SANG PENDOA GEREJA DAN DUNIA
“Jika engkau seorang kontemplatif, cintamu menjangkau ke seluruh dunia dan engkau mengangkat semua kesakitan, derita dan kebingungan dunia dalam doa dan cintamu. Engkau merupakan bagian dari setiap orang dan segala sesuatu, dan engkau merasakan secara nyata keterikatanmu dengan semua ciptaan”.
Itulah sepenggal ungkapan seorang biarawan Fransiskan, Murray Bodo tentang hidup kontemplatif. Kata kontemplatif sendiri berasal dari “contemplare” (Latin) yang artinya “mengunyah-kunyah”, memandang, memperhatikan, dan mengamat-amati. Memandang disini maksudnya selalu mengarahkan hati kepada Tuhan, dengan berdoa terus-menerus bagi Dunia dan Gereja.
Biara kontemplatif sendiri kerap disebut “jantung hati gereja”. Jantung hati itu tidak kelihatan tapi sangat vital bagi hidup manusia. Begitu pula para rubiah dan rahib yang hidup dalam biara kontemplatif sekalipun tersembunyi, mereka ada dan sangat vital karena menjadi kekuatan pokok bagi Gereja Universal.
Paus Kerahiman Ilahi, Paus Yohanes Paulus II bahkan menempatkan secara khusus dalam kubah Basilika St. Petrus, persis pada jantung Vatikan sebuah biara kontemplatif yang dipersembahkan kepada Bunda Gereja. Setiap lima tahun, tanggung jawab ini diterima oleh suatu Ordo Kontemplatif yang berbeda dan dari komunitas yang berbeda-beda pula dari seluruh dunia (Italia, Kanada, Russia, Bosnia, Nicaragua, dan Philipina).
Untuk itulah, saya merasa sangat bersyukur ketika diminta memberikan retret bagi para suster rubiah dari Ordo Kontemplatif Santa Claris Capusines di Singkawang pada medio Februari 2014 sehingga bisa lebih mengenal seluk-beluk kehidupan di balik tembok biara yang terasa masih sangat asing ini.
Historiografi
Biara Ordo Santa Klara-Kapusines yang terletak di Jl. Diponegoro No.1, Singkawang Kalimantan Barat dan berada tepat di belakang Gereja St Fransiskus Asisi Singkawang ini mulai berdiri sejak tahun 1937. Adapun Ordo Santa Klara-Kapusines (Ordo Sanctae Clarae Cappuccinarum) didirikan oleh Maria Laurentia Longo, di Napoli Italia.
Ia adalah seorang janda yang lahir di Katalonia sekitar tahun 1463 dari keluarga bangsawan. Terinspirasi oleh cara hidup para Kapusin di rumah Rumah Sakit L’Incurabili, Maria Laurentia Longo memulai suatu cara hidup kontemplatif yang sepenuhnya diabdikan lewat doa. Untuk kelompoknya itu, ia menggunakan Anggaran Dasar (Regula) St. Klara Asisi (1194-1253) yang adalah pengikut St. Fransiskus Asisi (1181-1226) dan Konstitusi St. Coleta dari Corbie (1381-1447) salah seorang tokoh pembaharu Ordo Santa Klara yang dilengkapi dengan semangat pembaharuan Kapusin. Ini yang membuat mereka kemudian dikenal sebagai suster-suster Kapusin di pelbagai tanah misi.
Adapun keinginan untuk mendirikan biara kontemplatif di tanah misi bermula dari ide Paus Pius XII dalam ensiklik Rerum Ecclesiae (28 Februari 1929), pada pengangkatan St. Teresia Lisieux sebagai pelindung Misi. Seruan tersebut ditanggapi serius oleh para uskup dan vikaris apostolik di tanah misi, salah satunya adalah Mgr. Tarsisius van Valenbergh. Ia mengundang para suster Klaris Kapusines dari Duivendrecht, Belanda untuk hadir dan mendukung karya misi di tanah “Borneo” (Kalimantan). Maka pada tahun 1937, hidup kontemplatif dalam klausura dimulai di Singkawang, Kalimantan Barat. Biara Duivenrecht mengirim 9 suster, yakni: Sr. Aloysia, Sr. Benigna, Sr. Gerarda, Sr. Gabriel, Sr. Gemma, Sr. Maria, Sr. Lidwina, Sr. Elisabeth (suster luar) dan Sr. Anna (seorang novis).
