Ads 468x60px

Oscar Romero



Prolog
Astari, seorang anak muda Jakarta yang sekarang menjadi staf khusus kepresidenan era SBY adalah seorang gadis sulung yang tumbuh dari latar belakang keluarga Katolik. Bagi saya, “Astari” bisa berarti Asal Cintanya Lestari. Setiap orang beriman yang telah dibaptis juga termasuk uskup dan imam adalah juga manusia. Meskipun kita dipanggil dan dipilih Allah untuk mengabdi Allah dan manusia, tidak berarti kita selalu lestari cintanya, bukan? Seperti kata Santo Paulus kepada jemaat di Korintus, kita kerap tetap seperti bejana tanah liat yang mudah rapuh dan mudah pecah karena kelemahan-kelemahan kita sebagai manusia. Di sinilah kita akan belajar bagaimana menjaga lestarinya cinta kita dengan belajar dari seorang Oscar Romero, uskup diosesan dan sekaligus seorang martir modern.


Sebuah Sketsa Profil
Oscar Arnulfo Romero y Galdamez - begitulah nama lengkapnya, dilahirkan
di Ciudad Barrios pada 15 Agustus 1917. Orang tuanya bernama Santos
Romero dan Guadalupe de Jesus Galdamez. Ketika kanak-kanak, Oscar
Romero dikenal sebagai seorang anak yang serius, rajin, dan saleh. Setelah
cukup berumur, Oscar Romero masuk sekolah umum setempat beberapa
waktu lamanya. Setelah itu, Romero belajar pada seorang guru yang bernama
Anita Iglesias sampai berumur dua belas tahun. Kemudian ayah Romero
menyuruhnya untuk magang pada seorang tukang kayu. Di tempat inilah,
Oscar Romero belajar membuat meja, kursi, pintu, dan juga pelbagai peti
kayu.

Setelah berusia tiga belas tahun, pada tahun 1930, ia mempunyai
keinginan untuk masuk ke seminari. Oscar Romero segera meninggalkan
Ciudad Barrios untuk masuk ke seminari di San Miguel. Ia ditahbiskan
menjadi imam pada tahun 1942. Setahun kemudian Oscar Romero belajar
teologi di Roma. Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai pembantu uskup
agung San Salvador dan pada tahun 1977, Oscar Romero diangkat menjadi
uskup agung di San Salvador.

Sebagai Uskup Agung, ia hidup dalam konteks situasi kemiskinan dan
ketidakadilan yang dialami rakyat El Salvador, serta tindakan represif rezim
militer yang dikomandani oleh Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez.

Kemiskinan dan ketidakadilan yang dialami rakyat negara yang paling padat
penduduknya di Amerika Latin itu disebabkan oleh monopoli kepemilikan
lahan oleh segelintir konglomerat kopi. Sementara mayoritas penduduk
hanya menjadi buruh perkebunan kopi. Kemiskinan dan ketidakadilan
diperparah lagi oleh tindakan rezim otoriter dan militeristik. Situasi itu
berlangsung pada dekade 1960-an sampai 1980-an. Situasi semakin parah
ketika terjadi perang saudara selama 12 tahun sejak akhir tahun 1980-an.

Ketidakadilan, kemiskinan rakyat dan politik kekerasan di El Salvador
ini dilawan oleh para imam, biarawan, dan biarawati. Perlawanan mulai dari
lingkup grass root (akar rumput) sampai lingkup akademis. Para imam dan
biarawan-biarawati membentuk komunitas-komunitas basis dan memberi
pencerahan kepada rakyat agar melawan rezim penyebab ketidakadilan. Para
imam yang mengajar di Universitas Amerika Tengah menggagas teologi
pembebasan yang berorientasi keberpihakkan kepada rakyat yang tertindas.

Dimotori Ignacio Ellacuria dan Jon Sobrino, teologi politik yang memihak
kaum miskin bergema dan menghantam rezim militer dan para konglomerat
kopi.

