Ads 468x60px

Pastor Bonus


Maria Euphrasia

PROLOG
Benarkah bulan April adalah bulan perempuan? Entahlah! Yang pasti, di bulan April, kita bisa berkesempatan untuk sejenak bijak merenung-menung dan mengenang-peringati sejarah hidup dua tokoh perempuan. Yang seorang, adalah tokoh pahlawan perempuan Indonesia bernama Raden Ajeng Kartini yang diperingati pada 21 April. Yang seorang lagi adalah tokoh pendiri kongregasi Gembala Baik bernama Maria Euphrasia, yang diperingati pada 24 April. Kartini dan Maria Euphrasia adalah dua perempuan yang hidup di masa berbeda, namun memiliki persamaan dalam mengukir sejarah perempuan dan terus dikenang dari masa ke masa. Kedua perempuan ini menyaksikan sebuah realitas kekerasan terhadap manusia yang membuat hidup menjadi tidak berharga. Kartini menyaksikan bagaimana bangsanya dipaksa menjadi pekerja tanpa upah sementara Maria Euphrasia menyaksikan perbudakan dan pebagai penindasan pasca Revolusi Prancis.


SKETSA PROFIL
"A person is of more value than the whole world”
“Seorang pribadi jauh lebih berharga daripada seluruh dunia.”   
(Maria Euphrasia )

Maria Euphrasia (Euphrasia artinya, ”pidato yang indah”) terlahir bertepatan dengan pesta St. Ignatius Loyola, yakni pada tanggal 31 Juli 1796, dengan nama asli: Rose Virginia Pelletier. Ia lahir di di sebuah daerah pengungsian, yaitu Pulau Noirmoutier, Perancis. Ia berasal dari keluarga menengah ke atas, ayahnya seorang dokter bernama Julien Pelletier dan ibunya Anne Mourain (Ny.Paelletier). Perkawinan kedua orangtuanya berlangsung ketika sang ayah berumur 29 tahun, dan ibunya berumur 20 tahun. Ketika itu mereka tinggal di Soullans, sebuah daerah dataran rendah yang indah di Perancis. Mereka memiliki sifat sosial yang tinggi. Ibunya sering membantu karya suaminya untuk menolong orang-orang yang miskin dan menderita.

Sekitar tanggal 21 Januari 1793, pecah-maraklah pergolakan hebat di seluruh negeri Perancis. Kehidupan Gereja juga turut terguncang. Banyak imam yang dibunuh oleh orang-orang yang membenci gereja. Namun sayang bahwa penjahat-penjahat itu tidak ditangkap dan dihukum. Mereka dibiarkan berkeliaran dan melakukan berbagai aksi kejahatan. Mengingat bahaya yang menimpa imam-imam, maka keluarga Pelletier menyembunyikan pastor Paroki Soullans di rumahnya. Tetapi hal ini kemudian diketahui oleh para penjahat itu. Pastor itu ditangkap dan kemudian dibunuh. Karena merasa terancam, keluarga Pelletier berpindah ke pulau Noimoutier, tempat dimana Rosa Virginia Pelletier lahir. Maria Euphrasia sendiri diberi nama Rose Virginia Pelletier oleh orang tuanya karena pada saat dilahirkan ia adalah seorang bayi yang kecil, mungil, merah bagaikan sekuntum bunga mawar (Rose), dan dipersembahkan bagi nama Bunda Perawan Maria  (Virginia), sedangkan Pelletier adalah nama ayahnya sendiri.

Konteks historis waktu Maria Euphrasia hidup adalah sebuah masa yang amat sulit akibat revolusi Perancis. Revolusi dan kekuasaan teror menghancurkan segala bentuk perdamaian. Yang dirasakan hanyalah penderitaan dan ketakutan. Begitu pula yang dialami oleh orang tua  Euphrasia, sehingga mereka berpindah ke Pulau Noirmoutier. Ternyata, di pulau itu banyak pula gangguan-gangguan besar: Gereja ditutup dan dicemari oleh kaum revolusioner, bahkan banyak orang katolik dianiaya, dikejar dan dibunuh. Hidup keluarga Pelletier juga sering diancam bahaya.

