Prolog
Penta! Ia adalah seorang
aktivis muda yang membantu siaran mimbar agama Katolik di Radio Cakrawala
Jakarta, 98.3 FM. Bagi saya, “Penta” bisa berarti Pendekar cinta.
Di sinilah, kita akan
belajar menjadi pendekar cinta dengan mengenal dan melihat hidup dan perjuangan sosok pahlawan dari tanah Filipina. Dialah seorang imam dan uskup diosesan yang
mendirikan dan membangun kampung percontohan bagi orang miskin di
daerah Santa Ana, Punta (tak jauh dari Istana Malacan yang Filipina). Kardinal Sin
namanya. Dalam pidato perpisahannya ketika mengundurkan diri sebagai Uskup Agung
Manila, september 2003, dia menegaskan, “Kewajiban saya adalah menaruh
Kristus dalam politik. Politik tanpa Kristus adalah malapetaka terbesar bagi bangsa
ini.” Jelas, tegas lagi lugas; dialah contoh seorang pendekar cinta. Presiden Arroyo
memujinya sebagai, great liberator of the Philipino people and a champion of God.
Sebuah Sketsa Profil
Politik tidak kotor.Yang
kotor adalah pelakunya. Politisinya. Karena itu, Politik
di Filipina harus
dibaptis dan tidak menjadi alat untuk korupsi, melainkan
penyucian.
Itulah sepenggal kalimat
yang dilontarkan oleh seorang Jaime
Lachica Sin. Kardinal Sin
panggilannya. Ibarat Kresna dalam cerita wayang,
ia adalah tokoh moral dan
spiritual dalam pergerakan Pandawa melawan
kesewenang-wenangan
Kurawa.
Kardinal Sin sendiri
lahir pada tanggal 31 Agustus 1928 di kota kecil
New Washinton, di pulau
kecil Aklan, Filipina Tengah. Ayahnya, Juan Puatco
Sin, seorang imigran Cina
yang menjadi Katolik, karena ibunya, Maxima
Reyes Lachica, penduduk
asli Pulau Aklan di bagian tengah Filipina. Setelah
bertugas di sebuah paroki
kecil, dia diminta menjadi Rektor Seminari St Pius
XI, selama sepuluh tahun.
Ia ditahbiskan sebagai uskup pada tahun 1967
ketika berusia 38 tahun.
Paus Paulus VI pada awal 1974 mengangkatnya
menjadi Uskup Agung
Manila pada usia 45 tahun.
Ketika dia menjadi Uskup
Agung Manila, konteks masyarakat Filipina
sedang carut marut karena
korupsi dan kediktatoran Marcos dan Imelda
istrinya. Setelah
diangkat menjadi Kardinal pada 1976, ia menjadi tokoh
nasional yang menyuarakan
ajaran Kristus sambil melontarkan kegeraman
rakyat terhadap pelbagai
penindasan dan pengkhianatan kekuasaan yang
dilakukan oleh Ferdinand
Marcos dan kroninya.
Tahun 1986, rezim Marcos
ditumbangkan oleh People Power, lewat
sebuah revolusi tanpa
kekerasan. Gereja Katolik Filipina, secara khusus di
Manila, (terlebih lewat
suara profetis Kardinal Sin) memainkan peranan
yang sangat signifikan.
Tanggal 22 Februari 1986, lewat Radio Veritas dia
menyerukan, “Umatku
semua, mari kita berkumpul di EDSA!” (EDSA:
Epifanio de los Santos
Avenue, jalan utama di Manila).
Selain itu, salah satu
wujud kecintaannya pada orang miskin adalah
membangun sebuah kampung
dan perumahan seluas dua hektar bagi mereka.
Dananya berasal dari
“uang pribadi”, yang berasal dari warisan keluarga,
uang pensiunan dan
sumbangan donatur. Ia juga membentuk Yayasan
Serviam – moto
pelayanannya yang berarti ”hendaklah saya melayani.”
Yayasan ini mengelola village,
semacam perkampungan, yang pada tahap
pertama pembangunannya
dihuni 84 keluarga miskin atau sekitar 500
penghuni. Setelah
pensiun, ia mencurahkan perhatiannya ke kampung itu.
Sekurang-kurangnya tiga
kali seminggu ia mengunjungi kampung itu yang
secara bercanda kerap
disebutnya sebagai, “the village of sin (kampung dosa).”
