Ads 468x60px

Lima Modus Imam Katolik



Lima Modus

Corpus Domini nostri Jesu Christi
custodiat animam tuam in vitam aeternam
Semoga tubuh Tuhan kita Yesus Kristus,
memelihara jiwamu sampai ke hidup yang kekal.


Archimedes, sekitar tahun 200 SM, dipanggil raja Yunani. Raja meminta Archimedes agar bisa membuktikan volume dan keaslian mahkota Raja. Suatu hari ia begitu bingung hingga mencemplungkan diri ke bak mandi yang penuh air. Waktu itu ilham pencerahan turun: bukankah volume air yang luber sama dengan volume tubuhku? Ia menemukan rumus ‘Berat Jenis’ guna menjawab tantangan Raja. Ia segera meloncat dari bak mandi dan berlari kegirangan sambil berteriak-teriak, ’Eureka, eureka, eureka!’ (sudah kutemukan!!).

Setiap orang dalam setiap komunitas kerap berhasrat ber-“eureka”: menemukan pelbagai ‘core values’, semacam nilai dasar bersama yang melandasi isi hati (core, cordis) setiap anggotanya. Core values, nilai-nilai dasar ini membimbing para anggotanya untuk memahami apa yang paling penting, bagaimana memperlakukan orang lain dan bagaimana cara bekerja bersama. Dkl: Values atau nilai-nilai dasar ini menjadi dasar budaya sebuah komunitas, juga komunitas para imam, karena bukankah para imam adalah alter christi, tapi juga sekaligus seseorang yang terpenjara dalam kelemahan insaninya? (Ibrani 5:2). Di tengah maraknya budaya instan, sebagai akibat dari mudahnya orang untuk membuang segala termasuk nilai-nilai (throw-away society) sekarang, bisa jadi menjadi imam adalah a troubled commitment, sebuah komitmen yang menggelisahkan.

Berangkat dari hal inilah, di Wisma Erema, Cisarua, 6-8 Juni 2011, Uskup Agung Jakarta, Mgr I.Suharyo bersama dengan 40-an imam KAJ berproses bersama: mencari dan mengadakan refleksi pendalaman Arah Dasar Pastoral dan Landasan Nilai Budaya Imam KAJ yang dipandu oleh Mas Didiek Dwinarmiyadi dkk dari KOMPAS, karena bukankah tepat seperti kata Socrates, “Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak layak dijalani?”    

Menyitir semboyan Uskup Agung Jakarta, Serviens Domino Cum Omni Humilitate" ("Aku Melayani Tuhan Dengan Segala Rendah Hati", Kisah Para Rasul 20:19), muncullah sebuah core values, modus atau nilai dasar yang ditemukan dan dijadikan sebagai wajah para imam yang berkarya di KAJ, yakni: “ H A M B A ”. Bukankah Yesus sendiri telah mengosongkan diri-Nya, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia? (Filipi  2:7). Kata “HAMBA” ini sendiri merupakan sebuah akronim dari lima modus wajah imam yang mau ditampil-kenangkan, yakni: Hangat, Andal, Misioner, Bahagia dan Andil.

Modus pertama: Hangat
Dasar kehangatan adalah sebuah keyakinan bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:7-12). Hangat disini bukan sekedar keramahan kata dan kemurahan tindakan. Bukan pula sekedar kemanisan senyum dan kehangatan pandangan. Bukan pula sekedar gayeng seperti dagelan Extravaganza, lawakan Srimulat, anekdot Tukul, Sule-Parto dengan OVJ-nya, atau Charlie Chaplin dan Mr. Bean dengan kekonyolannya. Hangat itu sendiri lebih pada suatu sikap imam yang tulus dan bersahabat: akrab-dekat, mendukung, dan meneguhkan orang lain. Sikap hangat ini bisa dipetakan menjadi empat tataran sederhana: hangat terhadap Allah, diri sendiri, orang lain dan terhadap lingkungan hidup.

      Diri sendiri: menerima, merawat, mengolah dan mengembangkan potensi (rohani, jasmani) sebagai warga gereja, warga negara, warga dunia
      Orang lain: menerima dengan aktif, merawat, menolong, berlaku ramah, bersetiakawan, mengembangkan potensi, memajukan martabat, memperjuangkan HAM.
      Lingkungan: mengenal, menerima (tidak merusak), melestarikan alam, baik secara personal, sosial, maupun legal (politis)
      Allah: dekat dan mempercayai, terbuka dan terarah, bersyukur sekaligus memuliakan Allah, mengandalkan pun bertaut pada Allah, rela dibentuk oleh Allah
Buah kehangatan sendiri adalah persaudaraan sejati (Bdk: Ardas KAJ dengan tiga poros: Iman, Persaudaraan Sejati dan Pelayanan Sosial). Kehangatan itu sendiri bersumber dan berbuah pada kasih, dan bukankah “kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain (1 Kor 13: 4-5).


