Homo
Homini “SOCIUS” - Manusia adalah sahabat bagi sesamanya”. Itulah arti pepatah
Latin, yang saya ambil sebagai sebuah antitesis awal dari premis politis
seorang filsuf besar bernama Hobbes: “Homo homini lupus - manusia adalah
serigala bagi sesamanya.”
Bicara
soal sahabat, secara psikis, saya langsung teringat-kenang masa kecil imut-imut
saya. Dulu, saya mendapatkan sebuah hadiah dari ibu saya, yakni sebuah buku
berjudul, “Sahabat-Sahabat Yesus”. Yesus dekat, akrab dan terkesan bersahabat
dengan setiap orang beriman yang mau mengikutiNya, itulah isi pokok buku kecil
tersebut. Sebuah acuan biblis, Yesus juga pernah bersabda dalam injil Yohanes
15:14-15: “Kamu sahabat-sahabat-Ku, jika kamu melakukan apa yang Aku
perintahkan. Aku tidak lagi memanggil kamu hamba, karena hamba tidak mengetahui
apa yang sedang dilakukan oleh tuannya. Aku memanggil kamu sahabat-sahabat-Ku,
karena Aku sudah memberitahu kamu segala yang telah Aku dengar daripada
Bapa-Ku.”
Saya
mengangkat sebuah contoh lain persahabatan dalam kisah perwayangan: Pandawa
Lima mempunyai sahabat yang disebut Punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong). Punakawan yang berarti kawan yang mengiringi, hanya ada dalam kisah
wayang ketika telah mengalami gubahan di tanah Jawa. Kisah kehidupan Punakawan
begitu lama, dari sejak jaman Purwacarita sampai dengan jaman setelah kejayaan
Parikesit.
Disinilah,
kita bisa mencandra dengan lugas-jelas, bahwa kasih dan persahabatan adalah dua
hal yang tak terpisahkan, bukan? Dalam Alkitab, persahabatan bahkan merupakan
tingkat hubungan yang berharga: Abraham disebut sebagai "Sahabat
Allah" (Yakobus 2:23b), Daud disebut sebagai “seorang yang berkenan di
hati Allah” (1 Samuel 13:14), Santa Maria - para malaikat dan orang kudus juga
disebut sebagai “sahabat-sahabat terbaik Allah” (Katekismus Bab 4).
Dalam
kacamata biblis dan historiografi Gereja, terdapat juga banyak hubungan persahabatan
bukan? Bunda Teresa dengan Bruder Roger. Daud dengan Yonathan. Ignatius Loyola
dengan Xaverius. Fransiskus dengan Clara. Don Bosco dengan Dominikus Savio.
Paulus dengan Barnabas. Bartolomeus dengan Yohanes. Yesus dengan Zakeus,
Nikodemus, Bartimeus dan Magdalena.
Disinilah, ketika Yesus letih mengajar, kabarnya ia kadang mampir makan di rumah tiga sahabatnya: Lazarus, Maria dan Martha. Ketika Rama berjuang melepaskan Sinta dari cengkeraman Rahwana, ia dibantu oleh sahabatnya, Hanoman cs. Ketika kita sedih dan kebingungan, para malaikat pelindung datang sebagai sahabat yang setia menemani. Tapi, disinilah pertanyaan kritisnya: ketika, para “korban” butuh tempat berbagi pergulatan, apakah Gereja-kah sahabatnya?
Dalam
intentio-pura inilah, sejak tahun 2008, saya bersama beberapa mantan narapidana
membentuk sebuah rumah singgah, bernama “SOCIUS”. Socius dalam bahasa Latin
berarti “sahabat”, mungkin dari sini juga berasal pemahaman dasar bahwa manusia
adalah makluk sosial (Latin: bersifat bersahabat). Menyitir kata Alvin Toffler,
perubahan tidak hanya berguna bagi hidup. Perubahan adalah hidup itu sendiri,
maka para anggota SOCIUS ini juga ingin berubah, berbenah dan pastinya berguna
sebagai manusia baru. Mereka sendiri berasal dari pelbagai penjara: Nusakambangan,
Tangerang, Salemba, Cipinang dan Cirebon.