Ketika tentara Jepang masuk Indonesia pada tahun 1942, para suster yang semuanya berkebangsaan Belanda ini ikut menjadi tawanan perang dan dibuang ke Sejangkung dan kamp tahanan di Kuching. Baru sesudah Perang Dunia II (1945), mereka dikembalikan ke Singkawang. Beberapa suster yang kembali, disambut gembira oleh umat Singkawang. Tetapi beberapa gadis yang sudah lama menunggu untuk bergabung dengan para suster, menangis karena dalam penantian yang lama akhirnya mereka dinikahkan oleh orang tuanya. Adapun keadaan biara waktu mereka kembali, sungguh menyedihkan. Ternyata selama masa perang, biara itu dijadikan markas tentara Jepang sehingga banyak yang porak poranda. Hanya satu yang tinggal utuh yakni patung santa Klara yang terbuat dari tanah liat.
Pada tahun 1949, jumlah para suster diperkuat kembali oleh dua suster Belanda yaitu : Sr. Kristina dan Sr. Gabriela yang sampai sekarang masih ada di Biara Providentia Singkawang. Selain itu, pada tahun yang sama mulai masuk seorang calon, gadis Tionghoa yang bernama Phiong Ket Fa (Sr. Fransiska). Dialah suster pribumi pertama. Kemudian pada tahun 1951 seorang gadis dayak bernama Antonia Toni, yang biasa dipanggil Guru Toni oleh para muridnya (Sr. Serafin), juga ikut bergabung.
Menurut Sr Rosa Arel, Abdis (pemimpin biara/pertapaan), para suster senantiasa hidup dalam suasana silentium, supaya menghantarkan mereka untuk masuk lebih dalam (duc in altum) bersama Tuhan dalam keheningan. Inilah yang membuat orang Singkawang menyebut mereka sebagai alo kunyong (suster bisu). Karena “terkunci”, dipingit dan dipisahkan dari dunia ramai, banyak orang di Singkawang juga kerap mengenal mereka sebagai suster “SLOT” yang ternyata memiliki empat ciri dasar: “Sederhana hidupnya, Lemah-lembut omongannya, Optimis harapannya dan Tuhan yang jadi andalannya”.
“S”ederhana hidupnya
Mereka hidup sangat sederhana. Hampir setiap hari makan sayur dan jarang sekali makan daging. Mereka juga mengerjakan banyak hal yang sederhana, seperti Sr Angelina (memandikan/menolong suster tua), Sr Skolatika (penjilidan dan perpustakaan), Sr Laurentia dan Sr Agnes (urusan dapur), serta Sr Magdalena dan Sr Lidwina (menjahit, mencuci dan menyiapkan alat liturgi). Tidak ada banyak pengaruh teknologi modern dan kemewahan duniawi.
Bahkan, dulunya dalam semangat Konsili Vatikan I: hanya ada seorang suster yang bertugas untuk urusan luar, dan disebut sebagai “suster luar” karena setiap hari pergi berkeliling ke pasar dan “minta-minta”. Tidak jarang suster ini mendapat penghinaan dari orang-orang di pasar, tetapi ia menanggungnya dengan sabar. Karena itu, ia dikenang sampai saat ini oleh orang-orang tua di pasar yang masih mengenalnya, seperti kata kata St Klara: “Berikanlah keringanan bagi dosa-dosa saya, tapi jangan ringankan keinginan saya mengikuti Yesus Kristus” (Bdk. Mat 13: 44).
Lemah lembut sikapnya
Dalam suratnya kepada St. Agnes dari Praha, St. Klara menggambarkan tugas mereka sebagai “pembantu Allah dan pendukung anggota-anggota yang runtuh pada TubuhNya yang tak terperikan” (SurAg 3:8). Ya, selain mengikuti jejak Kristus, cara hidup kontemplatif juga dimaksudkan sebagai solidaritas bagi mereka yang berjuang di tengah dunia dengan segala gulat-geliat dan ruwet-renteng perjuangannya. Mereka mempersatukan jeritan hati banyak orang dalam hidup dan doa mereka yang penuh kelemah-lembutan.
Dengan demikian hidup yang ter-“slot” bukan berarti memisahkan diri dari dunia demi kesenangan atau keamanan pribadi melainkan untuk membantu dan menghantar banyak orang kepada Tuhan melalui doa-doa dan kesetiakawanan yang lemah lembut dengan banyak orang di dunia ini.