Cuiusvis hominis est errare - setiap orang bisa berbuat salah (kutipan dari
karya Cicero, Philippica XII,5). Pada awalnya, Romero mengambil sikap yang
salah. Ia berseberangan dengan gerakan perlawanan itu. Di sinilah, Romero
hanya berkutat di altar dan mimbar. Ia melayani umat dengan pelayanan
sakramental dan ibadat-ibadat seputar altar. Ia mencambuki dirinya sebagai
silih atas dosa-dosa yang dilakukannya. Ia mengembangkan pelayanan
karitatif seperti Santa Claus: Ia meminta uang dari orang kaya dan diberikan
kepada orang-orang miskin. Ia tidak masuk dalam realitas kemiskinan dan
penderitaan mayoritas rakyat El Salvador. Sebaliknya, ia bersahabat karib
dengan para juragan dan konglomerat kopi. Ia bahkan mengkritik para
imam yang terlibat dalam gerakan perlawanan sebagai Neo-Marxis. Teologi
pembebasan yang dikembangkan Ellacuria dan Sobrino dituduhnya sebagai
Kristologi baru yang berdimensi Marxis.

Tetapi sikap itu berubah total, setelah beberapa waktu Romero diangkat
sebagai Uskup Agung San Salvador. Ia berubah 180 derajat. Ia mendukung
gerakan-gerakan perlawanan yang sudah dibangun para imam sebelumnya.
Ia menantang dan menentang rezim yang berkuasa secara terang-terangan.

Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan secara langsung saat memimpin
Misa di Gereja Katedral San Salvador, ia mengangkat bendera perlawanan.
Tafsiran-tafsiran Kitab Suci bercorak teologi pembebasan dikumandangkan
dengan tegas dan konsisten dalam setiap khotbahnya: tremens et fascinats,
menggetarkan tapi sekaligus membahagiakan.

Romero tampil sebagai uskup yang gigih membela kaum miskin,
berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang juga orang kristiani
seperti dia. “Seorang gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya
diancam ketakutan,” kata Romero di saat ia diteror habis-habisan. Akhirnya,
perlawanan dan pembelaannya terhadap kaum miskin-tertindas berbuah
darah. Ia mati ditembak pasukan bersenjata ketika sedang memimpin misa
di kapel susteran pada tanggal 24 Maret 1980. Melalui Uskup Romero,
menjadi nyata bahwa Injil Yesus Kristus mampu mengubah hati manusia
untuk rela menempuh jalan hidup sama dengan Yesus beserta opsinya
untuk mewujudkan Kerajaan Allah dengan melayani orang yang miskin dan
tertindas. Kesaksian hidup Uskup Romero sedemikian mengesankan sampai
Ellacuria, seorang Jesuit dan pemikir teologi pembebasan mengatakan bahwa
dengan Mgr. Oscar Romero, Allah lewat sekali lagi di tengah umat-Nya.

Refleksi Teologis
a. Salib, Saat Aku Lemah Ingatlah Bapa

Kenapa Oscar Romero berubah total? Apa yang menyebabkan ia berubah
begitu drastis dari sikap diam dan hati-hati terhadap rezim yang berkuasa
dan para konglomerat kopi, menjadi perlawanan terbuka? Pengalaman
salib, itulah jawabannya. Yah, kematian seorang rekan imam, yakni Rutilio
Grande, membuat mata Romero terbuka. Grande yang selama hidupnya
mengabdikan diri untuk membangun kesadaran dan perlawanan rakyat
yang tersalib, terhadap segala bentuk ketidakadilan, dibunuh oleh rezim
militer yang berkuasa.

Di hadapan jenazah Rutilio Grande, Uskup Romero berikrar dengan keyakinan mendalam, “Mereka membunuh dia karena apa yang dilakukannya, maka saya harus berjalan pada jalan yang sama. Rutilio telah membuka mata saya.” Ikrar itulah yang menjadi api pembakar semangat perlawanan Romero terhadap rezim yang berkuasa.

“Saya bersyukur bahwa Gereja kita dikejar-kejar karena memihak kaum miskin dan karena berusaha menginkarnasikan diri bersama kaum miskin. Betapa sedih kita jika di negeri
di mana pembunuhan kejam terjadi, tiada imam yang menjadi korban. Imam
yang terbunuh adalah saksi bahwa Gereja sungguh menginkarnasikan diri
dalam problem umatnya,” katanya lebih lanjut.

Apakah solidaritas dengan “rakyat tersalib”, akan membuat Gereja
kehilangan identitasnya? Sebaliknya, solidaritas dengan mereka akan
membimbing Gereja untuk memahami identitasnya secara lebih baik, yaitu
sebagai tanda Kerajaan Allah dalam sejarah. Identitas itu kita temukan ketika
kita memilih berpihak pada Allah yang mencintai setiap orang dan berpihak
kepada korban.

