Ads 468x60px

Pro Patria et Ecclesia


Jeanne d’Arc

PROLOG
Jeanne d’Arc (1412-1431) adalah tokoh penting dalam sejarah atau budaya barat. Sejak zaman Napoleon hingga kini, politisi Perancis dari berbagai partai telah membangkitkan kenangan terhadapnya. Banyak penulis dan komponis, termasuk Shakespeare, Voltaire, Schiller, Verdi, Tchaikovsky, Twain, Shaw, dan Brecht, telah menciptakan berbagai karya musik dan sastra mengenai dirinya. Di Perancis, ia dijuluki La Pucelle yang berarti "sang dara" atau "sang perawan". Ia menjadi pahlawan bangsanya pada umur tujuh belas tahun, tapi wafat pada umur sembilan belas tahun.



SKETSA PROFIL

Pada tahun 1909, penata rambut Paris, Antoine, menciptakan model rambut bob, yang mengakhiri tabu yang berlangsung berabad-abad terhadap perempuan yang memotong rambut. Gaya ini menjadi populer pada dasawarsa 1920-an dan diasosiasikan dengan kebebasan wanita. Antoine mengakui bahwa model rambut bob yang dipopulerkannya terinspirasi dari seorang pahlawan perempuan Prancis, Jeanne d’Arc.

 

Jeanne d'Arc (dalam bahasa Inggris: Joan of Arc) sendiri terlahir di Lorraine, Domrémy Perancis pada tanggal 6 Januari 1412. Ia merupakan anak bungsu dari 5 bersaudara pasangan Jacques d'Arc dan Isabelle Romée. Ia meninggal di Rouen, Normandia, Perancis, pada tanggal 30 Mei 1431 di usia 19 tahun. Orang-tuanya bekerja sebagai petani. Selain bertani, ayahnya juga menduduki jabatan kecil di pemerintah daerah setempat dan bertugas mengumpulkan pajak serta mengepalai keamanan kota. Mereka tinggal pada suatu daerah terisolasi di wilayah timur laut yang tetap setia pada Perancis, walaupun dikelilingi oleh daerah kekuasaan Burgundi. Jeanne dibesarkan seperti gadis-gadis desa lainnya di Domrémy, Perancis. Meskipun tidak pernah belajar membaca dan menulis, Jeanne hafal benar kata-kata dalam “Syahadat Para Rasul”, doa “Bapa Kami”, dan doa “Rosario”.

Periode sebelum datangnya Jeanne adalah salah satu titik terendah dalam sejarah Perancis. Perang yang berlarut-larut telah menyebabkan kesengsaraan masyarakat, terutama pada bagian utara yang dikuasai oleh Inggris. Ada kemungkinan besar bahwa Perancis akan bergabung dengan Inggris sebagai suatu "Monarki Kembar" ("Dual Monarchy") di bawah pemerintahan raja Inggris. Adapun raja Perancis pada waktu lahirnya Jeanne, yakni Charles VI menderita penyakit jiwa dan sering tidak mampu untuk memerintah kerajaannya. Selain itu, pada tahun 1429, hampir semua bagian utara dan sebagian barat daya Perancis dikuasai oleh pihak asing (Inggris menguasai Paris, sedangkan pihak Burgundi menguasai Reims). Reims sendiri adalah kota yang sangat penting, karena secara tradisi digunakan sebagai tempat penobatan (coronation) dan pentahbisan (consecration) raja.

Dalam konteks seperti inilah, Jeanne hadir. Sejak kecil, ia memang sudah menunjukkan sikap yang begitu saleh terhadap masyarakat di sekitarnya. Semua penduduk desanya mencintai Jeanne untuk kelemah-lembutan dan kesalehannya. Pada awalnya, Jeanne adalah seorang anak yang taat kepada orangtua dan tidak pernah menyusahkan orangtuanya sampai dia berumur 13 tahun.
Yah, pada usia 13 tahun, ia mulai merasakan dorongan batin yang begitu kuat, ia mendengar ‘suara-suara’ yang memanggilnya agar selalu berbuat baik dan agar sering mengunjungi gereja, dengan demikian ia akan selalu mendapatkan pertolongan Tuhan. Jeanne mengaku bahwa ia mendapatkan pencerahan (vision) pertamanya sekitar 1424. Ia yakin bahwa ‘suara-suara’ yang ia dengar setiap hari itu adalah suara Tuhan melalui St. Mikael Sang Malaikat Agung, Sta. Katarina dan Sta. Margareta.