Jelasnya, berdoa menjadi pelayanan utama para suster, karena melalui doa inilah mereka berpartisipasi dalam karya keselamatan. Maka hampir seluruh waktu mereka dikuduskan dengan doa dan pujian yang lemah lembut, baik doa bersama maupun doa pribadi.
Secara bersama adapun tata aturan yang sudah ditetapkan sebagai jadwal harian, yaitu: Ibadat Pagi: 04.20, Misa: 05.00, Meditasi : 05.30-06.30, Ibadat Siang: 11.35, Rosario/Ib. Bacaan: 13.20, Meditasi : 16.30-17.30, Ibadat Sore: 17.30, Ibadat Penutup: 19.15, Ibadat Bacaan : 24.00.
Di tengah padatnya waktu doa dan “ketertutupan” dari dunia inilah, biara mereka selalu terbuka dengan penuh kelemah-lembutan bagi banyak orang yang datang untuk meminta doa, khususnya mereka yang miskin, sakit dan menderita, baik yang datang sendiri maupun yang datang melalui telpon, surat atau email.
Optimis harapannya
Ora et labora! Selain berdoa, para suster juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebiasaan meminta-minta untuk makan sehari-hari memang tidak lagi diteruskan tapi mereka berusaha melakukan aneka pekerjaan, seperti: berkebun, membuat lilin, membuat hosti, menjahit pakaian misa dan perlengkapan lainnya, membuat rosario, menjilid buku, membuat kue khususnya kue sagon yang terbuat dari remah-remah potongan hosti, dan pekerjaan tangan lainnya.
Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan sendiri oleh para suster dengan pembagian tugas secara bergiliran. Disitulah, para suster mewujudkan semangat pelayanan dengan sikap optimis. Bahkan menurut suster tertua disana, Sr Gabriela van Der Velden (93 tahun) yang membantu membuat rosario, dia ingin ketika meninggal semuanya ber-“laetitia”, menyanyikan lagu syukur dan pujian, tidak ada banyak tangisan kesedihan tapi sukacita dalam iman dan mengundang banyak orang miskin untuk ikut bersukacita bersama.
Tuhan jadi andalannya
De facto, ada saja orang yang berkata: “Mengapa mau jadi suster seperti itu? Tidak bisa keluar dan tidak ada karya nyata yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Kalau kamu menjadi ‘suster putih’ (sebutan untuk suster-suster yang berseragam putih) itu lumayan. Bisa dilihat kamu jadi perawat atau guru misalnya. Tetapi kalau jadi suster seperti itu apa yang bisa dibanggakan?” Hanya anak yang bodoh boleh menjadi suster seperti itu!” Demikian ungkapan keberatan hati beberapa orang bila mengetahui anak gadisnya atau orang terdekat mereka memilih menjadi suster kontemplatif yang ter-“SLOT”, terkurung dalam klausura (pingitan). Mungkin banyak dari antara kita juga bertanya-tanya mengapa ada orang yang mau mengurung diri seperti itu, bukan?
Disinilah, hidup kontemplatif memang tidak mudah karena diperlukan “HIK” - “Harapan Iman dan Kasih” yang sungguh mendalam. Adapun ketika saya memberi retret di biara ini, ternyata ada banyak gambar Kerahiman Ilahi di papan pengumuman mereka. Fenomen kecil ini seakan menyatakan bahwa di atas semuanya, “Tuhanlah satu-satunya andalan!” Bisa jadi, itu juga sebabnya para suster menamakan biara itu “Providentia” sebagai ungkapan kepercayaan mereka pada penyelenggaraan ilahi.
Dum Spiro, Spero.
“Aku berharap selagi aku masih bernafas!” Para suster SLOT di Singkawang terus tumbuh dalam harapan karena tercandra mulai berdatangan tunas-tunas muda dari berbagai daerah, bahkan dari luar pulau: dari Jawa, Sumatera dan Flores. Gadis-gadis di sekitar Kalimantan pun mulai ada yang tertarik, bahkan Biara SLOT di Singkawang ini sekarang telah melahirkan dua biara baru: Biara SLOT di Kampung Sarikan, Pontianak dan Biara SLOT di Kampung Bejabang, Kapuas Hulu.
