Ads 468x60px

Pernikahan Kristiani - Teks, Konteks & Praktek


@XXX - FAMILY WAY (Romo Jost Kokoh, KANISIUS)

Pernikahan adalah relasi antara laki dan wanita dimana: kebebasan adalah sama, ketergantungan adalah timbal-balik, dan kewajiban adalah untuk berbagi.

Pada suatu hari, seorang murid bertanya pada gurunya, ‘Apa pernikahan itu? Bagaimana aku bisa menemukannya?’ Guru menjawab, ‘Lihat, ada hutan lebatdisana. Berjalanlah tanpa berbalik, dan tebanglah hanya satu pohon. Bila kau menemukan pohon terpanjang, maka kau telah menemukan makna pernikahan’. Murid melakukannya dan beberapa waktu kemudian ia kembali dengan sebuah pohon. Pohon itu tidak lebat, dan juga tidak panjang, hanya pohon biasa. Gurunya bertanya, ‘Kenapa kau menebang pohon yang biasa-biasa saja?’ Plato menjawab. ‘Karena pengalaman sebelumnya. Aku berjalan setengah jalan, tapi pulang dengan tangan kosong. Kali ini aku melihat pohon yang kurasa tidaklah jelek, jadi kutebang lalu kubawa kesini. Soalnya aku tak mau kehilangan peluang lagi’. Gurunya menjawab, ‘Itulah pernikahan’. Begitulah sebuah permenungan kecil dari Plato.

Pernikahan (couple, wedding) sendiri adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi antar bangsa, suku satu dan yang lain pada satu bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula. Kata “pernikahan” adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari Bahasa Arab yaitu kata nikkah (bahasa Arab: النكاح ) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam Bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang berarti persetubuhan.

Dalam sebuah pernikahan, format perkawinan (perpaduan fisik-biologis) menjadi salah satu bagian identik di dalamnya. Dalam bahasa sehari-hari istilah perkawinan dan pernikahan sering diartikan sama, begitu juga dalam tulisan pada kali ini. Pemahaman Gereja sendiri tentang pernikahan setelah Konsili Vatikan II tampak dalam hal-hal pokok di bawah ini: 
• Perkawinan bukanlah kontrak, namun perjanjian.
• Dahulu, dalam KHK 17, tujuan perkawinan yang pertama adalah keturunan dan pendidikan anak. Sedangkan, kini dalam KHK 83 (yang terbaru), tujuan utama perkawinan adalah ‘kesejahteraan suami-istri’.
• “Hak atas tubuh” yang ada dalam KHK 17, dalam KHK 83 menjadi “pemberian diri seutuhnya”.

Selain itu, perlulah diingat bahwa setiap pernikahan Katolik diangkat sebagai “sakramen” (pernikahan sebagai kesatuan erat antara pria dan wanita juga sekaligus merupakan lambang hubungan Kristus dan Gereja - Allah dan umatNya - yang saling mengasihi). Dari sinilah, kita perlu kembali mengingat beberapa sifat hakiki pernikahan Katolik yang baik, al: 

-Monogam: Seorang suami selayaknya hanya mempunyai satu istri, demikian pula istri hanya mempunyai satu suami saja. Dengan demikian, cinta mereka penuh dan utuh, tak terbagi. Hal itu juga mencerminkan prinsip bahwa pria dan wanita mempunyai martabat yang sama.
-Tak terceraikan (Indissolubilitas): Dalam suatu pernikahan, suami dan istri telah mempersatukan diri dengan bebas, bahkan disatukan oleh rahmat Tuhan sendiri. Cinta sejati adalah cinta yang setia dan tak terceraikan, dalam keadaan bagaimana pun. 
-Terbuka bagi keturunan: Suami dan istri diharapkan terbuka pada kehadiran anak, terlebih bila Tuhan memberikannya. Adapun jumlah dan jarak kelahiran anak perlu direncanakan bersama dengan bijaksana. Segala bentuk pengguguran harus ditolak dengan tegas, karena jelas-jelas merupakan sikap menolak keturunan yang sudah ada.