Suatu hari, ‘suara-suara’ tadi mengatakan, agar Jeanne menyelamatkan negara Perancis yang pada saat itu hampir seluruh wilayahnya dikuasai oleh pasukan Inggris dan Burgundi. Jeanne juga harus menghantarkan putera mahkota kerajaan Perancis yang bernama Charles VII untuk segera mengenakan mahkota sebagai raja Perancis dan mengusir tentara Inggris dari tanah Perancis.

23 Pebruari 1429, Jeanne menemui gubernur Sir Robert de Baudricort di kota Vaucoulers. Jeanne menceritakan ‘suara-suara’ yang didengarnya dan menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan putra mahkota Charles di Chinon. Setelah ditolak beberapa kali, akhirnya Jeanne diijinkan untuk bertemu dengan Pangeran Charles, sang putra mahkota.

Tidak gampang meyakinkan putra mahkota, terlebih-lebih pada saat kekuasaan gereja yang begitu besar pada saat itu. Setelah melalui penyidikan yang dilakukan oleh para pejabat gereja yang dipimpin oleh uskup agung Reims, Jeanne dijinkan untuk memimpin tentara Perancis, dengan mengenakan baju zirah, kuda, pedang, dan pataka (banner), bertuliskan “Yesus” dan “Maria”. Sejarawan Stephen W. Richey menjelaskan bahwa Jeanne adalah satu-satunya harapan bagi rezim yang hampir runtuh:

"Setelah bertahun-tahun memperoleh kekalahan demi kekalahan, pemimpin militer dan sipil Perancis mengalami demoralisasi dan dipermalukan. Sewaktu Charles mengabulkan permintaan mendesak Jeanne untuk melengkapi persenjataannya dan menjadikannya sebagai pemimpin pasukan, keputusannya pasti didasarkan terutama oleh kenyataan bahwa semua kemungkinan ortodoks dan rasional telah dicoba dan mengalami kegagalan. Hanya suatu rezim yang berada pada ambang keputusasaan-lah yang bersedia membiayai seorang gadis petani buta huruf yang mengaku mendengar suara Tuhan serta memerintahkannya untuk memegang kendali pasukan negaranya dan membawa kemenangan."

Jeanne pada awalnya ditugaskan untuk melakukan pengepungan terhadap Orléans oleh Charles VII sebagai upaya pembebasan kota tersebut. Ia tiba di lokasi pengepungan Orléans pada 29 April 1429. Jean d' Orléans (dikenal sebagai Dunois), kepala keluarga bangsawan Orléans, pada awalnya tidak melibatkan Jeanne dalam dewan perang dan tidak memberitahukannya jika pasukan menyerang musuh. Jeanne mengatasi hal ini dengan mengabaikan keputusan para komandan veteran dan turut serta dalam setiap penyerangan, dimana ia menempatkan dirinya pada garis depan dengan membawa patakanya.

Jeanne d'Arc menerapkan penyerangan frontal terhadap benteng pertahanan musuh dalam setiap pertempuran. Sejarawan modern mengakui kepahlawanan Jeanne dalam pertempuran ini, di mana pada suatu saat ia harus menarik keluar anak panah yang menancap di bahunya, dan dengan lukanya tetap kembali untuk memimpin penyerangan terakhir. Ia berhasil memporak-porandakan kubu pertahanan tentara Inggris di Orleans pada tanggal 8 Mei 1429.
Setelah itu, pasukan Perancis berangkat menuju Reims dari Gien-sur-Loire pada 29 Juni dan menerima status netral kota Auxerre yang dikuasai Burgundi melalui negosiasi pada 3 Juli. Semua kota sepanjang jalan menuju Reims menyerah tanpa syarat kepada pasukan Perancis. Troyes, tempat disepakatinya perjanjian yang berupaya menyingkirkan Charles VII, takluk setelah pengepungan empat hari, nyaris tanpa adanya pertumpahan darah. Pasukan Perancis menderita krisis persediaan makanan pada saat mencapai Troyes. Edward Lucie-Smith mengutip bahwa hal ini merupakan contoh nyata bahwa Jeanne lebih tepat disebut "diberkati" dari pada dikatakan “memiliki kemampuan”. Seorang biarawan pengelana bernama Bruder Richard telah berkhotbah akan datangnya akhir dunia di Troyes dan meyakinkan penduduk setempat untuk menanam kacang-kacangan (bean) yang memiliki masa panen pendek. Pasukan Jeanne tiba tepat saat panen tiba. Menakjubkan!

