Sketsa Walikota Surakarta.
@ Romo Jost Kokoh Prihatanto, Pr.
”Bagi saya tidak penting berkantor di manapun. Yang penting bekerja!” Inilah
sepenggal kalimat dari “FX”, Sang Walikota Solo yang kerap berperan
sebagai Gatotkaca dalam kirab budaya itu dan kini menjadi ikon sekaligus idola
baru warga pengunjung Car Free Day (CFD) di kota Solo. Pastinya: Selamat datang
di “Spirit Of Loving Others”, sebuah era blusukan, yakni era horisontal yang
selalu mendengar dan memperhatikan sekaligus mencintai dan membela, karena
ruang dan uang seharusnya memang dibangun dengan “bahasa kemanusiaan, bahasa
kasih dan bahasa kejujuran”. Inilah sebuah era bahasa yang mengurangi instruksi
tapi banyak mendelegasi, yang mengurangi perintah tapi banyak berkomunikasi.
Sebuah era dimana pemimpinnya: Ketika ada masalah – dia ada di paling depan,
ketika ada kerja - dia ada di tengah-tengahnya, dan ketika ada kemakmuran - dia
ada di paling belakang, karena sejatinya pemimpin harusnya menderita dan bukan
menikmati, harusnya penuh cinta dan bukan sekedar kata kata hampa, karena cinta
akan menghasilkan sesuatu, sementara kata - kata kerap hanya menghasilkan
alasan. Tolle et legge. Ambil dan bacalah!“Audi alteram partem - Dengarkanlah pihak lain.”
“Dulu, Pak Rudy (FX) yang juga Ketua PDIP Surakarta-lah yang mengusulkan nama Jokowi. Ketika itu saya bilang, Pak Rudy itu seperti preman. Lalu, tiba-tiba didatangkannya Jokowi dan saya bilang, kok Pak Jokowi kurus. Bisa apa dia? Lalu Pak Rudy (FX) bilang nanti ibu tahu. Belakangan terbukti, mereka berdua memang sukses memimpin dengan pujian di sana-sini, dengan metode khas musyawarah untuk mufakat. Ya, jadilah pemimpin yang mengayomi rakyatnya. Jangan sampai rakyat bilang tolong diayomi karena kita merupakan sebuah partai yang memang datang dari kalangan rakyat. Kita seharusnya menyadari akibatnya karena kita datang dari rakyat, bahwa kita harus lebih bekerja keras dari mereka yang memang sudah mempunyai segala sesuatunya. Sekali lagi saya ingin mengatakan segeralah bersiap. Tidak ada alasan lagi. Jangan buang-buang waktu lagi dengan segala alasan kiri-kanan. Segeralah bekerja, bekerja, dan bekerja dengan segala kekuatan yang kita punya!" (Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan).
“Kalau dulu, kan, Walikota Solo mesti meresmikan hal yang gede-gede. Meresmikan mal terbesar misalnya. Tapi, sekarang, gapura, pos ronda, semuanya kita (Jokowi dan FX) yang buka, kok. Pos ronda minta dibuka walikota, gapura dibuka walikota, ya gimana rakyat yang minta, ya kita buka aja. Ya, kadang-kadang lucu juga. Tapi kita berdua nikmati. Yang pasti, enggak ada pesan khusus, beliau (FX) sudah paham dan sangat mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak usah diragukan lagi kerjanya, dan saya yakin Pak Rudy (FX) akan bisa bekerja lebih baik dari saya, beliau lebih tahu lapangan ketimbang saya."
(Jokowi, Gubernur DKI Jakarta, mantan Walikota Solo).
Pak Rudy (FX) adalah pribadi “unik” yang tadinya berdiri di belakang sosok “fenomenal Jokowi”, tapi ternyata pamor pak Rudy tidak kalah! Bahkan tanpa harus menjadi seperti Jokowi, beliau dapat mengambil hati warga Solo dengan “cara”nya. Beliau memaknai “jabatan”nya seperti sebuah “panggilan”, sehingga apa yang dilakukannya adalah suatu “pelayanan” yang ber-hikmat. Harapan saya: Semoga ada orang “luar biasa” lain lagi, yang menginspirasi negeri setelah Jokowi dan Pak Rudy ini.”
