Selayang Pandang
A. Kanon-kanon pengantar 1055 - 1062
1055 § 1 arti perkawinan : foedus
tujuan perkwnn: - kesejahteraan suami istri
- prokreasi
- pendidikan anak
sakramentalitas perkawinan
§ 2 sifat perkawinan orang2 yg dibabtis adl sakramen
1056 sifat hakiki/esensial/selalu ada dlm setiap perkawinan
- unitas : pkwn hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang
pria dan seorang wanita
- indisolubilitas : Pkw sah secr hukm punya akibat tetap
dan tdk bisa diputus o/ kuasa manapun,
kecuali oleh kematian.
1. Sif : Interna dan Eksterna
2. Dibeda mjd 2 absoluta 1141 R e C
relativa 1142 R e N C
1143-49 p. nSk
1057 § 1 kesepakatan nikah / consensus matrimonium facit
- satu2 nya unsur yang membuat perkawinan
- mjd dasar perkawinan
- causa efficiens
- dari pasangan suami istri itu sendiri
so andaikan kebebasan 1. tdk ada paksaan
2. tdk kena halngan jg larangan
§ 2 . definisi kesepakatan : perbuatan kemauan saling serah
diri & saling menerima u/ bentuk pk dg janjian
. objek kesepakatan (dibaca bersama 1055)
kebersamaan slrh hdp ( C T V ) arah KSI, Prk, P anak
A. Kanon-kanon pengantar 1055 - 1062
1055 § 1 arti perkawinan : foedus
tujuan perkwnn: - kesejahteraan suami istri
- prokreasi
- pendidikan anak
sakramentalitas perkawinan
§ 2 sifat perkawinan orang2 yg dibabtis adl sakramen
1056 sifat hakiki/esensial/selalu ada dlm setiap perkawinan
- unitas : pkwn hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang
pria dan seorang wanita
- indisolubilitas : Pkw sah secr hukm punya akibat tetap
dan tdk bisa diputus o/ kuasa manapun,
kecuali oleh kematian.
1. Sif : Interna dan Eksterna
2. Dibeda mjd 2 absoluta 1141 R e C
relativa 1142 R e N C
1143-49 p. nSk
1057 § 1 kesepakatan nikah / consensus matrimonium facit
- satu2 nya unsur yang membuat perkawinan
- mjd dasar perkawinan
- causa efficiens
- dari pasangan suami istri itu sendiri
so andaikan kebebasan 1. tdk ada paksaan
2. tdk kena halngan jg larangan
§ 2 . definisi kesepakatan : perbuatan kemauan saling serah
diri & saling menerima u/ bentuk pk dg janjian
. objek kesepakatan (dibaca bersama 1055)
kebersamaan slrh hdp ( C T V ) arah KSI, Prk, P anak
1058 hak untuk menikah / ius connubii
- hak azasi, fundamental
- tapi tdk absolut dan tidak tanpa batas -> perlu diatur hukum
nah, ketentuan2 huk ini yang mjd kriteria sah / tdk Pk itu.
1059 penataan institusi perkawinan, meski hanya 1 yg katolik
o/ - huk ilahi : asal dr wahyu sangkut
1. Hak Pk janjian 1055asangkutsss ( u/ semua orang, tnp disp )
2. Sif Hakiki Pk U I 1056
3. Obj Janjian CTV 1057 § 2 ; 1055
4. 7an Pk CTV, Prks, Pdd A
- huk Gerejani bdk K. 11 ex. 1088 halangan nik religius kaul kekal
(hanya u/ o katholik / diterima di dlamnya, bisa didispns)
- huk sipil only sangkut efek sipilnya saja ex. Pncatat sipil u/ dpt akte nik
UU. no 1 ttg Pk Th 1974
Pk only sah bila dilaks mnrt agm/kepercayan
Pk hrs dicatatkan di Kan Penctt Sipil
1060 perlindungan huk thd institusi Pk
- dlm keragu2an akan sahnya Pk, dipertahankan sahnya Pk s.d
terbukti kebalikannya
- huk lindungi dan tahan sahnya Pk dlm ragu2 an
- ragu2 bukan alasan kuat u/ batalkan Pk
1061 matrimonium ratum, ratum et consummatum, putativum
§ 1 - ratum : . Pk sah n sakr 2 org babtis
. blm disempurnakan dengan setubuhan
. indisolubilitas pk ini tdk mutlak, bs diptus TS
. = pk ratum et non-consummatum
- ratum et consummatum
. pk sah, sakrmen, sdh dismprnkn dg stubuhan
. dg stbhan/copula maritalis -> tnda 1an penh Kristus n Gereja
. indisolubilitas bersifat mutlak, so 1141 mustahil cerai/putus
- Copula maritalis secara manusiawi / in modo humano
. oleh pasangan suami istr ybs scr sadar
. tanpa paksaan, bebas, tanpa kekerasan
. keterbukaan pd kelahiran anak
§ 2 persetubuhan diandai sdh tjd, seandai SI stl nikah hidup brsm dlm 1 rumah, sampai terbukti kebalikannya.
§ 3 putativum . Pk yg scr permukaan (eksternal) nampak sah
. tp scr objektiv tidak sah
. tp dulu ada itikad baik u/ bangun Pk dg baik dan sah.
. ketidaksahan blm diketahui o/ ke 2 pasngn /minimal salah 1.
. untuk lindungi status iuridis anak
1062 pertunangan
§ 1 KHK beri kuasa pada G. Partikular u/atur pertunangan
- KWI blm buat aturan kenai pertunangan
- tdk wajib/tdk dituntut demi sahnya Pk
§ 2 . Pertunangan tidak memberi hak untuk dilaksanakannya Pk
. tp bila diputuskan, pihak yg dirugikan dapat tuntut ganti rugi
bila memang ada.
. lindungi hak masing2 untuk menikah secara bebas
B. Tindakan Pastoral dan Persiapan Perkawinan
1. Norma – norma Pastoral 1063 - 1065
a. Gembala dan komunitas umat beriman
• 1063 Tanggungjawab Gembala dan umat beriman u/ bersama2 usahakan agar hidup Pk dipelihara dan dikembangkan dlm semangat kristiani. Bantuan konkret : kotbah, katekese, alat2 komsos
dg persiapan pribadi u/ nikah, dg perayaan liturgi Pk, dukungan post Pk
b. Ordinaris Wilayah
• 1064 OW selaku Gembala Gereja Lokal TJ u/ usahakan bbg macam reksa pastoral PK dari persiapan s.d. post up. Pk. OW penanggung jawab
utama seluruh program dan reksa pastoral di Keuskupannya CD 17.
Dalam reksa pastoral PK bisa manfaatkan org2 yang punya keahlian
Seperti tenaga medis, psikolog, org2 yg sudah berkeluarga.
OW Lih K. 134 : Paus, Uskup, Vikjen, Vikep, Provinsial dari tarekat klerikal Kepausan.
c. Persiapan sakramental
• 1065
§ 1 Org 2 katolik sebelum nikah hendaknya menerima S. Krisma
bila dapat menerimanya tanpa kesulitan.
§ 2 Org 2 katolik sebelum nikah dianjurkan nerima Sakr. Tobat+ekaristi.
2. Norma – norma Yuridis 1066 - 1072
a. Penyelidikan sebelum pernikahan dilangsungkan
• 1066 kepastian moral
- harus dimiliki penyelidik kanonik (gembala umat) bahwa Pk yg dilaksanakan nanti valid / sah dan licit / layak
- demi menjaga kesucian Pk itu sendiri dan krn Pk = Institusi Yuridis
• 1067 KHK beri kuasa masing2 WaliGereja u/ tentukan norma2 ttg
. penyelidikan calon mempelai
. pengumuman nikah
. cara lain yg tepat utk penyelidikan sbl Pk.
Nah, KWI belum pernah tentukan norma2 itu. Uskup2 regio Jawa pertahankan cara lama u/ selidiki status bebas para calon. Yaitu dg:
Penyelidikan Kanonik -> ditanya 1 per 1 scr terpisah
. halangan nikah 1083-1094
. kebebasan
. ajaran katholik
Pengumuman Nikah: dilakukan 3 X berturut2 pd hari
Mg n Hr Raya i.e pd Ekaristi. Ord Wil bisa beri dispensasi atas pengum 1 .2. atau 3 o/ adanya alasan berat ( baca : SKRJ 115, komplet! )
Dokomentasi Dokumen
. Surat Babtis terbaru, tdk lebih dari 6 bln (SKRJ 114)
. Surat Status bebas
. Surat2 lain akte nikah, declaratio nullitatis, dll kalau ada.
