Ads 468x60px

Deus Bonus Est


Yulia Billiart

 PROLOG
Yang terluka yang menyembuhkan!! Inilah sepenggal kisah kasih nyata tentang seorang dara beriman, yang mengalami kelumpuhan total di usia 23 tahun. Dengan kelumpuhannya, ia tidak menjadi “taker”. Ia tetap setia berjuang menjadi seorang “giver”. Ia suka berbagi kasih dan perHATIan kepada sesamanya. Yulia Billiart namanya. Seorang perempuan yang penuh dengan perjuangan dan gulat geliat iman, walaupun beragam penderitaan dan keterbatasan diri terus mendera hidupnya. Ia juga yang menjadi salah satu pendiri dan ibu rohani bagi Kongregasi Suster-suster Notre Dame (SND). “Ah, qu’il est bon, le bon Dieu”. Ah, betapa baiknya Allah yang baik! Yah lewat imannya, ia meyakinkan kita semua bahwa Allah sungguh baik. God is Good!



SKETSA PROFIL
“….Kamu adalah surat cinta Tuhan,
yang ditulis bukan dengan tinta yang ditulis
di atas loh batu, tapi dengan roh pada hati……”.

Yulia Billiart. Dialah salah seorang pendiri Perkumpulan Notre Dame de Namur di Belgia, yang sepenuh hati mengabdikan diri di bidang karya pelayanan kasih dan pemeliharaan bagi anak-anak miskin dan terlantar. Ia sendiri terlahir pada 12 Juli 1751 di sebuah desa kecil Cuvilly, Perancis Utara. Ia dibaptis pada hari itu juga dengan nama Marie Rose Julie Billiart. Ia berasal dari sebuah keluarga sederhana, dan menghabiskan masa kanak-kanak di sebidang tanah milik keluarga yang tidak begitu luas. Sang ayah sendiri bekerja sebagai penjual kain. Selain menjual kain, keluarga itu juga menjual aneka peralatan rumah tangga bagi warga desa. Yang jelas, Yulia hidup dengan taburan kasih sayang dari keluarganya yang bersahaja.

Dia tergolong anak yang pintar, tanggap dan mudah berbagi. Ia terkesan menyadari kasih Allah yang tercurah penuh bagi keluarga, alam sekitar, dan orang-orang yang membentuk hidupnya. Dalam usia dini, pamannya, seorang guru desa, mengajarinya membaca dan menulis serta mendalami perihal katekismus. Yulia merasa senang sekali ketika mempelajari katekismus (pelajaran agama). Dia merasa dekat, erat-akrab dan bersahabat hangat dengan Tuhan.  Itulah sebabnya, ketika usianya baru tujuh tahun, ia sudah berani menerangkan dan membagikan pelbagai kebenaran iman yang diyakininya kepada anak-anak kecil lainnya. Ia juga mulai berinisiatif mengumpulkan anak-anak miskin yang tidak dapat sekolah, dan mengajar mereka membaca dan menulis. Yah, bakat mengajar sekaligus membagikan kekayaan iman telah berkembang dalam dirinya sejak kecil.

Ketika usianya menginjak masa remaja (14 tahun), ia malahan bertekad mengikrarkan kaul kemurnian hidup selamanya demi Tuhan. Perhatiannya kepada kepentingan orang lain juga semakin meluas. Selain tetap mengajar agama, ia pun mulai memalingkan fokus perhatiannya kepada orang-orang sakit dengan melakukan kunjungan-kunjungan tetap. Disanalah, ia meneguhkan, menghibur orang-orang sakit dan pastinya berdoa bersama mereka.

Di lain matra, pada masa remaja inilah, keluarga Yulia jatuh miskin. Kemiskinan itu pula yang membawa tragedi kematian bagi beberapa saudara sekandung Yulia. Yah, karena kondisi keluarganya yang jatuh miskin inilah, maka pada masa yang masih belia, Yulia harus pergi bekerja keras untuk menolong keluarga dan saudara-saudarinya.