(Anne Avantie, perancang busana terkenal, penulis dan aktivis sosial, peraih "Kartini Award” pada 2004, 2005, dan 2008 serta peraih penghargaan "Wanita Indonesia Bisa").
“Surakarta bisa dikatakan sebagai kota malapetaka. Surakarta menjadi pusatnya stabilitas di Jawa Tengah. Gaya kepemimpinan Pak Rudy (FX) bisa menjaga Solo tetap aman, tenteram, dan ayem.”
(Bibit Waluyo, mantan Gubernur Jawa Tengah)
“Intensitas saya berkomunikasi dengan beliau bisa dihitung dengan jari. Justru sosok “sangar” dengan gaya kewibawaan khas Solo inilah yang membuat saya harus berhitung dengan matang jika ingin berkomunikasi dengan beliau, meskipun sebenarnya mas Rudy (FX) adalah orang yang mudah dihubungi. Artinya, saya “ngajeni” beliau sebagai seorang tokoh dan pemimpin. Pengalaman saya, sejak saya aktif di PMKRI Surakarta hingga Pengurus Pusat PMKRI bahkan sampai sekarang, mas Rudy adalah sosok yang egaliter, pekerja dan paham soal anak muda. Akhirnya, saya juga harus mengatakan bahwa sebagai seorang Katolik, nilai universalitas yang ada pada mas Rudy hadir sebagai simbol bahwa Indonesia adalah milik kita bersama.”
Stef Asat Gusma (Mantan Ketua Presidium PP PMKRI)
Yang gw terharu plus heran.. kok bisa ya mereka (Jokowi dan FX) kompak bgt..., pernah tanpa ketauan siapapun , di luar jam dinas, mereka berdua boncengan naik motor bebek ke bengkel esemka..., cuek bgt...., kayak janjian bareng mo selingkuh!.. hahahahahaha.(Hasrullah AS, suara rakyat)
“Kami tidak ada yang mengarahkan nanti bapak (FX) akan jadi ini itu. Kami pasrahkan kepada Bapak. Toh kalau bapak tidak ambil posisi itu kan juga tidak apa-apa.” Keluarga menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada bapak. Keluarga hanya akan memberi dukungan penuh dalam setiap keputusan yang diambil. Sejak terjun ke dunia politik, saya hanya terus berpesan agar bapak bisa menjaga amanah yang diembannya: Mengabdi kepada masyarakat dan berjalan sesuai koridor yang ada.” (E.Endang Prasetyaningsih, Istri FX Hadi Rudyatmo)
Walikota Sala, Bp. FX. Hadi Rudyatmo memperoleh fasilitas rumah dinas di Loji Gandrung. Sebelum rumah dinas ditempati, diselenggarakan perayaan Ekaristi. Saya diundang untuk memimpin perayaan Ekaristi tersebut. Waktu itu musim hujan telah tiba.Minggu, 18 November 2012, petang hari hujan lebat mengguyur kota Sala. Umat sudah memenuhi halaman dalam Loji Gandrung. Air hujan mulai menggenangi halaman. Pak Walikota tak segan-segan mengambil alat untuk mengalirkan genangan air hujan ke selokan halaman tersebut. Menyaksikan peristiwa tersebut, hati saya berkata, “Ia seorang pemimpin yang melayani.” Loji Gandrung menjadi rumah dinas Walikota Sala. Rumah itu disebut rumah dinas. Dinas dari kata kerja bahasa Belanda “dienen”, yang artinya “melayani”. Rumah itu menjadi rumah pelayanan, agar seluruh masyarakat Sala terlayani. Nama FX tak terlepas dari Hadi Rudyatmo. FX, Fransiskus Xaverius nama yang ditambahkan ketika dibaptis, yang menandari bahwa Pak Rudy warga Gereja Katolik. Ia terlibat aktif dalam kehidupan menggereja di Gereja Paroki Santa Perawan Maria Regina Purbawardayan., Sala. Sudah belasan tahun Pak Rudy diserahi tugas menjadi prodiakon paroki, pembantu pembagi komuni. Diakon dari kata kerja bahasa Yunani “diakenin”, yang artinya melayani. Pelayanan yang dilakukan kepada masyarakat memperoleh dasar yang kuat pada sabda Tuhan, “sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang." (Matius 20:28). Semoga semangat pelayanan yang mewarnai kepemipinan Walikota Sala menemangati warga kota Sala untuk bersedia saling melayani pula.