Adapun,
saya mengingat sebuah permenungan sederhana: Hidup ini permainan dengan empat
pilihan main: anda menjadi orang yang bukan main, orang yang tahu aturan main,
orang yang main-main, atau menjadi orang yang tidak tahu main alias menjadi
korban permainan. Sebetulnya, kebanyakan dari para mantan napi ini adalah para
korban permainan itu. Dalam bahasa seorang pemikir teoogi pembebasan, Ignatio
Ellacuría, mereka adalah “rakyat yang tersalib - El pueblo crucificado”. Maka
bagi saya sendiri, Gereja dipanggil menjadi sahabat bagi para korban, karena
bukankah kita bisa semakin menemukan wajah Tuhan lewat persahabatan dengan
mereka?
Maka,
sebuah tema pokok yang mau saya angkat, adalah tiga penyekat daalm mengartikan
sebuah kata sederhana penuh makna bernama “sahabat”. Bagi saya pribadi, kata
“sahabat” ini imempunyai tiga penyekat, yakni: satu dalam suka, hadir dalam
duka, serta berjabat dalam doa.
Sekat
Pertama: Satu dalam Suka
Yesus hadir dalam sebuah peristiwa sukacita. Ia menjadi “satu”, terlibat dengan sukacita orang lain di sekitarnya (Yoh 2:1-11): Ia datang dalam sebuah pesta pernikahan di Kana yang di Galilea. Ia juga membuat mukjijat yang pertama kalinya dalam pesta pernikahan ini.
Yesus hadir dalam sebuah peristiwa sukacita. Ia menjadi “satu”, terlibat dengan sukacita orang lain di sekitarnya (Yoh 2:1-11): Ia datang dalam sebuah pesta pernikahan di Kana yang di Galilea. Ia juga membuat mukjijat yang pertama kalinya dalam pesta pernikahan ini.
Sebuah
niat membangun rumah singgah untuk para mantan napi, yang bersemangatkan
nothing to loose ini terbentuk ketika pada awalnya di tahun 2007, saya
mengunjungi pelbagai penjara, dan kadang ditemani oleh seorang awam dari paroki
Tangerang bernama Bapak Wagiman. Pak Wagiman ini kerap mudah tersenyum dan
tidak putus memberi harapan bagi para narapidana, entah di penjara remaja,
dewasa, anak-anak, juga penjara wanita. Oleh sebab itulah, bagi saya sendiri,
Wagiman bisa berarti: “Wajah Giat Beriman.” Selama dua tahun terakhir ini, para
anggota rumah singgah SOCIUS, yang kebanyakan adalah muslim juga berusaha giat
beriman. Mereka mencukupi kebutuhan hariannya dengan membuat pelbagai benda
rohani: dari patung Hati Kudus Yesus, Santa Maria, patung santo santa, para
malaikat juga pelbagai salib dan rosario dari bahan-bahan sederhana. Menyitir
Van Gogh, hidup tak berharga bila tak berani mencoba sesuatu, maka mereka juga
mencoba menjual hasil karyanya, demi membeli nasi, indomie, alat-alat mandi,
dan keperluan harian lainnya. Dari sinilah, mereka belajar bersama
teman-temannya untuk mencoba belajar satu dalam suka.
Sekat
Kedua: Hadir dalam duka
Lazarus (Eleazar: Tuhan telah menolong), dikenal di dalam Kitab Suci sebagai saudara Marta dan Maria. Bersama kedua saudaranya, Lazarus tinggal di Betania, sebuah desa kecil yang terletak di tebing Timur bukit Zaitun. Yesus bersahabat baik dengannya. Ketika Lazarus jatuh sakit dan akhirnya meninggal, Marta dan Maria mengirim kabar dukacita kepada Yesus untuk datang melihatnya.
Lazarus (Eleazar: Tuhan telah menolong), dikenal di dalam Kitab Suci sebagai saudara Marta dan Maria. Bersama kedua saudaranya, Lazarus tinggal di Betania, sebuah desa kecil yang terletak di tebing Timur bukit Zaitun. Yesus bersahabat baik dengannya. Ketika Lazarus jatuh sakit dan akhirnya meninggal, Marta dan Maria mengirim kabar dukacita kepada Yesus untuk datang melihatnya.
