Kartini dari Jepara
Seperti kita ketahui, pada tahun 1911 terbit antologi surat-surat Kartini
dalam format buku yang disusun oleh J.H. Abendanon, berjudul ‘Door
Duisternis tot Licht’, dan kemudian diterjemahkan oleh Armijn Pane sebagai
‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ (terbit di tahun 1951). Tulisan saya ini
sendiri mendapat banyak rujukan dari artikel Goenawan Muhammad, “Habis Gelap
- Terbitlah Aufklarung”.
Abendanon sendiri sebetulnya adalah seorang direktur pada departemen
pendidikan, industri dan agama pemerintah Hindia-Belanda di awal abad ke-20. Ia
seorang pendukung 'Gerakan Ethis' waktu itu, yang berencana mendirikan sekolah
di tanah jajahan secara besar-besaran. Lewat penerbitan buku itu, Abendanon
sebenarnya ingin berbicara tentang suatu transformasi positif, dengan Kartini
sebagai pembawa obor pencerahan. Singkatnya, bahwa transformasi dari 'gelap' ke
'terang' berarti suatu proyek pencerahan dari 'kebodohan' ke 'kecerdasan'.
Kata 'pencerahan' memang beberapa kali memang muncul dalam korespondensi Kartini (misalnya
dalam surat kepada Steela Zeehandelar 12 Januari 1900). Sudah barang tentu, seperti tersebut dalam beberapa surat
Kartini yang lain, 'pencerahan' juga ada hubungannya pula dengan emansipasi,
khususnya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera. "Kemerdekaan
perempuan akan merupakan buah dari penderitaan dan kepedihan kami', tulis
Kartini dalam sepucuk surat bertanggal 1 Agustus 1903.
Dia dan Agama
Bicara soal pemahaman iman Kartini terhadap Kitab Suci, '...dulu
saya tak hendak belajar lebih lanjut dari Kitab Suci, yang mengutarakan kalimat
dalam sebuah bahasa yang ganjil, yang artinya tak saya pahami dan mungkin guru
saya sendiri tak memahaminya....[Tapi} saya keliru. Kitab dari semua Kitab itu
terlampau suci untuk ditangkap oleh kecerdasan kita yang papa..."
Tambahnya pula: "...Hanya Tuhan yang memahami
teka-teki dunia. Dialah yang mempertautkan jalan-jalan yang tadinya terpisah
jauh untuk membentuk arah-arah yang baru...." Dalam sepucuk surat,
yang ditulisnya dua hari kemudian, 17 Agustus 1902, ia menegaskan jalan
kembalinya ke agama itu dengan menulis: "Kami berpegang teguh pada
tangan-Nya, dan gelap pun kan menjadi cahaya'.
Kartini juga mengutip kata-kata seorang perempuan tua yang
menyuruhnya berpuasa: 'Melalui menahan diri dan tafakur, kita pergi menuju
terang'. Baginya, 'berpuasa adalah cara mengatasi yang jasmani oleh yang
rohani; kesendirian adalah sekolah untuk tafakur”. Kita tak tahu persis apa
yang mendorong Kartini kembali ke agama. Dalam surat yang dikutip di atas ia
menyebut 'seorang perempuan tua' yang tak putus-putusnya memberinya 'bertangkai-tangkai
kembang dari hati'. Mungkin saja yang dimaksudkannya adalah ibu kandungnya
sendiri, Ngasirah, yang berasal dari kalangan pesantren, bukan dari kalangan
ningrat, seorang yang hampir tak pernah disebut hadirnya.
Dia dan Ibunya
Pada tanggal 15 Agustus 1902, dalam sepucuk surat kepada
Abendanon. ia berbicara banyak tentang puisi dan gamelan Jawa. Di satu bagian,
ia mengutip ucapan seorang anak kepada ibunya: 'Ibu, kupinta setangkai
melati yang mekar di pusat hati.' la tampaknya terpesona dengan kalimat
itu, yang dalam bahasa Jawa memang terdengar puitis: 'Nyuwun sekar melati
ingkang mekar ing panjering ati' (Bdk:Letters of a Javanese Princess, Raden Adjeng Kartini - terjemahan Agnes Louise Symmers, New York: The
Norton Library, W.W. Norton & Company, 1964, hal
181-183).
Betapapun sekedar disebut di latar belakang, kehadiran
sosok ibu Ngasirah, perempuan tua itu, banyak menentukan sikap Kartini.
Perempuan itu saksi hidup, bahwa ayahnya, bupati Jepara, adalah seorang
laki-laki yang progresif tapi berpoligami. Seorang ayah yang dicintai anaknya
penuh dan akrab, tapi membawa ke dalam hidup anak itu seorang ibu lain yang tak
akrab. Ngasirah menandai apa yang disebut Kartini sebagai 'luka yang pedih'
dalam sepucuk surat, tanggal 21 Desember 1900 buat Rosa Abendanon.
Dari sinilah, menurut confession-nya sendiri,
Kartini dengan hati berkobar-kobar merindukan saat ketika ia 'mampu mengubah
dunia Bumiputera yang merupakan sebuah tempat yang begitu pahit bagi
perempuan'. Mungkin sekali karena hubungannya dengan seorang ibu yang
bersedia 'memberi begitu banyak', tapi yang berada di 'tempat yang
begitu pahit bagi perempuan', Kartini menemukan dalam diri Ngasirah sesuatu
yang sangat berharga. Dan, sebetulnya kalimat 'habis gelap terbitlah terang’,
yang dalam bahasa Arab disebut minazh-zhulumaati ilan-nuur, juga sebuah
kiasan yang ada dalam Qur’an, tepatnya di Surah Al Baqarah.
Dia dan Jiwa Pemberontak
Sebagai perempuan muda yang penuh idealisme, Kartini
datang dengan gagasan yang bebas serta mandiri dari tatanan adat lama. Bahkan tak hanya mandiri, tapi juga memberontak, setidaknya dalam hati. 'Kami', tulis
Kartini tentang diri dan adik-adiknya, yang
melihat perannya sebagai perintis kemandirian itu, 'memiliki
pikiran yang memberontak
dalam belantara ini, di tanah jauh yang gelap ini...'.
Pernah ada suatu saat ketika Kartini menampik, memberontak
terhadap titah khas kultur Jawa, 'sendiko dhawuh gusti!'. Dalam surat
bertanggal 6 Nopember 1899, pemberontakan itu bahkan ditandai dengan sikap
kritisnya yang menampik agama yang diwariskan orang tuanya. Baginya, 'orang
dapat jadi baik tanpa menjadi saleh,' dan ia ragu adakah agama merupakan
rahmat bagi manusia, "...Terkadang aku ingin tak pernah ada agama,
sebab hal yang seharusnya menyatukan umat manusia ke dalam pesaudaraan bersama
itu selama berabad-abad telah jadi satu sebab pergulatan, sengketa dan
pertumpahan darah...."
Dalam masa pemberontakan iman itu, bagi Kartini, seperti
tertulis dalam surat 15 Agustus 1902, ”..Tuhan kami adalah nurani kami,
neraka dan surga kami adalah juga nurani kami”. Kesendirian tampaknya juga
penting dalam iman Kartini: ia melihat 'cahaya' dan 'terang' dalam imannya yang
justru pribadi.
Dia dan Perjuangannya
Di zamannya, di Indonesia awal abad ke-20, Kartini memang
tidak mengemukakan gagasannya ke depan umum. la menghindar untuk menulis di
surat kabar, meskipun kesempatan itu tersedia: '...aku ingin [menulis di
surat kabar] tapi tidak dengan namaku sendiri. Aku ingin tetap tidak
dikenal...di Hindia ini, karena jika seseorang mendengar tentang
artikel-artikel yang ditulis perempuan Jawa, mereka akan segera tahu siapa
menulis tulisan itu', demikian lugas dikatakannya dalam surat bertanggal 14
Maret 1902.
Bisa jadi, Kartini gamang karena ia sadar akan posisinya
sebagai 'perempuan Jawa' dalam masyarakat kolonial di Jawa tengah waktu itu.
Justru kemampuan teknologi informasi media untuk mengungkap dirinya itu,
menyebabkan otonomi Kartini sempat menciut. Syukurlah, ia akhirnya jeli memilih
korespondensi sebagai mediumnya.
Lewat medium korespondensi itu, tampak pengertian
kemerdekaan sendiri, bagi Kartini, tak datang dari ide dan buku. Hasrat
kemerdekaan datang dari hidupnya sebagai perempuan di sebuah masyarakat yang
menindasnya. Kemerdekaan di sini terkesan sebagai inner voice: dorongan
kodrati manusia. Kartini benar ketika, dalam suratnya kepada Nyonya Abendanon
ia. menggambarkan dirinya sendiri dan adik-adiknya bukan cuma kutu buku yang
menerima kedatangan ide-ide dari jauh: “....Orang menyalahkan buku yang
'penuh omong-kosong'; yang datang dari Barat dan merasuk dalam ke pulau ini, ke
wilayah yang tenang dan damai di pantai Jawa yang selalu hijau,...Bukan hanya
buku yang membuatnya memberontak...Rasa rindu kepada kemerdekaan, kemandirian
dan emansipasi bukannya lahir baru kemarin, tapi sudah sejak masa mudanya yang
awal, ketika kata 'emansipasi' belum lagi dikenalnya. [Sesungguhnya] keadaan di
cakrawala yang jauh dan dekat itulah yang telah menghidupkan hasrat itu..”
Dia, Tuhan dan Kebahagiaan
Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar, tiga tahun
sebelum ia masuk ke dalam iman yang menyendiri, Kartini mengatakan, 'orang
bisa menjadi baik tanpa menjadi salih'. Agama adalah sesuatu yang berlebih. Di
sini, kebebasan bagi Kartini justru berkaitan dengan Tuhan. 'Mereka yang
melayani Tuhan itu bebas', demikian tulisnya dalam surat kepada Nyonya Van
Kol, yang agaknya telah mendorongnya kembali ke agama, sebab 'mereka tak
terikat kepada manusia'. Tapi kebebasan itu, dalam berhubungan dengan
Tuhan, tertanam dalam sebuah interior yang bukan wilayah yang bisa dan biasa
ditempuh orang ramai.
Dalam surat bertanggal 20 Agustus
1902 itu perempuan muda ini juga menulis:
“..Di mana kebahagiaan sejati? Tak jauh, tapi sukar
untuk menemukan jalan ke sana, kita tak bisa berangkat dengan trem, dengan kuda
atau perahu, dan tak ada emas yang dapat membayar bea perjalanan itu. Jalan itu
susah ditemukan, dan kita harus membayar ongkosnya dengan airmata dan darah di
jantung serta meditasi. Di mana jalan itu? Dia ada dalam diri kita sendiri…”.
Memang ada yang klise dalam paragraf
itu jika kita baca sekarang, namun jelas: Tuhan bagi Kartini bukanlah sebuah
jalan lurus yang dibangun oleh akal budi melulu. Jalan itu tak henti-hentinya
harus dicari kembali, setiap hari, dalam setiap perjumpaan.
Dia dan Akhir Hidup
Pada akhirnya Kartini, yang kemudian
menikah, hidup dengan seorang suami yang berkedudukan tinggi, seorang laki-laki
terpelajar yang mencintainya dan setia mendukung ide-idenya. Dkl: ia mengambil
jalan seperti kebanyakan orang yang terlibat dalam proyek ‘pencerahan': “…sebuah
kerja harus dilakukan, seraya Tuhan sudah rapi tersimpan dalam iman, sebuah
iman yang dapat dipergunakan bagaikan sebuah peta…”. Dan, wajar juga bahwa
surat terakhir Kartini beberapa minggu sebelum ia meninggal memang hanya
menyentuh soal-soal yang dihadapi seorang ibu muda sehari-hari: rok untuk bayi
yang belum bisa dikenakan, tempat tidur yang baru datang, parfum beraroma buah,
basa-basi persahabatan, dan pelbagai hal remeh temeh lainnya.
Sebuah Panggilan
Akhirnya, seperti kata Ivone Gebara, seorang
suster biarawati Notre Dame dan salah seorang teolog terkemuka Amerika Latin (“Option for the Poor as an Option for the
Poor Woman”), perempuan adalah para penjaga malam harapan, para penanti
fajar utopia tatanan kemanusiaan baru yang ditandai relasi antarciptaan yang
setara dan berkeadilan. Ketika malam berlalu, terang mentari akan bersinar.
Bahkan di tengah kegelapan malam para perempuan hadir dalam bintang-bintang yang
berkerjapan menyingkirkan kegelapan. Fiat Lux! Jadilah Terang! (Kejadian
1:3)
1 komentar:
Amin
sungguh luar biasa mo .....
met mlm ....
dan salam kenal mo
Posting Komentar