(Mgr J. Pujasumarta, Uskup Agung Semarang)
Ada beberapa sahabat saya, yang kebetulan pejabat, kalau memanggil saya dengan sebutan mas, panggilan itu tidak hanya dalam keseharian, tetapi di forum rapat dinas (ketika saya masih dinas). Biasanya dalam rapat dinas itu, mereka “mohon maaf, saya akan tetap memanggil Mas Sri Busono, bukan Pak, karena sudah kebiasaan”. Dan bagi saya itu merupakan kenikmatan hubungan, diantara kami. Salah satu sahabat saya itu, Mas Rudy (FX), Walikota Solo. Ketika saya masih aktif dulu, beliau masih Wawali Solo. Lama tidak pernah bertemu, ketemu ketemu beliau sudah menjadi Walikota Solo dalam acara Pelantikan Pengurus KONI Surakarta. Dalam acara tersebut, saya duduk di deretan kursi tengah. Sedangkan beberapa teman duduk di depan. Ketika Mas Rudy memasuki ruangan, teman-teman yang duduk di depan berebut berjabat tangan dengan Mas Rudy. Saya tidak, karena posisi saya yang agak jauh. Tapi sejujurnya, ada alasan lain, yaitu saya sempat berpikir jelek: “Wah, sekarang sudah jadi Walikota Solo, jangan jangan sekarang jadi sombong.” Dan, tibalah saatnya, beliau menyampaikan kata sambutan. Saya berusaha tidak bertatap muka, karena kebacut tidak salaman, saya dingkluk saja. Mulailah beliau berpidato dengan pembukaan: “Yang saya hormati, para sesepuh dan pinisepuh, khususnya Mas Sri Busono yang datang jauh jauh dari Sragen, dst.” Saya mendongak dan saling pandang terus saling senyum, batin saya: “mati aku, pukulan telak dan langsung K.O. pada diri beta yang ternyata mengidap virus kesombongan ini. “Bukan Mas Rudy yang Walikota Solo yang sombong , tetapi ternyata diri saya sendiri, , dan tidak hanya sombong tetapi juga buruk sangka!” Ketika suasananya memungkinkan, saya datangi beliau, saya jabat tangan dan saya rangkul, sambil berbisik: “Mas, bantu teman teman Sragen mbangun (Goa Maria – Taman Doa) Ngrawoh di Sragen, ya?” Jawabnya singkat: “Ya!” Lagi-lagi, saya kebacut berburuk sangka, “ach paling paling nanti juga lupa”, pikir saya. Ternyata, beberapa saat di kemudian hari, pada sebuah acara “TTM – Tribute To Mary” bersama penulis buku “FX” ini, di awal bulan Mei 2013, Mas Rudy menyumbangkan gaji bulanannya untuk pembangunan (Goa Maria – Taman Doa) Ngrawoh. Ketika beliau mau pulang, saya ucapkan banyak terimakasih. Dan, saya termenung sendiri. Ab imo pectore, dari lubuk hati yang paling dalam: “Waduh dua kali saya terkapar K.O. oleh Mas Rudy!!” Mas Rudy, mugi Gusti paring berkah dumateng mas Rudy sak keluarga. Berkah Dalem.(St. Sri Busono, Mantan Ketua Golkar Sragen dan DPRD Jawa Tengah)
Saya menyambut baik diterbitkannya buku sketsa biografi “FX” menjelang tahun 2014 yang banyak disebut orang sebagai “Tahun Politik”. Saya sangat tertarik membaca buku “FX” yang ditulis-kenang oleh Romo Jost Kokoh Prihatanto, karena memuat pelbagai hal ikwal yang sangat penting sekaligus mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara jujur, saya sepakat dengan pendapat penulis buku “FX” ini bahwa keaktifan berpolitik itu sangat baik dan diperlukan oleh sebuah bangsa yang beradab. Ketika saya menjumpai Bung FX bersama dengan Romo Jost Kokoh di Loji Gandrung Solo dan sekaligus berbincang bersama ketua DPRD Solo (YF Sukasno) serta seorang anggota DPR RI (Arya Bima) pada awal November 2013 ini, saya semakin diyakinkan bahwa berpolitik melalui partai politik sangat perlu dalam kehidupan ber-demokrasi. Secara sederhana, dalam setiap sistem politik ada infra-struktur politik dan sekaligus ada juga supra-struktur politik. Adapun yang termasuk dengan infra-struktur politik adalah partai politik dan pelbagai kelompok dengan aneka kepentingan. Menjadi pemaknaan