Di bawah ini, ada aneka pendapat para pemikir seputar pernikahan yang bisa kita kritisi, al:

Jessica Wood: Pernikahan dan perkawinan adalah pelacuran yang disahkan. Seorang pria yang berkata bahwa ia tak pernah membayar untuk seks sebenarnya tak pernah menikah

Washington Irving: Pernikahan dan perkawinan adalah siksaan bagi seorang, anugerah bagi berdua, konflik dan permusuhan bagi tiga orang.

Francis Bacon: Isteri adalah gundik lelaki muda, kawan pada usia menengah, dan perawat bagi lelaki tua

Joseph Bart: Pernikahan dan perkawinan adalah kesempatan terakhir dan terbaik untuk bertumbuh.

Joseph Campbell: Bila orang menikah dan berpikir itulah asmara seumur hidup, mereka akan segera bercerai, karena semua asmara berakhir mengecewakan. Pernikahan adalah pengakuan atas identitas spiritual.

Peter DeVries: Masalahnya dengan pernikahan adalah kita menikah dengan suatu pribadi, tapi harus hidup bersama dengan suatu watak.

Edgar Watson Howe: Untuk setiap pertengkaran suami-isteri yang diketahui orang, ada 100 yang terjadi bila mereka berduaan.

Benjamin Franklin: Dimana ada pernikahan tanpa cinta, disitu ada cinta tanpa pernikahan.

Apapun tanggapan kita terhadap pelbagai komentar di atas, bagi saya sendiri, sebagai pribadi sekaligus seorang imam Katolik, pernikahan bisa berarti: “Persatuan, Niat dan Kasih dalam Tuhan”. Apa artinya?

Pertama: PERSATUAN 
Bicara soal persatuan, saya teringat kenang peristiwa sejarah 28 Oktober 1928, “Sumpah Pemuda.” Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Celebes dan lainnya bersatu dalam “Indonesia Moeda.” Demikianlah, persatuan telah ada sebelum NKRI ada. Sumpah Pemuda menciptakan persatuan sebelum pemerintah Indonesia mengusahakan persatuan. Dengan amat bagus, Rendra membawakan kembali realitas sejarah itu dalam orasi kebudayaan di Pagelaran Keraton Yogyakarta, 20 Agustus 1998: “Kebangsaan (dan persatuan) Indonesia adalah ciptaan rakyat Indonesia, bukan ciptaan pemerintah Indonesia.....bahwa kami adalah satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa...”.

Bicara lebih jauh soal persatuan dalam konteks keluarga dan Gereja, walaupun Erich Fromm pernah berkata, “Hal yang tak masuk akal dalam cinta adalah dua insan menjadi satu namun tetap dua, - "In love the paradox occurs that two beings become one and yet remain two", tetap saja salah satu ayat Kitab Suci yang kerap dipilih dan menjadi bacaan favorit bagi para mempelai yang siap menikah, adalah: “mereka bukan lagi dua melainkan satu, sebab itu apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.” Disinilah dalam kacamata Gereja Katolik, pernikahan tetap kerap disebut sebagai “konsortium totius vitae”: persatuan seluruh hidup dan cinta kasih suami istri yang mesra, yang diciptakan dan dilengkapi dengan hukum Tuhan, diwujudkan oleh perjanjian nikah atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. 

