Ads 468x60px

Penjahat Legendaris Indonesia : (Ignatius) Kusni Kasdut

“Mantan Pejuang yang Terbuang!”

 



"… seandainya kuasa
membuka mulut mungkin akan berkata
selamat pagi indonesia…."
(“Selamat pagi Indonesia”)


Ketika saya berkarya di sebuah paroki pinggiran utara Jakarta dengan Romo Mangun sebagai arsiteknya, setiap pagi kami bersama dengan dua pastor lainnya berdoa brevir bersama di kapel pastoran dengan salib besar dari kayu yang terpampang di dinding dengan tulisan kecil hamper larut bernama “Kusni Kasdut”. Mungkin bagi beberapa orang sekarang asing sekali dengan sosok satu ini, padahal di era 1970-an, dia adalah salah satu pejahat legendaris di Indonesia. Yah, “KUSNI KASDUT”, seorang penjahat kelas kakap di Indonesia. Namanya semakin saya kenal ketika saya per-tahun 2007 mulai berkunjung dan mempersembahkan misa kudus ke beberapa penjara di kawasan Jakarta dan Tangerang serta berkenalan dengan beberapa mantan narapidana kristiani dalam upaya sederhana membentuk sebuah rumah singgah buat para mantan narapidana bernama “Rumah Socius”.

Kusni Kasdut yang bernama asli Waluyo sendiri adalah seorang anak yatim dari keluarga petani miskin di Blitar. Terlahir dengan kemiskinan yang terus menghantuinya, tanpa revolusi, mustahil dapat beristrikan seorang gadis indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan dengan nama Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih. Yah, inilah nama istri yang dicintai sekaligus dikaguminya (“amanda et admiranda”) yang melahirkan tekad bulat Kusni Kasdut untuk memperbaiki kehidupannya.

Ia mencoba mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, dan kegagalan demi kegagalan ia dapat. Untuk kesekian kalinya-berbekal pengalaman semasa revolusi ‘45-ia berusaha masuk anggota TNI, tetapi ditolak. Penolakan ini disebabkan sebelumnya ia tak resmi terdaftar dalam kesatuan. Selain itu, pada kaki kirinya terdapat bekas tembakan yang ia dapat semasa perang fisik melawan Belanda. Akibatnya, ia cacat secara fisik. Kegagalan-kegagalan tersebut membentuknya ia seolah diperlakukan tidak adil oleh penguasa waktu itu, seperti ‘habis manis sepah dibuang’. Hal tersebut menimbulkan obsesi untuk merebut keadilan dengan sepucuk pistol, membenarkan diri memperoleh rejeki yang tak halal. Terlebih lagi membiarkan anak dan istrinya terlantar. Bersama teman senasib dan seperjuangan yang tak ada harapan untuk menyambung hidup, Kusni pun akhirnya merampok.


Berbekal sepucuk pistol, tahun 1960-an, Kusdi bersama Bir Ali merampok dan membunuh seorang Arab kaya raya bernama Ali Badjened. Ali Badjened dirampok sore hari ketika baru saja keluar dari kediamannya di kawasan Awab Alhajiri, Kebon Sirih. Dia meninggal saat itu juga akibat peluru yang ditembakkan dari jeep. Peristiwa ini sangat menggemparkan ketika itu, karena masalah perampokan disertai pembunuhan belum banyak terjadi seperti sekarang ini. Adapun Bir Ali adalah tangan kanan Kusni Kasdut, anak Cikini Kecil (yang sekarang ini letaknya di belakang Hotel Sofyan). Bir Ali, yang juga menjadi pembunuh Ali Bajened bersama Kusni Kasdut di Jalan KH Wahid Hasyim, bernama lengkap Muhammad Ali. Dia mendapat gelar Bir Ali karena kesukaannya menenggak bir, ia akhirnya tewas dalam tembak menembak dengan polisi.

Pada masanya emasnya, Kusni Kasdut juga adalah penjahat spesialis “barang antik”. Pada tanggal 31 Mei 1961, Ibukota Jakarta dibuat geger, dimana terjadi perampokan di Museum Nasional Jakarta (Gedung Gajah). Bak sebuah film, Kusni yang menggunakan jeep dan mengenakan seragam ala polisi, menyandera pengunjung dan menembak mati seorang petugas museum. Dalam aksi ini, ia berhasil membawa lari 11 permata koleksi museum tersebut. Kusni Kasdut menjadi buronan terkenal. Sekian tahun menjadi buronan, Kusni Kasdut tertangkap ketika mencoba menggadaikan permata hasil rampokannya di Semarang.

Mengacu pada pelbagai catatan lepas dan kesaksian beberapa orang, ddipaparkan bahwa pada awalnya, Kusni Kasdut adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia pada masa revolusi, namun seiring waktu, kehidupan nyatalah yang menjungkir balikkan seorang Kusni Kasdut. Kusni sendiri sempat dijuluki “Robin Hood” Indonesia, karena ternyata hasil rampokannya sering di bagi – bagikan kepada kaum miskin di sekitarnya. Saat-saat terakhir Kusni Kasdut dipenjara pernah dijadikan lagu oleh kelompok band “God Bless” dengan judul “Selamat Pagi Indonesia” di album “Cermin”. Adapun lirik lagu ini ditulis oleh Theodore KS, wartawan musik dari Koran Kompas yang memang jost dalam membuat lirik lagu.