bersama bahwa salah satu fungsi partai politik adalah mengadakan seleksi kepemimpinan. Selain itu, mereka juga bertugas untuk memadu-salurkan pendapat dari pelbagai kelompok. Disinilah, partai politik perlahan akan membentuk sebuah supra-struktur politik untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara secara lebih utuh dan menyeluruh. Dengan proses seperti itu,maka jelaslah bahwa partai politik itu penting peranannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disinilah, bersama dengan penulisan dan peluncuran buku sketsa “FX”, saya sangat mendukung jika ada beberapa bahkan banyak anak muda yang berani terjun ke dunia politik di ranah publik. Tentunya, berpolitik peru didasari oleh landasan ideologi yang mantap dan mengendap. Yang saya maksud dengan ideologi adalah seperangkat nilai dasar dan kebaikan yang diperlukan dan diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun, saya asyik masyuk membaca buku “FX’ ini karena menemu-kembangkan pelbagai intisari dan aneka nilai, core values yang sangat diperlukan dalam kehidupan berpolitik secara real dan kontekstual.
(Cosmas Batubara, Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Perumahan Rakyat sekaligus ketua “ILO” – “International Labour Organization”, PBB).
Seorang Hadi Rudyatmo (FX) memiliki banyak peran dan dimensi. Satu dimensi yang hendak disampaikan disini adalah Rudy yang Katolik. Tetapi berbeda dengan Katolik kebanyakan yang eksklusif, ditambah minder, dan lemes, Rudi adalah Katolik yang memasyarakat, yang terlibat, yang selalu percaya diri dan energik. Untuk itulah Rudi adalah figur pemimpin Katolik yang “langka”. Indahnya, itu semua ditulis dengan renyah dan ringan oleh Romo Jost Kokoh dalam buku sketsa “FX” ini.
(Greg Soetomo SJ, Pemimpin Redaksi Mingguan HIDUP dan Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
“Bagi saya, Pak Rudy (FX) yang menjadi orangtua, teman sekaligus sahabat perjalanan selalu rela menjadi “akar” bagi “pohon” yang rindang, mekar dan berbuah. Ia tidak pernah mencari sensasi atau publikasi. Hidupnya alami, mengilhami dan insani. Figur dan tuturnya “down to earth”. Ia selalu terbuka membantu dan memahami orang lain yang datang dengan pelbagai uneg-uneg: keluhan, permintaan dan harapan, sehingga kadang saya menyebutnya sebagai “Mr. Nggih”, yang tidak pernah menolak untuk membantu orang lain. Jelas, bahwa hatinya penuh ketulusan dan “jabatannya” adalah melulu tugas pelayanan. Ia adalah orang kedua terdekat setelah kedua orangtua saya sendiri.”(YF.Sukasno, Ketua DPRD Solo)
“Rudy (FX) adalah pemimpin yang tidak hanya “memberi contoh” tapi juga “menjadi contoh”. Dimensi “servant” (pelayanannya) jauh lebih mengesankan daripada dimensi “teaching” (pengajarannya) karena ia benar benar hadir sebagai figure yang “asli”, yang memberi keteladanan dalam tindakan dan ketulusan dalam pelayanan. Komitmen kerakyatannya menjadi nilai/”value” yang mendasari pola pikir dan pola tindakannya. Di balik pembawaannya yang tegas dan seakan selalu berani dan bersemangat membela rakyatnya, ia mengajak saya meyakini premis dasar bahwa “tanpa rakyat – pemimpin tidak berarti apa-apa”. Jelas, ia dekat dan bersenyawa dengan semua rakyatnya. Dari rumah pribadi sampai rumah dinasnya, dari pagi sampai larut malam, hidup dan karyanya selalu menyatu padu dengan bahasa rakyatnya, bahkan kalau itu juga mengorbankan kepentingan diri dan keluarganya”. (Arya Bima, DPR RI)