Oleh karena bertumbuh dalam suasana yang demikian itu, Euphrasia dipenuhi cinta yang sangat besar kepada Gereja. Ia mempunyai semangat keberanian dan iman yang teguh. Ia terus bertumbuh sehat dan kuat, periang dan jujur, disertai semangat yang hidup yang tulus iklas. Orang tuanya bahkan kerap mengajarkan supaya Euphrasia memandang orang-orang yang miskin dan malang itu sebagai saudara-saudarinya di dalam Kristus.

Pada pesta ulang tahunnya yang ke-11 dan juga menjelang komuni pertamanya, Euphrasia mengalami peristiwa yang sangat menyedihkan. Ayah yang sangat dikasihinya meninggal dunia pada usia 54 tahun. Ia terpukul dengan kematian ayahnya. Melihat keadaan putrinya, ibunya tidak lagi menghiraukan dukanya sendiri, ia senantiasa menghibur anaknya ini. Euphrasia yang cerdas segera menyadari bahwa ia malahan menambah dukacita ibunya dengan sikapnya itu. Maka, demi ibu yang sangat dikasihinya, ia berusaha menyembunyikan perasaan hatinya sendiri.

Penerimaan komuni pertama yang disambutnya waktu itu memberikan penghiburan dan kebahagiaan yang tersendiri. Katanya kepada ibunya, “Hari Komuni Pertama sungguh merupakan hari bahagia surgawi.”

Setahun setelah ayahnya meninggal, saat usia 12 tahun, Euphrasia harus masuk sekolah yang resmi. Dalam bulan-bulan pertama, dia merasa berat. Pelbagai peraturan dalam sekolah membuat dia kehilangan kebebasannya. Karena selama ini, ia hanya mendapatkan pelajaran privat saja di rumahnya. Kata seorang suster di sekolah kepadanya, “ Engkau harus lebih menjaga diri, anakku; dengan tingkah laku seperti itu, kau akan menjadi orang suci atau setan?” Dia membelalakkan matanya keheran-heranan. “Mengapa tidak, suster?, Saya ingin menjadi suster!” Suster itu terkejut. Tidak terduga olehnya bahwa ia akan mendapat jawaban demikian dari anak itu. “Dengan kelakuan seperti itu; apa kau benar-benar memikirkan hal itu? Euphrasia mengangguk, “aku tahu bahwa aku masih harus banyak belajar, tetapi aku memang ingin menjadi suster.”

Kemudian setelah situasi umum di Soullans aman dan damai, ibu Anne bersama Rosa alias Euphrasia pindah kembali ke daerah asalnya Soullans. Disini, Euphrasia dimasukkan ke dalam sebuah asrama untuk melanjutkan pendidikannya. Di asrama inilah, Euphrasia berusaha untuk selalu menampilkan diri sebagai gadis yang menyenangkan hati banyak orang. Sikap dan tingkah lakunya berbeda sekali dengan teman-temannya. Ia seorang gadis yang rajin dan mudah membantu orang lain. Dengan senang hati, ia membantu suster pemimpin asrama untuk menertibkan rekan-rekannya. Pendidikannya di asrama ini sungguh menyiapkan dia untuk menjadi seorang suster yang saleh di kemudian hari.

Sementara berada di asrama, peristiwa duka lain menimpa dirinya. Constan, saudaranya meninggal dunia. Enam bulan setelah kematian Constan, ibunya tercinta meninggal dunia juga. Semua peristiwa duka yang datang beruntun ini meninggalkan luka batin yang cukup dalam di hati Euphrasia. Ia terus saja memikirkan ayahnya, ibunya dan saudaranya.

Tetapi inilah saat yang tepat bagi Tuhan untuk bertindak atas diri Euphrasia. Pada suatu hari, dia bersama kawan-kawannya berkunjung ke biara suster-suster Kongregasi Santa Maria Pengasih. Disinilah, mereka merayakan misa kudus bersama suster-suster itu. Peristiwa ini menumbuhkan kembali benih panggilan dalam hatinya untuk menjadi suster. Maksud hatinya untuk menjadi seorang suster diberitahukan kepada kakaknya Anne Yosefin dan Marsaud, suami Anne. Tetapi cita-citanya itu tidak disetujui. Saudaranya tidak menyetujui kalau Euphrasia masuk biara. Namun demikian, Euphrasia tidak berputus asa. Ia terus berdoa agar Tuhan memberikannya jalan yang terbaik.

