Ads 468x60px

“Danti Kukulwati”

Ini hanyalah sebuah dongeng yang biasa dikisahkan anak-anak kepada ibunya sebelum sang ibu merebahkan tubuhnya di peraduan. Dan, pelan-pelan—sambil memeluk boneka kesayangan—sang ibu hanyut dalam lelap impian.

“kepada ibu, kau hanya menceritakan dongeng tentang negeri-negeri yang jauh dan dingin bersalju: cinderella, thumbelina, Alice in wonderland, emperor’s newsuit dan lady mermaid. Tidak adakah dongengan indah tumbuh dari negeri tropis yang hangat, Nak?”

“Negeri-negeri jauh, salju dan laut biru selalu menyimpan eksotisme tersendiri, Bu. Sementara negeri tropis lebih banyak menyimpan sejarah berdarah. Justru karena kita begitu dekat dengannya. Tetapi jangan risau Bu, karena keindahan adalah milik semesta. Ia ada di mana-mana. Di negeri dingin bersalju atau di negeri permai dengan nyiur melambai. Bukankah wangi bunga-bunga padma juga lebih sering ditemukan di atas lumpur rawa-rawa?”

“Kalau begitu ceritakanlah keindahan itu padaku,Nak”

Maka demikianlah, anak itu bercerita kepada ibunya, meskipun tak yakin bahwa ceritanya mengandung keindahan seperti yang diharapkan oleh ibunya.

Konon, pada zaman ini ada seorang gadis yang mencintai wajahnya sendiri. gadis itu bernama Danti Kukulwati. Ia seorang gadis biasa—tentu saja—seperti gadis-gadis lain pada umumnya. Ia bukan peri, bukan puteri atau permaisuri—seperti yang sering digambarkan oleh dongeng-dongeng Parsi—meski ia cantik. Danti seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di kota gudeg. Sebagai mahasiswi, Danti cukup pintar dan rajin kuliah. Ia jarang membolos. Tetapi hari ini Danti tidak masuk kuliah, gara-gara ada jerawat tumbuh di hidungnya yang mungil. 

Jerawat itu berwarna merah, di tengahnya ada putih serupa mata kecebong. Dan, Danti sangat membencinya. Ia seperti sepercik noda pada putih susu sebelanga. Sepucuk duri pada kenyal daging wajahnya Ia tak habis pikir bagaimana jerawat itu bisa tumbuh di sana. Padahal, ia rajin mencuci wajahnya dengan facial foam anti acne. Karena ia menggunakan minyak filma anti kolesterol, ia jarang makan makanan berlemak dan berminyak, apalagi makan kacang atom yang konon dapat membuat jerawat tumbuh lebat. Pokoknya segala cara telah ia lakukan demi menghindari tumbuhnya jerawat sialan itu. Toh jerawat itu datang juga. Tepat di ujung hidungnya. Danti merasa dikhianati entah oleh siapa. Mungkin oleh tubuhnya sendiri. 

Ia berpaling kepada cermin dan memandangi wajahnya seberang sana. “Aku masih begitu belia. Mungkin sekarang ini sedang cantik-cantiknya.” Danti memandangi bagian tubuhnya satu persatu. Rambutnya, seperti rambut bintang iklan shampoo pantene pro-V: lurus, hitam dan panjang. Matanya bening, sebening AQUA, yang berasal dari air telaga tempat para pengembara membasuh muka dan melepaskan dahaga. Bibirnya merah, semerah manggis terbelah dan model iklan lip-ice. Dagunya, pipinya, dadanya, lentik lembut bulu matanya dipoles Avon komestik. Semua memang nyaris sempurna. 

“Tak dapat tiada pemiliknya pasti seorang peri yang baru turun dari surga”. Begitulah Danti sepakat dengan kesimpulannya sendiri. Ia masih mengagumi wajahnya di depan kaca. Persis seperti Narciscus memandangi wajahnya yang mengambang dipermukan kolam dan kemudian tercebur ke dalamnya. Tapi Danti tidak tercebur ke dalam cerminnya. Ia hanya merasa getir ketika pandangnya tertumbuk pada sebutir jerawat di hidungnya. Tak adakah kecantikan yang sempurna, sehingga setiap keindahan harus dibuntuti oleh bayang-bayangnya. Kecantikan selalu dibayangi ketuaan. Dan, keabadian dibayangi kesementaraan. Atau Tuhan takut tergoda seandainya di atas bumi ini ada manusia yang cantik begitu rupa sampai membuatNya tak sempat memejamkan mata atau sejenak lupa mengatur peredaran planet, komet dangerak semesta. Danti menyadari bahwa kecantikannya tak mungkin abadi. Sungguh pun ia ingin selalu menunda perjalanan usia menuju kutub bernama tua. 