Pelbagai kemenangan yang diperolehnya, akhirnya berhasil mengantar pemahkotaan Charles VII di Reims. Reims membuka pintu gerbangnya pada 16 Juli, dan penobatan diadakan besok paginya, 17 Juli 1429. Sejak menjadi Raja, Charles tidak lagi mendengarkan nasihat maupun pendapat Jeanne. Kekuasaan telah membuat gelap mata raja muda ini, ditambah lagi dengan kekuasaan gereja yang mendominasi di lingkungan kerajaan.

Jeanne mendapatkan bisikan bahwa waktunya hanya tinggal satu tahun lagi untuk membantu Perancis melepaskan diri dari tangan Inggris. Hal ini juga sudah disampaikannya kepada Raja Charles, tetapi tetap saja Raja Charles tidak mengindahkannya. Hampir satu tahun Jeanne meyakinkan Raja Charles mengenai hal ini.

Di tengah kebimbangan dan rasa frutrasi, Jeanne menjalankan misinya sendiri. 23 Mei 1430, Jeanne tertangkap di kota Compiegne, ia dikhianati oleh tentara Burgundia. Raja Charles yang mendengar kabar ditangkapnya Jeanne, tidak melakukan tindakan apa-apa.

Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais, seorang anggota dewan yang mengawasi pendudukan Inggris di utara Perancis, memiliki peranan penting pada negosiasi ini dan juga pada pengadilan Jeanne. Tanggal 21 November 1430, ia dipindahtangankan ke pihak Inggris. Di sanalah Jeanne merasakan siksaan-siksaan baik fisik dan psikis.

Jeanne akhirnya dibawa ke pengadilan dengan tuduhan pokok praktek sihir dan takhayul. Proses hukum dilangsungkan pada 9 Januari 1431 di Rouen, di wilayah pendudukan Inggris selama 15 kali. Proses ini sendiri dianggap memiliki beberapa aspek yang tak lazim. Untuk menyimpulkan beberapa masalah utama, Pierre Cauchon dari Beauvais tidak memiliki yurisdiksi untuk bertindak sebagai hakim pada pengadilan tersebut. Penunjukannya lebih disebabkan karena dukungannya terhadap pemerintah Inggris yang membiayai keseluruhan proses pengadilan. Selain itu, walaupun pihak penuntut, Nicolas Bailly tidak bisa mengumpulkan bukti-bukti yang memberatkan terhadap Jeanne, pengadilan tetap dilangsungkan.

Jeanne membela diri dan secara gemilang mendebat para penuntutnya yang kebanyakan adalah kaum cendekiawan. Ia selalu menolak tuntutan untuk mengungkapkan ‘suara-suara’ yang didengarnya. Akhirnya Jeanne dinyatakan bersalah. Pengadilan berbau politis yang diadakan Inggris mendakwanya melakukan bidah (ajaran sesat). Penguasa setempat Inggris – John dari Bedford – memerintahkan untuk menghukum Jeanne dengan dibakar hidup-hidup di Rouen, Normandia, Perancis.
Malam sebelum Jeanne dibakar, dengan rasa ingin tahu yang besar dan juga kebimbangan, Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais mengunjunginya. Ia bertanya kepada Jeanne mengenai misteri ‘suara-suara’. Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais sangat terperanjat dengan salah satu jawaban Jeanne. Dengan lugu, Jeanne menggambarkan sosok St. Mikael dengan sangat jelas. Pierre Cauchon perlahan menyadari bahwa apa yang dialami Jeanne lewat ‘suara-suara’ misteriusnya adalah suatu kebenaran.

30 Mei 1431, Jeanne dibakar hidup-hidup di alun-alun Rouen. Ia menemui ajalnya melalui keputusan palsu pengadilan gereja yang tanpa malu-malu menjual kebenaran untuk tujuan politik Inggris.  Seorang saksi mata menggambarkan suasana eksekusi itu: “Jeanne terikat pada tiang tinggi. Ia meminta dua petugas, Martin Ladvenu dan Isambart de la Pierre untuk memegang salib di hadapannya. Ia berulangkali berkata dengan suara keras menyebut nama Yesus dan berdoa tanpa henti untuk memohon bantuan para kudus dari surga.”

