Prolog
Ada sebuah epik Ramayana,
yang berkisah tentang peperangan dahsyat antara Rahwana dan Ramawijaya.
Rahwana yang menculik Sinta akhirnya dikalahkan. Namun, Ramawijaya sangsi
akan kesucian Sinta, yang telah cukup lama berada dalam tahanan Rahwana.
Untuk membuktikan kesuciannya, Sinta pun masuk ke dalam api. Tetapi,
sedikit pun tubuhnya tidak terbakar hingga Dewa Brahma turun
dari surga dan
mengangkatnya keluar dari kobaran api yang hebat. Bagi saya pribadi, “Sinta” bisa
berarti selalu ingin nampakkan cinta. Kita pun diajak untuk belajar selalu ingin
nampakkan cinta. Bagaimana caranya? Kita akan belajar bersama dari seorang imam dan
uskup diosesan bernama Angelo Giuseppe Roncalli. Kita mengenalnya sebagai Paus
Yohanes XXIII, penggagas Konsili Vatikan II.
Sebuah Skets a Profil
Nil sine numini.
Tak ada yang dapat
terjadi tanpa kehendak Ilahi.
Angelo Giuseppe Roncalli
adalah anak ketiga dari sepuluh bersaudara. Yang pertama, Teresa, kemudian
Ancilla lalu Angelo sendiri. Selain itu ada empat anak laki-laki lagi:
Saverio, Alfredo, Giovanni, dan Giuseppe sedangkan yang perempuan Maria, Assunta
dan Enrica. Angelo Roncalli lahir tepatnya pada tanggal 25 November 1881,
dan langsung dipermandikan. Ia dilahirkan di Brucia di daerah Sotto
el Monte, sebuah kota kecil di Provinsi Bergamo, Italia sebelum mereka
berpindah ke pertanian Colombra. Ayahnya bernama Giovanni Batistta dan
ibunya Marianna Giulia Mazzolla. Mereka bekerja
sebagai buruh tani.
Roncalli sendiri memang
mempunyai cita-cita, tetapi cita-citanya hanyalah untuk menjadi
seorang imam biasa yang bertugas di suatu paroki kecil, bukan untuk
menjadi Paus. Untuk mencapai cita–citanya itu, ia masuk seminari di
Bergamo. Pater Rebuzini banyak membantunya untuk mencapai cita-cita itu,
beliau jugalah yang telah mempermandikannya.
Ia masuk seminari pada
usia 14 tahun, ia seorang yang bersemangat dan terkenal lucu, bahkan
ketika menghadapi pelajaran-pelajaran berat, ia tetap tidak kehilangan rasa
humornya.
Di kemudian hari,
persisnya pada 1904, Angelo Giuseppe Roncalli (25 November 1881 - 3
Juni 1963) ditahbiskan sebagai imam diosesan di Gereja Santa Maria,
Monte Santo. Setahun kemudian, Mgr. Giacomo Radini-Tedeschi, uskup
Bergamo yang baru, menunjuk Roncalli sebagai sekretarisnya. Roncalli
bekerja untuk Radini-Tedeschi sampai kematian uskup
tersebut pada 1914. Pada
Perang Dunia I, Roncalli ditarik ke Royal Italian Army dengan pangkat
sersan, membantu pelayanan kesehatan sekaligus sebagai chaplain.
Pada 1921, Paus Benediktus XV menunjuknya sebagai ketua Propaganda Fide dan
pada 1925 Paus Pius XI menunjuknya sebagai Duta Besar Vatikan di
Bulgaria. Sepuluh tahun kemudian, dia menjadi Duta Besar Vatikan di
Turki dan Yunani. Di sinilah, Roncalli menggunakan
kantornya untuk menolong
orang Yahudi dan menyelamatkan ribuan pengungsi Yahudi di
Eropa. Pada 1944, pada Perang Dunia II, Paus Pius XII menunjuknya sebagai
Duta Besar Vatikan di Paris, Prancis. Pada 1953, Roncalli diangkat sebagai
Uskup Venesia, dan diangkat menjadi Kardinal.