Dari
persahabatan itu, kita menyaksikan terjadinya suatu peristiwa mukjizatNya yang
terakhir: Yesus mau hadir dalam duka, Ia membangkitkan Lazarus dari kematian
(Yoh 11:1-44) dan enam hari kemudian, bahkan Yesus menjadikannya sebagai teman
makan semeja (Yoh 12:1-11). Tepatlah kata Amsal 17:17 yang mengatakan,
"seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara
dalam kesukaran".
Setiap
rabu kedua, saya kerap merayakan misa kudus dan kadang disertai pelayanan
sakramen tobat di Rutan Salemba, disanalah saya bertemu dengan seorang Katolik
bernama, Sinaga. Sinaga ini seorang muda yang hadir dan rajin memberikan
dukungan dan sapaan bagi para narapidana. Satu ayat yang menjadi refleksinya,
“Ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat
Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku (Mat 25:36)...,
sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat
25:40). Disinilah, bagi saya nama Sinaga bisa berarti, “siap naik ke surga.”
Dalam
rumah singgah SOCIUS, yang terdiri dari dua belas mantan napi, ada sebuah kisah
nyata ketika seorang anggotanya, mantan napi dari Penjara Tangerang, yang anak
bayinya sakit keras dan bingung mencari bantuan, ternyata setiap anggota SOCIUS
rela memberikan hasil penjualan benda-benda rohani tersebut untuk membeli obat
buat si bayi tersebut. Perlu juga diketahui, ternyata di balik keterbatasan
mereka, malahan ada seorang mantan napi yang rela menjadi ayah angkat dari
seorang anak tak berayah. Di balik pengalaman “malam gelap”, mereka berjuang
untuk hadir dalam duka serta berbagi dari apa yang mereka punya. Iya, dengan
hal-hal baik inilah, mereka juga belajar “siap naik ke surga”, sepakat dengan
Abraham Lincoln, “dan pada akhirnya...bukanlah tahun-tahun dalam kehidupan anda
yang penting, tetapi kehidupan dalam tahun-tahun anda.”
Sekat
ketiga: Berjabat dalam Doa
Santo Thomas Aquinas, seorang imam Dominikan yang menjadi Pujangga Gereja dan penulis “Summa Theologia”, mengatakan, persahabatan berarti menghayati hidup bersama (living together), walau tidak melulu berarti satu atap. Dalam bahasanya Verbist, “cor unum et anima una - tetap sehati sejiwa, walaupun berbeda tempat. Disinilah, kita perlu mengingat bahwa Yesus saja berdoa kepada BapaNya di taman Getsemani juga di Gunung Kalvari. Bagaimana dengan kita?
Koordinator
SOCIUS selama tahun-tahun terakhir ini, bernama Bambang. Setiap hari dia
mengendarai motor bebeknya menjelajah dari Bekasi sampai Tangerang, mencari relasi
juga menjual pelbagai benda rohani yang mereka buat di rumah singgah, seperti
kata Jalaludin Rumi: Aku ingin bernyanyi seperti burung, tak perduli siapa yang
mendengar dan apa yang mereka pikirkan. Tak pernah lelah, Bambang kerap
berkata, “Gusti ora sare.” Disinilah, bagi saya Bambang bisa berarti, ”Bersama
Allah makin berkembang.” Dia kerap mensharingkan pelbagai keheranannya bahwa
rumah singgah ini masih bisa terus bertahan sampai sekarang.
Akhirnya,
kita bisa belajar apa? Salah satu sekat tujuan hidup beriman adalah melakoni
hidup dengan tujuan, maka selain belajar “meng-horisontal-kan” kerajaaan Allah,
saya sendiri semakin meyakin-sadari bahwa menjadi pastor itu bukan hanya mesti
berdaya-guna tapi juga berdaya-makna. Dan, lewat persahabatan dengan para
mantan napi inilah, saya diajak memaknai bahwa mereka bukan lagi “lupus”, tapi
“socius”: satu dalam suka, hadir dalam duka, berjabat dalam doa. “Humans change
the world by acting on it”.
Salam
HIKers!
0 komentar:
Posting Komentar