( 1,2 dan 3 lih.Kan 1020 KHK 1917 ; Lih. jg SKRJ 113 Penting!)
• 1068 Penyelidikan dalam keadaan darurat
. cukuplah pernyataan mempelai bahwa 1. Sudah babtis, 2. tak kena halangan
. syarat:
a. Tidak sempat cari bukti-bukti lain
b. tidak ada gejala-gejala yang berlawanan ex. isu-isu
- kalau sempat pastor bawa kasus ini ke Ord Wilyh
- kalau nggak sempat ya pakai 1079 § 2, memberi dispensasi ad cautelam jika halangan mmg dpt didispensasi.
• 1069 kewajiban umat u/ lapor pastor/ Ord Wil bila ada halangan
. bentuk TJ umat u/ lindungi kesucian Pk (bdk. K 1063)
. laporan bisa sblm atau sesudah peneguhan
Pengecualian lapor bila rahasia adanya halangan:
- diketahui dari rahasia pengakuan
- diketahui dari rahasia pribadi
. rahasia jabatan ex. Dokter terikat etika medis pasien.
. rahasia kepercayaan diri
ini tidak mengikat harus dipertahankan bila merugikan
sesama atau melawan martabat luhur Pk.
- jika dilaporkan membawa akibat besar yg rugikan diri, saudara/msrkt
- tdk ada gunanya lagi, lha wong si pastor udah tahu+dimintakan dispensasi
• 1070 Penyelidikan kanonik oleh pastor yang bukan pastor paroki
- prinsip : Penyelidikan kanonik o/ pastor Paroki
- Kasus tertentu, pastor bisa delegasikan pada pastor lain
- ada delegasi
- disertai berkas kanonik
- pastor yg mendapat delegasi segera kirimkan berkas2 pd yg beri delegasi
- pada kasus dimana peneguhan dilangsungkan di tempat ke 3, berkas tetap dikirim pada pastor yang beri delegasi.
- semua di atas bandingkanlah dg SKRJ ps 113, ayat 5) OK.
• 1071 Kasus-kasus Pk yang membutuhkan izin Ord.W Kecuali darurat
§ 1 Macam2nya:
1 ˚ PK org 2 pengmbara -> perlu waspada n teliti scr khusus
berkaitan dg status bebas, halangan so dok2 perlu lengkap.
2 ˚ Pk yg acc to UU Negara tdk dpt diakui atau tdk dpt dilangsungkan
ex. Pk org 2 yg blm capai usia yang ditentu Ngr (Ngr: tentukan 18 th u/ pria 16 th u/ wanita) (Kanon: 16 th u/ pria 14 th u/ wanita)
3 ˚ Pk org yg trikat wjibn2 kodrati thd orla/anak yg lahir dr hub sblnya
ex. A n B hdp brsm di luar nik, punya anak. Meski A n B status bebas semua, tdk begitu saja nikah dg pihak 3.
4 ˚ Pk org 2 yg tinggalkan iman Katolik scr terbuka
- dianggap as infideles (ikuti K. 1125 yg atur Forma canonica Pk campur
5 ˚ Pk org2 yg kena hukuman Gerejani
- ekskomunikasi, interdik dilarang kawin
- perlu rekonsiliasi dulu dg Gereja
- bila diampuni so tidak perlu lagi izin dr ord Wil
6 ˚ Pk anak yg blm dewasa/tanpa diketahui/tdk disetujui oleh ortunya.
- K. 97 orang dewasa = genap 18 tahun dibawahnya blm dws
7 ˚ Pk yg mau diteguhkan dg perantaraan org yg dikuasakan: K. 1125
- Pk bisa dilakskn dg hadirkan perantara
- mempelai, baik 1 atau 2 tdk bisa hadir scr pribadi tp diwakili orla
- wakil2 ini yg teguhkan janji, tetap dan selalu atas nama or yg diwakili
- sbl Pk tetap ada penyelidikan kanonik u/ tahui satus bebas msg2
- pk ini dijalankan kalau memang tdk bisa ada bersama u/ saling teguhkan janji krn alasan yang berat dan masuk akal
§ 2 Ord Wil jgn beri izin u/ teguhkan Pk org yg secara terbuka tinggalkan
iman katolik, kecuali bila terpenuhi norma 1125
• 1072 perkawinan orang-orang muda
-gembala hendaknya jauhkan remaja dr pk sblm usia biasa mnrt adat setempat
- org 2 remaja yng mo nikah perlu izin orangtua mereka -> wajiban
- jika ortu tdk setuju, pastor lihat alasannya mngp, apa masuk akal.
- masuk akal so pastor harus nasehati remaja itu u/ tunda nikahan.
- kalau nekad, jgn dinikahkan seblm ada izin dari Ord ( lih k. 1071 § 1 ˚ 6 )
-Pk Katolik sah : P 16 th dan W 14 th ( K. 1083 § 1 )
- UU Pk Sipil Tahun 1974, pasal 6 tandaskan (2 ˚ Utk langsungkan Pk , org yg belum capai 21 th harus izin ortu)
- so kedewasaan acc to KHK beda dg Kedewasaan acc to UUPk
. genap 18 tahun = dewasa ( K. 97 )
. genap 21 tahun = dewasa ( UU Pk Sipil Th 1974 Ps 6 ay 2 )
C. Halangan – halangan Nikah
1. Halangan-halangan nikah pada umumnya
Halangan Nikah :
- semua halangan nikah yg sudah ditentukan o/ Huk Gereja
- semua orang mmg punya hak kodrati utk nikah (k. 1058) tp tdk absolut ->
- Halangan+larangan tdk u/ hapus hak kodrati tp utk atur pelaksanaannya
- Alasan ada Halangan dan larangan
. spy ybs bisa hayati, hidupi pk ssi dg paham dan ajaran Gereja Katolik
. u/ capai nilai n 7an ttnt pk hanya bisa dilangsungkan stl penuhi sarat2 ttnt
. demi keptngn umum, kesejahteraan sos: pk selalu bersifat personal+sosial
1073 Akibat halangan
halangan yg gagalkan pk buat sso tdk mampu nik secara sah
kanon ini hanya bicara Impedimentum Dirimens / Impedimentum ad Validitatem
. I D / I a V selalu membuat org tdk mampu nikah secara sah
.I D / I a V menurut sifat terbedakan mjd 2
1. Halangan Kodrati :
. muncul dr kodrat pk itu sendiri
. tdk bisa didispensasi
. mengikat semua org tanpa kecuali
. H K = ( 4 ) 1084 impoten, 1085 Impd Ligaminis, 1091 § 1 pk atr org2 y berhub darah up n down (1094 tali huk garis lurus n samping tk 2)
2. Halangan Gerejani :
. ditentukan oleh Gereja Katolik sendiri
. bisa didispensasi
. mengikat semua orang katolik (k. 11)
. ikat juga non katolik yg mo nik dg or katolik
. H G = ( 9 )1083 umur; 1086 bd agama; 1087 tahbisan; 1088 kaul, 1089 penculikan, 1090 kejahatan; 1091; 1092 semenda; 1093 kelayakan publik
1074 Halangan Publik dan Tersembunyi
- punya arti penting sehubungan dg sanatio in radice
- Hlngn Publik: sejauh bisa dibuktikan dalam tata lahir lalui dok2 n saksi2
- Hlngn Tersembunyi: Hlnggn yg tdk bs dbuktikan scr publik dg dok/ saksi,, baik di muka pengadilan maupun di hadapan pejabat.