Habemus Papam - Kami memiliki
Paus! Tak dinyana, ia menjadi Paus Gereja Katolik Roma
sejak 28 Oktober 1958 hingga 3 Juni 1963. Ia menggantikan Paus Pius
XII yang wafat. Ia memilih gelar Paus Yohanes XXIII, dan sering disebut
sebagai “Paus Yohanes Yang Baik” dan juga dihargai oleh orang
Anglikan dan Protestan berkat jasa dan inisiatifnya untuk menyatukan Gereja
yang terpecah-belah. Ketika diangkat sebagai Paus, Roncalli telah
berumur 77 tahun dan sama sekali tidak diunggulkan selama konklaf. Dengan
umurnya yang sudah lanjut, Roncalli dianggap hanya akan memerintah
dalam waktu yang singkat. Oleh karenanya, pada masa itu sering dianggap
hanya sekadar sebagai “paus transisi”: pulvis et umbra sumus - hanyalah debu
dan bayangan.
Namun demikian,
kepemimpinan Paus Yohanes XXIII ternyata banyak mengejutkan Gereja
Katolik dan dunia pada umumnya. Di antaranya adalah diundangkannya
Konsili Vatikan II yang menghasilkan reformasi atas doktrin-doktrin Gereja
Katolik dan ditingkatkannya rekonsiliasi serta dialog antarumat beragama, suatu
hal yang pada waktu itu tidak terbayangkan muncul dari kekuasaan
tertinggi Takhta Suci. Di sinilah tampak, ia begitu
meyakini sebuah pepatah
Latin, “Audi alteram partem”: Dengarkanlah pihak lain.
Walaupun masa
pemerintahannya hanya singkat saja (sekitar 5 tahun lamanya), Paus Yohanes
XXIII dianggap sebagai salah satu Paus terbesar yang pernah ada dalam sejarah
Gereja Katolik. Adalah sebuah film dokumenter yang diproduksi Vatikan,
memuat satu kisah khusus mengenai Paus Yohanes XXIII. Di Indonesia, Emperor
Edutainment yang banyak mengedarkan filmfilm dokumenter tentang
Kristianitas, mengedarkan film tersebut dalam
format empat keping VCD
berjudul The Bible: Pope John XXIII part 1-2 (2004).
Dalam film tersebut,
dikisahkan bahwa Angelo Roncalli berasal dari Desa Sotto il Monto.
Ia anak dari pasangan petani miskin Italia. Atas kebaikan pamannya, Angelo kecil
bisa menempuh pendidikan di seminari untuk menjadi seorang pastor.
Seorang Yahudi memberikan sebuah kalung Bintang Daud seraya berkata
kepada Roncalli, “Yesus juga seorang Yahudi.” Roncalli pun memberikan rosarionya
kepada perempuan itu seraya tersenyum.
Film ini tidak
menyinggung satupun keterkaitan Roncalli atau Paus Yohanes XXIII dengan
Freemasonry dan sebagainya. Hanya saja, saat bertugas di Istanbul,
Turki, tahun 1944, ia menyelamatkan ribuan orang Yahudi. Saat di Turki
inilah, Uskup Roncalli membebaskan orang-orang Yahudi yang memenuhi
sejumlah gerbong kereta yang ditahan pihak Nazi-
Jerman. Ribuan orang
Yahudi selamat dari upaya pembunuhan yang ingin dilakukan Nazi. Salah
seorang perempuan penangkapan Nazi-Jerman itu tentu didengar oleh para petinggi
bangsa Yahudi dan kemudian “berterima kasih” kepada Roncalli.
Kedekatan Roncalli dengan Yahudi juga tergambar dengan jelas tatkala saat
menjadi paus, ia mencabut larangan orang Katolikmenjadi anggota
Freemasonry. Sebelumnya, orang-orang Katolik yang ingin menjadi anggota
Freemasonry haruslah melakukannya dengan diam-diam, namun setelah Paus John
XXIII mencabut larangan itu maka berbondongbondonglah orang-orang Katolik
menjadi anggota Freemasonry, tidak terkecuali para Yesuit
yang begitu patuh pada institusi kepausan, mereka juga banyak yang menjadi
anggota Freemasonry.