“Akh, seandainya kau tidak pernah ada,” katanya kepada jerawat, ”tentu aku akan lebih bahagia. Aku akan merasa lebih berharga. Dengan rasa percaya diri, aku akan kuliah tiap hari, duduk di bangku paling depan, mendengarkan kuliah dengan cermat dan, dan….” 

Danti mengeluhkan nasibnya tapi seseorang yang di dalam kaca itu diam saja. Malah seperti ingin memalingkan muka. Danti merasa kesal. Ia ingin memecah cerminnya. Tetapi diurungkannya. Ia melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur, tetapi bukan untuk tidur. Di dinding tergantung sebuah jam seiko kinetik. Detik-detik waktu terus berjalan tapi tidak pernah merasa bosan dan tak perlu merasa tua. Biarpun usianya mungkin lebih purba dari semesta. Ia mencatat setiap kejadian di dunia. Dan, dengan rasa bangga sekaligus terluka mengamati segala perubahan-perubahan yang ada. Perubahan tentang cara manusia memandang dirinya. Tentang cara wanita memandang kecantikannya. Danti merasa iri pada jam dinding itu atau pada waktu yang bersemayam di situ. 

Danti menerawang. Pandangan matanya tersebar di langit-langit kamar. Tiba-tiba telinganya menangkap suara hujan, suara burung menyanyi atau merintih mencari persembunyian di bawah rimbun dedaunan. Suara yang begitu biasa tapi mendadak terasa lain di telinganya. Ia baru sadar bahwa sejak meninggalkan kampungnya setahun yang lalu, ia menjadi begitu sibuk dengan kuliah, dan bukan kuliah. Di kepalanya, berjejal diktat-diktat pengetahuan. Di matanya, tergambar iklan-iklan kecantikan. Di telinganya, terdengar musik hip-hop, pop, dangdut sampai hingar bingar cafe dan diskotik. Dan, tidak ada tempat untuk ricik hujan, desir angin, hawa dingin pegunungan dan kicau burung di pepohonan. 

Suara hujan itu mengantarkannya pada sebuah kenangan saat ia masih kanak-kanak dan suka bermain di bawah hujan. Mendengarkan bunyi ‘tik-tik-tik’ di atas genting. Atau, berjingkrak-jingkrak kegirangan sambil kedua tangan berusaha menangkap tetes-tetes hujan. Dan ibu menanti di depan pintu dengan segenap amarah. Lalu meluncurlah berbagai nasihat dan ceramah bahwa bemain hujan dapat menyebabkan demam, pakaian kotor dan ibu harus banyak mencuci dsb dsb. 

Ibu…..Tiba-tiba Danti rindu pada ibunya. Ibunya seorang perempuan desa yang sederhana, yang menganggap kecantikan fisik bukanlah sesuatu yang utama, “kelembutan jiwa dan kehalusan budilah yang utama. Bunga-bunga boleh saja punya mahkota warna-warni yang membuatnya cantik bak peri dari negeri mimpi, tetapi hakikat sebuah bunga terletak pada bijinya. Pun wanita. Boleh saja ia berwajah cantik, berkaki panjang, berleher jenjang, berdada besar dsb-dsb, tetapi hakikat wanita ada di rahimnya karena di sanalah ia mengandung dan merawat kehidupan, karena dari sanalah terpancar aura keibuan.” Begitulah suatu hari ibunya pernah berpesan. 

Sejenak Danti teringat pada nasihat yang telah ia lupakan bahkan mungkin dianggapnya tak pernah ada dalam kehidupan. “Ibu perempuan terbaik yang pernah kukenal. Seutuhnya ia memenuhi kriteria keibuan. Hanya saja, ia tak pernah tahu betapa menderitanya wanita yang punya jerawat di wajahnya”, dan nasihat ibunya kembali terbang di udara. Ini bukanlah satu gejala yang patut dirisaukan. Karena ini adalah zaman ketika para ibu tak lagi berhak mendidik anak-anaknya. Pendidikan telah 100% bahkan lebih diserahkan kepada televisi, radio, iklan, fashion, mall, dan teman-teman sebaya. Karena itu, tidak taat pada nasihat orang tua bukanlah suatu kejahatan yang harus diancam dengan hukuman apalagi sampai dituduh sebagai dosa yang ujung-ujungnya adalah neraka. Toh anak-anak telah lama amnesia pada kosakata purba nan kadaluwarsa seperti dosa, neraka, durhaka apalagi dongeng sekelas Malin Kundang. 

