AYU UTAMI, Novelis
Pengantar untuk buku “TTM” – “Tribute To Mary” (Romo Jost Kokoh,
Yogyakarta, 2013)
Maria menyelamatkan
iman saya di masa-masa paling sulit. Di era ini agama menghadapi pertanyaan
akal budi yang berat: bagaimana ia mempertanggungjawabkan diri di hadapan perjuangan kesetaraan jender? Kita tahu hak asasi wanita adalah
hak asasi manusia. Seorang anak serius yang kebetulan Katolik bisa bertanya:
kenapa perempuan tidak boleh jadi imam? Pertanyaan itu demikian berat sehingga
pada suatu saat saya memutuskan untuk menjauhi Gereja, bersama dengan beberapa
alasan lain. Tapi rupanya saya tidak pernah pergi terlalu jauh.
Pertama, saya selalu senang membaca Alkitab,
setidaknya sebagai buku sastra. Dari Alkitab saya faham bahwa tak semua hal
langsung mendapat rumusan yang tepat. Sebagian besar akan tetap tinggal sebagai
kisah, yang tak bisa diformulakan. Itu modal saya untuk tidak tergesa
menghakimi apapun.
Kedua, Maria sudah terlanjur menjadi ibu spiritual
bagi saya. Sebagai pemudi yang rasional dan skeptis, saya terbuka bahwa “ibu
spiritual” mungkin adalah ilusi belaka. Agama adalah ilusi dan sugesti buat
orang-orang lemah. Itu baik, hanya palsu. Baiklah. Maka dalam periode agnostik
di umur 20 hingga 30-an itu, saya sedia menerima bahwa Maria―juga segala orang
kudus dan personifikasi Tuhan―adalah produk budaya.
Tapi, bahkan manakala saya melihatnya sebagai
produk budaya pun Maria adalah gejala yang menakjubkan. Di tengah-tengah segala
macam budaya patriarki, Maria menjulang dan bercahaya. Tak satu bintang pun
meredupkan dia. Ia terus hadir tanpa banyak bicara, mengiringi perjalanan
Gereja, dan ini telah tahun keduaribu. Bagaimana satu sosok perempuan bisa
demikian dihormati dan dicintai dalam kebudayaan yang sangat patriarkal?
Para feminis yang sinis bisa berkata: "yah,
itu kan karena sosok Maria telah diidealisasi secara berlebihan. Dia bunda dan
perawan sekaligus! Mana bisa perempuan betulan jadi seperti itu? Terlalu
berat!" Pendeknya, Maria adalah seperti Barbie: idealisasi yang terlampau
jauh untuk dicapai di dunia nyata sehingga hanya menimbulkan beban yang tak
manusiawi. Baiklah.
Tapi, sejujurnya, Maria memang bukan Barbie. Boneka
Barbie adalah ideal tentang keindahan perempuan. Sebaliknya, Maria tidak pernah
dianggap sebagai ideal bagi wanita, dalam arti perempuan Kristen harus menjadi
perempuan seperti Maria, meniru femininitas atau dandannya dll. Ini kerap
dilupakan para pengkritiknya: Maria adalah ideal tentang manusia beriman bagi
perempuan maupun lelaki! Ini penting dicatat: tradisi Gereja menerima bahwa
manusia selalu konkrit dan partikular (secara konkret-partikular Maria adalah
perempuan), tetapi yang konkrit-partikular itu bukan membatasi melainkan
menjadi jalan kepada yang universal (Maria adalah model bagi semua manusia,
apapun jenis kelaminnya).
***
Setelah bertahun-tahun membaca Alkitab sebagai buku
sastra, pada akhirnya saya mengatakan bahwa penyaliban bisa dibaca sebagai
penyaliban patriarki. Saya telah mencoba menulis tentang itu. Semua agama utama
yang kita kenal sekarang muncul dari dalam kebudayaan patriarki.
