Prolog
Sebuah Sketsa Profil
Oscar Arnulfo Romero y
Galdamez - begitulah nama lengkapnya, dilahirkan
di Ciudad Barrios pada 15
Agustus 1917. Orang tuanya bernama Santos
Romero dan Guadalupe de
Jesus Galdamez. Ketika kanak-kanak, Oscar
Romero dikenal sebagai
seorang anak yang serius, rajin, dan saleh. Setelah
cukup berumur, Oscar
Romero masuk sekolah umum setempat beberapa
waktu lamanya. Setelah
itu, Romero belajar pada seorang guru yang bernama
Anita Iglesias sampai
berumur dua belas tahun. Kemudian ayah Romero
menyuruhnya untuk magang
pada seorang tukang kayu. Di tempat inilah,
Oscar Romero belajar
membuat meja, kursi, pintu, dan juga pelbagai peti
kayu.
Setelah berusia tiga
belas tahun, pada tahun 1930, ia mempunyai
keinginan untuk masuk ke
seminari. Oscar Romero segera meninggalkan
Ciudad Barrios untuk
masuk ke seminari di San Miguel. Ia ditahbiskan
menjadi imam pada tahun
1942. Setahun kemudian Oscar Romero belajar
teologi di Roma. Pada
tahun 1970, ia diangkat sebagai pembantu uskup
agung San Salvador dan
pada tahun 1977, Oscar Romero diangkat menjadi
uskup agung di San Salvador.
Sebagai Uskup Agung, ia
hidup dalam konteks situasi kemiskinan dan
ketidakadilan yang
dialami rakyat El Salvador, serta tindakan represif rezim
militer yang dikomandani
oleh Jenderal Maximiliano Hernandez Martinez.
Kemiskinan dan
ketidakadilan yang dialami rakyat negara yang paling padat
penduduknya di Amerika
Latin itu disebabkan oleh monopoli kepemilikan
lahan oleh segelintir
konglomerat kopi. Sementara mayoritas penduduk
hanya menjadi buruh
perkebunan kopi. Kemiskinan dan ketidakadilan
diperparah lagi oleh
tindakan rezim otoriter dan militeristik. Situasi itu
berlangsung pada dekade
1960-an sampai 1980-an. Situasi semakin parah
ketika terjadi perang
saudara selama 12 tahun sejak akhir tahun 1980-an.
Ketidakadilan, kemiskinan
rakyat dan politik kekerasan di El Salvador
ini dilawan oleh para
imam, biarawan, dan biarawati. Perlawanan mulai dari
lingkup grass root (akar
rumput) sampai lingkup akademis. Para imam dan
biarawan-biarawati
membentuk komunitas-komunitas basis dan memberi
pencerahan kepada rakyat
agar melawan rezim penyebab ketidakadilan. Para
imam yang mengajar di
Universitas Amerika Tengah menggagas teologi
pembebasan yang
berorientasi keberpihakkan kepada rakyat yang tertindas.
Dimotori Ignacio
Ellacuria dan Jon Sobrino, teologi politik yang memihak
kaum miskin bergema dan
menghantam rezim militer dan para konglomerat
kopi.
Cuiusvis hominis est
errare - setiap orang bisa berbuat salah (kutipan dari
karya Cicero, Philippica
XII,5). Pada awalnya, Romero mengambil sikap yang
salah. Ia berseberangan
dengan gerakan perlawanan itu. Di sinilah, Romero
hanya berkutat di altar
dan mimbar. Ia melayani umat dengan pelayanan
sakramental dan
ibadat-ibadat seputar altar. Ia mencambuki dirinya sebagai
silih atas dosa-dosa yang
dilakukannya. Ia mengembangkan pelayanan
karitatif seperti Santa
Claus: Ia meminta uang dari orang kaya dan diberikan
kepada orang-orang
miskin. Ia tidak masuk dalam realitas kemiskinan dan
penderitaan mayoritas
rakyat El Salvador. Sebaliknya, ia bersahabat karib
dengan para juragan dan
konglomerat kopi. Ia bahkan mengkritik para
imam yang terlibat dalam
gerakan perlawanan sebagai Neo-Marxis. Teologi
pembebasan yang
dikembangkan Ellacuria dan Sobrino dituduhnya sebagai
Kristologi baru yang
berdimensi Marxis.