Dalam bahasa Mandarin,
kata sin sebenarnya mempunyai arti yang mulia,
tetapi sin dalam
bahasa Inggris berarti dosa.
Kardinal Sin akhirnya
meninggal pada 21 Juni 2005 karena kegagalan
beberapa fungsi organ
tubuh setelah sekian lama menderita gangguan ginjal.
Ia berkarya sebagai imam
selama 51 tahun dan uskup selama 38 tahun. Ia
menjadi Uskup Agung
Manila tahun 1974, diangkat menjadi kardinal dua
tahun kemudian, dan
mengundurkan diri sebagai Uskup Agung Manila
pada bulan September
2003, kurang dari sebulan setelah menginjak usia 75
tahun. Di luar Katedral,
sekitar 3.000 orang mengikuti Misa Requiem lewat
layar yang dipasang di
sekitar plaza di depan Katedral. Jenazah Kardinal Sin
sendiri dimakamkan di
lantai bawah Katedral Metropolitan Manila pada 28
Juni 2005.
Refleks i Teologi s
a. N abi, Nampakkan
Tuhan-Binasakan Setan
Audaces fortuna iuvat.
Nasib baik menolong
mereka yang berani.
(Kutipan dari karya
Vergilius, Aeneid 10:284).
Ada banyak contoh dan
kesempatan yang menampakkan kenabian
Kardinal Sin, yang
disebut champion of God, tapi menyebut diri, donkey
of Christ, pada orang
orang miskin ini. Februari 1986, lewat jiwa suci
seorang kardinal
sekaligus nabi di Filipina, Jaime Kardinal Sin, melawan
ketidakadilan
pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos.
Kata-katanya bukan saja membangkitkan keberanian, tetapi juga memberikan
pegangan
bagi masyarakat yang
selama ini bimbang karena kekuasaannya yang
terampas pemerintah.
Tercatat satu juta orang kemudian turun ke jalan
mengungkapkan suaranya,
melakukan perlawanan, bukan dengan api atau
senjata, bukan dengan
pembakaran ban atau tongkat kayu, tetapi dengan
kitab suci, rosario dan
tangkai-tangkai bunga. Revolusi people power pun
mencapai hasilnya:
Presiden Ferdinand Marcos turun takhta setelah
memimpin selama 20 tahun
sekaligus terangkatnya Corazon Aquino
menjadi Presiden Filipina
yang baru. Begitu pun imbauan kenabiannya
untuk memperingati Tahun
Maria atau mengadakan reli menentang aborsi
dan kontrasepsi di Luneta
Park di Manila. Atau juga, kalimatnya “Mari kita
kunjungi orang-orang
miskin dan memberi tempat tinggal kepada para tuna
wisma” merupakan contoh
lain sifat-sifat kenabian seorang Kardinal Sin.
Dia adalah sosok pemimpin
sekaligus nabi yang mempunyai kewibawaan
sebagai seorang
penggerak. Selain warisannya, yakni people power dan Sin
village, ia juga selalu
berusaha menginspirasikan moralitas Kristiani dalam
politik melalui
surat-surat gembalanya. Lewat pelbagai suara kenabiannya,
tampak jelas … Verbum (sabda)
menjadi Evangelicum (kabar gembira).
b. Dewi, Demi Pertiwi
Dewi adalah seorang ketua
dari Pendalaman Alkitab Anastasia, yang terletak
di kawasan Alam Sutera
Tangerang. Bagi saya nama “Dewi” bisa berarti
“demi pertiwi”. Kardinal
Sin juga begitu mencintai pertiwinya. Katanya
menjelang kepergiannya, “Saya
telah memberikan yang terbaik bagi Tuhan dan
bagi negara.” Dialah seorang
pemimpin agama yang mampu menempatkan
dirinya dalam politik
untuk kepentingan bukan hanya umatnya tetapi
seluruh masyarakat
Filipina juga keseluruhan manusia di dunia yang
terinspirasi olehnya.
Masyarakat Filipina mengantar jenazah Jaime Kardinal
Sin ke tempat
peristirahatan terakhir dengan penghormatan dan ungkapan
terima kasih kepada orang
“luar biasa” yang menuntun bangsa itu menuju
kebaikan, kebijakan, dan
moral dalam kehidupan berpolitik.