Setelah meninggal, orang-orang Inggris membongkar arang dan menunjukkan tubuhnya yang telah hangus hingga memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang dapat mengklaim bahwa ia selamat dari hukuman, lalu membakar ulang tubuhnya hingga menjadi abu dan mencegah pengumpulan relikwi. Mereka membuang abu tersebut ke sungai Seine. Salah seorang petinggi Inggris yang hadir menyerukan sebuah penyesalan terlambat: “Kita kalah, kita telah membakar seorang kudus!” Belakangan, algojo Geoffroy Therage menyatakan bahwa ia  sangat takut dikutuk karena ia telah membakar wanita suci.

Dua puluh empat tahun kemudian, setelah Inggris berhasil diusir dari Perancis, Paus Kallixtus III membuka kembali kasus Jeanne. Proses ini sendiri dikenal sebagai "pengadilan rehabilitasi", atas permintaan Inquisitor-General Jean Brehal dan ibunda Jeanne, Isabelle Romée.

Penyelidikan dimulai dengan pemeriksaan terhadap Guillaume Bouille. Jean Brehal melakukan penyelidikan pada tahun 1452. Permohonan banding resmi diajukan pada November 1455. Proses ini melibatkan banyak pihak dari seantero Eropa dan mengikuti prosedur standar pengadilan. Para ahli teologi menganalisis kesaksian dari 115 saksi mata. Jean Brehal menyampaikan simpulan akhirnya pada Juni 1456, yang menggambarkan Jeanne sebagai seorang martir dan menuduh almarhum Uskup Pierre Cauchon dari Beauvais sebagai bidah karena telah menjatuhkan hukuman kepada perempuan yang tak berdosa demi urusan duniawi. Pengadilan memutuskan Jeanne tak bersalah pada 7 Juli 1456.

Anne dari Burgundi, istri dari wali Inggris, menambahkan bahwa Jeanne adalah seorang perawan sewaktu sidang pendahuluannya. Secara teknis, hal ini menghalangi pengadilan untuk menuduh Jeanne sebagai penyihir. Hal ini sedikit banyak kemudian juga menjadi dasar bagi pembersihan nama dan pengangkatan Jeanne menjadi santa di kemudian harinya.

Félix Dupanloup, uskup Orléans dari 1849 sampai 1878, memimpin suatu upaya yang berujung pada beatifikasi Jeanne pada 1909. Paus Benediktus XV melakukan kanonisasi terhadap Jeanne pada 16 Mei 1920: Ia dinyatakan kudus, bukan karena patriotisme atau keberaniannya berperang, melainkan karena kesalehan hidup dan kesetiaannya  dalam memenuhi apa yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Perayaannya sendiri dirayakan Gereja sedunia setiap tanggal 30 Mei.


REFLEKSI TEOLOGIS
Pahlawan
PAkailaH cinta, LAWANlah dosa”.
 “There’s a HERO 
And then the HERO comes along 
With the strength to carry on 
And you cast your fears aside 
And you know you can survive  -
So when you feel like hope is gone –
Look inside you and be strong 
And you’ll finally see the truth 
That a HERO lies in you”.
( “HERO”, Mariah Carey)

Dalam praksis liturgi Gereja Katolik, menjadi sebuah kebiasaan bahwa setiap tanggal 2 November kita merayakan ekaristi untuk memperingati arwah semua umat beriman. Nah, persis pada tanggal 2 November 2011 yang lalu, saya merayakan ekaristi arwah bersama beberapa umat di dalam area Taman Makam Pahlawan, Kalibata Jakarta Selatan. Di kuburan yang cukup besar dan indah inilah, banyak pahlawan nasional Indonesia yang dimakamkan. Gelar pahlawan sendiri diberikan kepada mereka yang berjasa kepada Negara Republik Indonesia, dan mereka yang berjuang dalam proses untuk kemerdekaan Negara Republik Indonesia. Hingga 10 November 2006, telah ada ratusan tokoh yang ditetapkan Pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Salah seorang umat Katolik, perintis dan aktivis Partai Katolik baru saja pada tahun 2011 lalu dinobatkan menjadi pahlawan nasional Indonesia, yakni Bapak IJ Kasimo. 

Arti “pahlawan” sendiri adalah “orang yang sangat gagah berani, pejuang yang gagah, berani atau yang terkemuka“, begitu kata WJS. Purwodarminto mengartikan pahlawan dalam Kamus Bahasa Indonesia. Batasan itu sangat luas. Penuh makna dan memberikan kesampatan untuk ditafsirkan berbeda-beda. Karena ukurannya hanya yang gagah berani. Tidak ada penjelasan gagah berani dalam hal apa. Untuk apa dan menurut siapa. Padahal kenyataannya gagah berani itu bisa bermacam-macam. Dalam realitas, kata pahlawan acapkali bertukar makna dengan kata-kata lain yang berlawanan, seperti pemberontak, penghianat, pengacau dan kata-kata lain yang sejenis.