Pada tahun 1782, Yulia mengalami tragedi: Ia lumpuh di usia 23 tahun. Kelumpuhan itu terutama akibat sebuah pengalaman trauma, ketika bongkahan sebuah batu besar jatuh di dekat kaki Yulia. Lemparan batu yang melalui jendela toko ayahnya itu, juga disertai letusan tembakan. Selanjutnya, Yulia menghabiskan lebih dari 22 tahun waktunya di tempat tidur. Yulia tidak lagi dapat bekerja, tetapi ia tetap berjuang menjadi “giver”: Ia mempersembahkan doa-doanya kepada Tuhan, agar semakin banyak orang dapat menemukan kebahagiaan sejati bersamaNya. Yulia juga merasa jauh lebih akrab dengan Tuhan daripada sebelumnya. Ia tetap bersemangat mengajarkan katekese dari tempat pembaringannya. Ia juga kadang mengunjungi orang sakit, dan seringkali mendoakan dan mendampingi orang yang akan meninggal. Jelaslah, lewat figur Yulia Biliart ini, tepat sebuah pepatah latin yang berkata, “Aegroto dum anima est, spes est - selama seseorang yang sakit masih memiliki semangat, maka masih ada harapan.”

Hebatnya lagi, dengan kondisi fisiknya yang lumpuh, Yulia bahkan tetap memberi perlindungan bagi imam-imam yang dikejar-kejar pada saat bergulirnya Revolusi Perancis. Sikapnya yang gagah berani dalam melindungi iman Katolik menumbuhkan kebencian di hati orang-orang revolusioner yang anti agama Katolik. Karena tindakan-tindakannya ini, hidupnya sendiri pun terancam. Untuk menghindari bahaya atas dirinya, pada tahun 1794, seorang sahabatnya mengungsikan dia ke Compiegne Amiens.

Melalui masa penderitaannya, Yulia selalu mempercayakan diri pada perlindungan Tuhan yang mahabaik. Dia melewati masa-masa pengungsian di Amiens dengan didampingi oleh keponakannya, Felisite. Satu hal yang pasti, “audaces fortuna iuvat - Nasib baik menolong mereka yang berani. Disinilah, Yulia yang berani mulai menjadi pelopor dan penggerak sekelompok wanita saleh untuk melakukan karya-karya amal. Kasih Yulia kepada Tuhan dan sesama membangkitkan semangat banyak wanita muda lainnya. Mereka rela mengorbankan waktu serta kekayaan mereka untuk karya amal kasih bersama Yulia bagi semakin banyak orang miskin.

Seperti kata Cicero, “amicus certus in re incerta cernitur -seorang kawan sejati dapat dikenali pada saat yang penuh ketidakpastian,” di tempat pengungsian inilah, Yulia juga mendapat perlindungan dari seorang bangsawan dermawan Gournoy-sur Aronde. Dalam pengungsian di Amiens inilah, dia sekaligus bertemu anak bangsawan Gournoy-sur, Françoise Blin de Bourdon yang akhirnya menjadi sahabatnya dan nantinya bersama-sama menjadi Suster-suster Notre Dame.

Sesudah kerusuhan Revolusi Prancis mulai mereda dan orang Katolik dapat menjalani hidup keagamaannya dengan bebas lagi, Yulia dan teman-temannya mulai mengajar katekese secara lebih terbuka. Kira-kira pada tahun 1803, mereka mendirikan sebuah sekolah Katolik untuk remaja-remaja puteri sebagai awal Perkumpulan Notre Dame. Tujuan utama sekolah ini ialah, mendidik remaja-remaja itu menjadi orang Katolik yang sejati. Sekolah ini juga dimaksudkan untuk kaderisasi: mendidik puteri-puteri menjadi guru-guru agama Katolik yang berkualitas. Indahnya, semua kegiatan pendidikan dan karya pelayanannya ini  dilaksanakannya dengan girang hati dalam keadaan tetap pincang: “Quidquid agis, prudenter agas, et respice finem - Apapun yang kau lakukan, lakukanlah dengan bijak dan pertimbangkan hasil akhirnya!”

Pada tahun 1804, seorang imam mengadakan sebuah misi di kota Yulia tinggal. Ia meminta Yulia untuk melakukan novena bersamanya bagi suatu intensi yang dirahasiakan olehnya. Setelah lima hari, yaitu pada Hari Raya Hati Yesus Yang Mahakudus, imam itu berkata: “Ibu Yulia, jika anda memiliki iman, majulah satu langkah demi menghormati Hati Yesus Yang Mahakudus.” Yah, Yulia disembuhkan secara ajaib. Ia mulai berjalan normal kembali setelah menderita selama 22 tahun.

Beberapa bulan berikutnya, tepatnya pada 1 Juni 1805, Yulia, Françoise dan suster lainnya mengucapkan kaul pertama mereka: kemiskinan, kemurnian dan ketaatan di Amiens, Perancis. Mereka mengambil nama, “Suster-suster Notre Dame”, yang mengabdikan diri di bidang pendidikan bagi kaum puteri. Keadaan berubah menjadi sulit ketika Uskup Amiens yang awalnya menerima kehadiran Yulia, tetapi kemudian mengusir mereka. Yulia dan para suster yang memilih pergi bersamanya, diterima oleh Uskup Namur di Belgia dan mereka diperbolehkan mendirikan rumah induk baru di  sana. Sejak saat itu, mereka dikenal dengan nama “Suster-suster Notre Dame Namur/SND de Namur”.

Yulia menghabiskan sisa hidupnya untuk mempersiapkan para gadis yang hendak menjadi biarawati. Ia mengurus kongregasinya. Ia banyak menderita oleh karena mereka yang tidak mengerti karyanya, namun Yulia senantiasa mengandalkan Tuhan. Kata-kata kesukaannya ialah: Deus bonus est. Allah itu baik. Yah, betapa baiknya Allah yang baik itu.” Yulia akhirnya meninggal dunia pada tanggal 8 April 1816, dan pada tahun 1969 menyandang gelar orang kudus dari Gereja Katolik, yang diberikan oleh Paus Paulus VI.
Nunc Dimittis! Adapun Kongregasi Suster-suster Notre Dame yang dirintis oleh Yulia dan teman-temannya ini terus berkembang luas, crescit en eundo - bertumbuh sambil berjalan, maka mereka mendirikan beberapa lagi rumah biara di Belgia. Para suster Notre Dame Amersfoort di Belanda merupakan perkembangan dari Suster-suster Notre Dame, Namur. Dalam perkembangan waktu, kemudian berkembang satu lagi komunitas baru di Coesfeld, Jerman dengan nama  Suster-suster Notre Dame, Coesfeld di Jerman (dua orang guru muda, Hiligonde Wolbring dan Elisabeth Kühling menjadi perintisnya, dengan memelihara dan mulai mendidik anak-anak yatim piatu dan terlantar di rumahnya pada tahun 1849. Pada tahun 1855, komunitas awal yang didirikan di Coesfeld ini juga menjadi kongregasi mandiri dan berkembang pesat sampai di Indonesia).


REFLEKSI TEOLOGIS
1.YULIA
    Yang Utama, Lihatlah Indahnya Allah
Tuhan tahu yang terbaik.
Apa yang dikerjakan selalu baik
(Sr Maria Aloysia Wolbring, SND dari Coesfeld,Musim gugur ,1881) 

Nomen est omen. Setiap nama punyai makna. Dan, bagi saya,nama Yulia juga bisa berarti, “Yang Utama, Lihatlah Indahnya Allah.” Nah, bagaimana kita juga bisa menjadi “Yulia”: menyadari bahwa yang utama itu adalah melihat indahnya Allah? Terus terang, setiap saya mengenang kembali sosok Yulia Biliart ini, sebuah ayat kitab suci yang langsung terkait spontan di relung hati adalah sebuah ucapan Rasul Paulus kepada jemaat di kota Roma, “Bersukacitalah dalam pengharapan, bersabarlah dalam kesesakan, bertekunlah dalam doa” (Roma 12:12). Saya melihat bahwa Yulia Biliart mengajak kita memiliki tiga sikap dasar ini, jika ingin mengutamakan melihat indahnya Allah, yakni:

-        Bersukacitalah dalam pengharapan: Kita tentunya mengingat-kenang sepenggal kata kesukaannya, “Deus bonus est. Allah itu baik. Yah, betapa baiknya Allah yang baik itu.” Sejak kecil, Yulia juga bersukacita ketika mempelajari katekismus dan dengan sukacita pula, ia membagikan kekayaan imannya bagi semakin banyak orang lain. Hal yang lain, ketika ia terancam karena keberaniannya menyembunyikan para pastor, sehingga ia harus berada di tempat pengungsian, Yulia malahan mendapat perlindungan dari seorang bangsawan dermawan Gournoy-sur Aronde. Lebih daripada itu, dikemudian hari kita ketahui bahwa Yulia dinobatkan sebagai seorang kudus dan ibu rohani para suster SND. Satu semangat yang terus diwartakannya: “GIG” - God is Good, mengajarkan perlunya juga sikap yang terus bersukacita, bukan? Baiklah juga kalau kita melihat dan mengingat lambang Kongregasi SND, yang secara tidak langsung juga menunjukkan bentuk simbolik penuh sukacita, tentang sejarah, tradisi-tradisi dan semangat kongregasi:
a.Merpati, melambangkan Roh Kudus, membentuk bentangan langit
b.Bunga lili kecil membentuk salib mengingatkan akan motto pada cincin SND
c.Motto, Kemuliaan kepada Allah, Penghormatan kepada Maria, serta Pengenangan pada  ibu pendiri.
d.Jumbai, melambangkan kesatuan, berdasarkan kepada empat keutamaan pokok: kebijaksanaan,  keadilan, ketabahan dan kesederhanaan.
e.Enam buah lingkaran emas, lambang perjalanan, menunjuk pada mobilitas apostolik.
f.Fluer-de-lis berwarna biru, berasal dari Perancis, melambangkan Maria dan mengingat St. Yulia Billiart, ibu rohani. Tiga buah daun bunga fluer-de-lis menunjuk kepada iman, harapan dan cinta kasih, ketiga kaul dan keutamaan SND.
g.Bintang berujung lima dan gerakan gelombang melambangkan Maria, bintang pembimbing SND.
h.Garuda emas mewakili Jerman (SND Coesfeld).
i.Singa, menunjuk kepada Negeri Belanda (SND Amersfoort) dan Belgia (SND Namur).
j.Bunga Lili, menghormati Maria Imakulata, pelindung Amerika Serikat, di mana Kongregasi berkembang selama Kulturkampf.
k.Lampu bernyala, pusat perisai, mewakili orang kristen Roma kuno dan hati Kongregasi di dalam hati Gereja.

-    Bersabarlah dalam kesesakan: Ingatkah kita, ketika di masa remajanya yang seharusnya indah dan penuh kisah, keluarga Yulia malahan jatuh miskin dan beberapa saudara sekandungnya juga meninggal karena kemiskinan ini? Disinilah kesabarannya sungguh diuji. Dia mengalami suatu pemurnian hati. Yulia yang masih remaja, harus pergi bekerja keras untuk menolong keluarga dan saudara-saudarinya. Satu hal lain yang menarik: Karena kelumpuhannya, maka Yulia menghabiskan lebih dari 22 tahun waktunya di tempat tidur. Ia harus belajar bersabar dalam setiap keterbatasan fisiknya, bukan? Bisa jadi, ia belajar dari sebuah tiram. Yah, ketika sebutir pasir terbawa arus masuk ke dalam cangkangnya, melukai dagingnya yang halus dan lembut. Ia tak berdaya melepaskannya. Apa yang dilakukannya? Ia mengeluarkan lendir, membungkus pasir itu, dan setelah berbulan bertahun lewat, sebutir pasir itu telah berubah menjadi mutiara. Mulanya dari sesuatu yang remeh, kecil, menyakitkan, tapi Tuhan mengubah menjadi mutiara yang indah. Pelan tapi pasti, rahmat Tuhan datang. Hal ini juga terjadi ketika Uskup Amiens di Prancis, yang awalnya menerima kehadiran Yulia dan teman-temanya, tetapi kemudian malahan mengusir mereka. Sangat menyakitkan bukan? Melalui pelbagai penderitaannya, Yulia selalu beajar bersabar, mempercayakan diri pada perlindungan Tuhan yang mahabaik. Dia mengajak kita untuk tidak melulu hanya berdaya guna, tapi juga lebih bisa belajar berdaya tahan. Bukankah Benjamin Franklin juga pernah mengatakan bahwa “orang yang memiliki kesabaran juga akan memiliki apa yang dikehendakinya –One who has patience will have whatever he wants.”

-    Bertekunlah dalam doa: Yulia mengalami kelumpuhan total di usia 23 tahun. Dua puluh dua tahun kemudian, atas anjuran seorang imam, Yulia terus bertekun dalam Novena Hati Yesus Yang Mahakudus selama berhari-hari. Buah dari novena dan ketekunannya dalam doa adalah, ia sembuh dari kelumpuhannya. Dari hal-hal inilah, ditekankan bahwa semangat Suster-suster Notre Dame dijiwai oleh semangat kesederhanaan yang tumbuh dalam keutamaan-keutamaan seperti cinta, kasih, kerendahan hati, dan ketaatan. Terutama untuk membawa Kristus kepada sesama, yang semuanya ini berakar pada hidup doa yang mendalam. Satu hal yang pasti, pengalaman mendalam akan penyelenggaraan ilahi selalu menggerakkan setiap karya, terlebih pendidikan, kesehatan, sosial dan pastoral dengan penekanan inti katekese agar dapat menolong sesama bertumbuh dalam iman dan kepercayaan kepada Allah.


