Ads 468x60px

Bapak: Rindu Kami Padamu!


”...Hidup itu bagaikan garis lurus tak pernah kembali ke masa yang lalu.
Hidup bukan bulatan bola yang tiada ujung tiada pangkal.
Hidup melangkah terus semakin mendekat ke titik terakhir.
Pesan nabi: jangan takut mati karena mati pasti terjadi.
Setiap insan pasti mati hanya soal waktu kapan terjadinya.
Pesan nabi tentang mati: janganlah minta mati datang kepadamu.
Janganlah engkau berbuat yang menyebabkan mati.
Pesan nabi: jangan takut mati, meski kau sembunyi, dia menghampiri.
Takutlah akan kehidupan sesudah kau mati.
Renungkanlah itu…..”


 Dum spiro, spero. Selama saya masih bernafas, saya tetap berharap. Kalimat ini jugalah yang kuucapkan sebagai seorang rama muda ketika melihat bapak semakin lemah tak berdaya pada pertengahan tahun 2007 yang lalu. Ia terkulai pasrah-lemah di kursi rodanya, kadang dikerumuni oleh teman-teman sebayanya, para lanjut usia yang mungkin juga sedang merenda kekhawatiran masa tua dalam diri mereka sendiri. Benarlah bahwa hidup manusia bagaikan jam yang berdentang. Sekali per-nya diputar, suatu saat akan berhenti berdetak. Mungkin ditengah malam, rembang petang, sore, siang, atau bahkan pagi hari. 

Semenjak didera sakit stroke dari tahun 2003, Bapak memang tidak pernah berbicara banyak kalau tidak mau dikatakan tidak berbicara sama sekali, tapi diamnya bapak ternyata mengungkapkan banyak sekali kearifan, yang hanya hati yang jernih yang dapat lebih memahaminya. Yah, hati memang selalu  punya alasan yang tak dikenal oleh akal, seperti kata Blaise Pascal, “le coeur a ses raisons que la raison ne connait pas”

Sering terlihat bapak diam memandang jemari dan telapak tangannya, saat-saat seperti itu selalu mengingatkanku akan sejumlah bayi kecil-mungil di Panti Asuhun Pondok si Boncel di bilangan Jakarta Selatan, yang juga sering mengamat-amati jemari kecil mereka yang montok, kagum akan hal-hal baru yang pertama kali mereka lihat. Dalam percikan renungan, aku semakin kagum dengan bapak, di usianya yang mulai senja, di tengah sakitnya dan di tengah ketidakpastian akan hari esoknya, bapak masih menyiratkan kekaguman akan keindahan ukiran pesan Ilahi yang tergores di telapak tangannya. Oh ya, di lain segi, bukankah banyak orang bilang ada garis tangan seperti huruf “M” di telapak tangan kita, yang artinya:  Manusia Mesti Mati? Itu juga yang aku dapatkan ketika berziarah ke makam Rama Sanjaya dan Rama Van Lith di Betlehem van Java, Muntilan. Pintu masuk area pemakaman tua tersebut menyambut dengan sebuah kalimat singkat-padat dalam bahasa Latin, “Memento mori - Ingatlah kau akan mati.” Sebuah semboyan Ordo Katolik Cistercian atau lebih dikenal dengan julukan Trappis. Orang Inggris mengatakan “Remember, you will die!”. Orang Jawa mengatakan “Elinga, manungsa, kowe iku mesti bakal mati!”

Sejujurnya, ada hari-hari di saat aku sebagai anak sulung datang ke rumah dengan perasaan khawatir akan kondisi bapak. Ketika berjumpa, bapak selalu menoleh dan tersenyum walau hanya sedikit, matanya bersinar-binar, saat-saat itu selalu kurasakan sebagai momentum yang sangat indah, bukan hanya “kronos” tapi “kairos”. Yah, tidak ada kebahagiaan yang lebih besar daripada memandang sesorang yang kita kasihi tersenyum. Mungkin seperti kata Thomas Aquinas, aku mengalami ‘visio beatifica,pandangan yang membahagiakan.’