Beberapa maksud sederhana bahwa “pernikahan merupakan persatuan hidup dan cinta”, al: 

a. Pernikahan pertama-tama merupakan suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup. Atas dasar persetujuan bebas, mereka bersekutu membentuk suatu keluarga: mempunyai rumah bersama, harta dan uang menjadi milik bersama, mempunyai nama keluarga yang sama, mempunyai anak bersama, saling belajar memasrahkan diri serta jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus.
b. Persetujuan bebas adalah syarat mutlak untuk terjadinya dan sahnya pernikahan. Tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa. Cinta mensyaratkan kebebasan dan tanggungjawab. Persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. Unsur pokok dalam cinta pernikahan adalah kesetiaan bersatu bersama pasangannya dalam segala situasi.
c. Persatuan suami istri itu juga berciri dinamis, dalam arti dapat berkembang mekar, tetapi dapat juga mundur, bahkan hancur. Karena itu, suami dan istri sama-sama bertugas untuk tetap memupuk kesatuan mereka agar tahan uji.

Di lain matra, di tengah kesadaran sulitnya mengalami persatuan, dalam konteks di Indonesia, kebanyakan orang pasti tetap akan menikah, yaitu bersatu: mengikatkan diri dengan seseorang yang dicintainya. Jujur, kebanyakan keputusan untuk bersatu dalam sebuah pernikahan memang terkesan sudah ‘taken-for-granted’ . Bagi banyak orang, menikah itu memang menuruti irama kehidupan, ingin memperoleh keturunan, dan memang sudah seharusnya begitu. Namun demikian, pada kenyataannya juga mulai makin banyak orang yang kritis dan memilih tidak bersatu, dalam artian tidak menikah atau semakin ‘takut’ bersatu. Bahkan Oscar Wilde pernah menuliskan, “betapa perkawinan menghancurkan seorang laki. Itu sama merusak dengan rokok, hanya jauh lebih mahal”. Tentunya, ada banyak alasan mengapa sebagian orang memilih tidak bersatu dalam sebuah pernikahan, beberapa alasannya ada di bawah ini: 

1. Takut berkorban
2. Takut terikat dan terbelenggu
3. Tak ada yang mau dengan aku
4. Lebih enak membujang, bebas
5. Takut berbagi hak
6. Takut disakiti
7. Takut bercerai
8. Pernikahan adalah untung-untungan.
9. Takut menyesal.
10. Aku tidak tertarik pada lain jenis.
11. Aku terlalu miskin.
12. Tidak ketemu jodoh

Ada sebuah kalimat bijak dari Mark Twain, “cinta tampaknya adalah yang tercepat, tapi itu adalah pertumbuhan paling lamban. Tak seorang pun laki atau wanita tahu apa cinta sempurna itu hingga mereka menikah 25 tahun.” Disinilah, setiap orang yang sudah dan akan menikah, mengingat beratnya resiko sebuah komitmen pernikahan, maka mintalah rahmat Tuhan untuk bisa bertumbuh mempunyai semangat persatuan dan bukan perpecahan, karena bukankah Tuhan sendiri pernah mengatakan, “Yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”.

Kedua: NIAT. 
Walaupun Oscar Wilde pernah mengungkapkan, “lelaki menikah karena ia telah lelah; wanita karena ingin tahu, keduanya sama-sama kecewa,” tetap saja prosentase orang yang menikah terus meningkat, bukan? Secara teoretis memang menjadi jelas bahwa pernikahan terjadi ketika ada niat sungguh dari kedua belah pihak: dari soal persiapan nikah, mengikuti kursus dan memenuhi pelbagai persyaratan kanonik dalam Gereja. Bahkan sebelum dinikahkan secara resmi, kedua orang yang siap menikah ini lagi-lagi ditanyakan kesediaan, dan niatnya di hadapan seorang pastor dan umat beriman yang turut hadir. 