Pun Danti yang tadinya anak sederhana dari sebuah desa kecil yang namanya tak ada dalam peta, yang suka bermain di kali tanpa sandal dan dengan kaki korengan, kini telah menjadi mahasiswi yang merasa harus selalu tampil modis dan trendy, yang menjadi tidak percaya diri hanya karena ada jerawat diwajahnya. Sejak kapan manusia harus memuja-muja keindahan raga? Dan kenapa wanita harus berjuang keras untuk mendapatkan kecantikan sempurna yang toh akan hancur juga. 

“Suatu saat, Ti” tiba-tiba Danti mendengar lagi suara ibunya seperti dikabarkan oleh angin dari sebuah tempat teduh nun jauh disana “kecantikan harus menyerahkan diri kepada usia. Kau pikir kau bisa memilih untuk tidak menjadi tua, keriput dan berwajah menyeramkan? Karena itu, Ti, tak ada artinya berjuang keras hanya untuk sesuatu yang kau tahu akan sia-sia. Bukannya ibu menyuruhmu untuk meremehkan tubuhmu. Ibu bangga punya anak gadis yang ayu rupawan dan tetap perawan sampai malam pertama pernikahan. Namun, ibu lebih bangga lagi mempunyai anak gadis yang baik hati dan berbudi luhur, yang tahu tata krama dan sopan santun”

“Bagaimana mungkin aku—seorang wanita—tidak memperhatikan penampilan, sementara banyak teman pria merasa harus selalu rapi dan wangi, harus rajin ke salon, creambath, rebonding, cukur kumis, cukur jenggot, cukur alis, memotong kuku alias pedicure-manicure,, memakai parfum, …” protes Danti tetapi cukup dalam hati.

Ibu tak pernah sekolah. Ia hanya berteman dengan perabot rumah tangga dan sayur-sayuran serta padi menguning di sawah. Tapi kenapa tiba-tiba ia menjadi pembela mazhab platonis dan Augustinian yang begitu memuja jiwa. Sementara zaman telah sempurna berputar haluan. Orang-orang lebih memuja keindahan raga dan segala yang dapat disentuh dan dinikmati dengan indera. Bukankah badan juga cermin dari jiwa? Aku merawat tubuhku sebagai sebentuk penghormatan kepada hidupku. Danti seperti menemukan apologia atas perilakunya. Danti kembali menghadap cerminnya. Bayangan yang di seberang sana menatapnya begitu rupa sampai Danti merasa tersakiti olehnya. Tatapan itu seperti menelanjanginya, menjadikan dirinya sebuah objek. Tatapan itu tepat menghujam ujung hidungnya tempat di mana jerawat sialan itu bertahta. Begitu juga ia bayangkan pandangan orang-orang yang nanti bertemu dengannya. Dan Danti tidak masuk kuliah selama beberapa hari. Sampai jerawatnya telah pulih benar dan ia bisa berangkat kuliah dengan wajah berbinar.

Teman-teman, dongeng ini, sebenarnya, belumlah tamat. Tetapi si anak telah mulai mengantuk karena itu ceritanya mulai tidak karuan dan agak hilang imaginasi puitiknya. Sedangkan sang ibu sudah sejak tadi terlelap. Mungkin ia sudah bermimpi tentang negeri jauh yang penuh bunga warna-warni saat musim semi atau sebuah negeri tropis yang hangat dan tanahnya sangat subur sehingga nyaris seluruhnya adalah hutan lebat. Atau barangkali sebuah negeri baru, bekas negeri tropis yang telah kehabisan hutan dan tinggal bangunan-bangunan tinggi menjulang—seolah ingin menyembunyikan kemiskinan. 

Apa boleh buat. Dongeng ini harus diakhiri meski belum tamat. Toh dongeng ini bukan satu-satunya. Di dunia ketiga ini masih banyak dongeng serupa. Tentang Elena yang tidak latihan menari gara-gara kehabisan parfum cologne padahal ia takut pada kecut bau keringatnya. Buuurket, kata teman-temannya. Tentang Astri yang nggak jadi menyanyi gara-gara wig-nya tertinggal di kamar mandi. Tentang mbah Ratmi yang nggak jadi jualan ‘gorengan’ di pasar gara-gara gigi emasnya terjatuh di jalan. Tentang dik Dewi yang nggak jadi sekolah gara-gara rambut reboundingnya gagal total. Tentang si cantik Nadia yang malas ke sekolah karena belum dibelikan kalung mungil dengan liontin bunga melati seperti yang pernah dibayangkannya melingkar di leher cinderela dan cerita indah lainnya yang Anda sendiri dapat mengerti maksudnya. 

Inikah yang telah diberikan peradaban pada manusia? Atau hanya orang dinegeri ini saja, yang begitu bangga mengalaminya? Sebelum tidur di samping ibunya, Danti masih sempat meraba hidungnya. Dan ia merasa ada yang menusuk-nusuk hatinya……....ya si jerawat sialan penyebabnya

0 komentar:

Posting Komentar