Ex. Halangan yg diketahui dlm konteks sakramn tobat
1075 wewenang menetapkan halangan nikah
1076 Kebiasaan yg memasukkan halangan baru dilarang
1077 wewenang Ordinaris Wilayah dalam kasus kusus
2. Halangan-halangan nikah pada khususnya 1083 - 1094
1083 Halangan Nikah UMUR (Gerejani)
§ 1 Menikah sah kanonik Pria genap 16 th Wanita genap 14 th
negara tentukan Pria genap 19 th Wanita genap 16 th
§ 2 KWI wenang u/ tentukan usia yg lebih tinggi u/ halalnya pk
. matang jiwa (tahu makna pk, 7an dll), matang fisik, umur hukum
1084 Halangan Nikah IMPOTENSI (kodrati)
§ 1 - arti impotensi dlm huk. Kan :
. tdk mampuan sso utk lakukan persetubuhan stlh menikah secara sah / Incapacitas Couendi post matrimonium validum
. menunjuk pd consummatio yg I kali stl menikah
. Agar dapat melakukan persetubuhan maka:
1. Laki-laki (punya penis yg dpt ereksi, dpt lakukan penetrasi, curahkan cairan dlm Vagina - tdk hrs benih, bs jg semen verum)
2. Wanita (Ada liang vagina
- Impotensi gagalkan Pk jika
a. antecedens : sudah ada sblm menikah
b. perpetua et insanabilis : tetap dan tdk dpt disembuh dg cara2 wajar
c. absoluta : ybs tdk mampu berhub dgn siapapun; atau
d. relativa : hanya tjd klu persetubuhan dg partnernya sendiri
§ 2 jika impotensi diragukan baik huk atau fakta, pk tdk boleh dihalangi
(dlm keraguan pk tdk boleh dinyatakan batal).
- Keraguan Huk : tjd bila tdk jelas apakah kanon yg atur ttg halangan impotensi bisa diterapkan dlm kasus2 ttnt
- Keraguan Fakta : tjd bila impotensi sdh tjd sejak sbl nik atau apkh impotensi ini bersifat tetap atau sementara saja
§ 3 kemandulan tdk mjd halangan dg tetap berlaku kanon 1098 (penipuan)
- kemandulan = incapacitas generandi = ketidakmampuan menurunkan anak
- Konggregasi Ajaran Iman 11 Mei 1977 menegaskan bahwa sterilitas tidak menjadi halangan yg gagalkan pk.
- Tapi bila vasektomi dan tubektomi dilakukan before pk dg 7an utk hindari kehamilan so ini tindakan kecualikan x1 unsur hakiki pk demi keturunan (bdk 1055 § 1) dan buat konsensus tidak sah k 1101 § 2
1085 halangan nikah LIGAMEN / IKATAN NIKAH (Kodrati)
§ 1 tdk sah pernikahan org 2 yg terikat pkw sblmnya meski belum disempurnakan dg setubuh
- andaikan hukum ilahi ttg unitas dan indisolubilitas
- bicara ttg impedimentum ligaminis = org yg terikat pk sah tdk dpt nikah scr sah dg pihk 3 bila ikatan nikah terdahulu blm/tdk dapat diputus o/ kuasa G
- Ikatan nikah sah di sini tunjuk pd org Kat dg org Kat + kat dg non kat
- cerai sipil tdk diakui oleh Gereja
1086 halangan nikah beda agama
1087 halangan nikah tahbisan sci
1088 halangan nikah kaul kekal kemurnan religius
1089 halangan nikah penculikan
1090 halangan nikah kejahatan / crimen
1091 halangan nikah hubungan darah / consangunitas
1092 halangan nikah hubungan semenda / affinitas (andaikan pk sah)
1093 halangan nikah kelayakan publik (pk tidak sah/konkubinat)
1094 halangan nikah pertalian hkm / cognatio legalis
Kemampuan memberikan Consensus
1095 tidak dapat melangsugkan perkawinan
.tdk dpt guna akal bdi secukupnya
.yg cacat berat dalam kemampuan membentuk pandangan
.yg krn alasan psikis tdk mampu penuhi kewajiban hakiki pk
1096 pengetahuan minimal yang harus ada
1097 kekeliruan mengenai diri calo dan sifat pribadi
1098 penipuan sifat partner
1099 kekeliruan mengenai sifat hakiki perkawinan
1100 kesepakatan nikah bersifat tetap
1101 kepura-puraan / simulatio
1102 perkawinan bersyarat
1103 takut dan paksaan
1104 unsur pernyataan
1105 menikah dengan perantaraan yang dikuasakan
1106 perkawinan dengan perantaraan penerjemah
1107 kesepakatan diandaikan terus berlangsung
TATA PENEGUHAN KANONIK / FORMA CANONICA
1108 prinsip umum
1109 dasar kmpetensi peneguh nikah jabatan - wilayah
1110 dasar kompetensi peneguh nikah ordinaris, pastor paroki personal
1111 pelimpahan kuasa meneguhkan atau delegasi
1112 delegasi peneguhan perkawinan kepada para awam yang cakap
1113 + 1114 syarat2 yang harus dipenuhi sebelum delegasi diberikan
1115 tempat akad nikah : prioritas di paroki mempelai wanita
1116 tata peneguhan kanonik luar biasa
(dihadapan 2 saksi umum sj/tanpa testis qualificatus)
1117 yang terikat tata peneguhan kanonik yaitu orang katolik (1059+1108)
1118 tempat upacara liturgis
1119 + 1120 Ritus upacara
RINGKASAN
HUKUM PERKAWINAN KANONIK
A. Kanon-kanon Pengantar (1055-1062)
A. Kanon-kanon Pengantar (1055-1062)
KANON 1055
3 point besar yang bahas yaitu :
1. ARTI/makna/hakikat perkawinan
2. TUJUAN perkawinan
3. SAKRAMENTALITAS perkawinan orang-orang yang dibabtis
I. ARTI/ Hakekat/ makna Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah sebuah PERJANJIAN (foedus/ covenant) antara seorang pria dan seorang untuk membentuk kebersamaan hidup.
Hubungannya dengan dokumen Vatikan II, Gaudium et Spes art.48 :
Perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebuah contractus (sebuah kontrak) yang terdapat dalam KHK 1917 kanon 1012.
Pemakaian kata Perjanjian penting karena,
Dalam sejarah KHK 1917 kanon 1012 perkawinan diartikan sebagai kontrak antara seorang pria dan seorang wanita. Kontrak di sini berhubungan dengan Hak Atas Tubuh (ius in corpus). Maksudnya “tubuhmu-tubuhku”, saling menyerahkan, saling menyerahkan hak atas persetubuhan.
Kesan : tidak dipertimbangkan unsur cinta kasih, kaku dan statis, komersial.
Pemahaman tersebut mengalami perkembangan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institutional.
GS art.48 menggunakan kata perjanjian karena mau diungkapkan unsur dinamika sebuah perkawinan yaitu RELASI INTERPERSONAL seorang pria dan seorang wanita.
Kata perjanjian itu sendiri juga mempunyai unsur biblis :
Dalam Kitab Suci, kata perjanjian digunakan untuk mengungkapkan relasi kasih antara Yahwe dan Israel. (Bdk Hos, Ef 5:22-33).
Tambahan : Kata perjanjian juga dipakai oleh Gereja Timur untuk mengungkapkan perkawinan.
Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak untuk mengartikan perkawinan, namun tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan ini terdapat unsur-unsur kontraknya :
- forma : kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita
- obyek : kebersamaan seluruh hidup
- akibat : hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup.
Ada debat panjang mengenai pemakaian kata kontrak (menekankan ketegasan dan akurasi) dan kata perjanjian (menekankan dinamikanya).
Sintesanya :
Dalam kanon 1055 kedua istilah ini digunakan bersama-sama §1 foedus §2 contractus. , untuk menunjuk kedua unsur pokok dari arti perkawinan.
II.Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri (jasmani dan rohani), bonum coniugum.
Kanon 1055 ini menunjukan adanya 3 tujuan utama perkawinan :
1. kesejahteraan suami istri (Bonum Coniugum)
Kesejahteraan lahir menyangkut :
• masalah duniawi (sandang, pangan, papan)
Kesejahteraan batin menyangkut :
• harmonisasi dalam relasi suami istri dalam arti puas secara seksual (sebagai ungkapan kasih)
• eskatologi : Kej 1 di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai partner yang sepadan.
Maka muncul istilah contra bonum coniugum. Kalau orang melakukan contra bonum coniugum maka bisa menjadi alasan untuk anulasi (pembatalan). Contoh : kekerasan terhadap pasangan (penganiayaan fisik-mental). Antisipasi untuk anulasi, habis dipukul langsung minta autopsi dokter, type orang-orang yang terkena narkoba/alkoholik, judi, orang tidak mau bertanggungjawab untuk menghidupi keluarganya.
Contra Bonum coniugum dibedakan :
- dalam persiapan perkawinan
- dalam perjalanan perkawinan (dalam hal ini penyakit yang muncul dalam
perjalanan perkawinan tidak membatalkan perkawinan).
Contra yang menggagalkan perkawinan adalah tindakan yang dilakukan sejak menikah atau sejak semula (pacaran). Alasannya : indikasinya dilihat dari masa persiapan perkawinan.