Modus kedua: Andal
Andal (baik dalam persaudaraan/intern, maupun  pengutusan/extern) merupakan sebuah rentangan bersambung dari availabilitas (kesiapsediaan) sampai dengan akuntabilitas (pertanggungjawaban). Setiap imam diharapkan memiliki kecakapan pastoral, serta mampu mengelola diri dengan segenap kemampuan dan kelemahan diri, peka dan tanggap jaman (bukan malahan gagap jaman). Bukankah merupakan sebuah harapan bahwa Gereja akan hadir secara nyata kalau para imamnya juga mau memper-baharui diri terus menerus (in permanent genesis). Disinilah menjadi jelas bahwa setiap imam diharapkan menjadi hamba setia, yang berkomitmen dan andal mengembangkan semua talenta. Spiritualitas yang bisa dihayati adalah: dialektis. Di satu pihak, berakar dalam hidup iman dan doa, sekaligus pada saat yang sama, dituntut dalam pelayanan yang bisa membaca tanda-tanda jaman dan bahasa masyarakat. “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hamba yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Mat 25: 21).

Modus ketiga: Misioner
Seorang imam mestinya sehati sejiwa (cor unum et anima una) dengan gerak keuskupan dan gerejanya. Mengacu pada pesan Kardinal Darmoyuwono, seorang imam (dalam hal ini: imam diosesan) adalah imamnya uskup, uskup yang tidak punya  imam ibarat macan tanpa gigi. Maka, setiap imam diharapkan: semakin berakar dalam Kristus, sang misionaris agung; semakin bertumbuh sekaligus berdayatahan dalam kesetiaan yang kreatif kepada Uskup dan pembesarnya (creative fidelity); semakin berbuah dalam karya pelayanan yang lebih bermutu dan siap sedia untuk diutus. Disinilah, bukankah menjadi tepat kata Yesus, “setiap orang yang siap untuk membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah?” (Lk 9:62).


Modus keempat: Bahagia
Pengalaman bersyukur atas rahmat imamat dan kesadaran untuk mau berbagi pengalaman syukur inilah dimensi keempat dari spiritualitas “HAMBA”. Belajar bersyukur juga dalam penderitaan dan kerapuhan, karena Tuhan sebenarnya dapat membuat para imam bersyukur tanpa sebab: benar, mengikutiMu bukan langit biru yang Kau janjikan, juga bukan bunga-bunga indah yang bertebaran, tetapi jalan penuh lika-liku, karena jalan itu pula yang pernah KAU lewati…..” Setiap imam pun diajak semakin mudah bersyukur dan takjub akan pelbagai karya Tuhan lewat umatnya, karena bukankah hati memang selalu  punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, “le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”. Jelasnya, setiap imam diajak menghayati imamat dengan bahagia dan menjalani karya dengan gembira:  Pada waktu itu mulut kita penuh dengan tertawa, dan lidah kita dengan sorak-sorai. Pada waktu itu berkatalah orang di antara bangsa-bangsa: "TUHAN telah melakukan perkara besar kepada orang-orang ini!" (Mazmur  126:2)


Modus kelima: Andil
Setiap imam diharapkan terlibat tanpa terlipat dalam pergulatan dan suka duka gereja dan dunianya. Bukankah salah satu tugas seorang imam adalah menjadi jembatan? Tentu saja yang dimaksudkan adalah menjadi jembatan antara Allah dan manusia, dan antar manusia yang membentuk Gereja. Dari peran ini lahir peran kedua yang tidak kalah penting, yakni andil/keterlibatan. Seorang imam perlu melakukan keterlibatan di tengah carut-marut kehidupan yang kerap hanya mengikuti logika kalah-menang, yang melupakan mereka yang kalah bersaing atau yang sama sekali tidak ikut dalam persaingan karena memang tak punya sesuatu. Dkl: seorang imam perlu memiliki keterlibatan sekaligus keberpihakan, karena Yesus yang memanggilnya pun mempunyai keberpihakan kepada mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Itu tak berarti seorang imam lalu melupakan yang lain. Yang lain pun didekati dan perlu selalu diyakinkan untuk terlibat dalam keberpihakan dasar kristiani ini, karena jelaslah menjadi seorang imam tidak hanya sibuk pada urusan altar (dimensi vertikal) tapi juga ikut terlibat di tengah pasar (dimensi horisontal): Conversi ad Dominem
– Mari menghadap wajah Tuhan –