Refleks i Teologi s
Linda, Lihatlah Indahnya
Damai Allah
Pax melior est quam
iustissimum bellum
Perdamaian lebih baik
ketimbang perang yang beralasan.
Sebagai sebuah refleksi
teologis, saya kembali mengingat bahwa empat puluh tujuh tahunan yang
lalu, persis pada hari Kamis Putih, 11 April 1963, Roncalli alias Paus
Yohanes XXIII, menerbitkan ensikliknya, Pacem in Terris - Damai di
Bumi. Ensiklik kepausan ini dikeluarkan sesudah Krisis Misil Kuba (1962)
dan pembangunan Tembok Berlin (1961). Ketika merancangnya, Paus
Yohanes XXIII sedang menderita kanker. Ia wafat dua bulan kemudian sesudah
ensiklik ini selesai. Inilah juga surat pertama seorang Sri Paus yang dialamatkan
kepada “semua orang yang berkehendak baik”, sambil menghimbau usaha
setiap orang untuk perdamaian dengan melihat secara utuh tatanan
sosial hasil karya Allah. Ensiklik ini hingga kini tetap merupakan ensiklik yang
cukup terkenal dari abad ke-20 dan menetapkan prinsip-prinsip yang
kelak muncul dalam sejumlah dokumen dari Konsili
Vatikan II dan paus-paus
yang kemudian. Ini adalah ensiklik terakhir yang dirancang oleh Yohanes
XXIII, yang mengajak kita melihat indahnya damai Allah.
Kalimat pembukaan Pacem
in Terris (Damai di Bumi) menegaskan pemahaman Gereja Katolik
tentang bagaimana perdamaian dapat tercipta di dunia: “PACEM IN
TERRIS, quam homines universi cupidissime quovis tempore appetiverunt,
condi confirmarique non posse constat, nisi ordine, quem Deus constituit, sancte
servato.” (“Damai di bumi, yang paling dirindukan oleh semua orang dari
segala zaman, dapat ditegakkan dengan kuat, hanya
apabila perintah yang
ditetapkan oleh Allah dapat ditaati dengan setia.)”
De facto, dunia yang
disapa oleh Yohanes XXIII, pada waktu itu berada dalam keadaan yang rusak
berat: adanya keganasan Perang Dunia I dan II, naiknya sistem totaliter,
banyaknya penderitaan manusia yang tak terkatakan dan juga perihnya
penganiayaan terhadap Gereja yang paling berat. Ditambah lagi adanya
pembuatan Tembok Berlin dan perang nuklir yang hampir meletus karena
Krisis Peluru Kendali Kuba. Waktu itu, semua jalan menuju perdamaian
seolah-olah tertutup. Di sinilah, Yohanes XXIII alias Roncalli sebagai seorang
pembawa damai, berbicara kepada semua orang bahwa mereka semua adalah
sebuah keluarga yang mestinya saling berdamai. Lebih lanjut, ia juga
mengatakan, kondisi hakiki sebuah perdamaian terdiri dari empat syarat yang
juga terdapat di dalam jiwa setiap orang di dunia ini: kebenaran, keadilan,
cinta kasih dan kemerdekaan (bdk. 149, 167).
Kebenaran akan membangun
perdamaian bila setiap orang secara tulus mengakui bukan hanya
haknya sendiri, tetapi juga kewajibannya terhadap sesama manusia.
Keadilan akan membangun
perdamaian jika dalam pelaksanaannya setiap orang menghormati
hak orang lain dan benar-benar melaksanakan tugas yang ditentukan
bagi mereka. (Si vis pacem, para iustitiam - Jika kau mengidamkan perdamaian,
tegakkan keadilan.)
Cinta kasih akan membangun
perdamaian bila orang-orang merasakan bahwa kebutuhan orang
lain sebagai kebutuhannya sendiri dan membagikan hartanya dengan sesama,
terutama nilai-nilai akal budi dan semangat yang mereka miliki.