Bagi setiap orang yang mempunyai niat untuk menikah, baiklah melihat syarat sahnya pernikahan dalam Gereja Katolik, antara lain:

• Bebas dari halangan, seperti impotensi; ligamen (ikatan nikah); beda agama; tahbisan suci; religius (kaul kemurnian publik); penculikan; kejahatan; consanguinitas (hubungan darah); affinitas (semenda); kelayakan publik; serta pertalian hukum. 
• Adanya konsensus, dengan syarat :
- Mempunyai kemampuan psikologis yang memadai
- Mempunyai pengetahuan tentang perkawinan yang sehat
- Tidak adanya kekeliruan soal pribadi pasangannya
- Tidak adanya penipuan/penculikan.
- Bebas : tidak adanya paksaan / ancaman dari pihak manapun juga
• Dirayakan dalam tata peneguhan kanonik (Forma Cannonica), yang berarti: adanya satu orang peneguh yang sah (pastor) beserta dua orang saksi.

Bicara lebih lanjut soal niat, menurut penelitian David Buss, dosen psikologi di University of Texas, 10 ribu wanita dari 37 macam budaya meletakkan 'uang dan kekayaan' sebagai prioritas pertama dari pasangan yang mereka inginkan dalam pernikahan (Penelitian yang dikutip Mike Walsh dalam buku Essentials For Men: Sex & Lifestyle, 2000, dan dikutip astaga.com). Masih menurut hasil survei itu, para wanita itu menikah karena keinginan dan niatnya mendapatkan status sosial dan kekuasaan merupakan sebuah alasan kedua yang diinginkan para wanita dari calon pasangannya. Alasan ketiga adalah kebutuhan akan perlindungan. Survei itu mengungkapkan bahwa kebanyakan wanita masih melihat suami sebagai pelindung, sebagai ‘kepala rumah tangga’. 

Maka, pertanyaan relevan yang perlu diangkat yaitu, kenapa orang berniat untuk menikah? Diakui atau tidak, motivasi pernikahan yang cukup kuat adalah kombinasi dari beberapa motif insani, seperti kekuasaan, gengsi, uang, keamanan, dan seks. Sigmund Freud bahkan dengan lugas dan ceplas-ceplos mengatakan bahwa alasan utama orang menikah adalah karena kebutuhan biologis (seks, kesejahteraan, kemesraan). Di lain matra, alasan yang dipakai untuk menikah kerap menunjukkan seberapa besar orang bersangkutan melakukan seleksi terhadap pasangannya. Kebanyakan pernikahan yang gagal berakar dari 10 niat berikut ini: 

1. Ingin secepatnya meninggalkan rumah orangtua, 
2. Tidak kuat kesepian, 
3. Alasan nafsu, 
4. Alasan ekonomi,
5. Ingin segera mendapat anak sebagai pembuktian,
6. Melulu ingin memenuhi kehendak orangtua, 
7. Menutupi aib karena adanya SPN (seks pra-nikah) 
8. Kehamilan tanpa nikah.
9. Alasan material, karir, nama baik.
10. Takut dicap masyarakat sebagai ‘perawan tua’, ‘jejaka lapuk’.

Disinilah, kita diajak membuka hati dan budi, apakah sungguh selama ini kita juga memiliki niat baik dalam pernikahan? Bukankah dalam Injil juga ditampakkan bahwa Yesus melihat dan memberkati setiap niat baik umatnya: Bartimeus yang buta berteriak memanggil Yesus, Zakheus yang pendek memanjat pohon ara di kota Yerikho, Nikodemus yang terkenal mengunjungi Yesus di malam gelap gulita, Magdalena yang pagi-pagi benar “nyekar” ke makam Yesus, dan lain sebagainya.

Ketiga: KASIH.
Dalam setiap pemberkatan pernikahan, bacaan, lagu, renungan bahkan dekorasi bunga-bunganya selalu penuh dengan nuansa cinta dan kasih bukan? Kasih adalah tanda yang paling khas dan tampak jelas dalam setiap pernikahan. Sebagai contoh, kerap dalam setiap pemberkatan nikah, para mempelai sangat suka mengambil bacaan pertama dari Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus (Lih: 1 Kor 13:1-13), yang banyak berbicara soal kasih. Tapi bagaimana kenyataannya? “Oh!! Betapa banyak siksaan terletak di lingkaran kecil cincin perkawinan”, begitu tulis Colley Cibber. Disinilah pada praksisnya, survei David Buss menunjukkan bahwa pada masa kini 60% perkawinan gagal dalam 7 tahun pertama, karena kita kerap lupa setiap pernikahan membawa konsekwensi kasih yang amat berat. Ada beberapa konsekwensi pernikahan yang mengajak kita belajar “ngasih” dan bukan “minta”, seperti yang bisa kita lihat di bawah ini:

1. Menikah berarti membagi-dua hak-hakmu dan mendua-kalikan kewajibanmu.
2. Menikah berarti siap berkorban untuk pasangan seumur hidup.
3. Menikah berarti mengikat diri seumur hidup pada satu orang yang sama.
4. Menikah berarti mencintai, mencintai berarti memberikan.
5. Menikah berarti siap mengalami suka-duka yang amat banyak.
6. Menikah berarti selalu siap memaafkan.
7. Menikah berarti siap kehilangan orang yang dicintai
8. Menikah berarti siap hidup sehati dengan individu lain yang berbeda 
9. Menikah berarti bersedia diam tatkala benar, mengakui bila salah.
10. Menikah berarti bersedia dicela, dikritik, disakiti oleh orang terdekat.
11. Menikah berarti bersedia menerima sampai ia keriput dan sakit-sakitan.
12. Menikah berarti siap membuka ‘topeng’. (bebas dari kebohongan)

Jelaslah dari ke-12 definisi di atas, bahwa setiap pernikahan sangat membutuhkan kasih. Baik kalau kita ketahui juga, bahwa Paus Paulus VI dalam ensiklik Humanae Vitae pernah menjabarkan sifat/ciri khas cinta manusiawi dalam pernikahan, antara lain: bersifat manusiawi sepenuhnya, total - bersifat penuh; setia dan eksklusif sampai akhir hayat; serta fruitful: bertumbuh dan berbuah nyata dalam kebahagiaan dan keluarga baru.

Keempat: DI DALAM TUHAN
Alexander Dumas pernah mengatakan, “ikatan perkawinan adalah begitu berat hingga perlu dua orang untuk memikulnya – dan sering tiga, tapi cukup satu orang untuk menghancurkannya.” Disinilah setiap persatuan niat dan kasih dalam sebuah keluarga memang sangat berat. Banyak godaan yang kerap menimpa pelbagai keluarga Kristiani. Disinilah saya sekaligus mengingat-kenang sebuah pernyataan kecil dari St.Theresia, “jika semua dikerjakan bersama Allah, maka akan terasa lebih indah dan mudah.” Jadi, setiap keluarga dan setiap orang yang siap menikah, harus membawa semangat dan nilai persatuan, niat dan kasihNya di dalam dan bersama Tuhan. 

Kita perlu mengetahui bahwa pernikahan antara dua orang yang dibaptis (yang telah bersatu secara pribadi dengan Kristus) merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Ikatan cinta setia yang mempersatukan mereka berdua menjadi lambang, tanda, dan perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja dan saluran rahmat bagi mereka. Rahmat yang mereka terima adalah: rahmat yang menguduskan mereka berdua; rahmat yang menyempurnakan cinta dan persatuan antara mereka; dan rahmat yang membantu mereka dalam hidup berkeluarga, hingga semakin dekat dengan Tuhan. 

Kita juga perlu mengingat bahwa pernikahan bukan saja mengemban tugas meneruskan keturunan, tetapi pernikahan adalah baik untuk kesehatan jasmani dan rohani, kehidupan sosial, kehidupan seks dan juga untuk masalah keuangan, kata Don Browning dari University of Chicago, Director of the Religion, Culture, and Family Project. Don Browning juga percaya bahwa pernikahan adalah akar segala pertumbuhan nilai yang meramu aspek dasar seluruh kehidupan.

0 komentar:

Posting Komentar