Mengacu pada para Bapa Konsili, di sinilah perlu semacam concientization: penyadaran terus menerus, bahwa para imam diharapkan menjadi mediator concientization, sebuah komunitas yang menunjang dialog antara altar dan pasar, antara Gereja dan dunianya (Gravissimum Educationis 8). Hal ini dipertegas oleh pandangan Karl Rahner, dalam A Faith that Loves the Earth, 77-83, bahwa Gereja mesti terlibat dalam kenyataan harian karena benarlah Gereja tidak hanya ada di awang-awang: “Church change the world by acting on it”. Mengambil istilah Martin Buber, setiap imam harus berani mengambil keputusan untuk ‘berbalik’, mengubah arah (turning-reversal). Para imam jangan malah asyik dengan “armchair spirituality”, ongkang-ongkang kaki, puas dengan merenung-menung saja. Keberpihakan menjadi kata kunci dalam dimensi HAMBA yang kelima ini, sehingga Gereja sungguh menjadi kota di atas gunung, dan cahaya di atas kaki dian bagi dunianya (Mat 5:13).

Akhirnya, seperti pernyataan terakhir Mgr Suharyo kepada para imamnya di Erema Juni kemarin, “Bicaralah, hambamu mendengarkan,” semoga Gereja lewat para imamnya yang mau memaknai spiritualitas “HAMBA” dengan 5 modus sederhana ini, juga semakin menampil-kenangkan wajah Gereja yang mendengarkan.  Yang jelas, di situlah harapannya, In nomine Dei feliciter – dalam nama Tuhan semoga berbuah. Eureka!!!


Litani Serba Salah

Bila ia ditahbiskan terlalu muda, orang bilang, “Masih bocah koq  jadi pastor.”
Bila ia sudah tua, orang bilang, “Dia jadi pastor kan k
arena nggak laku.”

Bila ia cukup ganteng, orang bilang, “Bego amat tuh cowok! Ada kelainan j
angan-jangan.  Bila wajah tidak mendukung, orang bilang, “pelarian ya”, atau “patah hati ya

Bila ia rapih berpakaian bagus, orang bilang, “Pastor koq seperti peragawan”
Bila ia berpakaian seadanya, orang bilang, “Sering tampil koq ga bisa ngurus badan”

Bila ia naik mobil, orang bilang, “Pastor
koq tak menghayati kaul kemiskinan”
Bila ia jalan kaki ngga mau naik kendaraan, orang bilang “Pastor koq tidak menghargai waktu.”

Bila ia bergaul dengan cewek-cewek, orang bilang, “dasar ganjen”.
Bila ia bergaul dengan cowok-cowok, orang bilang “jangan-jangan dia homo

Bila ia suka bergaul dengan anak-anak
kecil, orang bilang, “Wah baik-baik sama anak kecil biar bisa mendekati ibunya.”
Bila ia suka bergaul dengan ibu-ibu, orang bilang, “Masa kecil kurang bahagia, mainnya sama ibu-ibu melulu. Masih pengen ngempeng kali!”

Bila ia suka makan, orang bilang, “Pastor kok ga bisa nahan lapar”
Bila ia makan terlalu sedikit, orang bilang, “Pastor koq ngga tahu menghargai masakan umat.”

Bila kotbahnya panjang, orang bilang, “Bikin ngantuk”
Bila kotbahnya singkat, orang bilang, “Kurang persiapan”

Bila ia tak pernah dipindah sejak tahbisan, orang bilang, “Dia memang kurang bisa dipercaya menghadap
i situasi dan lingkungan baru.”
Bila ia dipindah, orang bilang, “Ada apa ya, koq disuruh pindah sama pimpinan?”

Kalau mengikuti pendapat umat, dibilang “pastor koq tidak punya pendirian.
Kalau mengikuti pendapat sendiri, dibilang, “ah dasar pastor diktator.
Kalau keuangan paroki mepet, katanya pastornya tak pintar usaha.
Kalau ngomongin soal uang, dibilang “payah, pastor koq mata duitan.

Kalau pastor tak ada di pastoran, dibilang, “dasar suka keluyuran, jarum super-jarang di rumah suka pergi”.
Tapi kalau selalu ada di pastoran, dibilang, “walah.... pastornya kuper.

TAPI, KALAU PASTORNYA MATI, SIAPA YANG MAU GANTI?

1 komentar:

iwan mengatakan...

.semoga dijadikan renungan juga bari para awam

Posting Komentar