Dalam kanon ini pula tidak ditekankan lagi tingkatan-tingkatan tujuan perkawinan sebagai mana terdapat dalam KHK 1917 kanon 1013 yaitu primer : prokreasi, pendidikan anak dan sekunder saling membantu menyalurkan nafsu.
Alasannya : berhubungan dengan problem pembatasan kelahiran. Dalam kanon 1055 ini, meski membuka peluang terhadap pembatasan kelahiran, namun perkawinan harus tetap terbuka pada kelahiran anak.
2. Prokreasi dan Pendidikan Anak (terkait satu sama lain)
- Bonum Prolis (kelahiran/prokreasi).
Pada dasarnya perkawinan terarah pada kelahiran. Dalam arti suami istri harus mempunyai keterbukaan pada keturunan (tidak dibenarkan suami istri menolak anak). Kalau ada pasangan yang sejak semula menolak kehadiran anak maka perkawinan mereka tidak sah ( kalau menunda masih boleh asal menggunakan KB A).
Kasus :
Bagaimana dengan orang yang mandul/steril? Apakah mereka masih bisa menikah?
Lih.Kanon 1084 § 3 : Kemandulan tidak menggagalkan perkawinan kecuali ada unsur penipuan. (karena orang yang steril masih bisa melakukan persetubuhan).
Mandul (incapacitas generandi) : ketidakmampuan untuk memberi keturunan.
Beda dengan
impotensi (incapacitas coeudi) : ketidakmampuan untuk bersenggama. Kasus impotensi menggagalkan perkawinan.
Contra Bonum Prolis :
Ada keputusan positif suami istri untuk menolak mempunyai anak entah melalui : menolak hubungan seksual, kontrasepsi terus menerus, aborsi, dll.
- Pendidikan dalam iman
Kelahiran menuntut pendidikan anak-anak.
III. Sakramentalitas Perkawinan
Pertanyaan : kapan perkawinan disebut sebagai sakramen?
Sakramen adalah tanda dan sarana.
Secara yuridis, kapan :
Manakala perkawinan itu dilangsungkan oleh 2 orang yang berbeda seksualitas, sama-sama telah dibabtis secara sah menurut ketentuan kanon 849 yaitu pembabtisan dengan pencurahan air yang sungguh dan dengan kata-kata Trinitaris. (tidak dibedakan apakah dua-duanya katolik, salah satu katolik atau non katolik).
Perkawinan dikatakan sakramen bila SAH :
Ada 3 kriteria yang menentukan sah/tidaknya perkawinan :
1. Materia Sacramenti (subyek)
- pria sungguh – wanita sungguh
- bebas dari halangan nikah sebagaimana dirumuskan dalam kanon
1083-1094.
2. Forma Sacramenti (consensus).
Perkawinan menjadi sah bila mempunyai 3 sifat sekaligus :
- verus : sungguh-sungguh (orang memang sungguh mau menikah)
lih. Kanon 1101 § 1
- plenus : penuh (orang itu memang menghendaki perkawinan secara
seutuhnya, dalam suka dan duka). Dalam hal ini juga pasangan
tidak boleh mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan.
lih kanon 1102 § 2.
- liber : bebas (orang mengungkapkan janji nikah secara sungguh penuh
kebebasan, tanpa paksaan, ancaman dari luar).
3. Forma Canonica : tata peneguhan kanonik
Perkawinan itu harus diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik sebagai mana dituntut dalam kanon 1108, 1117, 1127.
- dihadapan ordinaris wilayah, imam, diakon dan 2 saksi
- kanon. 1127 : bisa diluar orang-orang di atas kecuali mendapat
dispensasi (kasus khusus).
3 point besar yang bahas yaitu :
1. ARTI/makna/hakikat perkawinan
2. TUJUAN perkawinan
3. SAKRAMENTALITAS perkawinan orang-orang yang dibabtis
I. ARTI/ Hakekat/ makna Perkawinan
Perkawinan pada dasarnya adalah sebuah PERJANJIAN (foedus/ covenant) antara seorang pria dan seorang untuk membentuk kebersamaan hidup.
Hubungannya dengan dokumen Vatikan II, Gaudium et Spes art.48 :
Perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebuah contractus (sebuah kontrak) yang terdapat dalam KHK 1917 kanon 1012.
Pemakaian kata Perjanjian penting karena,
Dalam sejarah KHK 1917 kanon 1012 perkawinan diartikan sebagai kontrak antara seorang pria dan seorang wanita. Kontrak di sini berhubungan dengan Hak Atas Tubuh (ius in corpus). Maksudnya “tubuhmu-tubuhku”, saling menyerahkan, saling menyerahkan hak atas persetubuhan.
Kesan : tidak dipertimbangkan unsur cinta kasih, kaku dan statis, komersial.
Pemahaman tersebut mengalami perkembangan, di mana dimensi personal perkawinan mendapat tekanan lebih dibandingkan dimensi institutional.
GS art.48 menggunakan kata perjanjian karena mau diungkapkan unsur dinamika sebuah perkawinan yaitu RELASI INTERPERSONAL seorang pria dan seorang wanita.
Kata perjanjian itu sendiri juga mempunyai unsur biblis :
Dalam Kitab Suci, kata perjanjian digunakan untuk mengungkapkan relasi kasih antara Yahwe dan Israel. (Bdk Hos, Ef 5:22-33).
Tambahan : Kata perjanjian juga dipakai oleh Gereja Timur untuk mengungkapkan perkawinan.
Konsili Vatikan II tidak menggunakan istilah kontrak untuk mengartikan perkawinan, namun tidak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kontrak, karena di dalam perjanjian perkawinan ini terdapat unsur-unsur kontraknya :
- forma : kesepakatan pribadi antara seorang pria dan seorang wanita
- obyek : kebersamaan seluruh hidup
- akibat : hak atas persetubuhan dan atas kebersamaan seluruh hidup.
Ada debat panjang mengenai pemakaian kata kontrak (menekankan ketegasan dan akurasi) dan kata perjanjian (menekankan dinamikanya).
Sintesanya :
Dalam kanon 1055 kedua istilah ini digunakan bersama-sama §1 foedus §2 contractus. , untuk menunjuk kedua unsur pokok dari arti perkawinan.
II.Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan adalah kesejahteraan suami-istri (jasmani dan rohani), bonum coniugum.
Kanon 1055 ini menunjukan adanya 3 tujuan utama perkawinan :
1. kesejahteraan suami istri (Bonum Coniugum)
Kesejahteraan lahir menyangkut :
• masalah duniawi (sandang, pangan, papan)
Kesejahteraan batin menyangkut :
• harmonisasi dalam relasi suami istri dalam arti puas secara seksual (sebagai ungkapan kasih)
• eskatologi : Kej 1 di mana Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai partner yang sepadan.
Maka muncul istilah contra bonum coniugum. Kalau orang melakukan contra bonum coniugum maka bisa menjadi alasan untuk anulasi (pembatalan). Contoh : kekerasan terhadap pasangan (penganiayaan fisik-mental). Antisipasi untuk anulasi, habis dipukul langsung minta autopsi dokter, type orang-orang yang terkena narkoba/alkoholik, judi, orang tidak mau bertanggungjawab untuk menghidupi keluarganya.
Contra Bonum coniugum dibedakan :
- dalam persiapan perkawinan
- dalam perjalanan perkawinan (dalam hal ini penyakit yang muncul dalam
perjalanan perkawinan tidak membatalkan perkawinan).
Contra yang menggagalkan perkawinan adalah tindakan yang dilakukan sejak menikah atau sejak semula (pacaran). Alasannya : indikasinya dilihat dari masa persiapan perkawinan.
Dalam kanon ini pula tidak ditekankan lagi tingkatan-tingkatan tujuan perkawinan sebagai mana terdapat dalam KHK 1917 kanon 1013 yaitu primer : prokreasi, pendidikan anak dan sekunder saling membantu menyalurkan nafsu.
Alasannya : berhubungan dengan problem pembatasan kelahiran. Dalam kanon 1055 ini, meski membuka peluang terhadap pembatasan kelahiran, namun perkawinan harus tetap terbuka pada kelahiran anak.
2. Prokreasi dan Pendidikan Anak (terkait satu sama lain)
- Bonum Prolis (kelahiran/prokreasi).
Pada dasarnya perkawinan terarah pada kelahiran. Dalam arti suami istri harus mempunyai keterbukaan pada keturunan (tidak dibenarkan suami istri menolak anak). Kalau ada pasangan yang sejak semula menolak kehadiran anak maka perkawinan mereka tidak sah ( kalau menunda masih boleh asal menggunakan KB A).
