Antara Keutamaan Anugerah
dan Kenyataan Sejarah
Kalau kita merasa sepi,
kita
terus-menerus mencari orang lain
dan
mengharapkan orang itu dapat menyingkirkan kesepian kita.
Hati
kita yang sepi berteriak, "Peganglah tanganku, sentuhlah aku,
ajaklah
aku berbicara, berilah aku perhatian."
Akan tetapi, dalam waktu singkat kita akan merasa
Akan tetapi, dalam waktu singkat kita akan merasa
bahwa
orang yang kita harapkan dapat menyingkirkan kesepian kita,
ternyata
tidak dapat memenuhi harapan kita.
Tidak
jarang orang itu merasa tertekan dengan kemauan kita
dan
pergi meninggalkan kita dalam kekecewaan.
Selama kita mendekati orang lain berangkat dari kesepian kita,
Selama kita mendekati orang lain berangkat dari kesepian kita,
tidak
akan terjadi perkembangan hubungan pribadi yang matang.
Saling
bergantung dalam kesepian,
membuat
hidup menjadi sesak, dan akhirnya akan merusak.
Agar kasih sejati berkembang,
Agar kasih sejati berkembang,
kita
membutuhkan keberanian untuk menciptakan ruang di antara kita
dan
yakin bahwa ruang itu membuat kita dapat menari bersama-sama.
Sebuah pengantar
Tersinyalir bahwa lebih dari separuh imam Katolik Polandia
ingin menikah, sementara sepertiganya diam-diam melanggar peraturan selibat (hidup tidak menikah). Pertanyaannya, bisakah selibat dalam ajaran gereja Katolik tetap dipertahankan? "Sebagai pastor muda saya tadinya bahagia, namun lama-lama saya
dilanda kesepian," ujar Jozef
Strezynski, 58 tahun. Ketika berjumpa dengan seorang perempuan yang menarik
hatinya, ia pun bergelut-gulat. Akhirnya, setelah 16 tahun menjadi pastor, Strezynski keluar dari imamatnya dan menikah.
Sekarang ia sudah punya dua anak. Katanya: 'Ini adalah
keputusan yang saya pertimbangkan selama bertahun-tahun. Akhirnya saya merasa dan menyadari tidak ada gunanya menjadi pastor yang tidak bahagia.' Lebih lanjut, ia mengatakan: 'salah untuk selalu men-cap pastor yang menikah dan melepaskan selibatnya sebagai
berkhianat pada Tuhan. Saya rasa sebaliknya: Seorang yang tidak ingin punya
kehidupan ganda, namun jujur terhadap orang yang dicintainya dan terhadap
Tuhan, memang harus menanggung beban berat, tetapi paling sedikit dia jujur.'
Di Polandia,
Jozef Strezynski tidak sendirian dalam bergulat-geliat dengan peraturan selibat yang harus dipatuhi seorang pastor Katolik. Berdasarkan
pembicaraan dengan 800 orang pastor lebih, seorang sosiolog Polandia mendapati
ternyata 54 persen di antaranya ingin hidup bersama seorang perempuan. Sementara
lebih dari sepertiganya, mengakui telah melakukan hubungan seks dengan perempuan dan 12 persen diantaranya berangan-angan mempunyai hubungan tetap. Wieslaw Dawidowski, seorang pastor dari ordo Santo Agustinus di
Warsawa, menyatakan tidak terkejut dengan angka-angka tersebut. Katanya: 'Saya kenal banyak eks pastor, juga banyak pastor yang
sebetulnya baik-baik, yang meninggalkan
gereja, jadi saya tidak kaget jika masalah seperti ini terjadi di lingkungan gereja. Itu
manusiawi. Siapa yang tidak berdosa, dialah yang melempar batu pertama.' Menurut pastor Dawidowski, selibat bukanlah sesuatu yang mudah. “….Karena itu kepada kalangan muda saya katakan mereka
harus memikirkan masak-masak. Mereka dijejali pesan bahwa menjadi pastor adalah
sesuatu yang indah, sebagai pengorbanan. Namun menjadi pastor sekarang tidak
lagi kerèn, kata pastor Dawidowski dalam bahasa anak muda. Seorang wartawan, Adam Szostkiewics mengatakan, 'Adalah ide
yang tidak masuk akal untuk terus memberlakukan selibat dalam gereja katolik,
jika di Polandia, yang mungkin merupakan negara paling katolik di Eropa,
terlihat seminari-seminari menjadi semakin kosong.”