Ada sisi lain yang belum diketahui publik, kenapa Kusni Kasdut memilih menjadi perampok? Dia sangat kecewa dengan republik, utamanya para pejabat/penguasa pada waktu itu. Dia kecewa karena sebagai bekas tentara Heiho, dia merasa ditinggal dan tidak diperhatikan, padahal dia pernah berjuang untuk memerdekakan Republik Indonesia. Intinya dia merasa diperlakukan tidak adil oleh penguasa pada saat itu. Teman-temannya banyak yang diangkat menjadi polisi, tentara, dan lain-lain. Sementara dia mencari pekerjaan sangat susah, akhirnya Kusni memutuskan menjadi penjahat sebagai balas dendam atas itu semua. Kemampuan legendaris yang dia miliki adalah, Kusni Kasdut mampu melarikan diri dari penjara mana pun. Dia tercatat kabur dari penjara sebanyak tujuh kali (Bdk: Jack Masrene, salah seorang penjahat legendaris Perancis, tercatat berhasil kabur dari penjara sebanyak lima kali). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa Kusni Kasdut tertangkap karena anaknya yang menyuruhnya untuk menyerah, jadi bukan karena tertangkap. Ada juga yang menceritakan bahwa Kusni Kasdut itu pada awalnya kebal dari berbagai macam senjata.

Sudarto, penasehat hukum Kusni Kasdut pernah mengatakan dalam pembelaanya : ”Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang,” dan ”Nafsu tidak bisa dibendung dengan ancaman”. Kusni Kasdut sendiri pada saat sedang menunggu keputusan atas permohonan grasinya sempat melarikan diri kemudian dapat ditangkap kembali dan akhirnya menjalankan pidana matinya. Ia menjalani hukuman mati di depan regu tembak pada 16 Februari 1980.

Sebelum ajal menjemputnya, Kusni sendiri memutuskan menjadi pengikut setia Katolik setelah berkenalan dengan seorang pastor yang menyentuh hatinya secara pribadi. Kusni Kasdut mengkspresikan rasa cinta pada agamanya tersebut dengan membuat beberapa karya seni selama di penjara. Ia juga pernah membuat sebuah lukisan yang merupakan ekspresi iman, yang terbuat dari gedebog pohon pisang. Setelah lukisan gedebog pisang itu selesai, sebagai tanda terima kasihnya, Kusni Kasdut memberikan lukisannya itu kepada Gereja Katedral, Jakarta. Beberapa hari setelah itu, Kusni Kasdut ditembak mati Dalam lukisan tersebut, tergambarlah dengan rinci Gereja Katedral lengkap dengan menara dan arsitektur bangunannya yang unik,bisa jadi sampai sekarang masih tersimpan rapi di Museum Gereja Katedral Jakarta.

Begitulah akhir dari riwayat perjalanan Ignatius Kusni Kasdut, yang pada masa perjuangan, ia adalah seorang pemuda yang simpatik, ramah, juga sangat pendiam. Ia adalah seorang mantan pejuang revolusi yang baik. Memang sejarah kadang penuh ironi, dimana revolusi memakan anaknya. Dengan tegar, Ia menjalani hukuman mati di depan regu tembak pada 16 Februari 1980. Di atas makamnya hanya tertulis: “Ignatius Waluyo” . Nama hitamnya, Kusni Kasdut, telah lama dinyatakannya sendiri habis. Yang hendak ditinggalkan hanyalah nama baptis. Itu adalah semacam simbol dia bukan manusia yang dulu pernah mengumbar kejahatan dengan tidak semena-mena, tapi seorang manusia biasa yang mati dalam iman. Dan ia tidak bergurau, di muka rumah penjara Kalisosok sebelum berangkat ke tempat eksekusi, ketika ia berkata: “Semoga dalam perjalanan terakhir saya ini tidak ketemu setan … Haleluya… Haleluya…!”

Tiga buah peluru tepat mengenai jantungnya dan lima yang lain di sekitar perutnya. Tugas 12 orang dari regu tembak polisi pagi itu, 16 Februari sekitar jam 04.35, selesai sudah: Ignatius Kusni Kasdut, 52 tahun dinyatakan telah menjalani hukuman ditembak sampai mati. Waktu itu di langit bersinar tigaperempat rembulan malam ke-18. Di cakrawala sebelah utara nampak pijar-pijar kilat yang tak berbunyi. Nasib Kusni telah ditentukan, sejak Presiden Soeharto menolak permohonan grasinya.