Kasus :
Bagaimana dengan orang yang mandul/steril? Apakah mereka masih bisa menikah?
Lih.Kanon 1084 § 3 : Kemandulan tidak menggagalkan perkawinan kecuali ada unsur penipuan. (karena orang yang steril masih bisa melakukan persetubuhan).
Mandul (incapacitas generandi) : ketidakmampuan untuk memberi keturunan.
Beda dengan
impotensi (incapacitas coeudi) : ketidakmampuan untuk bersenggama. Kasus impotensi menggagalkan perkawinan.
Contra Bonum Prolis :
Ada keputusan positif suami istri untuk menolak mempunyai anak entah melalui : menolak hubungan seksual, kontrasepsi terus menerus, aborsi, dll.
- Pendidikan dalam iman
Kelahiran menuntut pendidikan anak-anak.
III. Sakramentalitas Perkawinan
Pertanyaan : kapan perkawinan disebut sebagai sakramen?
Sakramen adalah tanda dan sarana.
Secara yuridis, kapan :
Manakala perkawinan itu dilangsungkan oleh 2 orang yang berbeda seksualitas, sama-sama telah dibabtis secara sah menurut ketentuan kanon 849 yaitu pembabtisan dengan pencurahan air yang sungguh dan dengan kata-kata Trinitaris. (tidak dibedakan apakah dua-duanya katolik, salah satu katolik atau non katolik).
Perkawinan dikatakan sakramen bila SAH :
Ada 3 kriteria yang menentukan sah/tidaknya perkawinan :
1. Materia Sacramenti (subyek)
- pria sungguh – wanita sungguh
- bebas dari halangan nikah sebagaimana dirumuskan dalam kanon
1083-1094.
2. Forma Sacramenti (consensus).
Perkawinan menjadi sah bila mempunyai 3 sifat sekaligus :
- verus : sungguh-sungguh (orang memang sungguh mau menikah)
lih. Kanon 1101 § 1
- plenus : penuh (orang itu memang menghendaki perkawinan secara
seutuhnya, dalam suka dan duka). Dalam hal ini juga pasangan
tidak boleh mengecualikan unsur-unsur hakiki perkawinan.
lih kanon 1102 § 2.
- liber : bebas (orang mengungkapkan janji nikah secara sungguh penuh
kebebasan, tanpa paksaan, ancaman dari luar).
3. Forma Canonica : tata peneguhan kanonik
Perkawinan itu harus diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik sebagai mana dituntut dalam kanon 1108, 1117, 1127.
- dihadapan ordinaris wilayah, imam, diakon dan 2 saksi
- kanon. 1127 : bisa diluar orang-orang di atas kecuali mendapat
dispensasi (kasus khusus).
KANON 1056
Kanon ini membicarakan : Sifat Hakiki Perkawinan
- Unitas
- indissolubilitas
Hakekat : melekat pada dirinya sendiri (esensinya)
Maka, baik sifat unitas maupun indissolubilitas melekat pada setiap dan semua perkawinan yang sah :
- Perkawinan kristiani (yang sakramen maupun yang tidak sakramen,
bdk. Kanon 1061)
- Perkawinan natural (perkawinan yang dilangsungkan oleh orang-orang non
babtis.
(meski bagi orang katolik, ada kekukuhan khusus yaitu SAKRAMENTALITAS).
Perkawinan menurut SIFAT-nya :
A. UNITAS
1. Monogam (1 lawan 1). Tetapi kata unitas tidak hanya menyangkut soal monogami saja (seorang pria dan seorang wanita).
Harus ditekankan dan jelas terbukti, orang itu sungguh pria dan wanita (bukan hanya masalah fisik tetapi juga masalah psikis; nanti terkait dengan permasalahan orang yang mengadakan transplantasi seksual; bdk. Kanon 1095 : orang yang mengalami kelainan psikologis tidak sah perkawinannya).
Sifat unitas berlawanan dengan poligami.
Poligami menurut JENIS-nya :
- Poligini : seorang pria memiliki lebih dari 1 wanita sebagai pasangannya yang
sah sekaligus.
- Poliandri : seorang wanita memiliki lebih dari 1 laki-laki sebagai pasangannya
yang sah sekaligus.
Poligami menurut SIFAT-nya :
- Poligami Simultan : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu pada
waktu yang bersamaan. (Contoh : seorang pria menikah,
lalu menikah lagi).
- Poligami Succesiva : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu tetapi
tidak dalam waktu bersamaan (satu sesudah yang lain).
Ada dua kemungkinan :
- Karena kematian ( diperbolehkan)
- Karena perceraian : cerai gerejani (boleh)
cerai non gerejani (tidak boleh).
Ekskursus :
A (Islam) x B (Islam)
B menjadi Katolik, lalu A dan B cerai
Dalam Gereja tidak ada istialah PERCERAIAN, yang ada PEMUTUSAN
Dalam hal ini harus ada PEMUTUSAN IKATAN NIKAH, bukan cuma cerai KUA saja. Gereja harus intervensi : Pemutusan demi iman (dissolutio in favorem fidei ex previlegio paulino ; bdk. Kanon 1143-1147). Perceraian KUA / sipil tidak pernah punya efek bagi Gereja.
Pemutusan demi iman ini berdasar kuasa tertinggi Tahta Suci/Paus yaitu Dissolutio in Favorem Fidei ex Suprema Potestatis Romani Pontificis, bagian
Sacra Ceongregatio Pro Doctrina Fidei (SCDF) yaitu, konggregasi suci untuk
urusan moral dan iman.
Kalau kasus di atas A tidak mau menjadi Katolik, pemutusan nikah diatur dalam
Ut Notum Est (6 Desember 1973).
2. Unsur Kesatuan (unitasnya)
Suami istri yang telah disatukan dlm perkawinan menjadi satu persona (suami-istri), bdk. Kej 2:24 : laki-laki dan perempuan menjadi SATU DAGING.
Mereka bukan dua pribadi lagi melainkan menjadi Suami-Istri.
Diharapkan dalam ‘kesempurnaan tubuh’, mereka menjadi sempurna.
Kanon ini membicarakan : Sifat Hakiki Perkawinan
- Unitas
- indissolubilitas
Hakekat : melekat pada dirinya sendiri (esensinya)
Maka, baik sifat unitas maupun indissolubilitas melekat pada setiap dan semua perkawinan yang sah :
- Perkawinan kristiani (yang sakramen maupun yang tidak sakramen,
bdk. Kanon 1061)
- Perkawinan natural (perkawinan yang dilangsungkan oleh orang-orang non
babtis.
(meski bagi orang katolik, ada kekukuhan khusus yaitu SAKRAMENTALITAS).
Perkawinan menurut SIFAT-nya :
A. UNITAS
1. Monogam (1 lawan 1). Tetapi kata unitas tidak hanya menyangkut soal monogami saja (seorang pria dan seorang wanita).
Harus ditekankan dan jelas terbukti, orang itu sungguh pria dan wanita (bukan hanya masalah fisik tetapi juga masalah psikis; nanti terkait dengan permasalahan orang yang mengadakan transplantasi seksual; bdk. Kanon 1095 : orang yang mengalami kelainan psikologis tidak sah perkawinannya).
Sifat unitas berlawanan dengan poligami.
Poligami menurut JENIS-nya :
- Poligini : seorang pria memiliki lebih dari 1 wanita sebagai pasangannya yang
sah sekaligus.
- Poliandri : seorang wanita memiliki lebih dari 1 laki-laki sebagai pasangannya
yang sah sekaligus.
Poligami menurut SIFAT-nya :
- Poligami Simultan : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu pada
waktu yang bersamaan. (Contoh : seorang pria menikah,
lalu menikah lagi).
- Poligami Succesiva : Seseorang mempunyai pasangan lebih dari satu tetapi
tidak dalam waktu bersamaan (satu sesudah yang lain).
Ada dua kemungkinan :
- Karena kematian ( diperbolehkan)
- Karena perceraian : cerai gerejani (boleh)
cerai non gerejani (tidak boleh).
Ekskursus :
A (Islam) x B (Islam)
B menjadi Katolik, lalu A dan B cerai
Dalam Gereja tidak ada istialah PERCERAIAN, yang ada PEMUTUSAN
Dalam hal ini harus ada PEMUTUSAN IKATAN NIKAH, bukan cuma cerai KUA saja. Gereja harus intervensi : Pemutusan demi iman (dissolutio in favorem fidei ex previlegio paulino ; bdk. Kanon 1143-1147). Perceraian KUA / sipil tidak pernah punya efek bagi Gereja.