Di lain matra, ''saya rasa pastor sudah sibuk dengan pekerjaannya dan tidak ada waktu lagi
untuk keluarga" kata Renata, seorang
umat yang setia di gereja Warsawa. ''Selibat merupakan
dogma penting dalam Gereja Katolik dan itu harus dipertahankan, " kata Michael, yang baru saja menghadiri misa sore. Merupakan sebuah kenyataan bahwa untuk sementara pastor yang menikah masih merupakan hal tabu dalam Gereja Katolik Polandia.
Ketua Konferensi Uskup Polandia, Mgr. Josep Michalik dalam reaksinya mengatakan bahwa pastor yang keluar jangan dianggap sebagai seorang
pahlawan.
Melihat Teks, Konteks dan Praktek
Berangkat dari kenyataan di
atas, yang terjadi di Polandia, tanah airnya Paus Yohanes Paulus II, menarik
untuk terlebih dulu mengerti apa arti selibat sebenarnya. Selibat dapat dideskripsikan sebagai suatu status hidup dimana seorang
pribadi memilih untuk tidak terikat tali perkawinan. Dalam bahasa Latin klasik,
status janda atau duda dikategorikan dalam istilah “caelibs”. Selain itu, dahulu selalu dikatakan bahwasannya sejak agama
Kristiani mulai diakui sebagai agama kekaisaran Romawi oleh Konstantinus Agung
tahun 313, maka orang-orang (kebanyakan laki-laki) pergi ke
padang gurun untuk hidup asketis dan selibat. Hal ini ditambah lagi dengan sebuah kenyataan bahwa sejak awal
gereja, cara berfikir gereja sangat dipengaruhi oleh filsafat dualisme
platonisme antara jiwa dan badan. Badan manusia dipandang rendah dan jiwa
selalu dipandang sebagai yang unggul. Dalam kerangka inilah,
maka hidup rohani selama berabad-abad ditandai dengan “mati raga” dan “selibat” yang
bertujuan untuk mematikan raga (badan) agar jiwa bisa hidup. Oleh karena badan
itu merupakan sesuatu yang rendah, maka seksualitas manusia yang secara
langsung berhubungan dengan badan manusia juga dipandang rendah, bahkan hubungan
seksual antara suami istri pun dipandang sebagai negatif (Imamat 15: 18).
Seiring berjalannya waktu, meski dalam beberapa periode historis, pelaksanaan selibat melemah di
beberapa wilayah Eropa Barat, namun perundang-undangan tentang selibat tidak
pernah dihilangkan. Para pemimpin Gereja, khususnya Paus Gregorius VII,
berjuang tanpa kenal lelah untuk menegakkan disiplin gerejawi tersebut. Dengan kata lain; Gereja
Barat dalam sejarahnya terus berkembang ke arah pembakuan selibat imamat dan
pendisiplinan para imam ke dalam suatu praksis yang lebih radikal. Hal ini
secara umum dipersiapkan oleh para paus (Siricius, Innocentius, Leo IX) serta diterima dan diteguhkan ulang dalam pelbagai
sinode lokal (Roma, Toledo, Carthago, Torino, Orange, Tours). Secara umum, pada abad VIII-IX, Gereja bersaksi tentang
perkembangan monastisisme dan pengaruh misionaris serta para rahib Benediktin.
Semua ini memberikan dasar bagi cita-cita hidup
murni dan usaha-usaha nyata untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Bahkan pembaruan keagamaan berikut tata tertibnya, termasuk soal selibat dalam
Gereja diintroduksi dari dalam biara.
Dua abad kemudian, martabat dan kedudukan tugas resmi imamat seringkali dilenyapkan oleh kerakusan
dan kontrol para tuan tanah.