Sebagai dosen dan peneliti, saya sangat terkesan dengan karya nyata yang telah dicapai oleh FX Rudi... Walaupun belum lama saya mengenal beliau, kesan tersebut langsung terbentuk karena dari pandangan dan sikap beliau langsung menunjukkan sosok yang memiliki karakter serta iman yang sangat kuat. Beliau dengan iman yang kuat telah berani menunjukkan dan membela apa yang diyakininya benar, selain itu dengan kesederhanaannya serta kedekatannya dengan masyarakat telah terbukti menjadi pimpinan di partai maupun pemerintahan daerah yang dapat diterima oleh masyarakat. Keberanian dengan integritas yang kuat ini, saat ini tidak banyak dimiliki oleh kebanyakan orang. Semoga dengan latar belakang pengalaman lapangan yang handal, pak FX Rudi.... dapat memberikan manfaat yang lebih banyak lagi kepada masyarakat Indonesia. Deo Gratias!! (DR. Ignatius Heruwasto / Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia)
HARAPAN DAN INGATAN
(Nico Daryanto, Eks Ketua Fraksi dan Sekretaris Jenderal PDI, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Hanura).
Ada kebiasaan di masyarakat yang menanyakan kepada anak kecil "besok ingin jadi apa?". Jawabannya bervariasi menurut lingkungan harian si anak, kebanyakan optimistis dan idealistis, "ingin menjadi dokter, guru, tentara, insinjur, pilot, dll, dls, dstnya...."
Akhir akhir ini ada phenomena baru, ialah ada anak yang menjawab pertanyaan itu: "aku ingin menjadi caleg". Jawaban ini mengandung dua kemungkinan yang saling berlawanan, antara yang positif dan yang negatif. Yang positif ialah kemungkinan jawaban anak itu didorong oleh motivasi ingin berbuat dan berjasa untuk orang banyak karena hal itu yang dia lihat dilakukan oleh anggota DPR yang dekat padanya. Atau, celakanya yang negatif, si anak melihat kemewahan melimpah dari orang di dekatnya, karena menjadi anggota DPR. Bila yang benar adalah yang kedua (kecenderungannya begitu), maka bangsa Indonesia mengarah ke masa depan perpolitikan yang penuh dengan malapetaka, sebagai akibat ulah dan dosa para pelaku politik pada masa reformasi ini,
Politik dalam kehidupan masyarakat memang memainkan peran yang sangat penting, bahkan dominan, dalam bahasa ala Descatersian: “aku berpolitik maka aku ada.” Jelasnya, hampir tidak ada sektor kehidupan masyarakat yang tidak bersentuh-pautan dengan politik. Sehingga, setiap insan di masyarakat harus “melek politik”, sebab bila buta politik orang akan menjadi komoditas atau bahkan korban dari politik, karena kita semua memiliki apa yang kita sebut sebagai “zoon politicon.” Zoon politicon sendiri tidak lebih dari sebuah ungkapan untuk menunjuk pada salah satu aspek manusia yang mempunyai dimensi untuk mengatur diri dalam hidup bersama demi mewujudkan kesejahteraan bersama.
Yang pasti: jawaban anak kecil "ingin jadi caleg" menunjukkan secara nyata, baik itu positif maupun negatif, bahwa terjadi berubahan. Suka atau tidak, yang kita hadapi adalah perubahan yang secara terus menerus terjadi. Tantangan bagi anak muda ialah, hanyut terbawa arus perubahan atau ikut berperan dalam pengendalian arah perubahan. Ikut berperan adalah pilihan yang ideal, dan itu hanya bisa ditempuh melalui politik. Jawaban anak kecil diatas "ingin jadi caleg", bila itu berlatar belakang positif, adalah jawaban yang paling tepat. Berpolitik melalui keanggotaan DPR memberi kesempatan yang sangat luas untuk berbuat banyak dan bermanfaat secara efektif untuk masyarakat luas. Hal ini, karena seluruh kegiatan di DPR baik yang dilakukan berasama maupun dilakukukan sendiri - sendiri oleh anggota, terus menerus secara intensif dipantau oleh media cetak maupun elektronik untuk disiarkan ke masyarakat luas. Seorang anggota DPR, yang vokal dan dirinya bersih, berani serta memiliki kemampuan yang memadahi, bisa memberikan warna dan pengaruh terhadap perubahan kehidupan bangsa secara nasional.