Akhirnya, kedua kakaknya menyetujui cita-cita Euphrasia. Pada tanggal 20 Oktober 1814, Euphrasia pergi ke Tours untuk menjalani hidup membiara di Novisiat Bunda Pengasih dari Refuge (perlindungan orang berdosa). Tarekat Bunda Pengasih dari Refuge,  yang didirikan oleh St. Yohanes Eudes ini sendiri berdiri pada abad 17. Pada tanggal 9 September 1817, ia mengucapkan kaulnya yang pertama: kemiskinan, ketaatan, kemurnian dan pengabdian untuk keselamatan kaum wanita. Jubahnya khas berwarna putih. Di bagian dada tergantung salib biru yang melambangkan sengsara Kristus. Disamping salibnya, terdapat sejenis kalung dengan medali bergambar Santa Perawan Maria dan Kanak-Kanak Yesus, dikelilingi bunga bakung dan sekuntum mawar yang melambangkan cinta abadi.

Sebagai seorang suster muda, Euphrasia melaksanakan tugas-tugas yang dipercayakan kepadanya dengan penuh semangat. Ia ditugaskan di bidang pendidikan anak-anak asuhan yang ada dalam biara itu, dan berusaha agar mereka bisa kembali ke masyarakat sebagai orang-orang yang berguna.

Karena kesalehan dan kepribadiannya yang menarik, dia diangkat sebagai pemimpin biara  Bunda Pengasih di Tours, pada tahun 1825. Dalam tugas baru ini, ia berusaha dengan bantuan Tuhan untuk mengembangkan biaranya. Cintanya kepada St. Theresia dari Avilla sangat besar, oleh karena itu ia lebih condong kepada cara hidup karmelit. Atas izin pimpinan biara Karmelit, ia memadukan aturan-aturan Ordo Karmelit dan Anggaran Dasar Biaranya sendiri. Memang, pada saat Euphrasia masuk biara Bunda Pengasih, tarekat itu memang mempunyai peraturan yang bersifat ”otonomi”, yaitu setiap biara berdiri terpisah satu sama lain. Dua puluh tahun sesudah Euphrasia masuk tarekat itu, ia mencetuskan suatu gagasan baru untuk menyatukan semua biara di bawah satu peraturan umum dengan satu pimpinan pusat. Dia yakin hal ini akan lebih bermanfaat bagi optimalisasi perluasan karya para suster anggota tarekat itu.

Ada beberapa biara yang tidak menyetujui hal ini. Tapi, ada banyak juga biara yang menyetujui gagasan ini. Mereka segera bergabung dalam satu ikatan, menjadi sebuah tarekat baru, yang kerap disebut: ”Kongregasi Gembala Baik dari Angers”, dimana Euphrasia menjadi pemimpin yang pertama. Kongregasi baru ini mendapat persetujuan dan pengesahan dari Bapa Suci Gregorius XVI, pada tanggal 16 Januari 1835, dengan nama Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik. Maria Euphrasia telah mengubah sejarah sebuah kongregasi dengan cara mendirikan Generalat. Yah, sebuah perjuangan panjang dan penuh tantangan besar tentunya.

Calon-calon suster segera membanjiri novisiat di Angers, seolah-olah Tuhan menyetujui dan berkenan atas usahanya. Seperti sebuah kalimat yang pernah diucap-tuturkan oleh Kaisar Agustus, “Festina lente -  ia bergegas tapi perlahan”: Ia melakukan segala sesuatu dengan cepat tapi dengan cermat bagi perkembangan kongregasi baru ini. Ia segera mengutus suster-susternya ke Eropa, Amerika, Kanada, Australia, Selandia Baru, Irlandia dan negara lainnya. Selama hidupnya, ia mendirikan 110 biara di dunia dan itu terlaksana, sekalipun kenyataan di zaman itu sangat sulit untuk bepergian. Mereka seringkali menempuh perjalanan jauh, dengan naik kuda atau menumpang kapal layar.