Dahulu, bapak seringkali tersenyum bahkan tertawa ketika melihat banyak hal, juga hal-hal yang tampaknya sederhana dan biasa-biasa. Ketika melihat Marvel yang suka tersenyum, keponakan pertamaku dan cucu pertama ibu, aku langsung terkenang tingkah-polah bapak yang juga mudah berbagi senyuman.  Kalau mau jujur, sebenarnya hidup kita adalah undangan untuk mudah tersenyum, bukan? Bagaimana kita tidak tersenyum sementara bagi kita telah ditumbuhkan taman-taman yang menyenangkan, dan kebun yang hijau, yang padanya terdapat pohon-pohon yang indah menyegarkan, dan tetumbuhan yang penuh keindahan. Bagaimana kita tidak tersenyum sementara Tuhan telah mengadakan bagi kita bintang-bintang yang terang, lautan yang luas, tanah yang berkelok-kelok, dan planet-planet yang berputar di porosnya? Bagaimana kita tidak tersenyum, sementara burung-burung bernyanyi, merpati berdendang, matahari bersinar, bulan bercahaya indah, pagi hari yang datang dalam terang cahaya, dan hujan yang datang dibalik awan di langit? Bagaimana kita tidak tersenyum, sementara angin sepoi bertiup, daun-daun gemerisik, burung kenari bersiul, aroma indah bertiup, air jatuh di antara bebatuan mendendangkan lagu cinta, dan menceritakan pagar keindahan? Satu keyakinan yang kudapatkan ketika merenung-menung soal senyuman bapak: “Dengan senyum kau tampak lebih baik, dengan tawa kau lebih sehat, dengan doa kau lebih bahagia.”

Bermenung lebih jauh soal senyuman bapak, saya menemu-kenangkan bahwa senyumannya tak lepas dari cinta, seperti lirik lagu pop-rock yang dinyanyikan kelompok musik Indonesia, “Dewa”, berjudul: “Hadapi Dengan Senyum”. Kira-kira begini liriknya:

“Hadapi dengan senyuman - semua yang terjadi biar terjadi - hadapi dengan tenang jiwa - semua kan baik-baik saja.
Bila ketetapan Tuhan - sudah ditetapkan - tetaplah sudah - tak ada yang bisa merubah - dan takkan bisa berubah.
Relakanlah saja ini - bahwa semua yang terbaik - terbaik untuk kita semua - menyerahlah untuk menang.”

Di lain segi, sejak menderita sakit bertahun-tahun, senyuman bapak memang mempunyai ciri khas, hanya sekilas-pintas dan kita harus pandai-pandai menangkapnya kalau tidak mau kehilangan senyum itu. Biasanya setelah itu, hatiku menjadi berbunga-bunga, karena aku melihat adanya harapan di sana. Semakin mengertilah aku betapa berartinya sebuah senyuman. Senyuman adalah hal terbaik kedua, yang dapat kita buat dengan bibir kita, bukan? Itu yang kerap kali membuatku tersenyum kecil sendiri di dalam relung hati.
Lewat perjumpaan sederhana dengan senyuman bapak inilah, aku diyakinkan bahwa senyuman bukan cuma tak lepas dari cinta, tapi juga tak lepas dari iman, dan pastinya tak pernah lepas dari kehidupan. Senyuman adalah sebuah pilihan cara pelipur lara untuk menghadapi kehidupan yang kadang penuh samsara. Ia membuka pelbagai ruang dalam hidup kita: menjadi lebih terbuka, lebih positif dalam memandang dan menjawab aneka pergulatan dan pergeliatan. Bukankah sebuah senyuman juga merupakan sebuah ekspresi hati atas kesenangan atau kegembiraan yang dirasakan sang pemilik senyum itu sendiri? Akan tetapi mengapa terkadang sulit bagi kita untuk berbagi senyuman, terlebih kepada pengalaman sakit –pahit yang tidak kita sukai? Aku belajar dari senyuman bapak! Yang pasti, ketika aku merasa berbeban berat dalam drama panggilan dan panggung kehidupan, yang penuh intrik-taktik dan konflik, hadirnya kenangan akan senyuman bapak, yang manis-semanis kopi Joss di bilangan stasiun Tugu Yogya, hangat-sehangat bakmie dan teh poci Mbah Mo di Bantul, serta sederhana-sesederhana mbok mbok yang setiap pagi berjualan dan menggendong banyak barang di sepuataran pasar Beringharjo, meluluh-lantahkan semua beban dan penat hatiku. O res mirabilis!