Setiap kali saya
mengenang Kardinal Sin, saya sekaligus teringat-padat
pada seorang pemikir
CSIS, J. Kristiadi. Dalam sebuah seminar bersama para
frater, Mas Kris begitu
panggilannya mengatakan, “Politik itu tremendum sed
fascinosum (menakutkan tapi
menarik), namun kita tidak perlu takut dengan
politik.” “Meski para
pelaku politik cenderung membuat politik menjadi sesuatu
yang negatif di mata
masyarakat, politik itu (pada dirinya sendiri) bagus, dan
kita diajak untuk bekerja
sama menciptakan kehidupan politik yang lebih baik
guna mencapai masyarakat
yang adil dan sejahtera.”
Di sinilah, Kardinal Sin
melihat politik sebagai “sakramen”: tanda dan
sarana keselamatan.
Dialah kardinal Filipina pertama yang dimakamkan
dengan penghormatan
kenegaraan. Tentara mengusung peti jenazahnya
dalam suatu parade mengelilingi
kompleks katedral, yang berakhir di pintu
masuk gedung katedral. Di
sana, bendera nasional Filipina yang menutup
peti jenazah Kardinal Sin
dilipat dan diserahkan oleh Arroyo kepada adik
lelaki Kardinal Sin,
Ramon Sin. Lewat figur Kardinal Sin yang begitu berani
demi pertiwinya, saya
jadi teringat salah satu ucapan Mgr. Soegijapranata,
“Pro Patria et
Ecclesia. Demi Tanah Air dan Gereja!”
Ep i log
Uskup Balanga, Mgr.
Socrates Villegas, bekas sekretaris Kardinal Sin, mengatakan,
kata terakhir Kardinal
Sin adalah Vamos (bahasa Spanyol yang berarti “mari kita
pergi”. Uskup Villegas
menceritakan bagaimana hal ini konsisten dengan karakter
Kardinal Sin yang sering
mengajak masyarakat untuk “pergi”. Katanya, “Beliau tidak
meninggalkan kita; beliau
berjalan bersama kita, dan menggandeng tangan kita
saat kita berjalan
melewati hidup yang tidak menentu.” Di sinilah, Gereja juga perlu
membuat pelbagai bisikan vamos
kepada dunia, tentunya untuk mewujudkan
perdamaian di antara warga
dan agama agama lain.
Uskup Agung Antonio
Franco, Duta Besar Vatikan untuk Filipina, juga
datang dan membacakan
pesan Paus Benediktus XVI yang dikirimkan kepada
Uskup Agung Manila, Mgr.
Gaudencio Rosales. Paus menulis: “Saya sangat
sedih atas kematian Jaime
Kardinal Sin. Saya menyampaikan belasungkawa
setulus hati kepada Anda
dan semua klerus, religius, dan umat awam di
Keuskupan Agung Manila.
Sambil mengenang dengan penuh rasa terima kasih
atas komitmen Kardinal
Sin untuk mewartakan Injil dan menjunjung tinggi
martabat manusia,
kepentingan bersama, dan persatuan bangsa Filipina,
saya ikut bersama Anda
berdoa agar Allah Bapa yang penuh ampun akan
menganugerahkan kepadanya
penghargaan atas karyanya dan menerima
arwahnya yang mulia ke
dalam kebahagiaan dan kedamaian Kerajaan Allah
yang abadi. Kepada semua
umat yang menghadiri misa pemakaman secara
kristiani, saya
menyampaikan berkat kepausan sebagai janji penghiburan dan
kekuatan dalam Tuhan.”
Di balik semua
penghargaan dan apresiasi banyak orang terhadap
Kardinal Sin, kerap kita
lupa intisari moto panggilannya. Moto yang dia
pilih adalah, Serviam
… agar saya melayani. Yah, di sinilah dia bukan hanya
menjadi “penta, sang
pendekar cinta”, tapi dia juga mengajak kita belajar
menjadi “pelayan cinta”.
Politik tidak kotor, yang
kotor adalah pelakunya. Politisinya.
Karena itu, Politik di
Filipina harus dibaptis
dan tidak menjadi alat
untuk korupsi, melainkan penyucian.
(Jaime Lachica Kardinal
Sin)
0 komentar:
Posting Komentar