Kelakuannya juga baik sebagai narapidana teladan di Cipinang. Dan ia sendiri berharap mendapat pengampunan. Tapi hukuman bagi kejahatan yang pernah dibuatnya memang, seperti katanya sendiri, sudah tidak tertanggungkan lagi. Ia dipidana mati bagi kejahatannya membunuh anggota polisi di Semarang. Ia dihukum penjara seumur hidup untuk nyawa Ali Bajened. Ia divonis 12 tahun penjara untuk lakonnya memimpin perampokan berlian di Museum Nasional. Dan ia diganjar 5 tahun untuk kejahatannya — yang pertama — menculik seorang dokter.

Selama sebagai narapidana, Kusni juga sudah berkali-kali berusaha lari dari penjara dan tempat tahanan polisi. Hanya tiga kali ia gagal. Demikianlah, Kusni Kasdut dipanggil dari sel ke-5 blok B-II penjara Kalisosok (Surabaya) untuk diberitahu tentang penolakan grasinya oleh Presiden. Tak ada yang bisa meraba apa yang ada dalam pikirannya. Tapi petugas penjara melihat ia kembali ke selnya dengan langkah yang biasa-biasa saja. Tidak kaget? Kecewa? Mungkin. Sebelumnya Kusni sudah juga diberitahu: akhir hidupnya ditentukan pemerintah. Upaya hukum, seperti “amnesti” yang masih diharapkannya, tentu saja tak mungkin bisa diperolehnya.
 
Keinginannya terakhir hanya ia mau duduk di tengah keluarganya. Itu terpenuhi. Sembilan jam sebelum diantar pergi oleh tim eksekutor, di ruang kebaktian Katolik di LP Kalisosok Kusni Kasdut dikelilingi keluarganya: Sunarti (istri keduanya), Ninik dan Bambang (anak dari istri pertama), Edi (menantu, suami Ninik) dan dua cucunya, anak Ninik. Itulah jamuannya yang terakhir-dengan capcai, mi dan ayam goreng. Tapi rupanya hanya orang yang menjelang mati itu yang dengan nikmat makan. Kusni, kemudian, memeluk Ninik:
“Saya sebenarnya sudah tobat total sejak 1976,” katanya, seperti direkam seorang pendengarnya. “Situasilah yang membuat ayah jadi begini. Sebenarnya ayah ingin menghabiskan umur untuk mengabdi kepada Tuhan” , Tapi waktu terlalu pendek". Ninik dan yang lain menangis. “Diamlah,” lanjut ayahnya, “Ninik ‘kan sudah tahu, ayah sudah pasrah. Ayah yakin Tuhan sudah menyediakan tempat bagi ayah. Maafkanlah ayah.” Kedua cucunya, Eka dan Vera, mulai mengantuk. Kusni banyak berpesan, misalnya agar keluarganya saling mengunjungi. Ia juga meminta kerelaan Edi, menantunya, agar menyekolahkan Eka dan Vera di sekolah Katolik. “Syukur kalau salah seorang di antaranya bisa ada yang menjadi biarawati.”

Lalu acara pemakaman juga dibicarakan. Mereka sepakat mengajukan permohonan agar jenazah dikuburkan di Probolinggo (Jawa Timur). Di saat terakhir Kusni menyerahkan sebuah bungkusan coklat kepada Bambang. Isinya sepotong kemeja safari, hem lengan panjang dan dua buah celana panjang. Pesan penghabisan sederhana, seperti urusan bisnis agar honor dari penerbit Gramedia, untuk riwayat hidup yang dibukukan oleh pengarang Parakitri, agar diurus.

Itu, kata Kusni, “merupakan persembahan terakhir bapak kepada anak-cucu.” Lalu keluarga itu berpisah. Di malam menjelang ajal, Kusni hanya duduk dekat terali besi, merokok kretek, mengobrol dengan sipir, dan sekali-kali berdoa kepada Yesus dan Bunda Maria. Ketika tim eksekutor menjemputnya, sekitar jam 03.00, Kusni masih tetap berjaga. Ia menolak mandi pagi. Setelah menyalami petugas yang selama ini mengurusnya, Kusni pun diiring meninggalkan selnya. Di muka penjara menunggu dua orang polisi: Kol. Pol. Harsono dan Mayor Pol. Sujono. Mereka adalah petugas yang menangkapnya setelah sebulan melarikan diri dari penjara Lowokwaru di Malang. Mereka memeluk dan mencium Kusni. Lalu dua buah mobil polisi pun memimpin iring-iringan 17 mobil meninggalkan Kalisosok. Banyak yang menyangka hukuman mati bagi Kusni Kasdut akan dilaksanakan di Pantai Kenjeran sebelah timur kota. Ternyata rombongan menuju barat laut.

Di sekitar 8 km sebelum Gresik, iringan berhenti. Rombongan turun dari kendaraan dan berjalan kaki menuruti pematang-pematang tambak, untuk mencapai tanah yang agak datar berpohon rimbun dekat Selat Kamal. Di situ, segala sesuatunya telah siap. Kusni terpancang di sebuah tiang dengan sehelai kain menutupi mukanya. Seorang pastor ikut membimbingnya berdoa. Lalu “Amin”. Dan peluru menggelegar. Finita est! Tuhan, selesai sudah

0 komentar:

Posting Komentar