Lepas dari senyuman nyaman di atas, aku teringat bapak juga banyak memiliki koleksi buku dari pelbagai ranah, termasuk seputar kearifan loka orang Jawa. Disinilah, saya teringat bahwa orang Kejawen kerap mengatakan, “Pati sajroning urip, urip sajroning pati.” Hidup itu dengan sendirinya sudah menggendong kematian, hanya dengan demikian, orang boleh hidup dengan sungguhan. Yah, selain senyuman yang berkurang dan kekuatan fisik bapak yang perlahan tapi pasti terus menurun, kata-kata bapak memang tidak lagi jelas dan cerdas, tak lagi bernas dan lugas. Kadang terus terang, kami hanya berpura-pura mengerti. Sejak dulu, sebelum sakit, bagiku, kata-kata bapak memang sederhana, sesederhana hatinya, sekaligus juga penuh makna, sekaya pengalaman dan pemaknaan hidupnya. Menurut tuturan seorang sahabat yang pernah menjumpai bapak ketika sakit, kalimat-kalimat pendek yang keluar dari mulut bapak di atas kursi roda tuanya adalah: “...silahkan, kuenya dicicipi...” dan satu lagi “...terima kasih...”. Yah, dalam keheningan dan keterbatasan kata-kata pun badannya yang tak lagi bergelora, jiwanya masih bergema. Bapak masih mengajarkan aku untuk selalu menghormati siapapun yang hadir di depanku, entah itu orang yang lebih tua ataupun yang jauh lebih muda dari kita. Entah itu orang kaya atau hanya orang sederhana. Dia mengajakku untuk menghargai semua pribadi, walau kadang tidak semua pribadi juga menghargai kita. Ucapannya memang tidak lagi pernah kudengar, tapi ajarannya selalu terngiang dan terkenang di lubuk hatiku.

Homo proponit, sed Deus disponit - Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan . Yah, berada di dekat bapak tidak selalu membuatku merasa nyaman. Ada saat-saat dimana aku merasa tidak mampu berbuat apa-apa lagi, terutama dalam bulan-bulan terakhir. Relung hatiku sering menggugat Tuhan, yang kata banyak orang adalah Sang Sumber Kehidupan. Dalam gugatan yang lebih terwarnai oleh keputusasaan, bapak lagi-lagi membuatku malu dengan gugatan dan kekurang-berimananku.  Seperti biasa, dengan duduk di sebuah kursi roda yang kami beli di kawasan Glodok, bapak didorong ke teras rumah untuk melihat dan merasakan hangatnya mentari. Disanalah, dia memandang ke kiri ke kanan, bukan untuk tebar pesona, tapi dia menebar kasih dan harapan. Ia setia berbagi “3 S” dalam bahasa saya, senyuman, sapaan dan salaman. Banyak orang yang lewat di depan teras rumah kami, pasti berhenti sejenak hanya untuk menyapa dan disapa, tertawa dan terpana....” Wah bapak lebih segar hari ini, baik ya pak kabarnya”.  Aku yakin di antara orang-orang yang lewat itu, pasti ada juga yang saat itu sedang putus asa, sedih ataupun sakit, tapi memandang bapak yang duduk tegak di kursi roda dengan matanya yang damai melihat ke dalam diri orang itu, merekapun mendapatkan penghiburan dan kekuatan untuk maju dan mengucap syukur atas apa yang masih mereka miliki.

Lebih lanjut lagi melihat-kenang bapak lebih dalam, Elisabeth Kubler-Ross pernah mengatakan, proses kematian itu melalui lima tahap sederhana, yakni penyangkalan, marah, tawar menawar, depresi dan penerimaan. Disinilah, aku melihat bapak yang berpasrah. Pertemuan terakhir dengan bapak terjadi pada Medio Oktober, persisnya tanggal 8 Oktober. Ada sedikit perasaan tidak enak di hati  saat melihat bapak terkulai dengan kepala jatuh di pinggiran tempat tidur.  Sangat tidak nyaman memandang posisi pasrah itu, seakan ia menengadah ke langit untuk menyerahkan segalanya seperti Yang Tersalib pernah lakukan berabad-abad yang lalu: “Kedalam tanganMu, kuserahkan nyawaku (Bdk: Luk 23:46). Yah, aku yakin Bunda Maria ada dekat dalam pengalaman sakitnya. Bapak tidak banyak bicara, tapi ia menyimpan semua dalam hatinya. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. 