Gutierrez, seorang teolog pembebasan lain, juga pernah
menegaskan bahwa cinta akan Allah dan komitmen pada mereka yang
tersalib merupakan elemen sentral dalam pengalaman mereka yang percaya
pada Allah kehidupan. Cinta akan Allah dan komitmen pada mereka yang
tersalib itu kita hidupi dalam solidaritas dengan mereka yang kecil lemah
miskin dan tersingkir. Ia mengkritik hidup keagamaan yang tidak berkontak
dengan realitas dan ketidakpedulian pada orang miskin. Solidaritas kita
dengan rakyat tersalib memberikan dasar kuat untuk berbicara tentang Allah.
Allah yang juga melewati sebuah jalan salib untuk mengalami kebangkitan
paskah. Lewat pengalaman Romero inilah, kita semakin mengerti makna
salib, yakni “saat aku lemah ingatlah bapa.”

b. Mati, Mohon Allah Tambahkan Iman
Tentang Romero, Ignacio Ellacuria menulis:

“Tudung yang menyelubung kebenaran terhadapnya tersobek dan kebenaran baru mulai menguasai seluruh hidupnya. Penyebabnya bukan keinginan sadar untuk berubah, tetapi lebih merupakan suatu transformasi yang menimpanya. Ia sadar akan apa yang
sebelumnya tidak dilihatnya, biar pun ada kehendak baik dan tekad kuatnya,
terlepas dari waktu yang dihabiskannya untuk berdoa, terlepas dari imannya
yang benar, terlepas dari kesetiaannya terhadap ajaran Gereja dan Vatikan.
Terang telah menguasainya dan membentuknya kembali. Bukan bahwa ia
berubah berdasarkan dorongan batinnya sendiri atau mencari kejelasan dengan
dayanya sendiri, sebaliknya ia melihat sesuatu, melihat sesuatu yang secara
objektif baru dan hal itu mengubahnya.”

Romero tampil sebagai orang yang berani mati. “Mati” di sini bisa juga
berarti Mohon Allah Tambahkan Iman. Saya meyakini bahwa faktor yang
paling mendukung Romero berani bersikap radikal adalah karena imannya.
Iman yang dimohonkannya dari Allah sendiri. Baiklah kalau kita juga
melihat kembali pelbagai intisari surat-surat gembalanya yang berupaya juga
menambahkan iman bagi semua umatnya.

Dalam Surat Gembalanya yang pertama, Oscar Romero melontarkan
gagasannya tentang iman Gereja Paskah. Gereja hidup bukan hanya untuk
dirinya sendiri, tetapi Gereja berusaha untuk melayani Tuhan dengan
menyelamatkan dunia. Gagasan tentang Gereja dipertajam lagi dengan
munculnya Surat Gembala yang kedua (Agustus 1977). Baginya, Gereja
adalah Tubuh Kristus di dalam Sejarah. Gereja adalah Kristus yang memenuhi
misinya untuk menyelamatkan dunia melalui anggota-anggotanya.

Implikasinya, Gereja harus bertindak sesuai dengan apa yang diimaninya,
yang dilakukan Kristus sendiri, yaitu untuk mewartakan Kerajaan Allah
kepada manusia dan secara khusus kepada orang miskin. Oleh karena
itu, Gereja mesti menentang segala bentuk dosa, seperti ketidakadilan
dan kekejaman yang terjadi dalam masyarakat. Gereja wajib mewartakan
Kerajaan Allah kepada semua orang miskin. Tetapi mewartakan kerajaan
Allah bagi orang miskin di El Salvador berarti mendukung usaha mereka
untuk membebaskan diri dari struktur ketidakadilan. Pembebasan dari
kemiskinan, penindasan, keterasingan, dan perampasan hak-hak mereka.

Gereja perlu mendukung usaha pembebasan mereka.
Kemudian dalam Surat Gembalanya yang ketiga (1978), Romero
berbicara tentang hubungan Gereja dengan Organisasi Politik Populer
yang berkembang di antara kalangan petani.1 Organisasi yang dibicarakan
Romero ini telah dimulai sekitar 1960 dan ketika Oscar Romero menjadi
uskup, organisasi tersebut semakin menguat dan berusaha mengadakan
perubahan politik. Mereka mengorganisir orang miskin dan mengajarkan
politik kepada mereka. Kerap kali organisasi-organisasi itu menggalang
sejumlah aksi protes terhadap ketidakadilan dan penindasan yang terjadi
di El Salvador. Melalui Surat Gembalanya yang ketiga ini, Oscar Romero
memberikan beberapa prinsip tentang hubungan Gereja dengan Organisasi
Politik Populer. Ia menyebutkan tiga prinsip.