Para suster rubiah yang ada juga sangat beragam baik dari segi usia maupun asal usul. Dari segi usia boleh dikatakan cukup ideal karena ada yang termuda: 23 tahun (Sr Lidwina dari Serukam) sampai yang tertua: 93 tahun (Sr Gabriela dari Rotterdam). Sedangkan dari segi asal-usul ada keanekaragaman suku; Dayak, Tionghoa, Flores, Jawa, Sumatera, dan Belanda. Keanekaragaman ini merupakan kekayaan tersendiri di mana perbedaan membuat para suster SLOT dapat ber-“bhineka tunggal ika” dan saling melengkapi lewat empat pilar dasarnya: “Sederhana, Lemah lembut, Optimis dan Tuhan yang jadi andalannya”. Siapa menyusul?
GLOSARIUM:
Klausura
Klausura secara fisik adalah tembok-tembok biara yang melindungi para rubiah atau rahib dari hiruk-pikuk dunia. Itu maksudnya supaya mereka dapat dengan bebas menjalankan aktivitas setiap hari dan menciptakan susana hening sehingga hati dapat dipenuhi dengan doa setiap saat. Klausura secara rohani adalah hati manusia yang berdoa yang terlindung oleh segala godaan dan membentengi diri dengan kekuatan Tuhan.
Silentium
Sebuah kondisi untuk tidak bercakap atau omong yang tidak beraturan dengan yang lain pada waktu-waktu tertentu. Itu maksudnya selain untuk menciptakan keheningan, para rubiah atau rahib dapat juga dengan bebas berdoa dan mengarahkan hati kepada Tuhan.
Ibadat Harian
Doa resmi gereja yang setiap hari didaraskan para biarawan/wati, alokasi waktunya sesuai tradisi biara setempat, yang terdiri dari:
a. Vigili: Ibadat Bacaan (didoakan pada jam 03.00)
b. Laudes: Ibadat Pagi (06.00)
c. Terzia: Ibadat Siang I (jam 08.15)
d. Sexta: Ibadat Siang II (jam 12.00)
e. Nona: Ibadat Siang III (jam 14.30)
f. Vesper: Ibadat Sore (jam 17.30)
g. Completorium: Ibadat Penutup (jam 19.45)
“Jika engkau seorang kontemplatif, cintamu menjangkau ke seluruh dunia dan engkau mengangkat semua kesakitan, derita dan kebingungan dunia dalam doa dan cintamu. Engkau merupakan bagian dari setiap orang dan segala sesuatu, dan engkau merasakan secara nyata keterikatanmu dengan semua ciptaan”.
Itulah sepenggal ungkapan seorang biarawan Fransiskan, Murray Bodo tentang hidup kontemplatif. Kata kontemplatif sendiri berasal dari “contemplare” (Latin) yang artinya “mengunyah-kunyah”, memandang, memperhatikan, dan mengamat-amati. Memandang disini maksudnya selalu mengarahkan hati kepada Tuhan, dengan berdoa terus-menerus bagi Dunia dan Gereja.
Biara kontemplatif sendiri kerap disebut “jantung hati gereja”. Jantung hati itu tidak kelihatan tapi sangat vital bagi hidup manusia. Begitu pula para rubiah dan rahib yang hidup dalam biara kontemplatif sekalipun tersembunyi, mereka ada dan sangat vital karena menjadi kekuatan pokok bagi Gereja Universal.
Paus Kerahiman Ilahi, Paus Yohanes Paulus II bahkan menempatkan secara khusus dalam kubah Basilika St. Petrus, persis pada jantung Vatikan sebuah biara kontemplatif yang dipersembahkan kepada Bunda Gereja. Setiap lima tahun, tanggung jawab ini diterima oleh suatu Ordo Kontemplatif yang berbeda dan dari komunitas yang berbeda-beda pula dari seluruh dunia (Italia, Kanada, Russia, Bosnia, Nicaragua, dan Philipina).
Untuk itulah, saya merasa sangat bersyukur ketika diminta memberikan retret bagi para suster rubiah dari Ordo Kontemplatif Santa Claris Capusines di Singkawang pada medio Februari 2014 sehingga bisa lebih mengenal seluk-beluk kehidupan di balik tembok biara yang terasa masih sangat asing ini.
