ada tokoh biarawan fransiskan terkenal bernama
William of Ockham. Dia dikenal sebagai penganjur rasionalitas dalam iman
Katolik. Dan Eco memakai nama William of Baskerville, disengaja sebagai
perwujudan Sherlock Holmes abad pertengahan. Ingat Sir Arthur Conan Doyle dalam
“The Hound of Baskervilles”? Nama Adso juga dekat pengucapannya dengan Watson,
asisten Sherlock Holmes, bukan? Yah, banyak kemunculan teks lain, sepertinya
memang disengaja oleh Umberto Eco. Eco sengaja mengambil tokoh-tokoh, teks,
kesamaan sejarah. Ini sesuai dengan semangat post-modern, yaitu
intertekstualitas: sebuah teks selalu merujuk kepada teks-teks lain, bukannya
kebenaran hakiki. Seperti yang dikatakan William of Baskerville, “Setiap cerita selalu menceritakan cerita
yang sudah pernah diceritakan sebelumnya.”
Eco
sendiri bercerita, mengapa ia memberi judul karyanya, “The Name Of The Rose”?
Dia mengatakan bahwa mawar adalah sebuah simbol yang memiliki begitu banyak
arti. Begitu juga dengan bahasa dan budaya kita, bukan? Mungkin bahasa adalah
penindasan, seperti kita diingatkan oleh Foucault. Seperti Sutardji yang pernah
bertanya, sejak kapan sungai disebut “sungai”. Bagi orang lain, dia adalah
“kali”, “empang” atau bahkan “river”. Kalau
begitu, sepakat dengan kata Ernst Cassier, kita memang adalah “animale symbolicum”, makhluk dengan banyak tanda. Sudahkah kita
juga peka membaca tanda, dan bahkan bisa mnjadi tanda yang hidup bagi hadirnya
sang “Penanda Pertama”, untuk semakin banyak sesama kita? Wallahualam!
0 komentar:
Posting Komentar