Selain membantu misi, Euphrasia dan para pengikutnya juga membuka rumah-rumah penampungan bagi wanita-wanita yang bertobat, panti asuhan untuk anak-anak yang hidup dalam lingkungan-lingkungan yang berbahaya, rumah-rumah yatim piatu dan penampungan bagi gadis remaja yang berada dalam kesulitan besar, yang menjadi masalah bagi mereka sendiri dan masyarakat.

Pada akhir hidupnya, ia memberikan nasehat kepada para pengikutnya bersama semua anak gadis yang mereka asuh dengan mengatakan: ”cintaku bagimu semua membuat aku terus hidup. Ya, cinta ini merupakan daya hidupku.” April 1868, cinta Allah yang tiada batasnya menguasai tubuhnya yang rapuh digerogoti penyakit kanker: “Oh, alangkah indahnya surga, kulihat Tuhan kita di tengah-tengah para kudus-Nya. Kurasakan kehadiran Bunda Perawan Maria di sini, dekat disisiku. Kalau aku bisa mencapai tempat yang ditunjukannya itu, aku akan menemukan Tuhan Maha Pendamai. Aku yakin Tuhan akan menaruh belas kasihan kepadaku.”
Lama-kelamaan tubuhnya semakin melemah. Pesannya yang terakhir kepada para pengikutnya ialah: “JIWA MANUSIA JAUH LEBIH BERNILAI DARIPADA SELURUH DUNIA.” Inilah motto Tarekat Gembala Baik, yang secara sederhana saya artikan, ”cura personalis”, semacam pemeliharaan/pendampingan secara pribadi. Akhirnya, pada hari Jumat, 24 April 1868, Tuhan memanggilnya pada usia 72 tahun: "Though old stars burn out and die, look to the new and even beyond."

At the time of her death on April 24, 1868, there were 110 Good Shepherd houses.Maria Euphrasia sendiri dibeatifikasi oleh Paus Pius XI pada 30 April 1933 dan dikanonisasi oleh Paus Pius XII pada 2 Maret 1940. Today, there are 7,000 Good Shepherd Sisters in over 60 countries. Kongregasi Gembala Baik yang ditinggalkannya sebagai hadiah bagi Gereja, kini dengan ribuan suster yang hadir di 72 negara di lima benua dengan aneka ragam karya. Karya Suster Gembala Baik sendiri lebih terfokus pada perempuan dan anak, beberapa diantaranya:
1. Panti Sosial Bina Remaja untuk remaja putri yang bermasalah.
2. Asrama Putri bagi mereka yang mengalami kehamilan di luar nikah.
3. Krisis Center bagi perempuan yang mengalami masalah dan KDRT
4. Penanganan masalah-masalah TRAFFICKING
5. Pengembangan Ekonomi
6. Pendidikan Karya Pastoral



REFLEKSI TEOLOGIS
Gembala
“GEM”biralah dalam karya ; “BA”jagalah dalam doa; “LA”yanilah dalam cinta
“Go after the lost sheep
without other rest than the cross,
other consolation than work,
other thirst than for justice."
(Maria Euphrasia)

Kongregasi Bunda Pengasih Gembala Baik mempunyai sebuah paguyuban yang diberi nama “Sahabat–Sahabat Gembala Baik”. Paguyuban ini merupakan perkumpulan awam yang menghayati semangat Yesus Gembala Baik. Mereka mewartakan semangat pengampunan dan belas kasih Yesus Gembala Baik dalam tugas–tugas harian apapun profesi mereka. 
Kekuatan yang memotivasi hidup mereka berasal dari pengalaman dicintai oleh Allah dan pengalaman yang menyentuh mereka akan kasih Kristus dalam penggembalaan-Nya.

Disinilah, mereka juga kita semua diajak memgingat kembali bahwa Yesus pernah memperkenalkan dirinya sebagai “Gembala Baik” (Pastor Bonus): "..Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya," Yohanes 10:11. Demikianlah dalam petikan dari Yoh 10:11 itu, dimunculkan gambaran seorang pemimpin baik: Ia datang membawakan yang adil kepada umat yang berkumpul menantikan dan senantiasa mengharapkannya. Dalam Yeh 34:1-31, Tuhan juga jelas digambarkan sebagai gembala yang baik, yang melawan gembala-gembala jahat, yakni para pemimpin yang memperlakukan umat dengan tidak baik dan tidak adil.