Saat hendak pamit pulang pada Medio Oktober itu, aku menggenggam tangan bapak, tangan yang pernah mengasuh, membelai dan membesarkan ketiga anaknya dan banyak muridnya yang sekarang entah mereka berada dimana. Dalam kelemahannya, ada kekuatan. Dalam kerapuhannya, ada kemantapan. Dalam kebimbangannya, ada kepastian. Dan yang pasti, dalam kesakitannya ada kesaksian, bukan?  Tajam dan menembus jendela batin!  Ada damai di sana. Pasrah, Berserah, Orang Jawa bilang: sumeleh. Seperti biasanya, bapak juga terus memegang tanganku, erat dan hangat, mendalam dan menawan, begitu personal sekaligus emosional sebetulnya. Di akhir perjumpaan sederhana inilah, lirih tapi jelas, bapak juga seperti biasa, mengucapkan ...”terima kasih”, “baik baik ya”....

Seiring waktu yang terus berjalan, perlahan tapi pasti, kusitir sebuah cukilan puisi dari penyair Libanon, Khalil Gibran: “Biarkan aku terbaring dalam lelapku, karena jiwa ini telah dirasuki cinta, dan biarkan aku istirahat, karena batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang. Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini, dan taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar. Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan wangian, dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.”

Yah, persis setelah misa pagi dan makan pagi pada tanggal 21Oktober, di kamar pastoran gereja St.Maria Tangerang, adikku member kabar ewat sms, “mas, bapak sudahtidak ada.” Aku lemas, hatiku sesak, seperti ada yang menekan hati dan mendesak dadaku, yang harus kukeluarkan. Contra vim mortis non est medicamen in hortis. Tidak ada obat di kebun yang dapat menanggulangi kekuatan kematian. Yah, aku menangis di dalam kamar pastoran, sendirian dan berusaha untuk tidak terdengar yang lain. Berat dan sangat sulit melihat kenyataan bahwa orang yang kucintai harus pergi selamanya.  R I P - Requiescat In Pace - Beristirahatlah Dalam Damai, Bapakku dan sahabatku, penguat dan penghangatku, Bapak Johanes Soedibjo.

Sekarang bapak memang tidak lagi berada di tengahku, ibu dan kedua adikku, karena dia telah mencapai puncak Golgotanya. Seperti daun kuning yang gugur, jatuh ke tanah dan menjadi pupuk bagi induknya, demikian juga bapak telah kembali ke dalam tanah menjadi pupuk bagi kita yang masih harus menyelesaikan jalan menuju puncak Golgota nya kita. Pupuk yang diberi bapak membuat kita semakin erat bersatu sebagai keluarga, semakin mengasihi dan semakin rendah hati.  Aku diyakinkan oleh Theresia dari Lisieux, dia tidak mati, tapi dia memasuki kehidupan, bukan? 

Hodie Mihi Cras Tibi - Hari ini aku, besok kamu. Kalimat ini biasanya juga tertulis di batu nisan, untuk mengingatkan mereka yang masih hidup bahwa suatu saat mereka juga akan mati. Tapi kini, paling tidak, sekarang aku bisa yakin 100% bahwa saat ini ada minimal satu orang di surga sana yang mengenal aku  dan yang akan selalu berdoa untukku, sehingga pada saat giliranku untuk  “sowan gusti”, “pulang kampung-mudik ke surga”, aku tidak lagi akan merasa asing, karena bapak ada di sana menyambutku dan dia telah menyediakan kamar untukku, ah.... betapa tenteramnya membayangkan saat itu tiba. Benarlah seperti kata Socrates, Ketika aku menemukan kehidupan, kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan  dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati, dan mati untuk hidup.

Aku juga mengamini sebuah pepatah Latin: Nil sine numini - Tak ada yang dapat terjadi tanpa kehendak Ilahi. Aku bersyukur bapak bisa bertahan selama 5 tahun untuk menunggu hari pentahbisanku. Dia rela bertahan demi menyiapkan hatiku, ibu dan kedua adikku untuk bisa lebih menerima pengalaman kehiangan. Bayangkan, selama lima tahun, dia tak dapat banyak berkata-kata, tak kuat berjalan apalagi mngunjungi banyak orang seperti yang dulu sering dibuatnya ketika masih aktif mengajar sebagai guru, katekis dan prodiakon.  Satu pemaknaan lain muncul, apabila hidup adalah pertempuran melawan kematian, maka kita harus sadar bahwa kematian akan selalu menang. Lantaran kematian itu sesuatu yang pasti, kita tidak hanya dituntut mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Tetapi juga, kalau bisa, memilih cara kematian itu terjadi. Cara kematian yang terhormat, punya makna bagi kehidupan orang lain. Bukan kematian yang sia-sia dan tidak bermakna, seperti kematian seorang pengecut!