2. Verbum est Evangelicum
    Kata menjadi Warta (Gembira)
“Evangelisasi tidak akan genap,
jika ia tidak memperhitungkan
peran timbal balik yang tak terputuskan
antara Injil dan kehidupan manusia yang nyata,
baik pribadi maupun sosial”.
(Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI).

Ada macam-macam warta yang kerap kita sebut kabar. Ada kabar burung (baca: gosip - digosok makin sip”) di pelbagai acara infotainment. Ada kabar dukacita, kematian kerabat. Ada kabar sukacita, keberhasilan/suksesnya anggota keluarga. Ada kabar buruk, maraknya gempa dan bencana alam. Ada juga Kabar Kabari, acara populer di sebuah televisi swasta kita. Satu kabar yang saya angkat yakni, kabar baik (Evangelisasi, Evangelium, Injil: Kabar Baik/Kabar Gembira).

Secara tekstual,  Evangelisasi sendiri adalah membawa ‘Kabar Baik/Gembira’ ke dalam seluruh lapisan manusia dan memperbaharui manusia dari dalam.  (Evangelisasi Nuntiandi 18). Disinilah, Yulia Biliart sebenarnya mengajak kita untuk juga menjadi “kabar baik” bagi semakin banyak orang lain. Secara sederhana, ada tiga modal iman jika kita mau belajar menjadi kabar baik, seperti Yulia Biliart, yakni:

a. KAsih: Bukankah kasih itu artinya ‘ngasih’, yaitu memberi? Menjadi seorang giver, dan bukan taker? Kita ingat, ketika Yulia menderita kelumpuhan, bukankah ia tetap bersemangat mengajarkan katekese dari tempat pembaringannya? Bukankah ia juga mengunjungi dan mendoakan orang sakit? Hal ini juga terbukti, ketika dia dengan gagah berani melindungi para imam Katolik dari ancaman kaum revolusioner, bukan? Dikatakan juga oleh para pengikutnya, bahwa kharisma para suster Notre Dame adalah pengalaman mendalam terhadap kebaikan Allah dan penyelenggaraan Ilahi. Kharisma tersebut merupakan karunia khusus dari Roh Kudus yang dianugerahkan kepada Ibu Rohani Santa Yulia Billiart. Pengalaman mendalam akan penyelengaraan ilahi itu pula yang menggerakkannya untuk berbelas kasih kepada sesama terutama anak-anak miskin. Belas kasih untuk setia yang kreatif terhadap kharisma kongregasi tersebut yang hingga saat ini terus-menerus dilanjutkan oleh setiap suster Notre Dame.

b.saBAR: Inilah sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi kerap sulit dilakukan. Inilah sebuah kondisi menahan diri dari berputus asa, meredam amarah jiwa, mencegah lisan untuk mengeluh, serta menahan anggota badan untuk berbuat jahat. Ia muncul dari dalam jiwa, mencegah perbuatan yang tidak baik, kekuatan jiwa yang membuat baik segala perkara. Inilah keutamaan lain dari Yulia Biliart, seperti yang pernah dikatakan oleh Adel Bestravos “Kesabaran pada orang lain berarti cinta. Kesabaran pada diri sendiri berarti pengharapan. Kesabaran pada Allah berarti iman.” Puluhan tahun, ia menderita kelumpuhan. Ia tidak bisa berbuat banyak seperti ketika dia sehat, dan dia berjuang untuk Sabar, sabar, syabar, syabaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrr, dan syabarrrrrrrrrrrrrr.  Dia berjuang untuk sabar terhadap dirinya sendiri, sabar terhadap sesamanya dan yang pasti juga sabar terhadap rencana Tuhan. Yah, dengan sikap sabarnya, ia semakin memiliki harapan, kasih dan iman yang sungguh  teruji.