Disinilah. Euphrasia bersama para pengikutnya juga mengenalkan sekaligus menghayati spiritualitas Gembala Baik di atas. Ia memang terkesan akan cinta dan belas kasih Yesus Sang Gembala Baik. Maka, ia mengambil model Yesus Gembala Baik sebagai cerminan dalam hidup dan pelbagai tugas perutusan serta kongregasi yang baru dirintisnya itu. Berangkat dari sebuah pesan Yesus, bahwa, “akan ada sukacita di surga karena satu orang berdosa yang bertobat melebihi daripada sukacita karena Sembilan puluh sembilan orang benar yang tidak memerlukan pertobatan”, maka wajarlah jika semboyan Maria Euphrasia dan para pengikutnya berciri “cura personalis”, yakni: “Satu pribadi lebih berharga daripada seluruh dunia”. Ia sangat meyakini bahwa, “Bapa yang penuh belas kasihan mengutus PutraNya, membawa kabar Gembira kepada setiap orang miskin, membebaskan setiap orang yang tertindas, menyembuhkan setiap orang yang luka hatinya, serta mencari dan menyelamatkan setiap orang yang hilang” (Bdk.Luk 4:18).

Nah, sebetulnya, secara sederhana, mengacu pada sepenggal lagu anak-anak (“Aku adalah Anak Gembala”), yang pernah dipopulerkan oleh seorang bintang cilik bernama Tasya, tercandralah adanya tiga ciri dasar supaya kita sungguh bisa belajar menjadi seorang gembala yang baik, yakni:
GEM”biralah dalam karya (“Aku adalah anak gembala, selalu riang serta gembira”); “BA”jagalah dalam doa (“karena aku senang bekerja, tak pernah malas ataupun lengah”) LA”yanilah dalam cinta (“setiap hari kubawa ternak ke padang rumput di kaki bukit”).

a.    GEMbira dalam karya:
Seperti kaum religius lain, para suster pengikut Maria Euphrasia menguduskan diri kepada Allah melalui tiga nasehat injili, yakni: kaul kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan. Tapi, sebagai Suster Gembala Baik, ditambahkan lagi kaul keempat, yakni: Kaul Semangat Merasul (“Zeal”), yaitu kaul untuk bekerja bagi keselamatan sesama. Dan seperti Yesus Gembala Baik, dalam mewujudkan cinta belas kasih Bapa, maka para suster juga berusaha merasul dan merengkuh dunia sesuai teladan dan semangat Maria Euphrasia.

Dalam pebagai karya dan warta, Euphrasia sendiri mengajarkan kepada para susternya untuk: “Mencintai anak-anak, buatlah mereka berbahagia, berbahagia sekali. Hendaklah selalu bersikap sabar dan penuh pengertian. Jangan hanya memandang lahiriahnya saja, tetapi pandanglah nilai sebenarnya yang ada dalam diri setiap anak-anak itu. Hiduplah untuk mereka, matilah untuk mereka. Cintailah mereka semua, selalu CINTA, CINTA dan sekali lagi CINTA! Janganlah pernah berputus asa, jikalau engkau tidak mencapai hasil-hasil yang kelihatan, jangan takut sebab benih-benih itu, yang ditaburkan sekali waktu, kelak akan mendatangkan hasil yang berlimpah.” Itulah filsafat karyanya yang membuat hatinya bernyala-nyala oleh keinginan untuk menyebarluaskan karya dan pelbagai wartanya ke seluruh dunia dengan hati yang gembira dan penuh sukacita.

b.    BAjaga dalam doa:
Sepenggal kisah nyata tentang para pengikut Maria Euphrasia di Jakarta: Suatu ketika, rumah karya RGS dirasa mulai terlalu kecil sehingga para suster memikirkan tempat yang lebih memadai untuk pelayanan dan usaha karya mereka. Setelah mencari dengan bantuan banyak orang, akhirnya para suster berhasil membeli tanah seluas 27.000m2 di Kampung Melayu, Jatinegara. Tanggal 25 Februari 1931, semua urusan pembelian tanah dan ijin untuk mendirikan rumah sudah dirapikan.