Untuk menambah "appetite" (selera) pada buku sketsa biografi “FX” atau Sdr. Frans (begitu saya menyapa beliau), saya bisa menyajikan pelajaran sederhana dari sepak terjangnya dalam kehidupan politik. Dalam tenggang waktu sekitar 8 tahun (1986 - 1994) Sdr. Frans dan saya berada dalam satu partai politik yang sama, Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kendatipun pada waktu itu saya adalah Sekretaris Jendral sedangkan Sdr. Frans berstatus anggota biasa (mungkin juga salah satu pengurus DPC), kami berdua mempunyai nasib yang sama, yaitu menyandang "double minority" (minoritas ganda).
Pertama: kami minoritas dalam agama karena kami berdua beragama katolik, yang di Indonesia mewujudkan minoritas.
Kedua: Kami minoritas dalam politik karena berada di PDI, partai paling kecil.
Satu satunya hal yang menjadi pegangan bagi kami sebagai kaum minoritas ganda, ialah bahwa kami harus berkualitas dengan motto "small is beautiful", dan kami harus tekun dalam berorganisasi. Dengan dua modal itu, ketika kesempatan tiba, maka Sdr. Frans berhasil memenuhi seruan "carpe diem", berhasil meraih jabatan untuk melayani sebagai wakil walikota Solo, bahkan akhirnya juga menjadi walikota Solo yg cukup dihormati, disegani dan dicintai. Sdr. Frans memberi contoh, bahwa dalam sebuah organisasi, yang penting adalah parsitipasi yang aktif tanpa mengedepankan pamrih pribadi. Sdr. Frans memberi contoh, bahwa jabatan dan kedudukan adalah hasil dan buah yang pada waktunya akan bisa dinikmati, bilamana bisa dipertahankan dengan apa yang menjadi tiga pilar tritunggal dalam buku ini: “Family” – semangat kekeluargaan yang Hangat; “Fraternity” – semangat kebersamaaan yang Andal; “Faith” – semangat keberimanan yang Militan. Tentunya ketiga pilar ini dibarengi dengan pelbagai keutamaan mendasar, seperti: ketekunan, ketulusan, kesetiaan dan kerja keras dalam berorganisasi. Di samping itu Sdr. Frans juga menyadari bahwa keberhasilan bukan semata mata karena kemampuan sendiri. Sdr. Frans menyadari bahwa kunci keberhasilan tersebar-pencar di tangan - tangan pihak lain. Sehingga, Sdr. Frans senantiasa selalu mengasah kemampuannya membina dan memelihara relasi yang harmonis dengan siapun, tanpa pandang bulu.
Bilamana dikatakan bahwa ada tiga kategori manusia, "those who make things happen, those who watch things happen, and those who wonder why things happen", maka Sdr. Frans pasti masuk dalam kategori pertama, "who make things happen".
Kendatipun saya hanya sekali sekali berkomunikasi melalui telepon, saya bisa menduga bahwa ada rasa keprihatinan dari Sdr. Frans. Keprihatinan tersebut karena menyadari bahwa makin mendekati waktu yang karena usia dan secara alamiah harus meninggalkan perjuangan di arena politik, namun tidak nampak adanya semangat dan hasrat kaum muda yang mengikuti jejak sebagai penerus.