Kemerdekaan akan membangun
perdamaian dan membuatnya berkembang jika dalam
memilih sarana untuk tujuan itu, orang-orang bertindak sesuai dengan
akal dan bertanggung jawab atas tindakannya sendiri.
Tegasnya, Roncalli
mengajak semua orang untuk meyakini bahwa meskipun terdapat situasi
yang dramatis, tetapi sekaligus juga terdapatnya suatu kesadaran akan
nilai-nilai rohani tertentu, yang terbuka kepada empat sokoguru
perdamaian, yaitu kebenaran, keadilan, cinta kasih dan kemerdekaan. Keempat
nilai ini tentu membuat manusia menjadi sadar bahwa hubungannya dengan
Tuhan, sumber segala kebaikan, harus menjadi teguh dan menjadi ukuran
tertinggi dalam hidupnya, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam
masyarakat. Berkembangnya intuisi batin ini, seperti diyakini oleh Paus,
memiliki pengaruh mendalam dalam menciptakan perdamaian.
Ia menegaskan bahwa jalan
menuju perdamaian itu terletak pada perlindungan dan
usaha-usaha memajukan hak-hak dasar yang menjadi milik semua orang, bukan
sebagai kebaikan yang diberikan oleh sebuah kelas yang berbeda, atau diberikan
oleh Negara, melainkan semata-mata hanya karena kemanusiaan kita. “Masyarakat
manusia bila ingin teratur dan produktif, harus didasarkan pada
kaidah-kaidah ini, yaitu bahwa setiap manusia diakui sebagai pribadi, bahwa kodratnya
dilengkapi dengan akal budi dan kehendak bebas.
Memang, justru karena dia
seorang pribadi, dia memilki hak dan kewajiban yang secara langsung dan
bersama-sama muncul dari kodratnya sendiri. Dan karena hak-hak dan
kewajiban ini bersifat universal dan tak dapat dilanggar bagaimana pun juga tak
dapat diserahkan kepada siapa pun juga. (9,28,35).
Baginya, perdamaian itu
bukan semata-mata perkara struktur, tetapi perkara manusia. Struktur
dan mekanisme tertentu untuk perdamaian - peradilan, politik,
ekonomi - tentu diperlukan dan memang ada, tetapi semua itu tak lain dan
tak bukan berasal dari kebijaksanaan dan pengalaman yang dikumpulkan melalui
langkah-langkah perdamaian yang diambil oleh manusia sepanjang
sejarah. Langkah-langkah perdamaian muncul
dari kehidupan
orang-orang yang memajukan perdamaian, pertama-tama di dalam hati mereka
sendiri. Usaha-usaha itu merupakan karya hati dan pikiran mereka yang
menjadi pendamai (bdk. Mat 5:9).
Bagi saya, Gereja jelas
memiliki peranan yang menentukan dalam memajukan langkah-langkah
perdamaian. Gereja akan menjalankan peran ini secara lebih efektif
bila Gereja semakin berani terlibat pada pelbagai usaha memajukan persaudaraan
yang universal dan penyebaran budaya solidaritas antarmanusia: Potius
sero quam numquam. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Baguslah juga, kalau
Gereja sekarang merayakan setiap awal tahunnya bersama Maria Bunda Allah
(1 Januari) juga sekaligus sebagai Hari Perdamaian Sedunia. Peristiwa ini
mengungkapkan kerinduan Gereja untuk memelihara perdamaian dengan
menebarkan spiritualitas dan budaya damai. Baik juga, bersama teladan Roncalli
ini, setiap orang kristiani menemukan cara dan keinginan membuka diri:
“meruntuhkan sekat-sekat yang memisahkan, meneguhkan ikatan kasih
timbal balik, belajar untuk saling memahami
dan mengampuni yang
pernah bersalah.” Tentunya, semua itu dilakukan bersama dan dalam nama
Allah karena bagi saya “damai” itu juga bisa berarti Dengan Allah Maka Akan
Indah.