Tetapi sikap itu berubah
total, setelah beberapa waktu Romero diangkat
sebagai Uskup Agung San
Salvador. Ia berubah 180 derajat. Ia mendukung
gerakan-gerakan
perlawanan yang sudah dibangun para imam sebelumnya.
Ia menantang dan menentang
rezim yang berkuasa secara terang-terangan.
Melalui
khotbah-khotbahnya yang disiarkan secara langsung saat memimpin
Misa di Gereja Katedral
San Salvador, ia mengangkat bendera perlawanan.
Tafsiran-tafsiran Kitab
Suci bercorak teologi pembebasan dikumandangkan
dengan tegas dan
konsisten dalam setiap khotbahnya: tremens et fascinats,
menggetarkan tapi
sekaligus membahagiakan.
Romero tampil sebagai
uskup yang gigih membela kaum miskin,
berhadapan dengan para
penindas di negerinya, yang juga orang kristiani
seperti dia. “Seorang
gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya
diancam ketakutan,” kata Romero di
saat ia diteror habis-habisan. Akhirnya,
perlawanan dan
pembelaannya terhadap kaum miskin-tertindas berbuah
darah. Ia mati ditembak
pasukan bersenjata ketika sedang memimpin misa
di kapel susteran pada
tanggal 24 Maret 1980. Melalui Uskup Romero,
menjadi nyata bahwa Injil
Yesus Kristus mampu mengubah hati manusia
untuk rela menempuh jalan
hidup sama dengan Yesus beserta opsinya
untuk mewujudkan Kerajaan
Allah dengan melayani orang yang miskin dan
tertindas. Kesaksian
hidup Uskup Romero sedemikian mengesankan sampai
Ellacuria, seorang Jesuit
dan pemikir teologi pembebasan mengatakan bahwa
dengan Mgr. Oscar Romero,
Allah lewat sekali lagi di tengah umat-Nya.
Refleksi Teologis
a. Salib, Saat Aku Lemah
Ingatlah Bapa
Kenapa Oscar Romero
berubah total? Apa yang menyebabkan ia berubah
begitu drastis dari sikap
diam dan hati-hati terhadap rezim yang berkuasa
dan para konglomerat
kopi, menjadi perlawanan terbuka? Pengalaman
salib, itulah jawabannya.
Yah, kematian seorang rekan imam, yakni Rutilio
Grande, membuat mata
Romero terbuka. Grande yang selama hidupnya
mengabdikan diri untuk
membangun kesadaran dan perlawanan rakyat
yang tersalib, terhadap
segala bentuk ketidakadilan, dibunuh oleh rezim
militer yang berkuasa.
Di hadapan jenazah
Rutilio Grande, Uskup Romero berikrar dengan keyakinan
mendalam, “Mereka membunuh dia karena apa yang dilakukannya, maka
saya harus berjalan pada jalan yang sama. Rutilio telah membuka mata saya.”
Ikrar
itulah yang menjadi api pembakar semangat perlawanan Romero
terhadap rezim yang berkuasa.
“Saya bersyukur bahwa Gereja kita dikejar-kejar
karena memihak kaum miskin dan karena berusaha menginkarnasikan diri
bersama kaum miskin. Betapa sedih kita jika di negeri
di mana pembunuhan kejam
terjadi, tiada imam yang menjadi korban. Imam
yang terbunuh adalah
saksi bahwa Gereja sungguh menginkarnasikan diri
dalam problem umatnya,” katanya lebih
lanjut.
Apakah solidaritas dengan
“rakyat tersalib”, akan membuat Gereja
kehilangan identitasnya?
Sebaliknya, solidaritas dengan mereka akan
membimbing Gereja untuk
memahami identitasnya secara lebih baik, yaitu
sebagai tanda Kerajaan
Allah dalam sejarah. Identitas itu kita temukan ketika
kita memilih berpihak
pada Allah yang mencintai setiap orang dan berpihak
kepada korban.
Gutierrez, seorang teolog
pembebasan lain, juga pernah
menegaskan bahwa cinta
akan Allah dan komitmen pada mereka yang
tersalib merupakan elemen
sentral dalam pengalaman mereka yang percaya
pada Allah kehidupan.
Cinta akan Allah dan komitmen pada mereka yang
tersalib itu kita hidupi
dalam solidaritas dengan mereka yang kecil lemah
miskin dan tersingkir. Ia
mengkritik hidup keagamaan yang tidak berkontak
dengan realitas dan
ketidakpedulian pada orang miskin. Solidaritas kita
dengan rakyat tersalib
memberikan dasar kuat untuk berbicara tentang Allah.
Allah yang juga melewati
sebuah jalan salib untuk mengalami kebangkitan
paskah. Lewat pengalaman
Romero inilah, kita semakin mengerti makna
salib, yakni “saat aku
lemah ingatlah bapa.”
b. Mati, Mohon Allah
Tambahkan Iman
Tentang Romero, Ignacio
Ellacuria menulis:
“Tudung yang menyelubung kebenaran terhadapnya
tersobek dan kebenaran baru mulai menguasai seluruh hidupnya. Penyebabnya
bukan keinginan sadar untuk berubah, tetapi lebih merupakan suatu
transformasi yang menimpanya. Ia sadar akan apa yang
sebelumnya tidak
dilihatnya, biar pun ada kehendak baik dan tekad kuatnya,
terlepas dari waktu yang
dihabiskannya untuk berdoa, terlepas dari imannya
yang benar, terlepas dari
kesetiaannya terhadap ajaran Gereja dan Vatikan.
Terang telah menguasainya
dan membentuknya kembali. Bukan bahwa ia
berubah berdasarkan
dorongan batinnya sendiri atau mencari kejelasan dengan
dayanya sendiri,
sebaliknya ia melihat sesuatu, melihat sesuatu yang secara
objektif baru dan hal itu
mengubahnya.”
Romero tampil sebagai
orang yang berani mati. “Mati” di sini bisa juga
berarti Mohon Allah
Tambahkan Iman. Saya meyakini bahwa faktor yang
paling mendukung Romero
berani bersikap radikal adalah karena imannya.
Iman yang dimohonkannya
dari Allah sendiri. Baiklah kalau kita juga
melihat kembali pelbagai
intisari surat-surat gembalanya yang berupaya juga
menambahkan iman bagi
semua umatnya.
Dalam Surat Gembalanya
yang pertama, Oscar Romero melontarkan
gagasannya tentang iman
Gereja Paskah. Gereja hidup bukan hanya untuk
dirinya sendiri, tetapi
Gereja berusaha untuk melayani Tuhan dengan
menyelamatkan dunia.
Gagasan tentang Gereja dipertajam lagi dengan
munculnya Surat Gembala
yang kedua (Agustus 1977). Baginya, Gereja
adalah Tubuh Kristus di
dalam Sejarah. Gereja adalah Kristus yang memenuhi
misinya untuk
menyelamatkan dunia melalui anggota-anggotanya.
Implikasinya, Gereja
harus bertindak sesuai dengan apa yang diimaninya,
yang dilakukan Kristus
sendiri, yaitu untuk mewartakan Kerajaan Allah
kepada manusia dan secara
khusus kepada orang miskin. Oleh karena
itu, Gereja mesti
menentang segala bentuk dosa, seperti ketidakadilan
dan kekejaman yang
terjadi dalam masyarakat. Gereja wajib mewartakan
Kerajaan Allah kepada
semua orang miskin. Tetapi mewartakan kerajaan
Allah bagi orang miskin
di El Salvador berarti mendukung usaha mereka
untuk membebaskan diri
dari struktur ketidakadilan. Pembebasan dari
kemiskinan, penindasan,
keterasingan, dan perampasan hak-hak mereka.
Gereja perlu mendukung
usaha pembebasan mereka.
Kemudian dalam Surat
Gembalanya yang ketiga (1978), Romero
berbicara tentang
hubungan Gereja dengan Organisasi Politik Populer
yang berkembang di antara
kalangan petani.1 Organisasi yang dibicarakan
Romero ini telah dimulai
sekitar 1960 dan ketika Oscar Romero menjadi
uskup, organisasi
tersebut semakin menguat dan berusaha mengadakan
perubahan politik. Mereka
mengorganisir orang miskin dan mengajarkan
politik kepada mereka.
Kerap kali organisasi-organisasi itu menggalang
sejumlah aksi protes
terhadap ketidakadilan dan penindasan yang terjadi
di El Salvador. Melalui
Surat Gembalanya yang ketiga ini, Oscar Romero
memberikan beberapa
prinsip tentang hubungan Gereja dengan Organisasi
Politik Populer. Ia
menyebutkan tiga prinsip.
1.