Historiografi
Biara Ordo Santa Klara-Kapusines yang terletak di Jl. Diponegoro No.1, Singkawang Kalimantan Barat dan berada tepat di belakang Gereja St Fransiskus Asisi Singkawang ini mulai berdiri sejak tahun 1937. Adapun Ordo Santa Klara-Kapusines (Ordo Sanctae Clarae Cappuccinarum) didirikan oleh Maria Laurentia Longo, di Napoli Italia.
Ia adalah seorang janda yang lahir di Katalonia sekitar tahun 1463 dari keluarga bangsawan. Terinspirasi oleh cara hidup para Kapusin di rumah Rumah Sakit L’Incurabili, Maria Laurentia Longo memulai suatu cara hidup kontemplatif yang sepenuhnya diabdikan lewat doa. Untuk kelompoknya itu, ia menggunakan Anggaran Dasar (Regula) St. Klara Asisi (1194-1253) yang adalah pengikut St. Fransiskus Asisi (1181-1226) dan Konstitusi St. Coleta dari Corbie (1381-1447) salah seorang tokoh pembaharu Ordo Santa Klara yang dilengkapi dengan semangat pembaharuan Kapusin. Ini yang membuat mereka kemudian dikenal sebagai suster-suster Kapusin di pelbagai tanah misi.
Adapun keinginan untuk mendirikan biara kontemplatif di tanah misi bermula dari ide Paus Pius XII dalam ensiklik Rerum Ecclesiae (28 Februari 1929), pada pengangkatan St. Teresia Lisieux sebagai pelindung Misi. Seruan tersebut ditanggapi serius oleh para uskup dan vikaris apostolik di tanah misi, salah satunya adalah Mgr. Tarsisius van Valenbergh. Ia mengundang para suster Klaris Kapusines dari Duivendrecht, Belanda untuk hadir dan mendukung karya misi di tanah “Borneo” (Kalimantan). Maka pada tahun 1937, hidup kontemplatif dalam klausura dimulai di Singkawang, Kalimantan Barat. Biara Duivenrecht mengirim 9 suster, yakni: Sr. Aloysia, Sr. Benigna, Sr. Gerarda, Sr. Gabriel, Sr. Gemma, Sr. Maria, Sr. Lidwina, Sr. Elisabeth (suster luar) dan Sr. Anna (seorang novis).
Ketika tentara Jepang masuk Indonesia pada tahun 1942, para suster yang semuanya berkebangsaan Belanda ini ikut menjadi tawanan perang dan dibuang ke Sejangkung dan kamp tahanan di Kuching. Baru sesudah Perang Dunia II (1945), mereka dikembalikan ke Singkawang. Beberapa suster yang kembali, disambut gembira oleh umat Singkawang. Tetapi beberapa gadis yang sudah lama menunggu untuk bergabung dengan para suster, menangis karena dalam penantian yang lama akhirnya mereka dinikahkan oleh orang tuanya. Adapun keadaan biara waktu mereka kembali, sungguh menyedihkan. Ternyata selama masa perang, biara itu dijadikan markas tentara Jepang sehingga banyak yang porak poranda. Hanya satu yang tinggal utuh yakni patung santa Klara yang terbuat dari tanah liat.
Pada tahun 1949, jumlah para suster diperkuat kembali oleh dua suster Belanda yaitu : Sr. Kristina dan Sr. Gabriela yang sampai sekarang masih ada di Biara Providentia Singkawang. Selain itu, pada tahun yang sama mulai masuk seorang calon, gadis Tionghoa yang bernama Phiong Ket Fa (Sr. Fransiska). Dialah suster pribumi pertama. Kemudian pada tahun 1951 seorang gadis dayak bernama Antonia Toni, yang biasa dipanggil Guru Toni oleh para muridnya (Sr. Serafin), juga ikut bergabung.
Menurut Sr Rosa Arel, Abdis (pemimpin biara/pertapaan), para suster senantiasa hidup dalam suasana silentium, supaya menghantarkan mereka untuk masuk lebih dalam (duc in altum) bersama Tuhan dalam keheningan. Inilah yang membuat orang Singkawang menyebut mereka sebagai alo kunyong (suster bisu). Karena “terkunci”, dipingit dan dipisahkan dari dunia ramai, banyak orang di Singkawang juga kerap mengenal mereka sebagai suster “SLOT” yang ternyata memiliki empat ciri dasar: “Sederhana hidupnya, Lemah-lembut omongannya, Optimis harapannya dan Tuhan yang jadi andalannya”.