Sebelum kuakhiri coretan  ini, kusitir sebuah puisi yang ditulis oleh Ashley,
seorang penyair ternama di America:

“When somebody dies, a cloud turns into an angel,
and flies up to tell God to put another flower on a pillow.
A bird gives the message back to the world and sings a silent prayer
that makes the rain cry.....

People dissappear, but they never really go away.
The spirits up there put the sun to bed, wake up grass, and
spin the earth in dizzy circles.
Sometimes you can see them dancing in a cloud during the day-time,
when they’re supposed to be sleeping

They paint the rainbows and also the sunsets,
and make waves splash and tug at the tide.
They toss shooting stars and listen to wishes,
and they sing wind-songs, they whisper to us:
“Don’t miss me too much. The view is nice and I’m doing just fine”

“Saat seseorang berpulang, segumpal awan menjelma menjadi malaikat,
dan melayang ke surga meminta Tuhan untuk meletakkan
setangkai bunga di atas sebuah bantal
Sang burungpun menyampaikan pesan itu ke bumi dan melantunkan seuntai doa
yang menyebabkan hujan menangis

Mereka memang harus pergi, tapi mereka tidak benar-benar pergi
Roh mereka di atas sanalah yang menidurkan matahari, membangunkan rerumputan dan memutar bola dunia
Kadang kau dapat melihat mereka menari di dalam awan di siang hari
di saat mereka seharusnya nyenyak tertidur

Mereka melukis keindahan pelangi dan juga temaram matahari senja
dan membangunkan ombak di lautan
mereka melambungkan bintang jatuh dan mendengarkan semua harapan,
nyanyian mereka merdu dalam hembusan angin, berbisik pada kita
“Jangan terlalu sedih. Pemandangan di sini indah dan aku baik-baik saja”

****


In Memoriam:

Mengenang 3 hari
Finita est
Selesailah sudah
Dari jurang yang dalam aku berseru kepada-Mu, ya TUHAN! Tuhan, dengarkanlah suaraku! Biarlah telinga-Mu menaruh perhatian kepada suara permohonanku.” (Mzm 130:1-2).


Mengenang 7 hari
Sic Transit Gloria Mundi  
Demikian mudah berlalunya kemuliaan dunia.
“Jangan menangis, kekasihku... Janganlah menangis dan berbahagialah, karena kita diikat bersama dalam cinta. Hanya dengan cinta yang indah, kita dapat bertahan terhadap derita kemiskinan, pahitnya kesedihan, dan duka perpisahan.”


Mengenang 40 hari
Pulvis et umbra sumus  
Kita hanyalah debu dan bayangan.
“…40 hari dalam semalam,
bergulir tanpa pesan,
beranjak tanpa jejak
Jiwa lelah kini istirah
di belahan bumi tak terjangkau

40 hari dalam semalam
berjalan tak lagi dalam kelam
Lepas bebas jiwa yang lelah
menembus tirai kebakaan
Sampaikan salam pada Cahaya…”
Acta est fibula – “Pertunjukan” telah usai, karena bukankah “life begins at 40 (forty)”?


Mengenang 100 hari
Exegi monumentum aere perennius
Telah kuselesaikan sebuah monumen yang lebih kekal dari perunggu
“Petikan cinta menggetar sukma
di raga hampa jiwa terpasung
kau usung keranda menjemputnya
di bibir beku kau lumat dia

"Duduklah di sini, hai sang kekasih
bersandarlah di bahu waktu
di tirai putih membalut tubuh
kurangkul engkau tiada jemu.

"Hembuskan napas perlahan,
usah terburu,
usah meragu
Engkaupun sungguh tahu,
Malam tiada pernah berkesudahan.”


Mengenang 365 hari
“ Pour Lui je vis, Pour Lui je meurs”
Untuk Dia aku hidup, dan untuk Dia aku mati”
“Kematian kerap menjadi saat pelepasan,
Yah, seperti kupu kupu yang terbang.
Cinta sejati tak pernah lapuk oleh kekejaman,
atau kekerasan,
oleh tanah atau kuburan.
Cinta sejati itu akan terbang,
seperti sepasang kupu-kupu,
hilang dan lepas ke langit tinggi,
bebas sejati dan abadi.