Perkawinan para imam dan konkubinat (kumpul kebo) terjadi
dimana-mana. Sehingga, perjuangan panjang yang diakarkan pada monastisisme,
yang sering dikenal sebagai “Reformasi Gregoriana” (1050-1150)
berlangsung terus dan akhirnya selibat ditetapkan sebuah norma selibat imamat.
Paus Leo IX (+1054) dan beberapa paus berikutnya menegur dan menindak para imam
yang melanggar norma tersebut. Reaksi pro kontra atas sikap para paus tersebut
terus bermunculan. Kemudian persoalannya merembet pada soal harta kekayaan para imam atau warisan,
tanggung jawab atas kehidupan anak-anak para imam.
Perundang-undangan yang paling radikal dalam sejarah selibat
ditetapkan oleh Konsili Lateran II (1139), dimana kewajiban selibat baru dibakukan: “Kami
juga menyatakan bahwa mereka yang mendapat tahbisan diakon dan seterusnya, yang
memperisteri atau melakukan konkubinat dipecat dari kedudukan mereka dan
pelbagai hak berkenaan dengan harta gerejawi. Mengingat dalam kenyataannya
mereka harus menjadi dan atas nama tempat kudus Allah, orang yang menjaga Tuhan
dan tempat tinggal Roh Kudus, adalah tidak layak jika mereka sendiri hidup
dalam perkawinan dan dalam ketidakmurnian.”
Kemudian Decretum Gratiani, karya Yohanes
Gratius (+1159) menjelaskan makna selibat dari aspek-aspek tradisi
yuridis-gerejawi selama milenium pertama
Gereja. Decretum
Gratiani yang juga
disebut Concordia Discordantium Canonum
merupakan kompilasi sekitar 4000 teks
patristik, dekrit konsili, kata-kata Paus berkaitan dengan tata tertib gereja, yang mengedepankan suatu
kerangka kerja yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah, kontradiksi dan
inkonsistensi sumber-sumber penulisannya. Akhirnya Konsili
Lateran IV (1215), menyatakan bahwa semua perkawinan para klerus itu
batal, tidak sah, dan oleh karena itu bukan perkawinan gerejawi. Bahkan, seorang pujangga
gereja, Thomas Aquinas (+1274), mengafirmasikan bahwa dimanapun tahbisan suci mengantar
pada pelaksanaan prasetia tarak sempurna. Kendati penyelewengan terhadap ketentuan selibat ini
menyebar, tapi ada bukti-bukti yang memperlihatkan bahwa penyelewengan itu
tidak terjadi di seluruh wilayah Gereja. Kebijaksanaan dan kewaspadaan hukum
tentang selibat terus dihangatkan dengan diskusi-diskusi dalam relasi dengan
reformasi umum sejumlah konsili, seperti
Vienne (1311-1312), Kontanz (1414-1418), Firenze (1431-1445), Lateran V
(1512-1517) dan Trento (1545-1563).
Seiring waktu dan pekembangan teologi Gereja yang terus berjalan, sejak bulan September
1979 sampai dengan bulan November 1984, Paus Yohanes Paulus II memberikan
katekese pada setiap audiensi hari Rabu mengenai
berbagai nilai tubuh manusia di lihat dari sudut pandang biblis (Theologi of the Body). Pandangan
ini sendiri berpangkal pada inkarnasi Yesus. Inkarnasi
Yesus: “Firman
yang menjadi manusia” (Yohanes 1: 14)
adalah penegasan kembali martabat hidup manusia. Hidup manusia di dunia
ini menerima perspektif dan makna yang baru sebab Allah mewujudkan diri dalam
bentuk hidup manusia (daging). Yesus mengalami seluruh kehidupan manusia dalam
semua suka dan dukanya, kesedihan dan kegelisahan sehingga kemuliaan Tuhan
dapat diwujudkan dalam hidup manusia.