1.    Misi Gereja secara khusus bukan terletak dalam bidang politik, ekonomi,
ataupun sosial. Misi Gereja bersifat keagamaan. Tetapi dari misi tersebut
muncullah tugas, terang, dan daya kekuatan yang dapat membentuk
dan meneguhkan masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi.

2.    Sifat dasar Gereja adalah membangun komunitas. Komunitas-komunitas
akar rumput yang tumbuh di antara orang miskin adalah dasar Gereja.
Gereja mempunyai misi untuk melayani manusia. Gereja tidak
memihak pada salah satu organisasi politik mana pun, tetapi ia dapat
memberi konsiderasi akan seluruh tujuan dan mekanisme dari partai
dan organisasi-organisasi politik. Gereja mendukung segala sesuatu yang
baik dan adil, tetapi pada kesempatan yang sama Gereja akan mencela
segala bentuk ketidakadilan yang terjadi di dalam organisasi mana pun.

3.    Gereja harus menerangi setiap usaha dari organisasi untuk pembebabasan
dengan cahaya iman dan harapan Kristiani, serta visi pembebasannya
yang integral. Pembebasan itu melibatkan semua orang, dalam semua
dimensinya, termasuk keterbukaannya akan Tuhan. Pembebasan itu
berpusat pada Kerajaaan Allah. Pembebasan memerlukan perubahan
hati dan pikiran. Pembebasan struktur masyarakat belumlah
cukup. Pembebasan tidak perlu kekerasan karena kekerasan pada
prinsipnya bertentangan dengan Injil dan semangat hidup Kristiani.

Setahun kemudian muncullah Surat Gembala yang keempat. Pada surat
Gembala ini, Romero berbicara tentang misi Gereja dalam situasi krisis
Negara. Dalam terang konferensi Puebla dan krisis politik yang terjadi di
El Salvador, Romero menambahkan refleksi baru tentang apa yang telah
ditulisnya dalam Surat Gembala sebelumnya. Gereja mempunyai misi untuk
mewartakan kerajaan Allah di tengah situasi krisis El Salvador.

Selanjutnya, Oscar Romero semakin kuat dalam menyuarakan hak dan
martabat kaum miskin. Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan ke
seluruh negeri, Oscar Romero berusaha melawan kekerasan yang dilakukan
oleh penguasa. Ia sering mengkritik dan mengutuk setiap ketidakadilan
dan penyelewengan yang terjadi di El Salvador. Ia secara terang-terangan
menyampaikan kritik dan kutukannya.

Dalam sebuah wawancara dengan Prensa Latina2, Oscar Romero sangat mendukung organisasi-organisasi yang tumbuh di kalangan rakyat. Romero percaya bahwa organisasi-organisasi rakyat adalah kekuatan yang sedang memperjuangkan hak-hak mereka dan akan
membangun sebuah masyarakat sejati. Organisasi-organisasi itu pasti akan menggantikan sistem masyarakat dan pemerintahan yang terjadi di El Salvador. Maka menurutnya, organisasi itu harus tetap ada dalam masyarakat supaya proses pembebasan tetap terjadi.

Dalam perjalanan selajutnya, Oscar Romero juga pernah membuat sebuah surat kepada Presiden Jimmy Carter agar pemerintahan Amerika Serikat tidak lagi mengirimkan bantuan militer dan campur tangan dalam pengambilan kebijaksanaan di El Salvador. Keberanian
Oscar Romero telah membawa dirinya dalam posisi terancam. Ia menyadari betul akan setiap ancaman yang mungkin dapat terjadi sebagai konsekuensi dari tindakannya. Akan tetapi, Oscar Romero sendiri tidak pernah takut karena dia memiliki iman. Romero yakin
kalau mati terbunuh, pasti semangatnya akan bangkit di antara rakyat El Salvador.