(Patriarki―dari kata yang sama dengan “pater”, “patris” atau bapak―adalah
sistem di mana lelaki menjadi patriark atau pemimpin.) Patriarki adalah fakta
sejarah. Kristus memenuhi semua persyaratan sebagai anak sulung masyarakat
patriarki, tapi ia tidak mengambil segala kemewahan para patriark. Sebaliknya,
ia disalibkan. Dengan demikian, patriarki tidak ditolak sebagai fakta historis,
sekaligus dengan penyaliban dan kebangkitanNya kita bisa beranjak membangun
tatanan baru di atas sejarah itu. Agama Kristen bertumbuh, barangkali
satu-satunya yang eksplisit hanya menerima monogami (ini penegasan yang luar
biasa terhadap kesetaraan jender). Meski demikian, Gereja Katolik Roma hanya
menerima imam lelaki selibat. Ini sesungguhnya bisa difahami, sambil tetap
dalam posisi feminis, jika kita melihatnya sebagai sebuah “penyaliban
patriarki” (patriarki tidak disangkal, tapi disalibkan).
***
Untuk sampai pada kesimpulan feminis perihal
penyaliban itu prosesnya lama. Dan selama itu Maria mengiringi saya. Seorang
yang tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan tulus, akan melihat bahwa Maria
tampil secara istimewa menyintasi zaman. Ia menjadi model bagi pria dan wanita
tentang bagaimana beriman (dan bagaimana mencintai). Pada saat yang sama,
kewanitaan dan keibuannya membuat pernyataan istimewa juga:
Pertama, tanpa Maria, sejarah Gereja
sungguh-sungguh akan terseret jadi sejarah lelaki belaka.
Kedua, Maria mengangkat wong cilik. Penampakan
Maria nyaris selalu kepada anak-anak, petani dan kaum sahaja. Ini memberi
perimbangan yang penting terhadap para teolog dengan bahasa rasional yang
canggih. Ini sejalan dengan apa yang ada dalam Alkitab. Maria tak terlalu
banyak dikatakan, tapi ia selalu hadir. Lihatlah: Iman bukanlah rumusan
kata-kata (bahkan yang jenius sekalipun) melainkan kehadiran.
Ketiga, Maria membantu saya bisa paham cerita yang
paling sulit dimengerti: kisah manusia jatuh ke dalam dosa. Adam “jatuh ke
dalam dosa” karena Hawa menerima bujukan setan. Kristus lahir untuk “menebus
dosa” karena Maria menerima permintaan Tuhan. Tanpa Maria, dunia bisa terus
menyalahkan wanita sebagai Hawa. Dengan adanya Maria, kita bisa terbebas dari
jebakan misogini (kebencian terhadap perempuan) tafsir kisah Taman Eden itu.
Sebagai penulis, saya tahu bahwa sastra yang hebat
adalah yang menyediakan kunci-kunci dan simetri-simeteri di dalam dirinya.
Alkitab menyediakan itu secara luar biasa, bahkan manakala saya tidak
membacanya sebagai kitab iman melainkan sebagai kitab sastra belaka.
***
Karena itu buku “TTM” – “Tribute To Mary” dari Jost
Kokoh Prihatanto ini amat sangat berharga. Bagi yang beriman tentu! Bagi yang
tidak beriman, asalkan bersikap jujur dan terbuka, buku “TTM” – “Tribute To
Mary” ini memberi ringkasan teks-teks terpenting yang tak terlalu rumit mengenai
hubungan Maria dengan umat Kristiani sepanjang sejarah. Penulis memulainya
dengan fakta bahwa Maria tidak terlalu banyak disebut dalam Kitab Suci (tapi
disebut selalu dalam momen-momen terpenting dan tersulit). Tapi Maria tidak
hilang dalam perjalanan Gereja, sebaliknya ia menemani putra-putrinya (yaitu
Gereja) sebagaimana ia menemani Putra-nya. Dalam bahasa yang lebih sekular:
umat Kristen selalu menemukan penguatan pada Maria Sang Bunda.
Dalam buku “TTM” – “Tribute To Mary” dari Jost
Kokoh Prihatanto ini adalah sederet pemikiran dan kesaksian ringkas orang-orang
itu (dari era para Bapa Gereja hingga modern), doa-doa, dan di bagian akhir
adalah aneka permenungan dari penulis buku ini sendiri. Romo Kokoh atau Romo
Jost Kokoh, begitu saya biasa memanggilnya, adalah seorang pastor yang berada
dan akrab di kalangan umat dan anak muda. Karena itu, ia menggunakan bahasa
yang cukup popular dan menjalar untuk dibaca orang biasa, sehingga bacaan ini
tidak menjadi beban. Jelasnya, buku ini sangat berharga untuk merenungkan
misteri Tuhan melalui misteri Maria. “Tolle et legge” - Ambil dan bacalah!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar