Ads 468x60px

In Memoriam


“Yesus Sang Tersalib dan Si Muda....”

“…Di puncak Golgota, massa telah beranjak.
Adegan maut penyaliban usai sudah.
Tiada lagi serdadu Romawi, tiada lagi orang-orang Yahudi.
Tinggal cadas dan onak duri yang coba nyanyikan lagu duka
bagi tiga anak manusia yang tergantung di palang.
Matahari adalah laknat,
kutuk bumi dengan silau dan hujan arus panasnya.
Suara angin gurun berhembus.
Derunya seperti suara hantu beku yang membuat iman jadi layu.
Di sini, kesunyian adalah jubah malaikat maut,
pelumat semua yang hidup dan bermakna...........”




Suara batu beradu memecah sunyi: ‘tak-tak-tak....’ aku melangkah pelan menuju ke tiga palang. Aku hindari jumbai jubah putihku tersangkut onak duri dengan mengangkat kedua sisinya. Mataku nyalang, menatap tubuh telanjang yang tergantung di palang tengah yang cukup panjang melintang garang. Luapan perasaanku panas. Sampai di bawah palang tengah, aku tengadah; tatap tubuh telanjang penuh darah dan luka merah. Jantungku berdegub keras: Duk...duk..duk. Mataku menatap keras dan pedas, Tak tahan membendung rasa, aku berteriak:

“Ahhh....mengapa Engkau disalib, wahai Yesus bin Yusup.
Mengapa Engkau disalib kalau Engkau benar, hai ‘raja’ Nazaret?
Mengapa Engkau tidak menang. Engkau tidak lebih dari orang terpidana.
Bahkan....Engkau jauh lebih hina.


Dalam telanjangMu, Engkau cuma jadi tontonan”

Tubuh lemah itu tidak menjawab. Diam sejuta bahasa. Cadas dan onak duri pun membisu dalam diamnya. Hanya deru angin malam beri jawaban.
Selanjutnya…..adalah sepi. Sambil mengelilingi palang tengah, aku berkata penuh nuansa:
” Pengadilan telah menentukan hidupMu.
 Engkau kalah, Yesus bin Yusup.

Engkau salah.
Mengapa tak Kaubungkam mulut para rabi dan imam Farisi-Saduki?
 Mengapa kau tidak menggulingkan Pilatus lalu memimpin Kota Sion dengan kuasa tanganMu? Mengapa tak Kauminta agar Allah mengirim pasukan surgaNya
melawan penguasa Roma berikut para dewanya?
Tapi Engkau telah kalah...
Engkau bukanlah Dia Yang Akan Datang”.

Seperti letih oleh tindakanku sendiri, aku duduk di bawah bayangan palang tempat orang yang kuajak bicara. Tiba-tiba, dari bibir kecil mungilku terbit senyuman simpul, dan sambil tertawa ringan, aku berkata penuh tanya :
” Engkau sombong Yesus. Engkau menjengkelkan.
 Itu bukan kata-kata dari diriku sendiri. Itu kata para guruku.
Tanpa izin dewan agama kau berkotbah tentang kebenaran.
Padahal, sejak kecil kami tahu apa itu kebenaran.
Sambil mengajar tentang kebenaran, kaulangkahi tradisi nenek moyang kami.
Apakah kasih seperti yang Kauajarkan memberiMu hak untuk bergaul
dengan pemungut cukai, dengan para pelacur, dengan pelbagai pendosa di kolong langit ini?
Apakah kasih yang Kauajarkan memberiMu kuasa untuk melanggar hari Sabat?
Tidak perlu Kaujawab, Hai Yesus!!
NasibMu saat ini telah membuktikan siapa salah - siapa benar.
Bahwa kasih pun harus tahu aturan. Itu yang kulihat. Itu juga yang kualami!!!”

Sambil terus duduk, aku seperti berbincang dengan diriku sendiri:
”Engkau membuat banyak mukjizat. Semua tahu itu!
Di hadapan kuasa mukjizatMu, bantahan para guruku kehilangan taringnya.
Tapi, mengapa kini Kaupilih kegagalan di salib ini? Mana kuasaMu itu?
Mana wajah penuh kasih yang kulihat dulu?
Yang kulihat kini hanyalah wajah suram seorang manusia yang tidak punya siapa-siapa.
Murid tidak, ibu pun tidak, Allah pun tidak lagi. Kau... Kau cuma setitik debu!”

Bergegas, aku berdiri dari dudukku. Sambil menuding, aku berkata:
” Yesus bin Yusup, apa mauMu sih? Jika Kau benar, mengapa Kau mati?
Tidak ada lagi kudengar suara yang berkata ’Akulah Gembala yang baik’,
‘Akulah Jalan Kebenaran dan Hidup’,
‘Marilah semua yang letih dan berbeban Berat’ .
 Mana mulut yang berkata:
 ’Kalau kau melihat Aku, kau melihat Bapaku’. Aku melihat Kau berarti Aku melihat Bapa? Bapa, yang adalah TuhanMu? Tuhan yang mana?
Tuhan yang kalah, yang diludahi, yang disumpahi, ditelanjangi?
Demi nama Allah leluhur kami! Siapa AllahMu wahai Yesus bin Yusup?
Samakah AllahMu dengan Allah kami yang perkasa,
yang mengantar nenek moyang kami keluar dari Mesir,
yang menuntun nenek moyang kami di padang gurun,
yang memberi nenek moyang kami kuasa untuk menaklukan bangsa Kanaan?
Apakah kejatuhanMu mewakili kekalahan Allah dari para dewa Romawi?”
“ Siapa AllahMu, wahai Yesus orang Nazaret?
Dengan santai Kaulanggar tapal batas pergaulan antara orang benar dan orang berdosa. Dengan angkuh pula hari suci Sabat kau langgar.
Wahai Yesus bin Yusup,
 apa jadinya jika hukum Kauanggap sampah?
Apa jadinya jika para terhukum dan para pendosa itu, Kau anggap bebas?
Mereka tahu mereka bersalah. Mereka tahu mereka berdosa.
Mereka pantas dihukum. Mereka berhak dihukum! Mereka tahu itu.
Peraturan Musa telah mereka langgar. Wajar jika mereka merasa bersalah!!
Tapi Engkau....Kau....tidak tahu hukumkah Kau?
Mengapa orang berdosa Kaubela?
Berpihak pada siapakah Kau?
Padahal, kami terlanjur mengenalMu sebagai nabi.
Apakah kasih tanpa batas seperti yang Kauajarkan dapat mendamaikan dunia ini?
Kau salah!! Kau salah besar, Yesus orang Nazaret.
 Taati peraturan, itu landasan kehidupan.
Segala yang bertentangan dengannya pasti disikat habis.
 Surga pun tunduk pada prinsip ini!”

Lalu, dalam puncak klimaks amarah, aku mendesah penuh isak tangis nan miris:
”Yesus kini Engkau berada di puncak salib.
 Tergantung bak tontonan, mainan para algojo yang tidak berharga.
Monumen kehinaan, prasasti kekalahan pun altar kematian.
Sebelum aku tinggalkan tempat ini, aku bertanya untuk yang terakhir kalinya:
Siapakah ENGKAU? TUHANKAH ENGKAU?
Jangan membisu, wahai Yesus dari Nazaret. Jawablah.
Seandainya Kau jawab, apa pun itu, akan kuanggap sebagai kebenaran.
Ayo jawab Yesus...TUHANKAH ENGKAU?”

Angin malampun tidak berhembus. Burung dan semak sepanjang jalan Golgotapun malas terbangun dari lelapnya. Dan....setelah mengibaskan debu jalanan yang penuh kotoran, aku membelakangi tubuh Sang Tersalib, dan..... pergi!!

Sayang….yahhh,....Sayang.... dia tidak sabaran. Seandainya dia sedikit sabaran, mungkin dia dapat turut membantu anak muda lain tuk ikut menurunkan jenazah Yesus….Seandainya dia sedikit sabaran, mungkin dia akan turut menyaksikan jenazah Yesus dikuburkan….. Seandainya...ya, seandainya dia sedikit sabaran, dia dapat merasakan pengalaman akan kebangkitan.... Saat itulah pembuktian final untuk tentukan:

“SIAPA BENAR....SIAPA SALAH...
SIAPA MENANG....SIAPA KALAH.....”

0 komentar:

Posting Komentar