Pemutusan demi iman ini berdasar kuasa tertinggi Tahta Suci/Paus yaitu Dissolutio in Favorem Fidei ex Suprema Potestatis Romani Pontificis, bagian
Sacra Ceongregatio Pro Doctrina Fidei (SCDF) yaitu, konggregasi suci untuk
urusan moral dan iman.
Kalau kasus di atas A tidak mau menjadi Katolik, pemutusan nikah diatur dalam
Ut Notum Est (6 Desember 1973).
2. Unsur Kesatuan (unitasnya)
Suami istri yang telah disatukan dlm perkawinan menjadi satu persona (suami-istri), bdk. Kej 2:24 : laki-laki dan perempuan menjadi SATU DAGING.
Mereka bukan dua pribadi lagi melainkan menjadi Suami-Istri.
Diharapkan dalam ‘kesempurnaan tubuh’, mereka menjadi sempurna.
B. INDISSOLUBILITAS (tak terceraikan)
Perkawinan itu sifatnya tak terceraikan, tak terputuskan.
Sifat ini dibedakan menjadi 2 hal :
a. indissolubilitas absoluta :
Perkawinan sama sekali tidak bisa diputuskan oleh kuasa apapun kecuali oleh kematian (selain Allah). Bdk. Mat 10 :9 Apa yang disatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.
Perkawinan ini adalah perkawinan yang ratum et consumatum
(kanon 1061;1141).
b. indissolubilitas relativa :
Ada dua sifat :
- intrinsik : suami istri yang menghendaki pemutusan (tidak bisa)
- ekstrinsik : Meski perkawinan tidak terceraikan tetapi sifat ini tidak bersifat mutlak dalam arti: kalau ada alasan yang berat, masuk akal, maka bisa diputuskan oleh kuasa yang berwenang dan seturut hukum yang mengatur.
Pertanyaan : kuasa mana yang berwenang dan hukum mana ?
Otoritas yang berwenang memutuskan perkawinan :
1. Lih.Mrk 10:9 apa yang disatukan Allah tidak boleh diputuskan manusia. Maka otoritas yang berwenang adalah Allah, dengan 2 cara :
a. secara personal : melalui kematian
b. melalui Vicaris (delegasi) : siapa delegasi Allah ? Yesus
Yesus mendirikan Gerejanya atas para rasul. Yesus memberikan kuasa kepada Gereja. Mat 16:18-19.
Yesus mendelegasikan kuasa yang dimilikinya. Kuasa apa ?
Lih. Mat 28:18 “segala kuasa di surga dan di bumi”
Kesimpulan :
Allah melalui Yesus memberi segala kuasa yang dibutuhkan Gereja untuk mencapai finalitasnya yaitu keselamatan semua manusia, yaitu Shalom (Flp 2:10 ; supaya dalam nama Yesus semua lutut berteluk, semua lidah mengaku : Yesus Kristus adalah Tuhan bagi kemuliaan Allah Bapa).
Yesus memberikan kuasaNya sekali untuk selamanya dalam TOTALITAS.
Kuasa ini di dalam Gereja disebut :
- POTESTAS VICARIA : kuasa wakil (kuasa ini dilakukan atas nama dan dalam nama Yesus Kristus).
- POTESTAS SACRA : kuasa suci (kuasa ini berasal dari yang ilahi dan untuk menangani hal-hal yang ilahi termasuk perkawinan).
Pertanyaan lebih lanjut : dalam tubuh Gereja siapa yang memegang kuasa tersebut ?
- kuasa yang secara keseluruhan (tertinggi) dan penuh :
- Paus seorang diri maupun melalui kuria Romana
- Collegium episcoparum (Paus dengan colleganya, yaitu Dewan Para uskup).
Lih. Kanon 331, 336).
- kuasa yang tidak penuh :
- ordinaris wilayah yang lain menurut kanon 134.
KANON 1057
Kanon 1057 membicarakan tentang KESEPAKATAN NIKAH (Consensus) yang menjadi DASAR PERKAWINAN.
1. Kesepakatan membuat perkawinan
Dalam § 1 ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-satunya unsur yang “membuat” perkawinan itu sendiri. Consensus matrimonium facit. Jadi kesepakatan merupakan causa eficien dari suatu perkawinan. (tidak mungkin ada perkawinan tanpa ada kesepakatan/consensus).
Kasus : bagaimana dengan perkawinan di luar Gereja yang kerap tidak ada konsensus, misalnya : perkawinan adat Jawa.
(ada yang formal; kata-kata tetapi ada yang non formal; tindakan yang setara mis: pemercikan dengan darah).
Rumusan Konsensus menurut tata Pernikahan Katolik :
“Aku memilih engkau sebagai istri/suamiku mulai detik ini dalam untung dan malang ...”
Kalau tidak ada konsensus, tidak akan ada perkawinan...”
Contoh : perkawinan siri.
2. Kesepakatan ini dinyatakan oleh orang-orang yang menurut orang mampu secara :
- fisik : melampaui usia puber
mampu ber-reproduksi secara manusiawi
- moral : mentalitas – psikis
- hukum : tak terkena halangan nikah dan larangan nikah.
Halangan (1083-1094) Larangan (1124).
3. Ungkapan :
Kesepakatan itu harus diungkapkan secara publik
- publisitas : pernikahan merupakan fakta sosial, maka perlu diungkapkan
di hadapan umum.
Maka perlu ada forma publica pernikahan (ungkapan konsensus).
Forma publica adalah tata peneguhan yang diakui sah oleh masyarakat
Bentuknya :
- sipil
- keagamaan : forma canonica 1108, 1117, 1127.
1108 : dibawah otoritas Gereja :
a. ordinaris wilayah 134
b. imam/diakon/delegatus (kasus tertentu)
c. 2 orang saksi (manusia waras)1116
Imam/diakon bisa diwakilkan (didelegasikan) kalau ada bahaya mati tetapi otaknya masih jalan (lain dengan koma); janji diucapkan secara sadar. Bisa juga dalam keadaan perang.
Exkursus :
Perkawinan sah (VALIDITAS)
Unsur konstitutif yang menentukan ada tidaknya sebuah perkawinan
Perkawinan Halal (LICEITAS)
Terkait dengan sopan, layaknya, kalau dilanggar perkawinan tetap sah
Ex: perkawinan beda gereja tanpa ijin.
Halangan nikah perlu dispensasi
Larangan nikah perlu ijin.
SAH – SAKRAMEN – INDISSOLUBILITAS PERKAWINAN
Kapan Perkawinan orang-orang Katolik menjadi SAH, ADA?
Kapan menjadi sakramen
Sejak kapan memiliki indissolubilitas absolut
JAWABAN 2 TOKOH BESAR :
1. Gratianus (Bologna) dengan TEORI KOPULA
yaitu : perkawinan ada sejak ada konsensus, namun menjadi sakramen dan memiIliki sifat indissolubilitas sejak adanya hubungan suami istri (Kopula)
Konsekuensi :
Selama belum ada hubungan seksual, perkawinan belum sakramen, dan masih bisa bercerai. (Karena masih layaknya tunangan).
2. Petrus Lombardus (Paris) dengan TEORI CONSENSUALIS
Yaitu : perkawinan orang-orang Katolik ada, menjadi sakramen dan bersifat indissolubilitas sejak ada konsensus.
Teori ini tidak melihat ada atau tidaknya hubungan seks suami istri
3. Alternatif Ke-3 (sintese : diadopsi oleh ajaran Gereja)
- perkawinan dibedakan menjadi :
MATRIMONIUM INFIERI
Mau menjawab : Kapan terjadi perkawinan dan menjadi sah dan sakramen ?
Saat pasangan memberikan consensus (janji nikah)
MATRIMONIUM INFACTO ESSE (menunjuk fakta)
Perkawinan baru memiliki sifat indissolubilitas absolut semenjak terjadi persetubuhan.
Kesimpulan :
Maka, sebelum terjadi persetubuhan, perkawinan baru memiliki indissolubilitas relativa.
Kanon 1057 membicarakan tentang KESEPAKATAN NIKAH (Consensus) yang menjadi DASAR PERKAWINAN.