Menjelang akhir hidupnya Oscar Romero mengajak, memohon, dan memerintahkan kepada semua jajaran tentara untuk menghentikan penindasan dan menghiraukan setiap perintah atasanuntuk membunuh. Oscar Romero mengajak semua jajaran tentara untuk mengingat kembali Hukum Tuhan.

“Saya ingin menyampaikan suatu seruan khusus kepada semua anggota
tentara … Saudara-saudaraku, masing-masing orang dari Anda sekalian
adalah salah seorang dari kami juga. Kita adalah sama-sama rakyat. Para
petani yang kalian bunuh adalah saudara-saudaramu sendiri. Kalau kalian
mendengar suara seseorang yang memerintahkan untuk membunuh,
maka sebagai gantinya segeralah ingat pada suara Tuhan: ‘Kau tidak
boleh membunuh!’ Hukum Tuhan mesti berlaku. Tidak ada serdadu yang
diwajibkan mematuhi suatu perintah yang bertentangan dengan hukum
Tuhan. Masih ada cukup waktu bagi kalian untuk mematuhi kata hati
nurani kalian sendiri, bahkan ketika menghadapi perintah penuh dosa untuk
membunuh … Atas nama Tuhan, atas nama rakyat kita yang teraniaya, yang
tangis mereka membumbung tinggi sampai ke surga, saya memohon kepada
Anda sekalian, saya meminta Anda sekalian, saya memerintahkan Anda
sekalian: HENTIKAN PENINDASAN INI!”

Epilog
Dalam khotbahnya dalam Perayaan Ekaristi Penahbisan Mgr. J. Pujasumarta, Pr.
sebagai Uskup Bandung, Mgr. Suharyo, Pr. mengatakan, “Untuk membangun sebuah
komunitas diperlukan seseorang untuk menjadi martir: menjadi roti yang dipecahpecah,
ikan yang dibagi-bagi untuk mewujudkan cita-cita Gereja mewujudkan
sebuah komunio.” Sebagai seorang Uskup Agung, Oscar Romero menjadi martir
dengan motonya Sentir con la Iglesia4 juga dengan semangat kenabiannya. Ia jelas
ingin menjadi satu pikiran dan hati dengan Gereja. Lewat figur Romero, tampak
jelaslah bahwa hakikat Gereja yang satu itu merupakan pemberian Allah, sekaligus
tugas yang belum selesai.

Pemberian itu memiliki dimensi yang belum selesai, janji,bahkan dimensi eskatologis. Hakikat Gereja yang bersatu itu tidak hanya harus dibagikan, melainkan juga harus dicari, terutama ketika berinteraksi dengan pihak lain. Gereja ikut serta dalam riuh rendah untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang mengatur hajat hidup orang banyak. Konteks seperti ini memasukkan Gereja dalam sukaduka dan jerih payah yang sering kali menghasilkan gesekan, benturan, konflik dan bahkan meletus menjadi konflik kekerasan yang tak berujung.

Pelbagai Gereja di dunia ketiga, yang kerap ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan penindasan hak asasi mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti hanya sebagai cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya. Cinta itu harus menjadi political love: cinta yang berpolitik, yang juga sosial sifatnya, untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri.
Sebab sepanjang sejarah penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah dan miskin, bukan?

Romero juga pernah bertutur, kemiskinan spiritual menjadi syarat utama
umat untuk merayakan Natal dalam arti sebenarnya. Eros self-sufficiency,
kesombongan, kekayaan dan subordinasi atas yang lain menjadi penghalang
utama kita merayakan kelahiran Yesus. Romero jelas mengundang kita
untuk tidak melulu mencari bayi Yesus di palungan indah, tetapi di antara
anak-anak yang kelaparan dan tidur berselimutkan koran supaya cinta kita
semakin lestari.

 “Menolak kekerasan itulah satu-satunya seruannya (seruan Gereja).
Setiap kali tangan terangkat melawan orang lain siapa pun dia,
kekerasan adalah tindakan berdosa yang mencemari dunia.
Seruan penolakan dan perlawanan tidak pernah menyulut nafsu balas
dendam dan kebencian dalam Gereja …

Sebaliknya, suara Gereja selalu menganjurkan persaudaraan yang
dibangun berdasarkan iman dan kebenaran yang diwahyukan oleh
Allah, sebagai sumber ilham untuk ajaran sosial.”
(Oscar Romero).

0 komentar:

Posting Komentar