Ep i log
Amor vincit omnia.
Cinta mengalahkan
semuanya.
Sepanjang pengetahuan
saya, dalam tradisi Gereja Katolik, syarat ideal untuk menjadi Paus adalah
rendah hati. Oleh karena itu, gelar seorang Paus bukan Jenderal atau Hamangku
Bawana (memangku dunia/menguasai dunia), tetapi Servus Servorum Dei, hamba dari para
hamba Tuhan. Kerendahan hati itulah yang membuat tidak ada
kampanye sama sekali menjelang sebuah konklaf (pemilihan Paus).
Namun, secara riil,
seorang kardinal (yang nota bene merupakan calon paus) juga tetap seorang
manusia dengan hati dan naluri manusiawi, bukan? Ada sebuah cerita tentang
seorang kardinal yang berambisi menjadi Paus. Kardinal Francis Joseph Spellman
namanya. Ia hidup pada tahun 1889-1967, ia juga pernah menjabat sebagai Uskup
Agung New York. Ketika tahun 1939, Perang Dunia II meletus, Paus
Pius XII mengangkatnya menjadi Uskup Angkatan Bersenjata Amerika
Serikat. Jabatan ini memungkinkan Spellman untuk
menggerakkan umat Katolik
Amerika guna mendukung perang melawan fasisme Jerman-Italia-Jepang.
Berkat usahanya ini, pada tahun 1946, Paus Pius XII menganugerahinya
gelar Kardinal.
Ketika tahun 1958 Paus
Pius XII wafat, Kardinal Spellman melobi Gedung Putih agar
memberikan dukungan kepadanya supaya menjadi the first pope from America. Menurut Avro
Manhattan, penulis The Vatican-Moscow-Washington
Alliance (1982), Kardinal Spellman memang berambisi untuk menjadi Paus, dan
ia juga membaca Ramalan St. Malachi (Proph. De la succession des papes), yang baru
diketemukan oleh Abbe Cucherat pada tahun 1590.
Berdasarkan ramalan
Malachi (1094-1148, Uskup Armagh, Irlandia Utara), pengganti Pius
XII ini adalah seorang Paus yang akan dikenal sebagai “Pastor et
Nauta” (Gembala dan Pelaut). Malachi memang membuat ramalan mengenai 111
calon Paus mendatang, dimulai dari Paus Celestinus II (1143) dengan gelar
simbolis. Begitulah, menurut buku Peter Bander, The Prophecies of Malachy (1969), menjelang
konklaf 1958 Kardinal Spellman
kemudian menyewa sebuah
kapal, mengisinya dengan domba-domba, dan berlayar mondar-mandir di
Sungai Tiber, Roma. Sayang, ambisi Spellman tidak terwujud. Homo
proponit, sed Deus disponit (Manusia berencana, Tuhan yang memutuskan),
konklaf 1958 malahan memilih Kardinal Angelo Roncalli dari Venesia
sebagai pengganti Pius XII.
Saya pribadi menyukai
Angelo Roncalli, yang “selalu ingin nampakkan cinta”, dan mungkin
karena ukuran tubuhnya yang lebar ke segala arah, ia juga berusaha melebarkan
pintu cinta bagi semakin banyak orang. Pada masa kepausannya (1958-1963),
Gereja Katolik memang kemudian menjadi lebih inklusif, mengakui
kebenaran agama-agama lain, dan mampu menggerakkan dunia untuk
memperjuangkan perdamaian tanpa batasan negara, bangsa,
atau lautan.
“Pacem in Terris, quam
homines universi cupidissime quovis tempore appetiverunt, condi
confirmarique non posse constat, nisi ordine, quem Deus constituit, sancte
servato.”
“Damai di bumi, yang
paling dirindukan oleh semua orang dari segala zaman, dapat ditegakkan
dengan kuat, hanya apabila perintah yang ditetapkan oleh Allah
dapat ditaati dengan setia.”
(Angelo Giuseppe
Roncalli)
0 komentar:
Posting Komentar