1. Kesepakatan membuat perkawinan
Dalam § 1 ditegaskan bahwa kesepakatan merupakan satu-satunya unsur yang “membuat” perkawinan itu sendiri. Consensus matrimonium facit. Jadi kesepakatan merupakan causa eficien dari suatu perkawinan. (tidak mungkin ada perkawinan tanpa ada kesepakatan/consensus).
Kasus : bagaimana dengan perkawinan di luar Gereja yang kerap tidak ada konsensus, misalnya : perkawinan adat Jawa.
(ada yang formal; kata-kata tetapi ada yang non formal; tindakan yang setara mis: pemercikan dengan darah).
Rumusan Konsensus menurut tata Pernikahan Katolik :
“Aku memilih engkau sebagai istri/suamiku mulai detik ini dalam untung dan malang ...”
Kalau tidak ada konsensus, tidak akan ada perkawinan...”
Contoh : perkawinan siri.
2. Kesepakatan ini dinyatakan oleh orang-orang yang menurut orang mampu secara :
- fisik : melampaui usia puber
mampu ber-reproduksi secara manusiawi
- moral : mentalitas – psikis
- hukum : tak terkena halangan nikah dan larangan nikah.
Halangan (1083-1094) Larangan (1124).
3. Ungkapan :
Kesepakatan itu harus diungkapkan secara publik
- publisitas : pernikahan merupakan fakta sosial, maka perlu diungkapkan
di hadapan umum.
Maka perlu ada forma publica pernikahan (ungkapan konsensus).
Forma publica adalah tata peneguhan yang diakui sah oleh masyarakat
Bentuknya :
- sipil
- keagamaan : forma canonica 1108, 1117, 1127.
1108 : dibawah otoritas Gereja :
a. ordinaris wilayah 134
b. imam/diakon/delegatus (kasus tertentu)
c. 2 orang saksi (manusia waras)1116
Imam/diakon bisa diwakilkan (didelegasikan) kalau ada bahaya mati tetapi otaknya masih jalan (lain dengan koma); janji diucapkan secara sadar. Bisa juga dalam keadaan perang.
Exkursus :
Perkawinan sah (VALIDITAS)
Unsur konstitutif yang menentukan ada tidaknya sebuah perkawinan
Perkawinan Halal (LICEITAS)
Terkait dengan sopan, layaknya, kalau dilanggar perkawinan tetap sah
Ex: perkawinan beda gereja tanpa ijin.
Halangan nikah perlu dispensasi
Larangan nikah perlu ijin.
SAH – SAKRAMEN – INDISSOLUBILITAS PERKAWINAN
Kapan Perkawinan orang-orang Katolik menjadi SAH, ADA?
Kapan menjadi sakramen
Sejak kapan memiliki indissolubilitas absolut
JAWABAN 2 TOKOH BESAR :
1. Gratianus (Bologna) dengan TEORI KOPULA
yaitu : perkawinan ada sejak ada konsensus, namun menjadi sakramen dan memiIliki sifat indissolubilitas sejak adanya hubungan suami istri (Kopula)
Konsekuensi :
Selama belum ada hubungan seksual, perkawinan belum sakramen, dan masih bisa bercerai. (Karena masih layaknya tunangan).
2. Petrus Lombardus (Paris) dengan TEORI CONSENSUALIS
Yaitu : perkawinan orang-orang Katolik ada, menjadi sakramen dan bersifat indissolubilitas sejak ada konsensus.
Teori ini tidak melihat ada atau tidaknya hubungan seks suami istri
3. Alternatif Ke-3 (sintese : diadopsi oleh ajaran Gereja)
- perkawinan dibedakan menjadi :
MATRIMONIUM INFIERI
Mau menjawab : Kapan terjadi perkawinan dan menjadi sah dan sakramen ?
Saat pasangan memberikan consensus (janji nikah)
MATRIMONIUM INFACTO ESSE (menunjuk fakta)
Perkawinan baru memiliki sifat indissolubilitas absolut semenjak terjadi persetubuhan.
Kesimpulan :
Maka, sebelum terjadi persetubuhan, perkawinan baru memiliki indissolubilitas relativa.
OBYEK KESEPAKATAN NIKAH (1055 + 1057)
Rumusan : “mulai hari ini kamu menjadi istriku/suamiku yang sah ...”
Yang menjadi kesepakatan :
Consortium totius Vitae
(Kebersamaan seluruh Hidup; dalam suka-duka, untuk-malang).
Bdk. Hukum Kanonik Lama Kanon 17 :
Obyek itu sempit : IUS IN CORPUS (Hak Atas tubuh)
Dalam kesepakatan KHK sekarang sudah termasuk IUS IN CORPUS tadi (kalau tidak ada itu, perkawinan masih bisa dibatalkan).
KANON 1058
Kanon 1058 berisi tentang HAK UNTUK MENIKAH (IUS CONCUBII)
Dikatakan bahwa pada dasarnya semua orang yang tidak dilarang hukum dapat menikah. Dasarnya : menikah adalah hak asasi manusia. Namun hak itu tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Kalau ada alasan-alasan tertentu, yaitu demi kepentingan pasangan dan Gereja maka Gereja menentukan syarat-syarat bagi penerimaan sakramen perkawinan. Dalam hal ini Gereja leluasa dalam menentukan validitas dan liceitas perkawinan.
Gereja menetapkan 12 halangan nikah yang mengatur hak untuk menikah Kanon 1083-1094. Tujuan Gereja adalah supaya tidak ada orang yang dirugikan.
KANON 1059
Kanon 1059 berbicara tentang MANAJEMEN PERKAWINAN.
Perkawinan orang Katolik (meski satu dari pasangannya non Katolik), diatur oleh 3 instansi hukum sekaligus.
1. HUKUM ILAHI,
yaitu hukum yang dipahami oleh akal sehat manusia sebagai suatu yang berasal
dari Allah. Maka bisa disebutkan seperti :
- Perkawinan merupakan perjanjian
- antara Pria dan wanita
- Sifatnya monogami dan tak terceraikan
- Tujuan : kesejahteraan suami dan istri, pendidikan dan kelahiran anak
- obyek perkawinan : CONSORTIUM TOTIUS VITAE
2. HUKUM KANONIK/GEREJA
yaitu : hukum atau norma-norma tertulis yang dirumuskan oleh Gereja dan berpangkal dari pewahyuan ilahi.
Terkait erat dengan masalah-masalah yang menentukan :
- VALIDITAS
- LICEITAS
- TATA UPACARA ( FORMA CANONICA).
3. HUKUM SIPIL
Yaitu : hukum yang menyangkut efek sipil saja (untuk mendapatkan pengakuan negara bahwa dua orang ini adalah pasangan suami istri).
Nagara tidak punya sama sekali hak untuk menentukan sah atau tidaknya perkawinan orang-orang Katolik.
KANON 1060
Kanon 1060 ini mengatakan bahwa dalam keragu-raguan dipertahankan sahnya perkawinan sampai dibuktikan kebalikannya melalui berbagai macam investigasi.
Tujuan dari kanon ini adalah untuk memberi kepastian hukum, jangan sampai orang diombang-ambingkan oleh hal yang meragukan.
Pada prinsipnya hukum selalu membela, mengutamakan dan memihak pada sahnya perkawinan.
Maka dari itu pembatalan perkawinan senantiasa menuntut suatu kepastian moral bahwa perkawinan secara obyektif itu sah.
Kelemahan kanon ini : merugikan pihak-pihak yang memang merasa perkawinannya tidak sah tetapi tidak mampu membuktikannya.
Tetapi kanon ini tetap dipertahankan untuk menghindari akibat-akibat sosial yang tidak diinginkan.
KANON 1061
Kanon 1061 ini berbicara mengenai MATRIMONIUM RATUM, RATUM ET CONSUMATUM DAN PUTATIVUM.
a. MATRIMONIUM RATUM
Yang dimaksud dengan matrimonium ratum adalah semua perkawinan sah dan sakramen yang dilangsungkan oleh dua orang yang telah dibabtis, dan sejauh dilaksanakan sesuai dengan norma-norma Kanonik.
Perkawinan orang katolik dan non katolik bukan ratum karena perkawinan campur bukan sakramen ( Kanon 1125, dst).
Perkawinan sakramen disebut RATUM TANTUM sejauh belum disempurnakan dengan persetubuhan suami istri. INDISSOLUBILITAS perkawinan ratum tantum tidaklah mutlak, dengan alasan berat bisa diputuskan oleh tahta suci atas permintaan minimal salah satu pasangan.