Inkarnasi Yesus jelas memberikan
perspektif yang baru
mengenai badan (hidup badaniah) manusia. Badan manusia bukan lagi sekedar
kurungan nyawa (Platonisme) tetapi mempunyai dimensi yang luhur yang tidak bisa
dikesampingkan begitu saja. Hidup badaniah manusia mempunyai nilai yang luhur
dan oleh karenanya “apa saja yang berlawanan dengan kehidupan
sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang manapun juga, penumpasan suku,
pengguguran, euthanasia dan bunuh diri yang disengaja... sangat berlawanan
dengan kemuliaan Sang Pencipta.” (Gaudieum et Spes 27,
Donum Vitae 5, Evangelium Vitae 3). Dalam perspektif
pandangan positif mengenai badan manusia inilah, maka
seksualitas manusia pada umumnya dan selibat pada khususnya juga mendapatkan
makna yang lebih positif.
Bicara lebih lanjut
soal hidup selibat dalam kacamata yang positif, saya mengingat sebuah bagian dalam Injil
Matius 19, 1 – 12. Yesus
membicarakan mengenai selibat yang terjadi dalam
konteks pertanyaan tentang perkawinan dan perceraian. Ketika Yesus mengatakan
bahwa sejak semula tidak diperbolehkan bercerai, maka para murid berkata, “Jika
demikian halnya hubungan antara suami dan isteri, lebih baik jangan kawin.”
(ayat 10). Mendengarkan komentar para murid yang demikian itu, maka Yesus
menjawab, “Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang
dikaruniai saja. Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir
demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang
lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri
oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti."
(ayat 11 – 12). Dari hal ini jelaslah bahwa selibat itu mempunyai makna bukan
dalam konfrontasi dengan perkawinan yang dipandang rendah, tetapi selibat itu
sendiri mempunyai nilai dalam kerangka Kerajaan Allah.
Oleh karena itu,
mereka yang terpanggil untuk selibat bagi Kerajaan Allah bukanlah dipilih untuk
tidak menikah karena tidak bisa nikah atau karena nilai rendah perkawinan,
tetapi oleh karena dipilih secara bebas dan sadar bahwa memilih untuk tidak
menikah demi Kerajaan Allah. Dia mempersembahkan dan menyucikan hidup
selibatnya kepada Allah saja (consecrated cellibacy).
Pada dasarnya, consecrated
celibacy adalah jawaban yang dipilih secara bebas dan sudah
dipertimbangkan dengan matang, karena mengandung beberapa nilai
dasar, yakni:
kharisma (sebuah
anugerah yang bebas, sebuah panggilan dari Allah dan pilihan diri
yang bebas), bermotivasi religius (oleh
karena itu, motivasi pekerjaan, misalnya supaya bisa mengajar dengan baik,
supaya bisa bekerja dengan total, menjadi tidak sah dalam
kerangka ini), tidak melakukan tindakan seksual serta berkomitmen
terhadap Kristus selamanya (yang secara external
dilambangkan dengan tidak menikah).
Berangkat dari hidup
Yesus sendiri, bukankah selama hidup duniawinya, Yesus juga
tidak menikah? Bukankah juga secara jelas,
nilai selibat itu dihubungkan dengan finalitasnya, yakni demi Kerajaan Allah?
Jika demikian adanya, maka selibat demi Kerajaan Allah pasti mempunyai makna khusus.
Makna khususnya bukan terletak pada keunggulan selibat
dibandingkan dengan pernikahan, sebab pernikahan itu sendiri
sejak semula diciptakan oleh Sang Pencipta dan sesuai dengan
keadaan manusia. Jika demikian, dimana letak keunggulan selibat? Letak
keunggulannya terletak pada finalitas (tujuan akhir)
selibat yang adikodrati. Untuk bisa sampai kepada tujuan akhir itu,
tentu saja selibat harus dipilih dan dikehendaki oleh karena keutamaan iman
yang dalam. Iman ini bukan hanya menunjukkan kepenuhan Kerajaan Allah di masa
mendatang akan tetapi harus nyata di dalam hidup konkret
duniawi ini. Maka selalu dikatakan bahwa hidup selibat membawa
dinamisme interior yang mengarah kepada misteri penebusan (bdk. Lukas 20: 35)
yang akan semakin menyerupai dengan Kristus sendiri. “Sebab semua orang yang
dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi
serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung
di antara banyak saudara.” (Roma 8: 29)
Epilog
Dulu penghayatan selibat tertolong dengan tempat yang
dikelilingi pagar yang rapat, biara yang privat terkunci, dan sangat terbatas
orang yang bisa masuk. Pengeposan surat hanya melalui karyawan. Ada
semacam benteng-benteng yang melindungi orang untuk bertahan dalam kemurnian
selibat. Sebagai contoh, orang menutup badan dengan berpakaian yang begitu
rapat disertai tabir pelindung pandangan mata terusan dengan kerudung kepala,
sehingga orang terhalang untuk dapat melancarkan lirikan ke kiri dan ke kanan.