Waktu saya masih mengenakan baju seragam merah putih alias masih duduk di Sekolah Dasar, saya mengenal tokoh-tokoh pahlawan di komik Robinhood, cerita rakyat si Pitung, lakon wayang Gatotkaca ataupun kartun Superman. Dalam perjalanan waktu, saya juga mengenal tokoh-tokoh pahlawan dalam Kitab Suci: Abraham-Bapak segala bangsa, Yakub-penakluk malaikat, Yusuf sang pemimpi, Daud si kecil-kecil cabe rawit, Paulus yg bertobat dan pastinya Yesus Kristus, anak tukang kayu dari Nazaret. Yesus sendiri membuat banyak pembebasan yang belum pernah ada: Ia menyembuhkan orang buta-cacat-ayan, membangkitkan orang mati, menghibur orang berduka, menentang kemapanan yang tidak adil. Ia juga mempunyai murid yang banyak, jago menggandakan roti, meredakan angin taufan, berpuasa 40 hari, melawan setan. Yesus adalah contoh nyata seorang pahlawan, bukan?
Memang, ada macam-macam pahlawan bukan? Ada pahlawan revolusi, perintis kemerdekaan, pejuang kemerdekaan, pahlawan pembangunan bahkan ada juga pahlawan tanpa tanda jasa. Pahlawan sendiri bagi saya berarti, “PAkailaH cinta, LAWANlah dosa”. Tiga contoh sosok seorang pahlawan dalam Gereja Katolik Indonesia.

Pertama, Romo Van Lith. Lebih dari satu abad yang lalu, Gereja Katolik di Jawa Tengah dirintis oleh Romo Fransiskus Van Lith di daerah Kalibawang. Romo Van Lith juga yang membaptis umat Katolik Jawa yang pertama tanggal 14 Desember 1904 di daerah Sendangsono. Van Lith sambil belajar bahasa dan budaya jawa, dengan jubah hitamnya selalu bersepeda dan berkunjung ke rumah anak-anak didiknya. Ia mendirikan sekolah dan asrama guru (Kweekschool) di Muntilan (Betlehem Van Java): bukan untuk semata membabtis orang, tapi untuk membentuk rasul-rasul awam yang tangguh. Ia tidak ambil pusing berapa banyak yang bisa dibaptis, ia hanya ingin mewartakan injil seluas dunia. Tahukah kita bahwa figur Van Lith inilah yang membuat banyak orang Belanda ingin menjadi imam dan bermisi di Jawa? Van Lith sendiri diberi julukan, “orang Belanda yang berhati Jawa” (untuk membedakan dengan “orang Jawa yang berhati Belanda”). Bisa dibayangkan dari sebutan itu seperti apa kualitas kepahlawanan seorang Romo Van Lith. Sebuah kutipan tulisannya, ketika harus berhadapan dengan penjajah yang datang dari bangsanya sendiri: “Setiap orang sekarang tahu bahwa kami para misionaris, ingin bertindak sebagai penengah. Tapi setiap orang tahu juga bahwa seandainya terjadi perpecahan meskipun tak diharapkan dan kami terpaksa memilih, maka kami akan berdiri di pihak golongan pribumi, golongan yang dijajah dan dihisap.” Bukankah ini jelas sebuah keberpihakan, sebuah pilihan sikap ketika berhadapan dengan situasi konkret dengan inspirasi iman semata mewartakan Kerajaan Allah. Satu hal lain juga yang menarik: Romo Van Lith yang notabene adalah seorang pastor dan berasal dari Belanda, dicalonkan oleh Partai Sarikat Islam untuk menjadi anggota Volkstraat (DPR) waktu itu.

Kedua, Bapak I.J.Kasimo. Ia adalah seorang pejuang politik. Dia berjuang dalam politik bukan hanya sebagai politikus biasa tapi sebagai politikus yang berinspirasi dan beraspirasi pada iman Katolik. Sebagai seorang perintis dan aktivis Partai Katolik, Bapak I.J. Kasimo baru saja pada tahun 2011 lalu dinobatkan menjadi pahlawan nasional Indonesia. Ketika ia diwawancarai mengenai sikap dasar berpolitik yang dihayatinya, dia menekankan tiga pilar pokok, yakni: “sederhana”, “jujur”, dan yang ketiga adalah “tidak semata-mata perjuangan duniawi” . Ini mengesankan, bukan?