Misi Gereja secara khusus bukan terletak dalam bidang politik,
ekonomi,
ataupun sosial. Misi
Gereja bersifat keagamaan. Tetapi dari misi tersebut
muncullah tugas,
terang, dan daya kekuatan yang dapat membentuk
dan meneguhkan
masyarakat manusia menurut Hukum Ilahi.
2.
Sifat dasar Gereja adalah membangun komunitas.
Komunitas-komunitas
akar rumput yang tumbuh
di antara orang miskin adalah dasar Gereja.
Gereja mempunyai misi
untuk melayani manusia. Gereja tidak
memihak pada salah satu
organisasi politik mana pun, tetapi ia dapat
memberi konsiderasi
akan seluruh tujuan dan mekanisme dari partai
dan
organisasi-organisasi politik. Gereja mendukung segala sesuatu yang
baik dan adil, tetapi
pada kesempatan yang sama Gereja akan mencela
segala bentuk
ketidakadilan yang terjadi di dalam organisasi mana pun.
3.
Gereja harus menerangi setiap usaha dari organisasi untuk
pembebabasan
dengan cahaya iman dan
harapan Kristiani, serta visi pembebasannya
yang integral.
Pembebasan itu melibatkan semua orang, dalam semua
dimensinya, termasuk
keterbukaannya akan Tuhan. Pembebasan itu
berpusat pada Kerajaaan
Allah. Pembebasan memerlukan perubahan
hati dan pikiran.
Pembebasan struktur masyarakat belumlah
cukup. Pembebasan tidak
perlu kekerasan karena kekerasan pada
prinsipnya bertentangan
dengan Injil dan semangat hidup Kristiani.
Setahun kemudian
muncullah Surat Gembala yang keempat. Pada surat
Gembala ini, Romero
berbicara tentang misi Gereja dalam situasi krisis
Negara. Dalam terang
konferensi Puebla dan krisis politik yang terjadi di
El Salvador, Romero
menambahkan refleksi baru tentang apa yang telah
ditulisnya dalam Surat
Gembala sebelumnya. Gereja mempunyai misi untuk
mewartakan kerajaan Allah
di tengah situasi krisis El Salvador.
Selanjutnya, Oscar Romero
semakin kuat dalam menyuarakan hak dan
martabat kaum miskin.
Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan ke
seluruh negeri, Oscar
Romero berusaha melawan kekerasan yang dilakukan
oleh penguasa. Ia
sering mengkritik dan mengutuk setiap ketidakadilan
dan penyelewengan yang
terjadi di El Salvador. Ia secara terang-terangan
menyampaikan kritik dan
kutukannya.
Dalam sebuah wawancara
dengan Prensa Latina2, Oscar Romero sangat mendukung
organisasi-organisasi yang tumbuh di kalangan rakyat. Romero percaya
bahwa organisasi-organisasi rakyat adalah kekuatan yang sedang
memperjuangkan hak-hak mereka dan akan
membangun sebuah
masyarakat sejati. Organisasi-organisasi itu pasti akan menggantikan sistem
masyarakat dan pemerintahan yang terjadi di El Salvador. Maka
menurutnya, organisasi itu harus tetap ada dalam masyarakat supaya proses
pembebasan tetap terjadi.
Dalam perjalanan
selajutnya, Oscar Romero juga pernah membuat sebuah surat kepada
Presiden Jimmy Carter agar pemerintahan Amerika Serikat tidak
lagi mengirimkan bantuan militer dan campur tangan dalam pengambilan
kebijaksanaan di El Salvador. Keberanian
Oscar Romero telah
membawa dirinya dalam posisi terancam. Ia menyadari betul akan
setiap ancaman yang mungkin dapat terjadi sebagai konsekuensi dari
tindakannya. Akan tetapi, Oscar Romero sendiri tidak pernah
takut karena dia memiliki iman. Romero yakin
kalau mati terbunuh,
pasti semangatnya akan bangkit di antara rakyat El Salvador.
Menjelang akhir hidupnya
Oscar Romero mengajak, memohon, dan
memerintahkan kepada semua jajaran tentara untuk menghentikan penindasan
dan menghiraukan setiap perintah atasanuntuk membunuh. Oscar
Romero mengajak semua jajaran tentara untuk mengingat kembali
Hukum Tuhan.