“S”ederhana hidupnya
Mereka hidup sangat sederhana. Hampir setiap hari makan sayur dan jarang sekali makan daging. Mereka juga mengerjakan banyak hal yang sederhana, seperti Sr Angelina (memandikan/menolong suster tua), Sr Skolatika (penjilidan dan perpustakaan), Sr Laurentia dan Sr Agnes (urusan dapur), serta Sr Magdalena dan Sr Lidwina (menjahit, mencuci dan menyiapkan alat liturgi). Tidak ada banyak pengaruh teknologi modern dan kemewahan duniawi.
Bahkan, dulunya dalam semangat Konsili Vatikan I: hanya ada seorang suster yang bertugas untuk urusan luar, dan disebut sebagai “suster luar” karena setiap hari pergi berkeliling ke pasar dan “minta-minta”. Tidak jarang suster ini mendapat penghinaan dari orang-orang di pasar, tetapi ia menanggungnya dengan sabar. Karena itu, ia dikenang sampai saat ini oleh orang-orang tua di pasar yang masih mengenalnya, seperti kata kata St Klara: “Berikanlah keringanan bagi dosa-dosa saya, tapi jangan ringankan keinginan saya mengikuti Yesus Kristus” (Bdk. Mat 13: 44).
Lemah lembut sikapnya
Dalam suratnya kepada St. Agnes dari Praha, St. Klara menggambarkan tugas mereka sebagai “pembantu Allah dan pendukung anggota-anggota yang runtuh pada TubuhNya yang tak terperikan” (SurAg 3:8). Ya, selain mengikuti jejak Kristus, cara hidup kontemplatif juga dimaksudkan sebagai solidaritas bagi mereka yang berjuang di tengah dunia dengan segala gulat-geliat dan ruwet-renteng perjuangannya. Mereka mempersatukan jeritan hati banyak orang dalam hidup dan doa mereka yang penuh kelemah-lembutan.
Dengan demikian hidup yang ter-“slot” bukan berarti memisahkan diri dari dunia demi kesenangan atau keamanan pribadi melainkan untuk membantu dan menghantar banyak orang kepada Tuhan melalui doa-doa dan kesetiakawanan yang lemah lembut dengan banyak orang di dunia ini.
Jelasnya, berdoa menjadi pelayanan utama para suster, karena melalui doa inilah mereka berpartisipasi dalam karya keselamatan. Maka hampir seluruh waktu mereka dikuduskan dengan doa dan pujian yang lemah lembut, baik doa bersama maupun doa pribadi.
Secara bersama adapun tata aturan yang sudah ditetapkan sebagai jadwal harian, yaitu: Ibadat Pagi: 04.20, Misa: 05.00, Meditasi : 05.30-06.30, Ibadat Siang: 11.35, Rosario/Ib. Bacaan: 13.20, Meditasi : 16.30-17.30, Ibadat Sore: 17.30, Ibadat Penutup: 19.15, Ibadat Bacaan : 24.00.
Di tengah padatnya waktu doa dan “ketertutupan” dari dunia inilah, biara mereka selalu terbuka dengan penuh kelemah-lembutan bagi banyak orang yang datang untuk meminta doa, khususnya mereka yang miskin, sakit dan menderita, baik yang datang sendiri maupun yang datang melalui telpon, surat atau email.
Optimis harapannya
Ora et labora! Selain berdoa, para suster juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kebiasaan meminta-minta untuk makan sehari-hari memang tidak lagi diteruskan tapi mereka berusaha melakukan aneka pekerjaan, seperti: berkebun, membuat lilin, membuat hosti, menjahit pakaian misa dan perlengkapan lainnya, membuat rosario, menjilid buku, membuat kue khususnya kue sagon yang terbuat dari remah-remah potongan hosti, dan pekerjaan tangan lainnya.
Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan sendiri oleh para suster dengan pembagian tugas secara bergiliran. Disitulah, para suster mewujudkan semangat pelayanan dengan sikap optimis. Bahkan menurut suster tertua disana, Sr Gabriela van Der Velden (93 tahun) yang membantu membuat rosario, dia ingin ketika meninggal semuanya ber-“laetitia”, menyanyikan lagu syukur dan pujian, tidak ada banyak tangisan kesedihan tapi sukacita dalam iman dan mengundang banyak orang miskin untuk ikut bersukacita bersama.