Lewat kesabaran Yulia Biliart dalam menerima kelumpuhannya, di sinilah menjadi jelas, bahwa kita juga diajak untuk lebih bertolak ke dalam-Duc In Altum, masuk dan menimba suasana iman penuh kerahiman yang timbul dari divine depth - lubuk ilahi. Di sinilah juga, kita diajak untuk belajar hidup prihatin, lewat pengalaman salib, entah salib yang diderita orang lain ataupun kita derita sendiri. Ya, disitulah kita diajak belajar beriman dari salib, yang untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan, dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tapi jelas untuk Yulia Biliart dan kita semua yang beriman kristiani, salib melulu adalah kekuatan dan hikmat Allah yang mengantar pada kebangkitan (1 Kor 1:23).

c.BAhagia Ikut Kristus: Psikolog Jerman, Maria Kallen mengatakan, “jika kita tak punya apa-apa yang kita cintai, maka cintailah apa-apa yang kita punyai.” Lewat figur Yulia Biliart, kita diajak untuk menemukan kebahagiaan dari hal-hal sederhana yang sudah kita miliki, yang kadang terlewatkan begitu saja. Kita juga diajak mengingat bahwa kebahagiaan terjadi ketika kita juga berani menerima ketidakbahagiaan, bukan? Di tahun 1804, Yulia sembuh dari sakitnya yang dideritanya selama puluhan tahun. Di tahun itulah juga, persisnya pada tanggal 2 Februari 1804, Yulia dan dua teman dekatnya, Françoise Blin de Bourdon serta Catherine Duchatel menegaskan janji suci mereka untuk membaktikan diri dalam pendidikan gratis bagi orang muda yang miskin. Mereka mengambil nama, “Suster-suster Notre Dame”, yang mengabdikan diri di bidang pendidikan bagi kaum puteri: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil 4:13).

Yah, Yulia Biliart jelas bahagia ikut Kristus! Berangkat dari rasa kebahagiaan boleh mengikuti Kristus, maka visi para suster SND, yakni bahwa mereka dipanggil menjadi wanita-wanita religius apostolik dalam mengikuti Yesus Kristus menuju ke persatuan abadi dengan Allah Tritunggal. Adapun misinya, yakni: memberikan kesaksian akan kebaikan dan Penyelenggaraan Ilahi dengan membagikan belas kasih-Nya kepada sesama, khususnya mereka yang  mengalami kemiskinan dalam berbagai bentuk melalui pendidikan dan pelayanan lainnya, dengan tekanan khusus pada katekese sesuai dengan keadaan serta kebutuhan jaman. Nunc Dimittis! Utuslah aku!
                                    

EPILOG
“Cinta Tuhan adalah daya penggeraknya,
kemuliaan Tuhan adalah tujuannya,
dan kehendak Tuhan adalah pedomannya.
Kunci hidupnya adalah kesederhanaan yang terarah pada satu tujuan
yakni mencari Tuhan sendiri di dalam segala dan menemukan segala hal di dalam Tuhan.”
(Sr Maria Aloysia Wolbring, SND dari Coesfeld) 

Yulia Biliart sungguh memiliki sumbangan berarti bagi Gereja dan dunianya, yakni agar sesamanya dapat menjadi orang yang semakin beriman. Dalam hal inilah, pharmakos telah berubah menjadi pharmakon (racun telah menjadi obat). Sakit fisiknya, membuat dia lebih bisa berdaya tahan. Sakit hatinya, karena penolakan dan kesalahpahaman pembesar atau sesamanya, membuat dia bisa lebih berdaya-makna. Yah, ada efek samping yang mendatangkan kebaikan, beneficial effect, dalam  lakon seorang ibu rohani Kongregasi Suster-suster Notre Dame ini: Dunia yang chaos ditransformasikan menjadi  dunia yang kosmos karena teladan seorang giver, bernama Yulia Biliart.

Di lain matra, Kongregasi Suster-suster Notre Dame terus berkembang dengan banyak panggilan dan lahirnya komunitas-komunitas baru. Seperti kata Maria Aloysia Wolbring, dari SND, Coesfeld pada tanggal 18 Juli 1881: “semua karya kasih SND ini senantiasa diselaraskan dengan Sabda Ilahi agar dapat membuat emas dari batu-batu (making gold out of stones)    
Semangat kongregasi yang diresapi oleh iman serta cinta kasih Yulia Biliart telah menjangkau setiap orang dalam perasaan mendalam akan kebaikan Allah. “Oh betapa baik-Nya Tuhan yang mahabaik!” menjadi semboyan Yulia dan para pengikutnya, yang terus menerus mendasarkan hidupnya pada salib dan penderitaan: Deus bonus est. Tuhan itu baik! GIG - God is Good!


ASPIRASI
“Kebaikan terkecil pun akan menjadi
sebuah mutiara pada mahkota kita”
(Sr. Maria Aloysia alias Hiligonda Wolbring, pendiri para Suster Notre Dame Coesfeld, Jerman)

0 komentar:

Posting Komentar