Ketiga, Mgr. Soegijapranata. Soegijapranata adalah seorang imam Jesuit dan uskup pribumi pertama yang hidup dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Beliau kemudian diangkat sebagai pemimpin Gereja Katolik untuk wilayah Semarang pada tahun 1940. Situasi negara yang sedang bergolak saat itu menuntutnya untuk tidak hanya melakukan kegiatan seputar altar, tetapi juga memberikan sumbangan bagi kehidupan bersama masyarakat. Keterlibatannya dalam situasi negara ditunjukkan dengan kemauannya mengikuti gerak perjuangan bangsa Indonesia saat itu. Uskup ini terkenal dengan aksioma: 100 % Katolik dan 100 % Indonesia, serta kerap dijuluki: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”. Bahkan, Romo Mangun memandang bahwa Mgr. Soegija adalah seorang Gerejawan besar: “Bung Karno-nya Gereja Indonesia”. “Saya tidak dapat menggambarkan bagaimana akan jadinya Gereja Katolik Indonesia seandainya dulu Mgr. A. Soegijapranata tidak ada.

Keempat, Slamet Riyadi. Pada usia 23 tahun, dia sudah menjadi wakil pemerintah Indonesia untuk menerima penyerahan kota Solo dari Belanda. Dalam posisi berpangkat Overste, (waktu itu belum Katolik), ia memutuskan untuk menjadi seorang Katolik (zaman sekarang situasinya terbalik: biasanya untuk mencari jabatan, iman Katolik malahan ditinggalkan, bukan?). Yah, Slamet Riyadi menjadi figur pahlawan yang menarik: Ketika ingin menyempurnakan aktualisasi  dirinya sebagai manusia, dia malahan memberikan dirinya untuk dibaptis. Nama baptisnya adalah Ignatius. Ini istimewa!

Bagi saya, empat contoh pribadi di atas menampilkan bahwa kepahlawanan kristiani bukan sekadar konsep tapi kehidupan nyata. Disinilah, Jeanne d’Arc juga hadir sebagai seorang pahlawan yang PAkailaH cinta, LAWANlah dosa”.
-PAkailaH cinta”
Jeanne d’Arc datang dari desa terpencil dan menjadi terkenal sewaktu ia baru saja melepas masa kanak-kanaknya dan ia melakukan itu dengan status sebagai golongan petani yang tak berpendidikan. Dia hidup di tengah konflik antara para raja Perancis dan Inggris yang tidak memakai cinta. Konflik yang terjadi adalah sengketa waris antara kedua monarki. Disinilah, Jeanne memberikan arti pada sebuah cinta dan ketulusan. Meminjam kata-kata Stephen Richey, "Ia mengubah apa yang tadinya hanyalah sengketa antar dinasti yang membuat rakyat jelata tak tergerak, kecuali untuk kesengsaraan mereka sendiri, menjadi suatu perjuangan populer yang penuh semangat demi pembebasan negeri."

Richey juga menggambarkan: "Orang-orang yang yang datang lima abad setelah kematiannya berupaya untuk memberi segala macam cap pada dirinya: pengikut iblis, penyihir, boneka kekuasaan yang lugu dan tragis, pencipta dan simbol nasionalisme modern, pahlawan yang dicintai, orang suci. Ia bersiteguh, bahkan sewaktu diancam dengan siksaan dan dihadapkan pada kematian dengan dibakar, bahwa ia dibimbing oleh suara Tuhan. Benar atau tidak, apa yang dicapainya telah membuat siapapun yang mengetahui kisahnya akan menggelengkan kepala dengan penuh kekaguman."

Merupakan sebuah kenyataan, bahwa ketika setiap orang memakai cinta, maka ia akan lebih mudah menerima pelbagai pengalaman, termasuk tentunya pengalaman salib yang tidak mengenakkan. Jeanne d'Arc salah satu contohnya. Di dalam kamar tahanan, menjelang eksekusi, Jeanne berlutut sambil menangis memanggil-manggil para orang kudus yang membisikkan telinganya selama ini. Ia memanggil-manggil St. Mikael, Sta. Katarina dan Sta. Margareta, namun Jeanne tidak mendengar apa-apa, tidak ada satu jawaban ataupun bisikan di telinganya. Ia merasa sangat takut karena merasa ditinggalkan oleh Tuhannya. Namun entah darimana asalnya, rasa takut tadi berangsur-angsur hilang berganti dengan rasa keberanian yang begitu besar. Jeanne kembali menemukan kepercayaan dan keyakinannya lagi. Bisa jadi, karena ia memakai nada dassar “C”, yakni “cinta”. Cintanya kepada Tuhan dan cintanya kepada bangsa!