Tuhan jadi andalannya
De facto, ada saja orang yang berkata: “Mengapa mau jadi suster seperti itu? Tidak bisa keluar dan tidak ada karya nyata yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Kalau kamu menjadi ‘suster putih’ (sebutan untuk suster-suster yang berseragam putih) itu lumayan. Bisa dilihat kamu jadi perawat atau guru misalnya. Tetapi kalau jadi suster seperti itu apa yang bisa dibanggakan?” Hanya anak yang bodoh boleh menjadi suster seperti itu!” Demikian ungkapan keberatan hati beberapa orang bila mengetahui anak gadisnya atau orang terdekat mereka memilih menjadi suster kontemplatif yang ter-“SLOT”, terkurung dalam klausura (pingitan). Mungkin banyak dari antara kita juga bertanya-tanya mengapa ada orang yang mau mengurung diri seperti itu, bukan?
Disinilah, hidup kontemplatif memang tidak mudah karena diperlukan “HIK” - “Harapan Iman dan Kasih” yang sungguh mendalam. Adapun ketika saya memberi retret di biara ini, ternyata ada banyak gambar Kerahiman Ilahi di papan pengumuman mereka. Fenomen kecil ini seakan menyatakan bahwa di atas semuanya, “Tuhanlah satu-satunya andalan!” Bisa jadi, itu juga sebabnya para suster menamakan biara itu “Providentia” sebagai ungkapan kepercayaan mereka pada penyelenggaraan ilahi.
Dum Spiro, Spero.
“Aku berharap selagi aku masih bernafas!” Para suster SLOT di Singkawang terus tumbuh dalam harapan karena tercandra mulai berdatangan tunas-tunas muda dari berbagai daerah, bahkan dari luar pulau: dari Jawa, Sumatera dan Flores. Gadis-gadis di sekitar Kalimantan pun mulai ada yang tertarik, bahkan Biara SLOT di Singkawang ini sekarang telah melahirkan dua biara baru: Biara SLOT di Kampung Sarikan, Pontianak dan Biara SLOT di Kampung Bejabang, Kapuas Hulu.
Para suster rubiah yang ada juga sangat beragam baik dari segi usia maupun asal usul. Dari segi usia boleh dikatakan cukup ideal karena ada yang termuda: 23 tahun (Sr Lidwina dari Serukam) sampai yang tertua: 93 tahun (Sr Gabriela dari Rotterdam). Sedangkan dari segi asal-usul ada keanekaragaman suku; Dayak, Tionghoa, Flores, Jawa, Sumatera, dan Belanda. Keanekaragaman ini merupakan kekayaan tersendiri di mana perbedaan membuat para suster SLOT dapat ber-“bhineka tunggal ika” dan saling melengkapi lewat empat pilar dasarnya: “Sederhana, Lemah lembut, Optimis dan Tuhan yang jadi andalannya”. Siapa menyusul?
GLOSARIUM:
Klausura
Klausura secara fisik adalah tembok-tembok biara yang melindungi para rubiah atau rahib dari hiruk-pikuk dunia. Itu maksudnya supaya mereka dapat dengan bebas menjalankan aktivitas setiap hari dan menciptakan susana hening sehingga hati dapat dipenuhi dengan doa setiap saat. Klausura secara rohani adalah hati manusia yang berdoa yang terlindung oleh segala godaan dan membentengi diri dengan kekuatan Tuhan.
Silentium
Sebuah kondisi untuk tidak bercakap atau omong yang tidak beraturan dengan yang lain pada waktu-waktu tertentu. Itu maksudnya selain untuk menciptakan keheningan, para rubiah atau rahib dapat juga dengan bebas berdoa dan mengarahkan hati kepada Tuhan.
Ibadat Harian
Doa resmi gereja yang setiap hari didaraskan para biarawan/wati, alokasi waktunya sesuai tradisi biara setempat, yang terdiri dari:
a. Vigili: Ibadat Bacaan (didoakan pada jam 03.00)
b. Laudes: Ibadat Pagi (06.00)
c. Terzia: Ibadat Siang I (jam 08.15)
d. Sexta: Ibadat Siang II (jam 12.00)
e. Nona: Ibadat Siang III (jam 14.30)
f. Vesper: Ibadat Sore (jam 17.30)
g. Completorium: Ibadat Penutup (jam 19.45)
0 komentar:
Posting Komentar