Mengenang 1000 hari
Si Deus pro nobis, quis contra nos?
Bila Tuhan beserta kita, siapa yang berani melawan kita?
Jauh
Ku kayuh perahu
Susuri buih tiada jemu
Dalam
Aku menyelam
Mencari MutiaraMu yang karam
Tinggi
Tangan meraih
Tali-tali illahi tiada henti
Lelah
Jiwa berkelana
Mengembara dalam fatamorgana

Tabah !
Hati Mencoba
Menanti panggilan
Menunggu giliran


VARIA
Hidup manusia itu seperti rumput,
pagi hari tumbuh,
siang hari berkembang,
sore hari menjadi kering,
layu dan mati. (Mazmur 90: 6).



Doa Memohon Kematian yang Membahagiakan


Tuhan Yesus, Penyelamatku, Engkau memilih untuk mati di kayu salib untuk menghapus dosa umat manusia. Aku menerima dengan tenang dari tangan Tuhan, apapun cara kematian yang diizinkan Allah agar terjadi padaku, termasuk segala kesakitannya, kesedihan dan penderitaan yang menghantarku ke sana. Semoga aku, melalui rahmat-Mu, dapat kembali kepada-Mu dengan pertobatan yang sempurna, sekarang ini, dan di saat ajalku.

Bunda Maria yang terberkati. Aku memohon agar engkau mendoakan aku sekarang dan pada saat aku mati. Semoga oleh doamu, Tuhan berkenan memberikan rahmat-Nya kepadaku agar aku dapat mempersiapkan kematianku setiap hari.

St. Yusuf, Santo pelindung dalam hal kematian yang membahagiakan, Engkau diberkati dengan kematian yang membahagiakan di dalam pelukan Yesus dan Bunda Maria. Doakanlah aku agar akupun dapat memperoleh rahmat Tuhan, supaya akupun dapat mati dalam pelukan Yesus dan Bunda Maria.Ya Tuhan, kumohon agar Engkau mendukungku dan semua orang beriman, sepanjang hari sampai pada akhirnya, ketika senja datang, dan kesibukan dunia terhenti dan kehidupan yang hiruk pikuk ini berlalu, dan pekerjaan kami telah selesai. Dan dalam belas kasihanMu, kumohon Engkau memberikan tempat kediaman yang aman dan istirahat yang kekal dan kudus dan kedamaian abadi pada akhirnya. Amin


Doa Memohon Kepasrahan akan Kematian

O Tuhanku, yang berkuasa atas hidup dan maut, oleh kehendak-Mu dan keadilan-Mu, Engkau menentukan bahwa semua manusia yang berdosa harus wafat dan beralih dari dunia ini. Lihatlah kepadaku yang berlutut di hadapan-Mu, berserah diri atas kehendak dan hukum keadilan-Mu. Dengan segenap hatiku, Aku menolak segala dosa- dosaku di masa yang lalu. Untuk alasan ini, aku menerima kematian sebagai silih atas segala dosaku, dan di dalam ketaatanku akan apa yang menjadi kehendak-Mu.Sementara menunggu saat ajalku, bantulah aku untuk menggunakan kesempatan yang telah Engkau berikan kepadaku dengan sebaik- baiknya, untuk melepaskan diriku dari keterikatan terhadap dunia ini, untuk memutuskan belenggu apapun yang mengikatku dengan dunia ini, dan untuk mempersiapkan diriku untuk berdiri dengan pengharapan dan keyakinan yang teguh di hadapan tahta pengadilan-Mu. Karena itu, aku menyerahkan diriku tanpa syarat ke dalam tangan-Mu. Terjadilah kehendak-Mu, sekarang dan selama- lamanya. Amin.

Bila kita enggan memasuki malam
bagaimana mungkin kita bangun menatap menyingsingnya fajar.

Bila kita enggan terpejam dalam tidur dan terlena dalam mimpi
bagaimana mungkin kita menikmati suka cita mentari pagi.

Tidur adalah semacam
kematian mini
yang berakhir di nafas pagi.

Mati adalah semacam tidur yang panjang dan lama
dalam dekap hangat pelukan Allah.

Dan fajar menyeruak cakrawala
setiap jiwa
sebab janji Allah adalah kehidupan bukan kematian
sebab cuma melalui mati orang
mencicipi hidup abadi.

0 komentar:

Posting Komentar