Selayang Pandang
Malam menjelang HUT Imamat saya, 14 Agustus 2013 kemarin, saya diajak tirakatan bersama kelompok bapak bapak penatua dari sebuah gereja kecil di Kedawung, 8 kilometer dari Bumi Sukowati di tengah kota Sragen. Di akhir tirakatan, ada seorang bapak dengan kostum jawa yang mendaraskan doa dan syair lagu dengan menembang tembang macapat khas jawa, yang disebutnya "Asmaradana"
Di lain matra, sebenarnya Asmaradana adalah sebuah tembang macapat (Jawa) yang menceritakan tentang kisah cinta antara Damarwulan dan Anjasmara. Inilsah salah satu puisi yang menceritakan tentang Asmaradana tersebut:
Malam menjelang HUT Imamat saya, 14 Agustus 2013 kemarin, saya diajak tirakatan bersama kelompok bapak bapak penatua dari sebuah gereja kecil di Kedawung, 8 kilometer dari Bumi Sukowati di tengah kota Sragen. Di akhir tirakatan, ada seorang bapak dengan kostum jawa yang mendaraskan doa dan syair lagu dengan menembang tembang macapat khas jawa, yang disebutnya "Asmaradana"
Di lain matra, sebenarnya Asmaradana adalah sebuah tembang macapat (Jawa) yang menceritakan tentang kisah cinta antara Damarwulan dan Anjasmara. Inilsah salah satu puisi yang menceritakan tentang Asmaradana tersebut:
"Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa hujan dari daun, karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.
"Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia melihat peta, nasib,
perjalanan dan sebuah peperangan yang tak semuanya disebutkan.
"Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis. Sebab bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara, ia tak akan
mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani
lagi.
"Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Dalam puisi Asmaradana di atas, tergambar sebuah fragmen ketika Damarwulan berpamitan kepada sang kekasih, Anjasmara, untuk berangkat berperang melawan seorang pengkhianat Majapahit, Menak Jingga. Tergambar betapa syahdu dan haru suasana ketika itu yang terwakili dalam tiap bait puisi tersebut. Sebenarnya banyak yang ingin mereka ungkapkan. Entah tentang cinta, perpisahan, dan rasa sakit yang menyayat, “Tapi di antara mereka berdua, tidak ada yang berkata-kata.” Hingga akhirnya, kepergian Damarwulan itu disikapi dengan dingin kebekuan oleh sang kekasih, diam.
Karena, “ia tahu perempuan itu tak akan menangis.” Tak ada gunanya menangis bagi sang kekasih karena itu takkan mengubah takdir, “bila esok pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh ke utara,” yang berarti bahwa berita kekalahan dan kematian akan datang (bagi orang Jawa [Islam], utara adalah lambang kematian. Contoh: wong mati mujur ngalor [orang meninggal dikubur membujur ke utara]) dia harus menerimanya dengan legawa. Namun, apabila berita kemenangan yang datang maka dia harus rela melepas sang kekasih naik pangkat lalu pindah tugas di dalam kerajaan Majapahit serta dinikahkan dengan seorang gadis yang lebih terhormat. Hingga akhirnya, “ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang akan tiba, karena ia tak berani lagi.”
Bak buah simalakama. Dan akhirnya Damarwulan pun hanya bisa berpesan: Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu. Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu. Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan wajahku, kulupakan wajahmu.
Sebenarnya pesan yang tersirat dalam puisi tersebut tidak hanya renungan tentang hidup, mati, dan cinta semata. Selain itu tersirat sebuah amanat kepada kaum lelaki (khususnya) agar jangan terlalu terobsesi dengan pangkat, jabatan, dan gelimang dunia sehingga melupakan keluarga. Karena pada umumnya, semakin tinggi jabatan seseorang maka intensitasnya untuk bersama dengan keluarga akan semakin sedikit. Dan inilah kebanyakan pemicu keretakan rumah tangga, budaya dan juga agama kita.
0 komentar:
Posting Komentar