Tanggal 31 Oktober 1931, pembangunan selesai, maka para suster dan anak-anak berpindah ke rumah baru “Mater Dolorosa” di Jatinegara. Pada Tanggal 5 Nopember 1931, biara dan asrama diberkati oleh Mgr Van Velsen. Seiring berjalannya waktu, ternyata, selama Perang Dunia ke II, rumah di Jatinegara ini di ambil-alih oleh pemerintah Belanda.

Di tengah kebingungan mesti berbuat apa, maka pada tanggal 9 Oktober 1947, semua suster dan anak-anak asrama mengadakan doa dan kebaktian khusus kepada Bunda Maria. Kebaktian ini untuk memohon kepada Tuhan agar suster-suster memperoleh kembali seluruh bangunan yang diambil-alih oleh pemerintah. Sr. M Chrysostoma Zoetmulder dan para suster yanglain berjanji akan memulai devosi khusus untuk menghormati Bunda Maria Fatima, apabila rumah karya seluruhnya diperoleh kembali. Pertolongan dan berkat Bunda Maria perlahan tapi pasti mulai dirasakan: Kompleks susteran, asrama dan sekolah Gembala Baik berangsur-angsur dikembalikan lagi kepada para suster.

Untuk memenuhi janji iman para suster RGS, tanggal 7 Maret 1950 diadakanlah peletakan batu pertama pada pondasi tempat khusus untuk menghormati Bunda Maria Fatima. Patung Bunda Maria dipesan khusus dari Portugal. Tempat suci yang dulunya terletak di belakang kapel Gembala Baik ini diresmikan dan diberkati pada tanggal 13 Mei 1950 oleh Duta Besar Vatikan waktu itu, Mgr De Jonge. Tempat ziarah ini lama kelamaan menjadi terlalu sempit, sehingga pada tahun 1961 dipindahkan ke halaman belakang (sekarang Sekolahan St Maria Fatima). Pada tanggal 13 Oktober 1961, tempat ziarah yang baru ini diberkati oleh Uskup Agung Jakarta, Mgr Djajaseputra, SJ. Sejak tempat suci ini dibangun, Sr M Chrysostoma Zoetmulder mempunyai pesan yang tidak boleh diabaikan, yaitu bahwa tempat ini akan tetap menjadi tempat kudus untuk berdoa dan memuji Bunda Maria. Bukankah ini salah satu bukti bahwa para pengikut Euphrasia terus berjaga dalam doa?


c.    LAyani dalam cinta:
“Sebagai kaum religius, kami dipanggil dalam sebuah misi perdamaian, “kami mengungkapkan kharisma cinta yang penuh belaskasihan melalui hidup kontemplasi maupun aksi kerasulan kami.” (Konstitusi, Artikel 1)

Sebuah petikan berita dari UCA News Kamboja: Sejumlah pekerja muda Gereja secara rutin mengunjungi bar-bar dan klub-klub malam di sebuah kota turis di wilayah pantai bagian selatan Kamboja. Para pekerja itu, seperti halnya turis-turis asing yang datang ke pantai-pantai setempat yang masih asli, tertarik dengan “beer girls” (wanita-wanita muda yang bekerja dalam pelbagai klub) di Sihanoukville, sekitar 185 kilometer barat daya Phnom Penh.
“Kami secara rutin mengunjungi para gadis yang menjual bir di klub-klub malam dan mendorong mereka untuk menghadiri program pendidikan kami,” demikian Kakda, seorang anggota relawan dari Tarekat Para Suster Gembala Baik (RGS), kepada UCA News. Para relawan memberikan pelajaran bahasa Inggris dan rias kecantikan, sehingga para gadis bir itu dapat memiliki suatu masa depan yang lebih baik.

Kakda, (20 tahun), berbicara sebelum memulai pelajaran bahasa Inggrisnya di sebuah klub yang penuh dengan suara musik romantis yang bercampur dengan riuhnya bunyi hujan di atas atap. Ia mengatakan bahwa bekerja dengan para gadis bir tidak gampang karena pemilik bar mempekerjakan mereka berjam-jam lamanya dan mereka “kuatir bahwa kami membuat wanita-wanita itu pergi.”