Semoga kaum muda bisa membangkitkan semangat dan hasratnya untuk berpolitik, karena mereka menyadari bahwa bila tidak berpolitik orang bisa menjadi korban dari politik, bahwa hanya melalui politik orang bisa ikut mengatur perubahan, dan bahwa kaum minoritaspun mampu memenangkan persaingan dengan motto "small is beautiful" dan melalui “SOLO” – “Spirit Of Love Others” yang disebutkan dalam buku ‘FX” ini sebagai tiga pilar tritunggal dalam buku ini: “Family” – semangat kekeluargaan yang Hangat; “Fraternity” – semangat kebersamaaan yang Andal; “Faith” – semangat keberimanan yang Militan.
Tidak kalah pentingnya, semoga buku sketsa “FX” karya Romo Jost Kokoh ini bukan hanya dinikmati untuk dibaca, tetapi serta merta memberikan motivasi dan interupsi serta menimbulkan semangat dan hasrat bagi kaum muda untuk berpolitik di ranah publik. Pro patria et ecclesia!
Sepenggal kisah kecil di bantaran kali…
Bapak M Atmodiryono seorang muslim taat, beliau adalah seorang Masinis PJKA dengan gaji hanya cukup untuk makan saja. Tiap bulan anak-anak untuk dapat jatah beras 10kg, setuap bulan ada beras dalam lumbung ada 80kg lebih.
Sebelum jadi masinis bapak jadi Tentara Republik Indonesia, ketika ditugaskan di Purwokerto bertempur melawan Jepang, saat ketangkap Jepang, tapi yang luka helmnya serta lutut kiri keluar darah banyak, lalu sang bapak sempat tersungkur untuk pura-pura mati karena luka parah , bapak pulang dengan jalan merangkak dari Purwokerto hingga solo bila bertemu tentara Jepang beliau bersembunyi. Ketika sempat bersembunyi di bawah jembatan seluruh pakaian tentara ditinggal lalu kembali ke Solo hanya dengan celana pendek dan kaos dalam.
Tanggal 16 sampai 19 bulan Maret 1966 banjir bandang melanda dusun Ngebusan, Ia (Ibu Suprapti Purwanti) merupakan anak 1 yang harus menyelamatkan adik-adiknya ke tempat lebih tinggi karena rumah mereka tenggelam, ketika musibah ini terjadi sang ayah sedang sakit di Opname di RS Kadipolo menderita semacam Liver Kuning, Ketika mendengar berita bapak makin parah sakitnya, Selang berapa lama akhirnya sang kepala rumah tangga wafat, Ketika Rudi kecil sedang berusia 6 tahun, adiknya Sri Dawanti berusia 5 tahun
Kondisi pas-pasan perekonomi memang merupakan potret umum ekehidupan masyarakat Indonesia di era tahun 60 an yang masih serba seadanya sebagai dampak dari konflik politik dan pertikaian ideologis yang berkepanjangan.
Sementara setelah sepeninggalan bapak, Ibulah yang berperan sebagai Nahkoda, Sementara simbol hanyalah ibu rumah tangga biasa, yang mengurus anak-anak, belum pernah bekerja apa-apa. Sepeninggalan sang suami kehidupan perekonomian carut marut, 8 tahun kemudian dapat pensiun janda. Tetapi kebutuhan hidup sangat tinggi hingga simbol sempat terjerat renteunir / Bank Thitil hingga sekarang Rudy tidak mau terlibat hutang Bank, apa lagi sampai punya kartu kredit.
Bicara soal FX, ia terlahir 13 Februari 1960 putra ke 12 dari 13 bersaudara. Sejak kecil sudah biasa hidup susah. Usia 6 tahun Bapak Mario Atmowiryono di panggil Tuhan, untuk bisa mempertahankan sekolah serta tetap bisa makan walau hanya 2x sehari, Ia dengan saudaranya membantu Simbok dengan berjualan aneka sayuran, daun jati atau pisang, gorengan serta apa saja yang bisa di jual.