Akibat kualitas cintanya yang teramat besar inilah, Jeanne d'Arc akhirnya menjadi sebuah ikon bagi banyak pihak: Ia menjadi simbol politis di Perancis sejak zaman Napoleon bagi pelbagai kaum. Kaum liberal menekankan pada asal keturunannya yang sederhana. Kaum konservatif awal menekankan pada dukungannya terhadap monarki. Kaum konservatif belakangan mengenang nasionalismenya. Bahkan, selama Perang Dunia II, baik Vichy Regime maupun French Resistance menggunakan simbol dirinya. Tiga kapal milik angkatan laut Perancis telah diberi nama dari namanya, termasuk satu helikopter pengangkut yang saat ini masih aktif bertugas. Bahkan salah satu partai politik kontroversial Perancis, Front National, kerap mengadakan pawai di patungnya, menggunakan figurnya dalam publikasi partai, serta menggunakan api triwarna, yang sebagian menyimbolkan pengorbanan Jeanne, sebagai lambang partai. Libur nasional Perancis untuk penghormatan dirinya sendiri diadakan pada hari Minggu kedua di bulan Mei.

Selain itu, banyak orang Katolik tradisional, terutama di Perancis, juga menggunakannya sebagai sumber inspirasi. Mereka sering membandingkan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap uskup agung Marcel Lefebvre (pendiri Komunitas St. Pius X dan penentang reformasi Konsili Vatikan II) dengan ekskomunikasi yang dilakukan terhadap Jeanne.

-“LAWANlah dosa”.
Satu-satunya gambar Jeanne d'Arc yang dibuat pada masa hidupnya adalah suatu sketsa oleh Clément de Fauquembergue untuk catatan Parlemen Paris. Gambar ini dibuat menyertai berita kemenangannya di Orléans. Yah, lewat sebuah gambar itulah, sosok Jeanne d'Arc mengajak kita juga untuk “menang” melawan dosa kita masing-masing. Selain itu, catatan pengadilan juga membuktikan intelektualitas Jeanne untuk setia melawan dosa. Transkrip dialog yang terjadi mencerminkan hal tersebut. Sewaktu ditanya apakah ia tahu bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan (God's grace), ia menjawab: 'Jika tidak, semoga Tuhan menempatkan saya di sana; dan jika iya, semoga Tuhan tetap melindungi saya.” Pertanyaan ini sebenarnya adalah jebakan, karena doktrin gereja mengatakan bahwa tidak ada seorangpun yang bisa yakin bahwa ia berada dalam lindungan Tuhan. Maka, jika Jeanne menjawab iya, maka ia akan dituduh melakukan bidah. Jika Jeanne menjawab tidak, maka ia mengakui kesalahannya. Boisguillaume belakangan bersaksi bahwa pada saat pengadilan mendengar jawaban ini, "Mereka yang menginterogasinya menjadi takjub dan langsung menunda interogasi pada hari itu.” Dialog ini sendiri menjadi terkenal dan digunakan pada banyak karya modern mengenai subyek ini.