Roath yang berusia 19 tahun, seorang relawan lain, duduk dekat Kakda: “Saya menghadapi banyak kesulitan melakukan hal ini, namun saya yakin, ini penting bagi  para gadis ini untuk melihat sesuatu yang berbeda dalam kehidupan mereka, sebuah karier yang lebih bermartabat dan suatu cara hidup yang lebih baik”, kata perempuan itu kepada UCA News.
“Gadis-gadis bir itu diambil dari masyarakat setempat”, kata Roath. “Saya adalah gadis Khmer seperti mereka, dan saya ingin berbagi keterampilan dan pengetahuanku dengan mereka.”
Suster Michele Lopez RGS, seorang warga negara Indonesia yang menjadi kepala kongregasi Gembala Baik di Sihanoukville, mengatakan kepada UCA News bahwa ia memulai proyek itu bersama dengan seorang suster lain  pada awal tahun ini. Namun, biarawati lain "kembali ke tanah airnya," katanya, "sehingga saya melanjutkan dengan sebuah kelompok yang terdiri dari enam relawan Khmer."

“Pekerjaan ini tidak sulit,” kata Suster Lopez. “Pekerjaan ini merupakan sebagian dari kharisma kongregasi saya.” Ia menambahkan bahwa ia menekankan kepada para relawan bahwa pekerjaan ini penting bagi para gadis bir untuk mengakui martabat karya manusia dan memiliki kesempatan untuk suatu masa depan yang lebih baik. Biarawati itu hanya mampu berbahasa Khmer secara terbatas, sehingga ia memilih untuk membiarkan para relawan itu tanpa dirinya pergi ke klub-klub itu.

Samnag, (20 tahun), adalah seorang gadis bir. Dia menceritakan tentang nasibnya dan teman-teman lainnya kepada UCA News. Wanita itu menjadi gadis bir selama dua tahun dan ia mengatakan ia berterima kasih kepada para relawan karena pelajaran yang mereka berikan itu membantu dirinya untuk berkomunikasi dengan baik dengan para tamu asing.

Ketika ditanya soal ambisi-ambisinya, ia menjawab dengan lembut, “saya ingin sekali mengelola usaha sendiri, salon kecantikan, atau kios di pasar. Saya bekerja di sini karena saya tidak menemukan pekerjaan lain. Namun saya ingin melakukan sesuatu yang lain.”
Sophal, seorang gadis bir lain, memiliki pandangan lain: “Saya tidak memiliki cukup waktu untuk belajar bahasa Inggris dengan kelompok dari para Suster Gembala Baik itu karena saya bekerja pada malam hari dan saya harus tidur siang hari,” jelasnya. Sekalipun begitu, wanita berusia 30 tahun yang berasal dari Propinsi Kompong Chhnang, utara Phnom Penh, itu sadar bahwa ia tidak dapat bekerja di sini selamanya. “Saya sudah tua,” katanya mengakui, “dan saya juga ingin membuka usaha sendiri di rumah.”

Srey Nang, (23 tahun), memiliki kisah berbeda. Ia mengatakan ia dulu bekerja di perkebunan karet di desanya di Kompong Cham, timur laut Phnom Penh, tapi ia lebih senang bekerja sebagai gadis bir, meskipun upahnya hampir sama. “Saya tidak bisa kembali ke rumah karena saya merasa sangat akrab dengan teman-teman dan tetangga,” katanya. Kembali ke rumah, jelasnya, seorang pria pernah memperkosanya dan ia hamil. “Setelah saya melahirkan, saya menitipkan bayi pada ibuku dan melarikan diri.”

Namun, sesungguhnya Nang ingin pulang ke rumah: “Saya berusaha untuk menabung uang agar pulang dan memulai usaha sendiri,” katanya.
Suster Lopez menjelaskan bahwa para suster Gembala Baik juga mengelola sebuah pusat bagi wanita dan anak-anak pinggiran di kota itu. "Untuk program itu, kami mengeluarkan dana sekitar US$1,000 per bulan, dengan dukungan para donatur dari Thailand," katanya.
Dari penggalan kisah nyata di Kamboja, seperti yang dipaparkan UCA News di atas, jelaslah bahwa para suster RGS mengungkapkan karisma belas kasih Yesus Gembala Baik melalui sinergi kehidupan kontemplatif dan aktif yang saling menguatkan dalam pelbagai karya dan warta di tengah grass-root level, masyarakat akar rumput. Karya pelayanannya sendiri, terutama ditujukan bagi perempuan dan anak-anak yang terluka oleh keadaan hidup dan dipinggirkan dalam masyarakat. Dalam mendampingi setiap pribadi yang berada dalam pelayanannya, para Suster Gembala Baik kerap bekerja sama dengan instansi pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat juga awam untuk mengubah struktur-struktur yang tidak adil dalam masyarakat.

Di Indonesia sendiri, Kongregasi Gembala Baik dimulai oleh enam suster dari Belanda. Mereka tiba pada hari pertama dalam pekan Paskah tanggal 27 April 1927, setelah hampir dua bulan lamanya berlayar mengarungi lautan. Mereka datang tanpa mengetahui bahasa setempat, tanpa keamanan tempat tinggal maupun tanpa keamanan keuangan. Mereka melulu bergantung pada penyelenggaraan ilahi. Menanggapi undangan Mgr Van Velsen, Vikaris Apostolik Batavia, mereka membuka rumah pertama di Jl. Hayam Wuruk (dulu disebut Molenvliet). Ketika itu para suster sungguh menyadari bahwa mereka adalah puteri-puteri Gereja Kudus yang diutus oleh Bunda Gereja. Karya para suster yang pertama adalah mengasuh dan melayani anak terlantar dengan sepenuh hati.


EPILOG
“Cintaku bagimu membuat aku terus hidup”

Pada tahun 2007 dan 2011, saya pernah diminta untuk memberikan semacam seminar rohani bagi para buruh migran kristiani dari Indonesia, yang bekerja di Hongkong dan sekitarnya oleh seorang pastor dari tarekat SVD yang bekerja di Migran Centre, Keuskupan Hongkong. Saat itulah, saya sempat berkenalan dengan seorang biarawati dari kongregasi Gembala Baik. Namanya, Sr.Flora RGS. Sosoknya sederhana, tapi imannya kaya makna. Ia handal dan hangat. Dalam bahasa populer: “kecil-kecil cabe rawit”. Yah, ternyata dia bertahun-tahun mendampingi para buruh migran, secara khusus para TKI kristiani di tanah perantauan, dengan pelbagai problematika nyata di lapangan karya. Ada pelbagai kasus pastoral yang menimpa para TKI, yang mesti didampinginya dengan semangat Gembala Baik: seputar aborsi, kekerasan dari majikan, masalah ekonomi, penyimpangan seksual, hutang-piutang dan gaji atau perlakuan yang tidak manusiwi, kedangkalan rohani dan relasi, serta masih banyak lagi yang lainnya.

Yah, dari sosok Sr.Flora RGS inilah, saya meng-“amin”-i bahwa memang benar dalam hidup dan karyanya, Euphrasia bersama para suster Gembala Baik ini melaksanakan tugas kesehariannya berdasarkan visi “Menampakkan Kerahiman Allah sebagai sahabat bagi setiap pribadi (terutama mereka yang ada dalam bahaya moral, terpinggirkan dan yang mengalami dampak negatif lain dari globalisasi). Adapun misinya adalah: “Memperjuangkan sikap penghargaan terhadap hidup dan martabat manusia; Membawa rekonsiliasi dengan diri, sesama, alam ciptaan, dan Tuhan; serta Mengembangkan budaya kesatuan hidup dalam perbedaan.”

Berangkat dari visi dan misi dasar itulah, Sr.Flora dan para suster dari Kongregasi RGS jelas-jelas dipanggil dan diutus untuk menjadi “Pastor Bonus - Gembala Baik”, yang mewartakan sebuah cinta yang berbelaskasihan: yang setia mencari, mengampuni, memperdamaikan dan menyelamatkan semakin banyak orang lain. Dalam bahasa Maria Euphrasia,  "Let your light shine." Bagaimana dengan kita?  Fiat Lux. Jadilah Terang!


ASPIRASI
"You have to adapt to all circumstances. Do the best you can, while remembering that, according to the spirit of our calling, we must be everything to everyone." -  "Kamu harus beradaptasi dengan segala situasi. Lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Sementara itu, ingatlah menurut semangat panggilan kita, bahwa kita harus menjadi segalanya bagi semua orang." (Maria Euphrasia)

0 komentar:

Posting Komentar