Hidup berhubungan dengan orang lain mendapatkan pengawasan yang begitu ketat
dengan berbagai macam tameng.
Sekarang? Alamnya terasa sudah lain. Banyak imam mendapatkan kemerdekaan
dalam berkarya dan bergaul. Terhadap
praktek komunikasi suara dan gambar, hampir tak ada lagi yang mengontrol dan
menghalanginya. Wajah orang lain di jarak berjauhan dapat langsung terlihat
melalui alat genggam di manapun orang bepergian. Bermesraan dengan saling mengirim
rekaman langsung gambar diri melalui tv genggam dimungkinkan. Bila ada kaum
religius yang mengalami mabuk asmara, pergolakan cinta pasangan itu tidak akan
berhenti, bahkan bisa berkembang subur. Berbagai macam sajian perangsang
seksual genital dapat diperoleh dengan alat-alat jaringan maya.
Dengan demikian, penghayatan selibat dalam imamat sekarang tidak tergantung pada ruang atau situasi alam sekitar, tetapi lebih pada sikap batin seseorang. Pemindahan tempat orang yang saling jatuh cinta bukan merupakan jalan penyelesaian yang selalu tepat. Pengurungan orang dalam suatu tempat yang sunyi juga bukan merupakan jalan yang pasti menyelamatkan. Sebenarnya, pada zaman sebelum dunia diwarnai oleh alat komunikasi kemayaan pun, tuntutan sikap batin itulah yang perlu. Dulu, meskipun orang hidup dalam tameng-tameng yang cukup kuat, kalau sikap batin orang tidak terpelihara dengan baik-baik, jebollah juga cita-citanya untuk menghayati kemurnian selibat secara baik.
Disinilah, saya meyakini hubungan yang mantap dan intim dengan Yesus Kristus
merupakan kekuatan mendasar bagi seorang imam dalam menghayati
selibatnya. Dengan demikian seorang imam seharusnya mampu mengaplikasikan
berbagai macam hal demi perkembangannya, dengan cinta yang bermuara pada diri
Kristus, dan berusaha untuk mengeksplorasi seluruh pengalaman rohaninya,
seperti dalam kesetiaannya untuk memelihara sabda, ekaristi dan kesetiaan pada
devosi demi pengembangan hubungannya dengan Kristus. Persaudaraan mendalam diantara
para imam menjadi situasi yang cocok untuk menjaga panggilan dan kekuatan serta
semangat hidup seorang imam. Keterbukaan terhadap nasehat dan bimbingan serta
berbagai macam teguran yang disampaikan oleh pendamping rohani atau sesama imam
merupakan langkah atau usaha baik untuk menyelamatkan panggilan imamatnya juga, karena bukankah tepat kata Paulus, “harta ini kami punyai dalam bejana tanah liat?”
“ORDERING OUR
DESIRES”
DESIRE is often talked about as something we ought to overcome.
DESIRE is often talked about as something we ought to overcome.
Still, being is
desiring: our bodies, our minds, our hearts and our souls are full of desires.
Some are unruly, turbulent and very distracting:
some make us think
deep thoughts and see great visions;
some teach us how to
love; and some keep us searching for God.
Our desire for God is the desire that should guide all other desires.
Our desire for God is the desire that should guide all other desires.
Otherwise our
bodies, minds, hearts and souls become one another's enemies
and our inner lives
become chaotic, leading us to despair and self-destruction.
Spiritual disciplines are not ways to eradicate all our desires
Spiritual disciplines are not ways to eradicate all our desires
but ways to order
them
so that they can
serve one another
and together serve
God.
0 komentar:
Posting Komentar