Setelah pulang sekolahpun mengantar makan siang bagi para pegawai pabrik kulit di CV.Bengawan Solo di daerah banjar sari. Tak hanya di situ saja, Rudi kecil pernah menurunkan truk pasir hanya di beri upah Rp.100, saking tidak punyanya uang untuk beli sepatu, bila sekolah tak pernah memakai sepatu. Yang jadi kenangan terindah di usia 6 tahunnya adalah ” Juara Ngaji se-Banjarsari” , Biasanya ia dengan sang adik Sri Dawanti (saat ini guru SMP N 1 Klaten) biasanya mereka akan di bekali aneka macam makanan untuk di bawa pulang nantinya akan di santap bersama seluruh anggota keluarga. Di saat jaburan, banyak jenis makanan di gelar. Inilah suasana yang sangat menyenangkan karena dengan begitu ia bisa membawa pulang makanan untuk orang-orang di rumah. Pada usia 9 tahun pernah mendapat penghargaan karena prestasi ngajinya, hal ini yang terbayang di kepalanya ” bahwa akan mendapat makanan yang akan di bawa pulang ”. Tak hanya soal makan, untuk tempat tinggalpun, ia dengan saudara-saudaranya pernah di gusur tak manusiawi. Dari usia 6-13 tahun ia bersama saudara-saudaranya menempati rumah kontrakan di daerah Magersari, akhirnya setelah tamat ia, kakak, adiknya dan Ibu baru bisa menempati sebuah rumah dengan luas tanah 4 x 8 M2 seharga Rp. 800.000
Cita-citanya sejak dulu ingin jadi tentara semacam Kopassus, Tapi karena keterbatasan biaya dan lain hal, ia akhirnya masuk STM Penerbangan di Margoyidan, Setelah bekerja, Kehidupannya sebagai buruh pabrik tak beranjak lebih baik, Demukian pula saudara-saudaranya. Gaji yang di terima tak memenuhi kebutuhan keluarganya, tapi ini semua ia jalani dengan ikhlas dan apa adanya. Saking sayang dan perhatian pada sang adiknya, Kakaknya no 1 Suprapti Purwanti kepala SD di Kecamatan Polokarto Sikoharjo hanya dapat gaji Rp. 12 seluruh hidupnya di abdikan untuk saudara-saudaranya hingga lupa untuk menikah hingga kini.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat di tolak, nasib orang siapa yang tahu ?
Dengan pengalamannya berorganisasi, ketika ia menjabat ketua DPC PDIP Solo, terpilih menjadi anggota DPRD di Pemilu logislatif 2004. Hingga karir politiknya makin menanjak, setahun kemudian terpilih menjadi wakil walikota mendampingi Joko Widodo, Kemudian tahun 2010 ia terpilih di Pilkada juga dengan pasangan tetapnya Joko Widodo.
Masyarakat Solo sudah tidak asing lagi dengan Rudy sapaan akrabnya dengan kumis tebal yang menjadi ciri khasnya serta perawakan yang hitam gempal. Di dukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh suara 99.747 suara atau 36,62% dari suara sah. di usung oleh partai Demokrasi Indonesia – Perjuangan. Jadi wakil 2010-2015, 19 Oktober 2012 – 2014 jadi Walikota Solo menggantikan Jokowi jadi Gubernur DKI.
Walaupun saat ini sudah menjadi orang no 1 di kota Solo yaitu sebagai walikota, tidak lantas jadi sombong dan angkih justru sebaiknya ia memperlihatkan pribadi yang baik, tampak dalam kerendahan hatinya untuk terlibat dengan sesama, baik yang mampu maupun mereka yang kurang mampu dan tak di ragukan lagi keeperpihakkannya pada rakyat miskin, Keterlibatannya dalam menyelenggarakan sekolah gratis hingga anak yang kurang mampu bisa sekolah, membina para pemiling yaitu dengan mengumpulkan barang-barang bekas lalu di olah kembali menjadi barang – barang yang berguna. Membina ibu-ibu dengan sisa uang belanja sebesar Rp. 1000,- lalu di masukkan ke dalam kertas tanpa di kunci dengan harapan mendidik kejujuran lalu tiap akhir bulan di hitung untuk keperluan para ibu-ibu. Membina angkringan (HIK) dimana tiap kecamatan di target 50 orang, yang sekarang telah terbina 100 orang lebih. Demikian juga dengan biaya pengobatan gratis maupun murah juga dilakukan, adapula les pelajaran gratis bagi anak-anak yang kurang mampu, disitu juga ia mendanai guru tetap dan sebagainya.
“Ad astra per aspera”.
Sampai ke bintang dengan jerih payah!
0 komentar:
Posting Komentar