Pada prinsipnya perkawinan ratum tantum sama dengan perkawinan ratum et non consumatum.
b. MATRIMONIUM RATUM ET CONSUMATUM
Yaitu, perkawinan sah dan sakramen yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan suami istri (copula maritalis). Dengan persetubuhan, perkawinan menjadi tanda penuh dan sempurna hubungan kasih KRISTUS dengan GEREJA. Karena itu sifatnya tak terceraikan mutlak. Tidak ada kuasa manapun yang dapat memisahkan kecuali kematian. Kanon 1141 menegaskan kemustahilan untuk menceraikan perkawinan ratum et consumatum.
c. PERSETUBUHAN SECARA MANUSIAWI
“Secara manusiawi” menjadi sangat penting untuk menentukan kualitas consumatio dari perkawinan sakramen. Secara manusiawi dalam arti :
- sadar (tidak mabuk)
- bebas
- tanpa kekerasan
- tanpa paksaan
Persetubuhan itu juga dilakukan dengan keterbukaan pada kelahiran anak.
Persetubuhan ini harus terjadi dengan intentio matrialis yaitu intensi untuk prokreasi.
Yang berlawan dengan “secara manusiawi” :
- coitus interuptus (mengeluarkan sperma di luar vagina)
- contraseptive sexual intercouse (alat kontrasepsi).
Persetubuhan diandaikan terjadi setelah suami istri yang baru menikah tinggal bersama dalam satu rumah.
Kanon 1061 § 2 menegaskan hal tersebut khususnya kalau salah satu pasangan menghendaki putusnya ikatan nikah. Kalau mau diputuskan harus dibuktikan memang belum ada persetubuhan.
d. MATRIMONIUM PUTATIVUM
Yaitu, perkawinan yang secara permukaan nampak sah, namun secara obyektif tidak sah, entah karena adanya :
- halangan yang membatalkan perkawinan (kanon 1073-1094)
- cacat consensus atau kesepakatan (kanon 1095-1107)
- cacat tata peneguhan (kanon 1108-1112).
Namun dalam hal ini bila pasangan (atau salah satu dari mereka) yakin dan mengira bahwa perkawinannya sah, karena mereka memang memaksudkan sebuah perkawinan yang sah.
Perkawinan ini terus memiliki sifat putatif sampai keduabelah pihak yakin akan ketidaksahan perkawinan mereka.
Pentingnya kanon ini berhubungan dengan PENGESAHAN ANAK. Anak-anak yang lahir dari perkawinan putatif ini diakui sebagai anak yang sah, meski pada akhirnya orang tua mereka menyadari bahwa perkawinan mereka tidak sah secara obyektif.
Kanon 1061 ini berbicara mengenai MATRIMONIUM RATUM, RATUM ET CONSUMATUM DAN PUTATIVUM.
a. MATRIMONIUM RATUM
Yang dimaksud dengan matrimonium ratum adalah semua perkawinan sah dan sakramen yang dilangsungkan oleh dua orang yang telah dibabtis, dan sejauh dilaksanakan sesuai dengan norma-norma Kanonik.
Perkawinan orang katolik dan non katolik bukan ratum karena perkawinan campur bukan sakramen ( Kanon 1125, dst).
Perkawinan sakramen disebut RATUM TANTUM sejauh belum disempurnakan dengan persetubuhan suami istri. INDISSOLUBILITAS perkawinan ratum tantum tidaklah mutlak, dengan alasan berat bisa diputuskan oleh tahta suci atas permintaan minimal salah satu pasangan.
Pada prinsipnya perkawinan ratum tantum sama dengan perkawinan ratum et non consumatum.
b. MATRIMONIUM RATUM ET CONSUMATUM
Yaitu, perkawinan sah dan sakramen yang sudah disempurnakan dengan persetubuhan suami istri (copula maritalis). Dengan persetubuhan, perkawinan menjadi tanda penuh dan sempurna hubungan kasih KRISTUS dengan GEREJA. Karena itu sifatnya tak terceraikan mutlak. Tidak ada kuasa manapun yang dapat memisahkan kecuali kematian. Kanon 1141 menegaskan kemustahilan untuk menceraikan perkawinan ratum et consumatum.
c. PERSETUBUHAN SECARA MANUSIAWI
“Secara manusiawi” menjadi sangat penting untuk menentukan kualitas consumatio dari perkawinan sakramen. Secara manusiawi dalam arti :
- sadar (tidak mabuk)
- bebas
- tanpa kekerasan
- tanpa paksaan
Persetubuhan itu juga dilakukan dengan keterbukaan pada kelahiran anak.
Persetubuhan ini harus terjadi dengan intentio matrialis yaitu intensi untuk prokreasi.
Yang berlawan dengan “secara manusiawi” :
- coitus interuptus (mengeluarkan sperma di luar vagina)
- contraseptive sexual intercouse (alat kontrasepsi).
Persetubuhan diandaikan terjadi setelah suami istri yang baru menikah tinggal bersama dalam satu rumah.
Kanon 1061 § 2 menegaskan hal tersebut khususnya kalau salah satu pasangan menghendaki putusnya ikatan nikah. Kalau mau diputuskan harus dibuktikan memang belum ada persetubuhan.
d. MATRIMONIUM PUTATIVUM
Yaitu, perkawinan yang secara permukaan nampak sah, namun secara obyektif tidak sah, entah karena adanya :
- halangan yang membatalkan perkawinan (kanon 1073-1094)
- cacat consensus atau kesepakatan (kanon 1095-1107)
- cacat tata peneguhan (kanon 1108-1112).
Namun dalam hal ini bila pasangan (atau salah satu dari mereka) yakin dan mengira bahwa perkawinannya sah, karena mereka memang memaksudkan sebuah perkawinan yang sah.
Perkawinan ini terus memiliki sifat putatif sampai keduabelah pihak yakin akan ketidaksahan perkawinan mereka.
Pentingnya kanon ini berhubungan dengan PENGESAHAN ANAK. Anak-anak yang lahir dari perkawinan putatif ini diakui sebagai anak yang sah, meski pada akhirnya orang tua mereka menyadari bahwa perkawinan mereka tidak sah secara obyektif.
KANON 1062
Kanon ini berbicara mengenai PERTUNANGAN. Dalam kanon ini ditegaskan bahwa pertunangan harus diatur oleh hukum partikular yang dirumuskan dan disahkan oleh Konferensi Wali Gereja masing-masing. (KWI belum merumuskan)
Pada dasarnya pertunangan tidak dituntut demi sahnya perkawinan, namun menjadi langkah awal yang penting menuju perkawinan. Karena pasangan bisa saling mengenal dan menyesuaikan diri serta mempersiapkan diri lebih baik untuk memasuki perkawinan.
Sekarang ini pertunangan merupakan peristiwa sosial, untuk memberitahukan kepada masyarakat tetang keseriusan pasangan menuju perkawinan. Dari pertunangan tidak dituntut dari pasangan hak untuk menikah. Maksudnya untuk melindungi hak tiap pasangan untuk menikah secara bebas. Kalau pertunangan putus, pasangan yang dirugikan bisa menuntut ganti rugi bila dimungkinkan.
1 komentar:
Romo, Jika pernikahan itu sendiri sudah tidak mendatangkan kesejahteraan dan kebahagiaan disalah satu pihak, atau bahkan mengancam keselamatan nyawa 1 atau 2 orang, bagaimana jalan keluarnya? apakah tetap pada prisip dan peraturan tidak dapat dipisahkan oleh siapapun dan lembaga apapun?
Misalnya terjadi kekerasan dalam rumah tangga, istri dipukuli sampai memar setiap hari atau bahkan sampai menjadi cacat tubuh, atau anak yang menjadi kurban hingga menimbulkan penderitaan lahir dan batin, karena melihat orang tuanya selalu bertengkar setiap hari, bahkan akibat kekerasan itu bisa menimbulkan penyakit yang mematikan buat si anak. Akhir - akhir ini kasus semacam itu banyak terjadi dikalangan keluarga katolik dan pelakunya orang katolik. Karena selama ini hanya mempertahankan bahwa pernikahan katolik itu tidak bisa dipisahkan oleh siapapun dan lembaga apapun kecuali kematian.
apakah seseorang harus mengakhiri penderitaannya dengan kematian demi mempertahankan pernikahan yang tidak membahagiakan lagi dan mengurbankan nyawanya demi kesetiaan dan janji yang membuatnya hidup dalam derita?
terima kasih Romo
Posting Komentar