Di lain matra, dalam pelbagai dunia pengadilan, kerap terbuka banyak lubang dosa: penyimpangan ketidakadilan, intrik dan kebohongan, bukan? Inilah juga yang dialami oleh Jeanne.
-    Beberapa pejabat pengadilan belakangan bersaksi bahwa banyak bagian transkrip yang diubah untuk menjatuhkan Jeanne.
-    Terjadi penekanan terhadap para petugas pengadilan, termasuk interogator, Jean LeMaitre. Beberapa orang bahkan sempat diancam akan dibunuh oleh pihak Inggris.
-    Dalam pedoman interogasi, seharusnya Jeanne ditahan dalam penjara eklesiastik (agama) dalam pengawasan penjaga perempuan (yaitu biarawati). Tapi, sebaliknya pihak Inggris menahannya di penjara sekular (umum) yang dijaga oleh prajurit Inggris sendiri.
-     Uskup Cauchon menolak permintaan banding Jeanne kepada Dewan Basel dan Paus, yang seharusnya akan dapat menghentikan proses pengadilan tersebut.
-     Dua belas tuduhan yang menyimpulkan temuan pengadilan bertolak belakang dengan isi catatan pengadilan. Jeanne yang buta huruf terpaksa menandatangani dokumen abjuration yang tidak ia mengerti dengan ancaman eksekusi langsung jika tidak menyetujuinya. Dalam catatan resmi, dokumen itu diganti oleh dokumen lain oleh pengadilan.
-    Sebuah kisah yang lain bahwa dunia kita penuh dengan dosa: Ketika dipenjara, Jeanne pada awalnya setuju untuk menggunakan pakaian perempuan. Beberapa hari kemudian, menurut saksi mata, ia mendapatkan percobaan perkosaan oleh seorang bangsawan Inggris di dalam penjara. Ia kemudian mengenakan kembali pakaian laki-laki sebagai perlindungan terhadap pelecehan seksual dan juga, menurut kesaksian Jean Massieu, karena pakaiannya telah dicuri dan ia tidak memiliki apa-apa untuk dikenakan.

Disinilah, di tengah carut marut dunia yang penuh dosa, kita diajak untuk setia melawan dosa. Sebuah tambahan informasi: Sebagai seorang pahlawan, pengaruh kepemimpinan militer Jeanne pernah merupakan bahan perdebatan sejarah. Saksi mata melaporkan bahwa ia sering kali memberikan usulan yang cerdas dalam medan pertempuran, tapi pasukan dan komandannya menghargainya terutama karena menganggap kemenangannya merupakan persembahan bagi Tuhan. Sejarawan tradisional, seperti Edouard Perroy, berpendapat bahwa Jeanne sebenarnya hanyalah pembawa bendera biasa yang pengaruh utamanya adalah sebagai pembangkit semangat. Analisa ini terutama bersumber pada pengakuan pengadilan, di mana Jeanne d'Arc menyatakan bahwa ia lebih memilih pataka dibandingkan pedangnya. Sejarawan modern, yang lebih terfokus pada pengadilan rehabilitasinya, lebih cenderung menyatakan bahwa para koleganya menghargainya sebagai perancang taktik dan stategi yang mahir. Stephen W. Richey menyatakan bahwa "Ia berhasil memimpin pasukan melalui rangkaian kemenangan yang luar biasa yang membalikkan keadaan peperangan." Walaupun ada dua pendapat tersebut, sejarawan setuju bahwa pasukan Perancis berhasil mencapai kesuksesan di bawah kepemimpinan dan kepahlawanan Jeanne. Satu hal lain yang pasti: seorang pahlawan adalah alter christi, tapi juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya (Ibrani 5:2). Dunia butuh banyak pahlawan, siapkah kita?


EPILOG
Pro Patria et Ecclesia adalah semboyan Latin yang berarti, “Demi Tanah Air dan Gereja”. Dalam konteks Indonesia, istilah ini biasa juga dikenal dengan sebuah aksioma yang pernah dibuat oleh Uskup Agung pribumi pertama di Indonesia sekaligus pahlawan nasional, Mgr Soegijapranata: “100% Katolik, 100% Indonesia”. Dalam tulisan, “Alit Nanging Mentes”, Mgr. Soegija, yang merupakan sahabat dekat Bung Karno menekankan bahwa orang Katolik sudah semestinya bersatu dalam kesatuan yang tertata dan mempunyai disiplin, mempunyai jiwa merdeka dan bertanggung jawab, mempunyai tata susila dan sopan santun, rendah hati, tapi mempunyai semangat rela berkorban untuk kesejahteraan umum. Bukankah ini semua yang dimilik-hayati oleh seorang perempuan Katolik bernama  Jeanne d’Arc? Orang Katolik memang bukan bagian yang lebih besar (pars major), tetapi bukankah orang Katolik tetap harus berusaha menjadi bagian yang lebih baik (pars sanior)? Bersama teladan iman dan hidupnya, marilah kita, sebagai ‘significant minority’  berani juga menghidupi semangat iman ini setiap harinya: Pro Patria et Ecclesia!!

ASPIRASI
"Tidak ada seorang pun dari Abad Pertengahan, baik laki-laki atau perempuan, yang menjadi subyek penelitian melebihi Jeanne d'Arc."
(DeVries)

0 komentar:

Posting Komentar