“Saya
ingin menyampaikan suatu seruan khusus kepada semua anggota
tentara
… Saudara-saudaraku, masing-masing orang dari Anda sekalian
adalah
salah seorang dari kami juga. Kita adalah sama-sama rakyat. Para
petani
yang kalian bunuh adalah saudara-saudaramu sendiri. Kalau kalian
mendengar
suara seseorang yang memerintahkan untuk membunuh,
maka
sebagai gantinya segeralah ingat pada suara Tuhan: ‘Kau tidak
boleh
membunuh!’ Hukum Tuhan mesti berlaku. Tidak ada serdadu yang
diwajibkan
mematuhi suatu perintah yang bertentangan dengan hukum
Tuhan.
Masih ada cukup waktu bagi kalian untuk mematuhi kata hati
nurani
kalian sendiri, bahkan ketika menghadapi perintah penuh dosa untuk
membunuh
… Atas nama Tuhan, atas nama rakyat kita yang teraniaya, yang
tangis
mereka membumbung tinggi sampai ke surga, saya memohon kepada
Anda
sekalian, saya meminta Anda sekalian, saya memerintahkan Anda
sekalian:
HENTIKAN PENINDASAN INI!”
Epilog
Dalam khotbahnya dalam
Perayaan Ekaristi Penahbisan Mgr. J. Pujasumarta, Pr.
sebagai Uskup Bandung,
Mgr. Suharyo, Pr. mengatakan, “Untuk membangun sebuah
komunitas diperlukan
seseorang untuk menjadi martir: menjadi roti yang dipecahpecah,
ikan yang dibagi-bagi
untuk mewujudkan cita-cita Gereja mewujudkan
sebuah komunio.” Sebagai
seorang Uskup Agung, Oscar Romero menjadi martir
dengan motonya Sentir
con la Iglesia4 juga dengan semangat kenabiannya. Ia jelas
ingin menjadi satu
pikiran dan hati dengan Gereja. Lewat figur Romero, tampak
jelaslah bahwa hakikat
Gereja yang satu itu merupakan pemberian Allah, sekaligus
tugas yang belum selesai.
Pemberian itu memiliki
dimensi yang belum selesai, janji,bahkan dimensi
eskatologis. Hakikat Gereja yang bersatu itu tidak hanya harus dibagikan, melainkan juga
harus dicari, terutama ketika berinteraksi dengan pihak lain. Gereja ikut serta
dalam riuh rendah untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang mengatur hajat hidup
orang banyak. Konteks seperti ini memasukkan Gereja dalam sukaduka dan jerih
payah yang sering kali menghasilkan gesekan, benturan, konflik dan bahkan
meletus menjadi konflik kekerasan yang tak berujung.
Pelbagai Gereja di dunia
ketiga, yang kerap ditandai dengan kemiskinan, pelanggaran, dan
penindasan hak asasi mereka yang lemah, cinta kristiani tak bisa lagi dimengerti
hanya sebagai cinta kepada Tuhan dan sesama yang melulu personal sifatnya.
Cinta itu harus menjadi political love: cinta yang berpolitik, yang juga
sosial sifatnya, untuk membebaskan kaum miskin dari penderitaannya. Cinta
politis ini sebenarnya adalah cinta Tuhan sendiri.
Sebab sepanjang sejarah
penyelamatan, Tuhan selalu memperlihatkan diri bukan sebagai Tuhan yang
netral, tetapi Tuhan yang memihak kaum lemah dan miskin, bukan?
Romero juga pernah
bertutur, kemiskinan spiritual menjadi syarat utama
umat untuk merayakan
Natal dalam arti sebenarnya. Eros self-sufficiency,
kesombongan, kekayaan dan
subordinasi atas yang lain menjadi penghalang
utama kita merayakan
kelahiran Yesus. Romero jelas mengundang kita
untuk tidak melulu
mencari bayi Yesus di palungan indah, tetapi di antara
anak-anak yang kelaparan
dan tidur berselimutkan koran supaya cinta kita
semakin lestari.
“Menolak kekerasan itulah
satu-satunya seruannya (seruan Gereja).
Setiap kali tangan
terangkat melawan orang lain siapa pun dia,
kekerasan adalah tindakan
berdosa yang mencemari dunia.
Seruan penolakan dan
perlawanan tidak pernah menyulut nafsu balas
dendam dan kebencian
dalam Gereja …
Sebaliknya, suara Gereja
selalu menganjurkan persaudaraan yang
dibangun berdasarkan iman
dan kebenaran yang diwahyukan oleh
Allah, sebagai sumber
ilham untuk ajaran sosial.”
(Oscar Romero).
0 komentar:
Posting Komentar